CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

28 Nov 2012

Sholawat atas Nabi Muhammad SAW




Diriwayatkan bahwa Rasulallah saw bersabda,
“Disaat aku tiba di langit di malam Isra’ Miraj, aku melihat satu malaikat memiliki 1000 tangan, di setiap tangan ada 1000 jari. Aku melihatnya menghitung jarinya satu persatu. Aku bertanya kepada Jibril as, pendampingku,

‘Siapa gerangan malaikat itu, dan apa tugasnya?.’
Jibril berkata,
Sesungguhnya dia adalah malaikat yang diberi tugas untuk menghitung tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi.’

Rasulallah saw bertanya kepada malaikat tadi,
‘Apakah kamu tahu berapa bilangan tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi sejak diciptakan Adam as?.’

Malaikat itupun berkata,
‘Wahai Rasulallah saw, demi yang telah mengutusmu dengan hak (kebenaran), sesungguhnya aku mengetahui semua jumlah tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi dari mulai diciptakan Adam as sampai sekarang ini, begitu pula aku mengetahui jumlah tetetas yang turun ke laut, ke darat, ke hutan rimba, ke gunung-gunung, ke lembah-lembah, ke sungai-sungai, ke sawah-sawah dan ke tempat yang tidak diketahui manusia.’

Mendengar uraian malaikat tadi, Rasuluallah saw sangat takjub dan bangga atas kecerdasannya dalam menghitung tetesan air hujan. Kemudian malaikat tadi berkata kepada beliau,
‘Wahai Rasulallah saw, walaupun aku memiliki seribu tangan dan sejuta jari dan diberikan kepandaian dan keulungan untuk menghitung tetesan air hujan yang yang turun dari langit ke bumi, tapi aku memiliki kekurangan dan kelemahan.’

Rasulallah saw pun bertanya,
‘Apa kekurangan dan kelemahan kamu?.’

Malaikat itupun menjawab,
‘Kekurangan dan kelemahanku, wahai Rasulallah, jika umatmu berkumpul di satu tempat, mereka menyebut namamu lalu bershalawat atasmu, pada saat itu aku tidak bisa menghitung berapa banyaknya pahala yang diberikan Allah kepada mereka atas shalawat yang mereka ucapkan atas dirimu.’ “

Allahuma shalli a’la sayyidina Muhammadin wa a’la alihi wa shahbihi wa sallim


Sumber :
http://hasanalsaggaf.wordpress.com/category/shalawat-atas-nabi/

A'rabi Bertoaf Dengan Ibunya


    

     Dengungan suara takbir dan tahmid jamaah haji di muka Ka’bah membuat kota Makkah bergetar dan pintu gerbang langit terbuka lebar menyambut amal baik para hujjaj. Kucuran air mata menambah kekhusyu’an mereka dalam ibadah. Diantara gelombang lautan makhluk yang toaf terdapat seorang A’rabi yang sedang menyusung seorang nenek tua diatas pundaknya. Perawakanya kasar, tinggi besar, dan kelihatan masih muda belia. Ia bertakbir dan bertahmid dengan penuh semangat. Dan ibunya di atas pundak mengikutinya dengan penuh khusyu’. Kadang kadang A’rabi itu berhenti takbir dan diganti dengan bacaan syair yang diulangulangi dengan suara keras. Bunyinya :

Aku jadi tungganganya dan tidak menolak
Di saat semua menolak tapi aku bertindak
Jasa bunda melahirkanku, menyusuiku sangat banyak
Labaikallah Humma Labaik….

Begitulah tak henti hentinya A’rabi tadi bertakbir dan bersyair.

   Pada saat itu Ali bin Abi Thalib ra sedang berdiri di samping khalifah Umar bin Khattab ra. Mereka bersama sama sedang mengontrol jamaah haji yang sedang thoaf di muka Ka’bah. Mendengar A’rabi bertakbir dan membaca syair sambil thoaf, Imam Ali berkata kepada khalifah Umar ra “Ya Aba Hafshah (Umar), alangkah baiknya kalau kita berthoaf bersama sama mereka, kemungkinan rahmat Allah turun kepada kita semua secara menyeluruh”. Umar bin Khattab ra tidak bisa menolaknya. Mereka pun masuk bersama sama ke dalam lautan makhluk yang sedang berthoaf. Dalam thoaf Imam Ali mengejar A’rabi yang menyusung ibunya. Percis berada di belakang A’rabi, beliau melontarkan satu bait syair sebagai balasan dari syair yang telah dibacakannya. Beliau berkata:

Jika kamu berbuat baik kepadanya
Maka kepada Nya aku bersyukur
Amalmu yang kecil akan dibalasNya
Dibanding jasanya yang luhur

Labaikalla Humma Labaik.

Sumber :

http://hasanalsaggaf.wordpress.com/2008/05/18/arabi-bertoaf-dengan-ibunya/


Peringatan kepada Kerabat Nabi SAW


     


     Setelah turun wahyu di gua Hira’, Rasulallah saw tak henti hentinya berdawah secara diam diam selama tiga tahun. Beliau tidak segan segan mengajak Quraisy Makkah kepada agama baru siang dan malam. Kemudian turun perintah Allah untuk menjaharkan dawah trb kepada karabat beliau yang terdekat “Dan berilah peringatan kepada karabat karabatmu yang terdekat” al syuara’ 214. Begitu turun wahyu tadi, beliau mengundang semua karabat karabat beliau dari kaum Quraisy untuk berkumpul di tempat tertentu.

     Setelah mereka berkumpul, Rasulallah memulai membuka pembicaraanya “seandainya aku katakan bahwa di balik bukit sana ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apa kalian percaya?” Mereka serentak menjawab: “Ya, kami percaya, karena kamu tidak pernah sama sekali berbuat bohong”. Lalu Rasulallah berkata lagi: “Ketahuilah, aku ini diutus oleh Allah untuk memperingatkan keluarga dan kerabat terdekatku, aku tidak punya kepentingan dunia dan tidak punya kepentingan akhirat. Apakah ada diantara kalian yang membaiatku dan menjadikanku sebagai saudara dan teman?”

     Begitu mendengar seruan Rasulallah saw mereka kaum Quraisy, ribut di majlis itu. Tak ada satu diantara karabat beliau yang hadir di majlis tadi berdiri membaiatnya. Kemudian suasana menjadi hening, tak ada suara, tak ada bisikan, majlis menjadi sunyi seketika. Hal ini berlangsung beberapa saat. Tiba tiba terdengar suara anak kecil dari tempat duduknya yang agak berjauhan. Dengan lantang anak itu berkata “Aku, Ya Rasulallah”. Anak itu adalah Ali bin Abi Thalib ra. Ia bangun dari tempat duduknya berjalan mendekati Rasulallah saw.

     Rupanya reaksi Imam Ali ra kurang mendapat sambutan dari Rasulallah saw. Karena yang diinginkan membaiat beliau bukan anak kecil, akan tetapi para pemuka Quraisy. Rasulallah saw menyuruhnya duduk dan mengulangi pembicaraanya “Apakah ada diantara kalian yang membaiatku dan menjadikanku sebagai saudara dan teman?”. Untuk kedua kalinya pula tidak terdengar suara, tidak ada diantara karabat beliau yang bangun untuk membaiatnya. Kemudian Ali ra yang duduk di samping beliau berdiri lagi seraya berkata “Aku, Ya Rasulallah”. Kali ini Rasulallah saw hanya menganggukan kepalanya tanda salut atas perbuatnya. Dengan senyum beliau memerintahkanya untuk kembali duduk.

     Kemudian beliau mengulangi pembicaraanya untuk yang ketiga kalinya “Wahai bani Abdul Muttalib, sesungguhnya aku telah diutus Allah kepada kalian khusunya dan kepada semua manusia umumnya. Apakah ada diantara kalian yang mau membaiatku dan menjadikanku sebagai saudara dan teman?”. Begitu pula beliau tidak mendapatkan reaksi atau jawaban yang enak dari para karabat beliau hanya Imam Ali bin Abi Thalib ra yang menyambutnya “Aku, Ya Rasulallah yang menjadi saudara dan temanmu”. Rasulallah tersenyum lebar dan menepuk dada imam Ali ra tanda salut dan ridho dengan apa yang telah dilakukanya.

     Di akhir jalsah, berdirilah paman nabi sendiri yang bernama Abu Lahab la’natallah a’laih seraya berkata dengan nada ketus, “Wahai Muhammad, apa hanya untuk ini kami dikumpulkan? Celaka kau !”. Iapun pergi sambil menggerutu.


Wallahua’lam
Hasan Husen Assagaf

Sumber: Kitab Fadhail Asshahabah

27 Nov 2012

Tameng Imam Ali, Mahar untuk Fatimah Az Zahra


     


Seorang pembantu Rasulallah saw lari tergesa-gesa ke tempat Imam Ali bin Abi Thalib ra. Ia memberi salam kepada beliau, lalu masuk ke rumahnya seraya berkata “Wahai anak paman Rasulallah, apakah kamu tahu bahwa Fatimah akan dilamar seseorang?”. Wajah Imam Ali ra berubah mendengar berita itu, lalu berkata ”Aku tidak tahu sama sekali berita ini”. Pembantu itu berkata lagi “Kenapa bukan kamu saja yang datang kepada Rasulallah melamarnya? Apa yang melarang kamu untuk melakukan hal itu?” Imam Ali pun segera menjawab “karena aku miskin tidak meiliki mahar untuk melamarnya”. Pembantu itu mendesak beliau agar datang ke rumah Rasulallah saw melamarnya. “Jika kamu datang kepada Rasulallah memintanya, aku yakin permintaanmu pasti akan dikabulkanya”ujarnya..

     Begitulah seterusnya pembantu tadi mendesak Imam Ali ra agar segera menemui Rasulallah saw untuk meminta Fatimah binti Rasulallah sebagai istrinya. Karena ia tidak menginginkan selain Ali ra  ada orang lain menyuntingnya. 


     Akhirnya, timbul keberanian Imam Ali ra untuk datang menghadap Rasulallah saw. Sewaktu duduk di hadapan beliau, ia menundukan kepalanya ke bawah karena malu dan membungkam seribu basa. Rasulallah saw tersenyum melihat kelakuan misanya itu. Kemudian beliau mulai membuka pembicaraanya “Ya Ali, Aku yakin kau datang ke sini bermaksud sesuatu. Apakah ada yang bisa dibantu?”. Mendengar pertanyaan Rasulallah saw, Imam Ali bertambah malu, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Akan tetapi Rasulallah saw mengetahui maksud kedatangannya. Beliau tersenyum lalu berkata “Aku tahu kau sengaja datang ke sini untuk melamar anakku Fatimah. Betulkan?”. Dengan rasa malu bercampur gembira sayyidina Ali menjawab “Betul ya Rasulallah”. Rasulallah saw berkata “Apakah kau memiliki sesuatu untuk menghalalkannya?”. Imam Ali menjawab “Demi Allah, aku tidak memiliki apa apa, ya Rasulallah”. Mendengar jawabanya, Rasulallah langsung berkata “Bukankah aku pernah memberikan kepadamu sebuah tameng disalah satu peperangan?”. “Betul Ya Rasulallah”, tameng itu sangat kuat dan harganya 400 dirham” ujar beliau meyakinkan.

     Kemudian Rasulallah saw meminta izin sebentar kepada Imam Ali untuk memberitahukan kabar gembira kepada anaknya Fatimah. Di saat pertemuan dengan Fatimah ra, beliau berkata “Wahai anak-ku, sesungguhnya Ali telah datang memintamu sebagai istrinya. Bagaimana pendapatmu?”. Fatimah ra menangis mendengar uraian sang ayah lalu berkata “Seolah olah engkau akan titipkan diriku kepada seorang laki laki Quraisy yang miskin. Demi Allah sesungguhnya engkau telah memilih bagiku laki laki yang luas ilmunya, luhur akhlaknya dan tegas pendirianya. Cerahlan wajah Rasulallah mendengar ucapananya lalu berkata “Demi Yang telah mengutusku dengan kebenaran, aku tidak berbicara kepadamu tentang hal ini kecuali aku telah mendapat restu dari Allah”. Fatimah berkata “Aku ridho dengan apa yang telah diridhoi Allah dan rasul Nya”. 

     Akhirnya, Rasulallah saw keluar. Beliau mendapatkan imam Ali ra sedang duduk dengan beberapa sahabat lainya. Rasulallah berkata “Ya Ali mintalah”. Ali pun berkata “Segala puji bagi Allah yang hidup dan tidak mati. Sesungguhnya Muhammad Rasulallah telah menikahkanku kepada Fatimah dengan mahar 400 dirham. Saksikanlah apa yang dikatakan Rasulallah”   Rasulallah pun berkata “Ya Ali, aku telah menikahkanmu kepada Fatimah dengan mahar 400 dirham (nilai tameng), bawalah tameng itu ke sini”. Terjadilah ijab qabul antara Rasulallah saw dengan Imam Ali.

     Dari kisah di atas kita bisa mengambil bukti kuat akan kecintaan Rasulullah saw kepada putri bungsunya, Fatimah, sehingga beliau tidak memilih baginya sebagai pasangan hidup kecuali orang yang dicintainya pula, yaitu imam Ali ra. Tidak sedikit dari orang orang Quraisy pada waktu itu yang ingin menikahinya. Bahkan beritanya ia pernah dilamar oleh Sayyidina Abu Bakar ra dan Sayyidina Umar ra, sahabat terdeket Rasulallah saw, namun lamaran mereka ditolak secara halus. 

     Dari pernikahan antara Sayyidina Ali dan siti Fatimah, berkembanglah keturunan Rasulallah saw yang tersebar di seluruh pelosok negeri, Pekembangan ini tidak bisa dibendung walaupun sepanjang sejarah kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah mengalami penindasan luar biasa, tapi mereka tetap berkambang dan didapatkan di mana saja di seluruh dunia. Ini kemungkinan karena do’a Rasulallah saw kepada siti Fatimah putri beliau dan sayyidina Ali ra di saat pernikahan mereka yang sangat sederhana. Doa Nabi saw adalah,”Semoga Allah memberkahi kalian berdua, memberkahi apa yang ada pada kalian berdua, membuat kalian berbahagia dan mengeluarkan dari kalian keturunan yang banyak dan baik”.

     Mereka adalah Ahlul-Bait. Dalam bahasa ahlu artinya ahli, penghuni, keluarga, famili atau penduduk. Sedang bait artinya rumah. Jadi ahlul bait adalah penghuni atau keluarga rumah. Dalam tradisi Islam ahlul bait artinya keluarga atau sanak famili Rasulallah saw yang memiliki tali kekeluargaan dengan beliau. Banyak terjadi perbedaan penafsiran, ada yang menafsirkan ahlul bait itu adalah lima keluarga Nabi saw yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan beliau yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husen dan beliau sendiri. Ada lagi yang menafsirkan ahlul bait adalah keluarga Nabi saw dalam arti luas, meliputi istri-istri dan cucu-cucunya, hingga terkadang ada yang memasukkan mertua-mertua dan menantu-menantunya. Mereka, Ahlul-Bait, adalah anggota keluarga Nabi saw yang dalam hadits disebutkan haram menerima zakat.

     Mereka diumpamakan seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang kelangit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Allah. Sayangnya, banyak pula diantara mereka yang tidak bisa mempertahankan keteguhan akarnya sehingga banyak yang berobah menjadi pohon yang merana, tidak tegak, dan tidak menumbuhkan buah yang layak.
Wallahua’lam


Oleh : Hasan Husein Assagaf (hasanalsaggaf.wordpress.com)

12 Nov 2012

BALASAN PEMBUNUHAN HUSAIN BIN ALI BIN ABI THALIB




بِسْÙ…ِ اللهِ الرَّØ­ْمنِ الرَّØ­ِيم

Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah cucu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, yang mati dibunuh oleh para musuhnya di Padang Karbala. Semua orang yang ikut andil membunuh beliau mendapat hukuman dari Allah subhaanahu wata’aala, baik di dunia maupun di akhirat. Ada yang dibutakan matanya, ada yang mukanya menjadi hitam, ada yang terbunuh, dan ada yang tiba-tiba kehilangan kekuasaannya, dan lain-lain.

Abdullah bin Husain merupakan orang yang mendapat siksaan berupa haus yang sangat menyiksa. Ketika Imam Husain hendak mengambil air minum di Sungai Eufrat, Abdullah bin Husain mencegahnya sambil berkata, “Hai Husain, tidakkah kamu lihat air yang sejernih ini? Demi Allah, kamu tidak akan dapat meminum airnya sampai mati kehausan.”

Mendengar hal itu, Imam Husain berdoa, “Ya Allah, matikan ia dalam keadaan kehausan.”

Saat menghadapi sakaratul maut, Abdullah bin Husain merasakan dahaga yang tiada tara. Sekian banyak air yang dimasukkan ke perutnya tidak ada artinya sama sekali. Akhirnya dia mati dalam keadaan kehausan.

Wazaghah juga disiksa oleh rasa haus selama hidupnya. Anehnya, dia merasa panas di bagian perut tapi merasa dingin di bagian punggung. Dia selalu duduk dikelilingi kipas, serta bara api. Setiap saat dia selalu berteriak, “Berikan aku minum!” Pada akhirnya perut Wazaghah membesar seperti perut unta, dan rasa hausnya tidak kunjung hilang.

Seorang tua yang ikut dalam pembunuhan Husain mengatakan, “Setiap orang yang terlibat dalam pembunuhan Husain bin Ali, semuanya mati terkena musibah. Aku juga ikut dalam pembunuhan tersebut, namun selamat.”

Setelah berkata demikian, orang tua tersebut bangkit untuk memperbaiki lampu minyaknya. Tiba-tiba api lampu itu berkobar dan menyambar tubuhnya. Dia mati dalam kondisi mengerikan.

Orang yang menggantungkan kepala Imam Husain di pelana kudanya mendapatkan hukuman yang lain lagi. Setelah beberapa hari, wajah orang tersebut berubah menjadi hitam pekat seperti aspal.

Seseorang bertanya pada orang tersebut, “Apakah yang menyebabkan wajah Anda menjadi hitam? Padahala dulu Anda termasuk lelaki tampan.”
Orang itu menjawab, “Waktu aku menggantungkan kepala Husain di belakang pelana kudaku, malam harinya aku didatangi dua sosok manusia. Mereka menyeret lenganku sampai tepi jurang yang penuh dengan api. Keduanya mendorongku ke dalam kobaran api itu hingga wajahku jadi berubah seperti ini.”

Tidak berapa lama, dia mati dalam kondisi sangat mengerikan.

Sumber :
http://antares-islamicscience.blogspot.com/2012/06/balasan-pembunuhan-husain-bin-ali-bin.html

Nama "Tuhan"pertama, Nabi Syith AS, Bahasa Arab Fushah, Masjid Pertama




Nama “tuhan” pertama

Nama “tuhan” pertama yang disembah oleh manusia selain Allah subhaanahu wata’aala adalah Wadd.

Allah berfirman:
Dan mereka (kaum Nuh yang kafir) berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaguts, Ya’uq dan Nasr.” (Nuh: 23)

Ibnu Hatim meriwayatkan, dari Urwah bin Zubair, bahwa Wadd, Suwa’, Yaguts, Ya’uq dan Nasr sebenarnya merupakan anak-anak Nabi Adam ‘alaihissalam, dan Wadd adalah yang tertua dan yang paling berbakti di antara mereka semua. Mereka semua adalah muslim yang shaleh yang memiliki pengikut yang setia dan taat.

Ibnu Jarir meriwayatkan dalam kitab tafsirnya, dari Ibnu Humaid, dari Mihran, dari Sufyan, dari Musa, dari Muhammad bin Qais, bahwa setelah mereka meninggal dunia, para pengikutnya membuat patung-patung orang shaleh tersebut untuk mengingat keshalehan mereka supaya bisa lebih memberi semangat dalam beribadah. Namun seiring bergantinya generasi, patung-patung tersebut kemudian dijadikan sesembahan, dan ilmu tauhid pun berangsur ditinggalkan.


Seth (Nabi Syith AS)

Diriwayatkan dari Abu Dzar, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang bersabda:
Sesungguhnya Allah menurunkan 104 shahifah (lembaran suci, yakni selain empat Kitab Suci pada empat Rasul). Sebanyak 50 shahifah diberikan kepada Seth.

Seth adalah manusia yang diberi tanggung jawab kenabian setelah Nabi Adam ‘alaihissalam. Seth bermakna “karunia dari Allah”. Adam dan Hawa menamainya demikian karena mereka dikaruniai Seth setelah anak mereka, Habil, meninggal (dibunuh oleh Qabil).


Bahasa Arab fushah

Orang-orang Arab yang hidup sebelum zaman Nabi Ismail bin Ibrahim ‘alaihissalam disebut Arab Aribah, di antaranya Kaum Ad, Tsamud, Jurhum, Thasm, Jadis, Amim, Madyan, Imlaq, Abil, Jasim, Qahtan, Abu Yaqtun, dll. Sedangkan yang terlahir dari Nabi Ismail ‘alaihissalam disebut Arab Musta’ribah.

Nabi Ismail ‘alaihissalam adalah orang pertama yang menggunakan bahasa Arab fushah. Beliau mengambil dasar bahasanya dari kaum Jurhum, kaum yang pernah ditemui ibundanya, Siti Hajar, di Tanah Haram. Namun, Nabi Ismail ‘alaihissalam mendapat petunjuk langsung dari Allah hingga bahasanya benar-benar fasih. Bahasa inilah yang kemudian juga digunakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Bahasa Arab fushah adalah bahasa Arab yang terdapat dalam Al-Quran dan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.


Masjid Pertama

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Sulaiman bin Mahran Al-A’masy, dari Ibrahim bin Yazid At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Dzar, ia berkata:
Aku pernah bertanya pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, masjid manakah yang pertama kali didirikan?”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Masjidil Haram.”


Masjidil Haram
Lalu aku bertanya lagi, “Kemudian setelah itu masjid apa?”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Masjid Baitul Maqdis.”
Aku bertanya lagi, “Berapa tahunkah keduanya berselang?”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, “40 tahun.”
Aku bertanya lagi, “Kemudian setelah itu masjid apa lagi?”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kemudian di manapun kamu memasuki waktu shalat, shalatlah, karena semua tempat adalah masjid (yakni tempat bersujud).”


Masjid Baitul Maqdis
Menurut versi ahlul alkitab, orang yang mendirikan Masjidil Aqsa adalah Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, yang mereka sebut dengan nama Masjid Elia, yaitu Masjid Baitul Maqdis.
Nabi Ya’qub ‘alaihissalam mendirikan Masjidil Aqsa setelah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Nabi Ismail ‘alaihissalam mendirikan Masjidil Haram.
[Nama lain Nabi Ya’qub ‘alaihissalam adalah Israel. Nama alias tersebut kemudian dijadikan nisbat untuk keturunannya, yaitu Bani Israil.]

Nabi Jirjis AS




Pada zaman dahulu ada seorang raja zhalim penyembah berhala, bernama Darriyan. Seluruh rakyatnya diperintahkan untuk menyembah patung-patung miliknya. Rakyat yang tidak patuh akan dilemparkan ke dalam api besar. Sudah banyak rakyat yang menjadi korban kekejamannya.

Allah subhaanahu wata’aala kemudian mengutus utusannya pada negeri tempat raja zhalim ini. Nabi yang diutus Allah adalah Jirjis bin Qulthin. Beliau diutus untuk menghancurkan angkara murka yang dilakukan Darriyan.

Suatu ketika Nabi Jirjis ‘alaihissalam bertemu dengan Darriyan. Nabi Jirjis ‘alaihissalam berkata dengan tenang, “Mengapa kamu tunduk menyembah berhala yang tidak dapat mendengar, melihat dan tidak dapat memberi kekayaan kepadamu?”
Darriyan menjawab, “Sesungguhnya harta dan tahta kerajaan, serta seluruh nikmat kemegahan ini kuperoleh sejak aku menyembah berhala-berhala itu. Dan aku tidak melihat kesenangan pada dirimu sebagai hasil penyembahanmu pada Tuhan yang engkau agung-agungkan itu.”
Nabi Jirjis ‘alaihissalam membalas, “Sesungguhnya segala kenikmatan dan kesenangan duniawi akan sirna. Sedangkan nikmat akhirat yang Allah anugerahkan padaku akan langgeng.”

Setelah itu, mereka berdua berdebat makin sengit. Karena makin terdesak, emosi Darriyan bangkit. Saking murkanya pada Nabi Jirjis ‘alaihissalam, Darriyan memerintahkan pengawalnya untuk menyiksa beliau. Utusan Allah tersebut kemudian disiram dengan air mendidih yang dicampuri dedaunan sehingga kulitnya melepuh. Daging beliau kemudian diiris-iris sehingga tulangnya terlihat. Nabi Jirjis ‘alaihissalam pun wafat.

Namun, dengan kekuasaan Allah, Nabi Jirjis ‘alaihissalam bangkit kembali dengan rupa yang lebih menawan dibanding sebelumnya.

Melihat kejadian aneh ini, Darriyan kemudian memerintahkan pengawalnya untuk membawa enam pasak besi. Dua kaki Nabi Jirjis ‘alaihissalam diikat dan direntangkan, lalu keenam pasak tersebut ditancapkan pada tubuh beliau. Nabi Jirjis ‘alaihissalam pun wafat kembali dengan mengenaskan. Namun, Allah kemudian mengutus malaikat Jibril untuk mencabuti pasak tersebut. Nabi Jirjis ‘alaihissalam pun hidup kembali.

“Wahai yang zhalim, katakanlah tidak ada Tuhan selain Allah!” teriak Nabi Jirjis ‘alaihissalam pada Darriyan.

Darriyan semakin murka. Ia memerintahkan pengawalnya untuk melemparkan Nabi Jirjis ‘alaihissalam ke belanga besar dengan air bergolak. Nabi Jirjis ‘alaihissalam direbus dalam belanga tersebut. Lagi, Nabi Jirjis ‘alaihissalam wafat. Namun dengan izin Allah, beliau hidup kembali.

Sang raja zhalim Darriyan kemudian terus menerus menyiksa Nabi Jirjis ‘alaihissalam dengan siksaan yang beragam hingga 70 kali, bahkan menurut sebagian kitab hingga 100 kali. Namun setiap beliau wafat, beliau dihidupkan kembali oleh Allah subhaanahu wata’aala.

Setelah kewalahan dan kehabisan akal, Darriyan merayu, “Jirjis, jika kau menaatiku, aku akan menaatimu. Sembahlah berhalaku sekali saja, dan aku akan menyembah Tuhanmu. Bagaimana?”

Nabi Jirjis ‘alaihissalam lama tidak menyahut, sampai-sampai ada seorang lelaki yang menyangka sang nabi akan menerima tawaran itu.

Darriyan menyambung, “Aku telah berkali-kali menyiksamu dengan berbagai siksaan. Sekarang marilah ke rumah untuk menghilangkan keletihanmu malam ini.”

Nabi Jirjis ‘alaihissalam kemudian mengikuti Darriyan menuju rumah, namun bukan untuk menerima tawaran tadi, melainkan untuk mencari cara mengislamkan raja zhalim tersebut.

Di rumah Darriyan, Nabi Jirjis ‘alaihissalam semalam suntuk menunaikan shalat dan membaca Kitab Zabur. Bacaannya malam itu meresap ke hati sang permaisuri. Istri Darriyan itu menangis, kemudian secara diam-diam menyatakan masuk Islam.

Pagi harinya, Darriyan sekali lagi menyuruh Nabi Jirjis ‘alaihissalam sujud pada berhalanya. Namun beliau menolak keras. Akhirnya beliau dibawa ke sebuah gubuk milik seorang nenek pikun yang tinggal bersama putranya yang buta, tuli, dan bisu. Di gubuk itulah beliau dipenjara tanpa diberi makan dan minum.

Suatu hari, ketika merasa lapar, Nabi Jirjis ‘alaihissalam berdoa pada Allah. Dengan izin Allah, tiba-tiba sebatang kayu tiang rumah tumbuh, menghijau, dan berbuah. Menyaksikan hal yang menakjubkan tersebut, sang nenek memohon kepada Nabi Jirjis ‘alaihissalam untuk berdoa pada Allah supaya menyembuhkan putranya. Sang nabi pun memenuhi permintaan tersebut. Putra sang nenek tersebut kemudian sembuh dan memeluk Islam.

Nabi Jirjis ‘alaihissalam berkata, “Nak, pergilah ke tempat-tempat berhala raja. Sampaikan pada mereka bahwa Jirjis mengundang mereka.”

Sang anak berangkat. Setelah sampai, ia menyampaikan undangan Nabi Jirjis ‘alaihissalam pada 70 berhala tersebut. Dengan izin Allah, patung-patung itu mencabut diri dari tempatnya dan berjalan menuju tempat Nabi Jirjis ‘alaihissalam. Setelah patung-patung itu tiba di halaman rumah, Nabi Jirjis ‘alaihissalam memberi isyarat kepada Bumi dengan menjejakkan kakinya. Bumi kemudian terbelah menelan semua berhala Darriyan.

Sang permaisuri yang menyaksikan kejadian luar biasa tersebut kemudian tampil di panggung istana dan berkata, “Wahai penduduk negeriku, sayangilah jiwa kalian. Segeralah kalian masuk Islam. Percayalah, Jirjis adalah seorang nabi yang diutus Tuhan untuk kita.”

Sang raja menjadi murka dan menatap istrinya, “Sungguh, sejak 70 tahun aku menyaksikan banyak sekali mukjizat atau keajaiban, tapi aku tidak pernah masuk Islam. Namun mengapa engkau masuk Islam hanya karena melihat satu mukjizat saja, wahai istriku?”
Sang permaisuri menjawab, “Yang demikian itu semata-mata karena kedurjanaan dan kezhalimanmu belaka. Itulah kemalanganmu. Sedangkan bagiku, ini adalah keberuntunganku.”

Sang permaisuri kemudian dibunuh oleh Darriyan dengan sangat kejam.

Menyaksikan kejadian itu, Nabi Jirjis ‘alaihissalam berdoa, “Ya Allah, 70 tahun hamba menanggung siksaan kaum kafir, sehingga hamba kehilangan daya. Maka anugerahilah hamba mati syahid.”

Seusai berdoa, Nabi Jirjis ‘alaihissalam melihat nyala api turun dari langit kepada para pengikut raja. Bersamaan dengan itu, orang-orang kafir itu mengangkat pedang membunuh beliau. Namun, tak lama kemudian mereka pun, termasuk Darriyan, mati ditelan api.

Sumber :

http://antares-islamicscience.blogspot.com/2012/06/sekilas-kisah-nabi-jirjis-alaihissalam.html

5 Nov 2012

Menjelang Kelahiran Sang Rasulullah SAW




Muhammad adalah keturunan Nabi Ismail -nabi dengan 12 putra yang menjadi cikal bakal bangsa Arab. Para nenek moyang Muhammad adalah penjaga Baitullah sekaligus pemimpin masyarakat di Mekah, tempat yang menjadi tujuan bangsa Arab dari berbagai penjuru untuk berziarah setahun sekali. Tradisi ziarah yang sekarang, di masa Islam, menjadi ibadah haji. Salah seorang yang menonjol adalah Qusay yang hidup sekitar abad kelima Masehi.

Tugas Qusay sebagai penjaga ka’bah adalah memegang kunci (‘hijabah’), mengangkat panglima perang dengan memberikan bendera simbol yang dipegangnya (‘liwa’), menerima tamu (‘wifadah’) serta menyediakan minum bagi para peziarah (‘siqayah’).

Ketika lanjut usia, Qusay menyerahkan mandat terhormat itu pada pada anak tertuanya, Abdud-Dar. Namun anak keduanya, Abdul Manaf, lebih disegani warga. Anak Abdul Manaf adalah Muthalib, serta si kembar siam Hasyim dan Abdu Syam yang harus dipisah dengan pisau. Darah tumpah saat pemisahan mereka, diyakini orang Arab sebagai pertanda keturunan mereka bakal berseteru.

Anak-anak Abdul Manaf mencoba merebut hak menjaga Baitullah dari anak-anak Abdud-Dar yang kurang berwibawa di masyarakat. Pertikaian senjata nyaris terjadi. Kompromi disepakati. Separuh hak, yakni menerima tamu dan menyediakan minum, diberikan pada anak-anak Abdul Manaf. Hasyim yang dipercaya memegang amanat tersebut.

Anak Abdu Syam, Umayah, mencoba merebut mandat itu. Hakim memutuskan bahwa hak tersebut tetap pada Hasyim. Umayah, sesuai perjanjian, dipaksa meninggalkan Makkah. Keturunan Umayah -seperti Abu Sofyan maupun Muawiyah- kelak memang bermusuhan dengan keturunan Hasyim.

Hasyim lalu menikahi Salma binti Amr dari Bani Khazraj -perempuan sangat terhormat di Yatsrib atau Madinah. Mereka berputra Syaibah (yang berarti uban) yang di masa tuanya dikenal sebagai Abdul Muthalib -kakek Muhammad. Inilah ikatan kuat Muhammad dengan Madinah, kota yang dipilihnya sebagai tempat hijrah saat dimusuhi warga Mekah. Syaibah tinggal di Madinah sampai Muthalib -yang menggantikan Hasyim karena wafat-menjemputnya untuk dibawa ke Mekah. Warga Mekah sempat menyangka Syaibah sebagai budak Muthalib, maka ia dipanggil dengan sebutan Abdul Muthalib.

Abdul Muthalib mewarisi kehormatan menjaga Baitullah dan memimpin masyarakatnya. Namanya semakin menjulang setelah ia dan anaknya, Harits, berhasil menggali dan menemukan kembali sumur Zamzam yang telah lama hilang. Namun ia juga sempat berbuat fatal: berjanji akan mengorbankan (menyembelih) seorang anaknya bila ia dikaruniai 10 anak. Begitu mempunyai 10 anak, maka ia hendak melaksanakan janjinya. Nama sepuluh anaknya dia undi (‘kidah’) di depan arca Hubal. Abdullah -ayah Muhammad-yang terpilih.

Masyarakat menentang rencana Abdul Muthalib. Mereka menyarankannya agar menghubungi perempuan ahli nujum. Ahli nujum tersebut mengatakan bahwa pengorbanan itu boleh diganti dengan unta asalkan nama unta dan Abdullah diundi. Mula-mula sepuluh unta yang dipertaruhkan. Namun tetap Abdullah yang terpilih oleh undian. Jumlah unta terus ditambah sepuluh demi sepuluh. Baru setelah seratus unta, untalah yang keluar dalam undian, meskipun itu diulang tiga kali. Abdullah selamat.

Peristiwa besar yang terjadi di masa Abdul Muthalib adalah rencana penghancuran Ka’bah. Seorang panglima perang Kerajaan Habsyi (kini Ethiopia) yang beragama Nasrani, Abrahah, mengangkat diri sebagai Gubernur Yaman setelah ia menghancurkan Kerajaan Yahudi di wilayah itu. Ia terganggu dengan reputasi Mekah yang menjadi tempat ziarah orang-orang Arab. Ia membangun Ka’bah baru dan megah di Yaman, serta akan menghancurkan Ka’bah di Mekah. Abrahah mengerahkan pasukan gajahnya untuk menyerbu Mekah.

Mendekati Mekah, Abrahah menugasi pembantunya -Hunata-untuk menemui Abdul Muthalib. Hunata dan Abdul Muthalib menemui Abrahah yang berjanji tak akan mengganggu warga bila mereka dibiarkan menghancurkan Baitullah. Abdul Muthalib pasrah. Menjelang penghancuran Ka’bah terjadilah petaka tersebut. Qur’an menyebut peristiwa yang menewaskan Abrahah dan pasukannya dalam Surat Al-Fil. “Dan Dia mengirimkan kepada mereka “Toiron Ababil”, yang melempari mereka dengan batu-batu cadas yang terbakar, maka Dia jadikan mereka bagai daun dimakan ulat”.



Pendapat umum menyebut “Toiron Ababil” sebagai “Burung Ababil” atau “Burung yang berbondong-bondong”. Buku “Sejarah Hidup Muhammad” yang ditulis Muhammad Husain Haekal mengemukakannya sebagai wabah kuman cacar (mungkin maksudnya wabah Sampar atau Anthrax -penyakit serupa yang menewaskan sepertiga warga Eropa dan Timur Tengah di abad 14). Namun ada pula analisa yang menyebut pada tahun-tahun itu memang terjadi hujan meteor -hujan batu panas yang berjatuhan atau ‘terbang’ dari langit. Wallahua’lam. Yang pasti masa tersebut dikenal sebagai Tahun Gajah yang juga merupakan tahun kelahiran Muhammad.

Pada masa itu, Abdullah putra Abdul Muthalib telah menikahi Aminah. Ia kemudian pergi berbisnis ke Syria. Dalam perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan meninggal di Madinah. Muhammad lahir setelah ayahnya meninggal. Hari kelahirannya dipertentangkan orang. Namun, pendapat Ibn Ishaq dan kawan-kawan yang paling banyak diyakini masyarakat: yakni bahwa Muhammad dilahirkan pada 12 Rabiul Awal. Orientalis Caussin de Perceval dalam ‘Essai sur L’Histoire des Arabes’ yang dikutip Haekal menyebut masa kelahiran Muhammad adalah Agustus 570 Masehi. Ia dilahirkan di rumah kakeknya -tempat yang kini tak jauh dari Masjidil Haram.

Bayi itu dibawa Abdul Muthalib ke depan Ka’bah dan diberi nama Muhammad yang berarti “terpuji”. Suatu nama yang tak lazim pada masa itu. Konon, Abdul Muthalib sempat hendak memberi nama bayi itu Qustam -serupa nama anaknya yang telah meninggal. Namun Aminah -berdasarkan ilham-mengusulkan nama Muhammad itu.

sumber : www.pesantren.net