CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

27 Des 2014

Kisah Waliyullah Syaikh Ul Akbar Menyedekahkan Hidupnya


Mawlana Syaikh Nazim Q berkata:
Aku telah mendengar dari Grandsyaikh Abdullah kisah ini yang menerangkan tentang kekuatan yang hakiki dari para Awliya. Beliau mengisahkan tentang keajaiban-keajaiban (karamah seorang Wali Allah, penerj.) yang telah dilakukan oleh Syaikh Muhyiddin Ibnu al-Arabi; as-Syaikh al-Akbar (seorang Syaikh Besar atau seorang Syaikh Agung, penerj.). Didalam buku-buku yang ditulis oleh Syaikh Ibnu al-Arabi, beliau menulis banyak ramalan-ramalan akan kejadian-kejadian yang akan terjadi dimasa depan. Salah satunya, beliau mengatakan: “Ketika ‘sin’ memasuki ‘syin’ lalu akan munculah makam dari Syaikh Muhyiddin.” Setelah beliau dibunuh karena mengatakan kepada masyarakat disana: “tuhan yang kalian sembah itu ada dibawah telapak kakiku,” bertahun-tahun berlalu dengan ketidak jelasan dimana sesungguhnya makam beliau berada, sampai ketika Sultan Selim (dari Daulah Turki Utsmaniy, penerj.) menaklukan negeri Syam (sekarang ini Damaskus – Syiria, penerj.). Selim (huruf awalnya adalah huruf ‘siin’, penerj.) memasuki Syam (huruf awalnya adalah huruf ‘syin’, penerj.) sebagaimana yang telah diramalkan. 

Dihari Jumat pertama setelah penaklukan Sultan Selim memerintahkan untuk dipersiapkan keperluan baliau untuk mandi, dan memerintahkan tak boleh ada seorangpun yang boleh berada di tempat mandinya Sultan. Beliau membuka pakaian, dan memasuki ruang mandi ketika itu beliau melihat seseorang sedang duduk di bak mandi. Sultan langsung marah dan berkata, “Siapa itu?” datanglah jawaban, “Wahai Sultan, mari kesini dan bawakan sabun dan lap pembersih badan dan bersihkan punggungku.” Sultan membawakan apa yang diperintahkan (lihat bagaimana kekuasaan seorang Wali Allah yang dengan ringan saja bisa memerintah seorang Sultan Penakluk, penerj.), sambil berfikir: “Orang ini pasti bukan orang sembarangan.” (karena orang itu bisa berada di kamar mandi Sultan yang pastinya daerah itu sudah ‘steril’ dan dalam pengamanan yang sangat ketat, penerj.). Lalu orang itu bertanya, “Wahai Sultan, tahukah kamu siapa diriku?” “Demi Allah, katakana kepadaku, siapa dirimu?” jawab Sultan. “Aku Muhyiddin Ibnu Arabi,” kata orang itu. Langsung saja Sultan mencium tangan dan kaki beliau (lihat bagaimana seorang Sultan begitu menghormati seorang Wali Allah, penerj.). Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi lalu meminta Sultan untuk menemukan makam beliau dan membangun sebuah kubah dan masjid di tempat itu. “Bagaimana aku bisa mengetahui letak makam itu?” Tanya Sultan. Langsung Syaikh menjawab, “Sebelum waktu shalat Fajar (shalat Subuh, penerj.) naiklah keatas menara dan memandanglah kea rah Jabal Qasyun. Kau akan melihat satu tiang cahaya yang menjulang hingga ke angkasa.”

Sultan melaksanakan perintah itu dan memerintahkan para pekerja untuk menggali pada titik di tempat itu. Mereka menemui jasad Syaikh Muhyiddin masih utuh dalam kain kafan beliau. Lalu dibawalah orang tertua yang masih hidup di Syam untuk menunjukkan dimana tempat ketika Syaikh Muhyiddin mengatakan: “tuhan yang kalian sembah itu ada dibawah telapak kakiku,”. Setelah menggali di tempat itu mereka menemukan dua buah belanga besar terbuat dari perak yang berisi penuh dengan emas. Emas itu digunakan untuk membangun masjid dan juga untuk memberi makan para fakir miskin tiga kali sehari. Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi pernah berkata: “Siapa saja yang minum dan makan dari sedekahku , bahkan kalau dia adalah seorang munafik, dia pada akhirnya akan menjadi seorang mukmin sejati.” Sekarang ini bahkan orang-orang kaya saja ikut datang di hari Jumat untuk menikmati hidangan (sup) yang disajikan, sambil berharap untuk mendapat balasan kebaikan tersebut. Emas itu adalah ‘uang darah’ dari Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi (maksudnya adalah bahwa beliau mengorbankan jiwa beliau demi untuk kebaikan umat, penerj.). Beliau memberikan hidupnya untuk sedekah itu. 

Ada begitu banyak keajaiban-keajaiban yang dilakukan para Awliya (Wali Allah) untuk umat. Hal ini menunjukkan indikasi bukti dan kekuasaan Nabi Muhammad SAW. Kalian sekarang tak akan bisa menemukan seorang Wali didalam agama manapun kecuali dalam Islam. Aku (Mawlana Syaikh Nazim ketika itu mengatakan, penerj.) siap untuk menemui siapapun, jika ada seseorang yang mengatakan bahwa ada seorang Wali (Saint) dengan segala keajaiban-keajaibannya yang berasal dari agama lain. Aku adalah seorang yang paling lemah dalam agama ini, tapi aku siap untuk menghancurkan segala keajaiban-keajaiban dari seseorang yang mengaku Wali (Saint) tersebut, dengan menggunakan kekuatan dari Grandsyaikh ku. Kukatakan hal ini kepada seluruh dunia.
Catatan penerj.: dengan mangkatnya Mawlana Syaikh Nazim meninggalkan kehidupan dunia ini, menurut hemat saya, ucapan beliau tersebut tetap berlaku, yaitu dengan adanya penerus beliau sebagai Mursyid di Thariqah Naqsybandiy Aliyyah, yaitu Mawlana Syaikh Muhammad Adil an-Naqsybandiy al-Haqqani al-Qubrusyi Q.

Kisah Teladan, Pertobatan Seorang Syaikh Waliyullah kepada Syaikh Abdul Qodir Jailany



Suatu malam, lima puluh syekh terkemuka pada zamannya di Baghdad berkumpul di rumah Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Termasuk diantaranya Hafizh Abu al-Izz Abdul Mughits ibn Harb, yang menuturkan kisah berikut:

Malam itu Syekh (yakni Syaikh Abdul Qadir al-Jailani RA) tengah mendapatkan ilham. Mutiara hikmah berhamburan dari mulutnya. Kami benar-benar merasa tenang dan khusyuk, perasaan yang tak pernah kami alami sebelumnya. Tiba-tiba Syekh menunjuk ke arah kakinya dan berkata, “Kaki ini lebih tinggi daripada leher semua wali”. Tak lama kemudian, salah seorang muridnya, Syekh Ali ibn al-Hili merunduk ke kaki Syekh. Ditempelkannya kaki Syekh itu ke lehernya. Lalu kami semua mengikutinya.

Diantara hadirin lainnya, yakni Syekh Abu Sa’id al-Kaylawi, berkata: Ketika Syekh berkata, “Kaki ini lebih tinggi daripada leher semua wali”, kurasakan kebenaran Allah mewujud dalam hatiku. Aku melihat semua wali di dunia berdiri dihadapannya, menutupi seluruh penglihatanku. Semua yang masih hidup hadir secara jasmani, semua wali yang sudah mati hadir secara ruhani. Langit dipenuhi malaikat dan makhluk ghaib lainnya. Sekelompok malaikat turun dan memberi beliau jubah Rasulullah SAW. Ketika kami bersujud and merendahkan kepala, kami mendengar suara tanpa bunyi berkata, “Wahai Penguasa Zaman dan Pembimbing Agama, wahai Pengamal Firman Allah Yang Maha Pengasih, Pewaris Kitab Suci, Penerus Rasulullah SAW, wahai orang yang diserahkan kepadanya kekuasaan langit dan bumi, yang doanya dikabulkan, yang jika dia meminta hujan maka hujan akan turun dan air susu mengalir dari payudara yang telah kering, wahai yang dicintai dan dimuliakan seluruh makhluk…”. 

Usai Syekh Abdul Qadir menyampaikan ucapan itu, bukan hanya orang-orang yang ada dihadapannya saja , melainkan semua ulama merasakan bertambahnya ilmu mereka, kebijaksanaan mereka, cahaya Ilahi dalam hati mereka, dan tingkatan ruhani mereka. 

Ketika kejadian ini tersiar luas di seluruh dunia Islam, semua syekh dan guru bersujud untuk menghormati dan menerima kepemimpinan beliau. Orang-orang yang berdosa datang kepada beliau untuk bertobat dan disucikan kembali. Para bajingan, pencuri, dan penjahat datang kepadanya lalu menjadi pengikutnya. Dia menjadi pusat – kutub ruhani. 

Tiga ratus tiga belas wali pada zaman itu, termasuk diantaranya tujuh belas yang tinggal di Kota Suci Makkah, enam puluh di Irak, empat puluh di Iran, dua puluh di Mesir, tiga puluh di Damaskus, sebelas di Abbissinia, tujuh di Ceylon, dua puluh tujuh di Barat, empat puluh tujuh di daerah terpencil di Gunung Qaf, tujuh di kawasan Yajuj dan Majuj, dan dua puluh empat di belahan dunia lainnya hingga di lautan, semuanya bersujud dengan patuh – kecuali satu orang Persia. 

Syekh Persia ini dikenal sangat tekun beribadah. Dia mendirikan shalat lebih banyak daripada siapapun dan terus menerus berpuasa. Dia sering beribadah haji ke Makkah. Dia sangat mendambakan ridho Allah. Selama lima puluh tahun dia mengasingkan diri bersama empat ratus orang muridnya, yang dilatihnya siang dan malam untuk menyempurnakan diri. Dia memiliki banyak ilmu dan karamah. Ketika ucapan Syekh Abdul Qadir sampai kepadanya, dia tengah menunaikan ibadah haji bersama murid-muridnya di Kota Suci Makkah. Entah karena meremehkan Syekh Abdul Qadir atau entah karena mengagungkan dirinya sendiri, dia menolak bersujud untuk menghormati seruan Syekh Abdul Qadir. Malam harinya dia bermimpi meninggalkan Makkah menuju Bizantium dan disana dia menyembah berhala. Karena sedih mendapatkan impian seperti itu, dia kumpulkan semua murid-muridnya dan mengatakan bahwa dia harus pergi ke Bizantium untuk menyingkap makna mimpinya. Mereka mengikutinya dengan setia.

Ketika memasuki kota Bizantium, syekh melihat seorang gadis cantik berdiri di balkon. Rambut gadis itu hitam sepekat malam, matanya laksana dua purnama dengan alis mata tebal melengkung bagaikan bulan sabit kembar, parasnya memikat para pecinta. Bibirnya yang berwarna delima tampak basah dan lembut, membuat semua orang yang melihatnya merasa kehausan. Mulutnya mungil, seolah-olah kata-katapun akan tersendat. Pinggangnya yang ramping dilingkari sabuk yang indah. Melihat gadis itu, hati syekh terbakar birahi, lekat-lekat dia menatapnya. Hasratnya membara meruapi rongga dadanya. Karena cintanya kepada gadis itu, agama dan iman tersingkir dari hatinya. Kecantikan gadis itu benar-benar menjadi pemuas nafsu iblis. 

Syekh berdiri di depan pintu rumah gadis kafir itu dengan mulut terbuka seraya menatap lekat-lekat kearah balkon, berharap dapat melihatnya lagi. Pikirannya terkoyak. Puasa yang dilakonimya bertahun-tahun dan menguruskan tubuhnya tak dapat membandingi derita yang dialaminya kini. Begitu pikirnya. Dia kerahkan segenap pengetahuan dan akalnya untuk memahami keadaanya ini, namun semua pengetahuan telah sirna meninggalkan dirinya. Dengan rasa takut dan segan, murid-muridnya memohon kepadanya untuk pergi dari tempat itu, bertobat dan berdoa. Syekh menjawab bahwa sekiranya dia harus bertobat, maka dia akan bertobat dari kebodohannya selama ini yang telah menyisihkan dunia dan kesenangannya hanya karena agama. Jika diharuskan berdoa, dia akan memohon kepada gadis itu daripada memohon kepada Allah. Ketika diperingatkan akan azab Allah dan neraka, dia bilang bahwa perpisahan dengan gadis yang dicintainya dan api cinta dalam hatinya dapat memadamkan tujuh neraka. Mereka berusaha keras membujuk syekh. Namun, melihat upaya mereka sia-sia, mereka pun meninggalkannya. 

Syekh itu berdiam sebulan suntuk di depan pintu rumah pelacur kafir itu. Debu menjadi kasurnya dan anak tangga menjadi bantalnya. Dia tidur di jalanan bersama anjing-anjing kudisan. Akhirnya si cantik kafir itu membukakan pintu dan berkata, “Hai orang tua yang mengaku sebagai syekh muslim, kau telah dimabuk kemusyrikan yang membuatmu melakukan kebodohan ini dijalan kafir”. Syekh berkata, “Akan kuserahkan bukan hanya agamaku, melainkan juga jiwaku asalkan aku dapat menyentuh bibirmu”. “Sungguh memalukan, kau orang tua budak nafsu. Betapa beraninya kau ingin menciumku sementara kau sudah nyaris masuk liang kubur. Pergilah! Tak sudi aku menyentuhmu”. 

Tanpa mempedulikan caci maki gadis itu, syekh tetap berdiam di depan pintu. Lalu perempuan itu turun lagi dan berkata kepadanya, “Jika kau sungguh-sungguh mencintaiku, kau harus keluar dari Islam, membakar al-Qur’an, menyembah berhala, dan minum arak”. Syekh berkata, “Aku tak dapat sepenuhnya meninggalkan Islam atau membakar al-Qur’an, tetapi aku bersedia minum arak demi kecantikanmu”. Gadis itu menjawab, “Kalau begitu, mari minum bersamaku, pasti kau akan mau melakukan permintaanku yang lainnya”. Ketika gadis itu menuangkan arak, hati dan pikiran syekh menyala-nyala. Dia mencoba mengingat al-Qur’an yang pernah dihafalnya, kitab-kitab yang pernah dibaca dan ditulisanya tentang Islam, namun tak ada sedikitpun yang diingatnya. Dalam keadaan mabuk dia berusaha menyentuh gadis itu. Namun, gadis itu menampiknya seraya berkata “Tidak, kecuali jika kau menjadi orang kafir sepertiku dan membakar kitab sucimu”. 

Dia turuti permintaan pelacur itu. Dilemparkannya al-Qur’an dan jubah sufinya kedalam api, lalu dia menyembah berhala. Sekali lagi dia berupaya menyentuh gadis itu. Namun sekali lagi gadis itu menolaknya “Sungguh kau tua bangka budak nafsu yang tak tahu diri. Kau sama sekali tak punya harta, bukan pula orang yang tenar. Bagaimana mungkin gadis sepertiku mau melayani pengemis jorok sepertimu? Aku butuh perak, emas dan sutra. Karena kau tak punya apa-apa, enyah saja kau dari hadapanku!”

Waktu terus berlalu. Orang tua miskin itu masih saja berdiri didepan pintu rumah gadis itu. Akhirnya pada suatu hari gadis itu menyerahkan dirinya sambil berkata “Bayarlah aku, hai orang tua yang malang, dengan menjadi penggembala babi-babiku selama satu tahun”. Tanpa daya, syekh menjadi penggembala babi.

Berita sedih mengenai syekh yang tidak mau menghormati Syekh Abdul Qadir pun tersebar luas. Murid-muridnya yang meninggalkan dirinya telah tiba di Baghdad. Mereka berusaha menemui Syekh Abdul Qadir. Usai menceritakan keadaan guru mereka, Syekh Abdul Qadir berkata “Jika seseorang tidak tunduk dan menjadi seekor kambing bagi seorang penggembala maka dia akan menjadi penggembala sekumpulan babi. Ketahuilah bahwa setiap orang memiliki seribu babi, yakni seribu berhala dalam hatinya, yang hanya dapat diusir dengan ketundukan dan pertobatan”. Syekh juga memarahi mereka karena meninggalkan guru mereka dan memberitahukan bahwa mereka seharusnya ikut menjadi kafir demi guru mereka. Sahabat sejati adalah sahabat disaat suka maupun duka. Sahabat seperti itu pasti akan didekati semua orang. Kemudian Syekh berdoa bagi orang tua sesat itu dan meminta para muridnya untuk kembali ke Bizantium dan memberitahu guru mereka bahwa Syekh Abdul Qadir memintanya untuk kembali.

Murid-muridnya langsung pergi ke Bizantium. Sepanjang jalan mereka berdoa bagi guru mereka. Mereka berpuasa dan memohon kepada Allah untuk memberikan pahala mereka kepada guru mereka. Mereka bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan meminta syafaat Beliau SAW. Anak panah doa itu melesat dan mencapai sasaran. Ketika bertemu dengan orang tua itu, mereka melihatnya bercahaya ditengah kumpulan babi. Dan ketika diberitahukan bahwa Syekh Abdul Qadir memintanya menghadap, segera dia campakkan pakaian kekafiran. Air mata penyesalan menetes deras, dan dia mengangkat tangan ke langit untuk bersyukur. Seketika itu juga semua yang telah dilupakannya – al-Qur’an dan Rahasia Ilahi – kembali kepadanya. Kini dia terbebas dari kehinaan dan kebodohan. Setelah itu dia mandi, berwudlu dan mengenakan jubah sufinya, kemudian berangkat menuju Baghdad. 

Ketika peristiwa itu berlangsung, gadis kafir itu bermimpi melihat cahaya turun kepadanya dan mendengar suara berkata “Ikutilah syekhmu, anut agamanya. Jadilah debu di kakinya. Kau yang pernah kotor, jadilah sesuci dia. Kau telah menariknya ke jalanmu. Kini, masuklah ke jalannya”. Ketika bangkit dari tidur, dia merasakan perubahan dalam dirinya. Dia berlari menyusul syekh dan murid-muridnya, tanpa makan dan minum melewati lembah dan pegunungan. Akhirnya, ditengah-tengah padang sahara, gadis itu jatuh ke tanah. Dia berdoa “Wahai zat yang telah menciptakanku, ampuni aku, jangan hukum aku. Aku telah menentang agama dan jalan-Mu. Namun, kulakukan itu karena kebodohan, sebagaimana syekhku melakukannya karena kesombongan. Engkau telah mengampuninya. Kini, ampunilah aku. Aku tunduk dan menerima agama yang benar”. 

Allah memungkinkan syekh yang memang belum terlalu jauh, mendengar ucapannya sehingga dia dan murid-muridnya segera kembali dan mendapatinya tengah terbaring. Wanita itu berkata “Kau telah membuatku malu. Ajari aku Islam agar aku dapat bertemu dengan Tuhanku melalui agama ini”. Ketika syekh menjadi saksi atas keimanannya dan para muridnya menangis haru, wanita itu menghembuskan nafas terakhirnya. Wanita itu, yang tak lebih dari setetes air di samudera khayal, telah berpulang ke samudera sejati. Syekh lalu datang ke Baghdad dan menundukkan lehernya dengan penuh hormat di bawah kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

23 Des 2014

Kisah Sang Khalifah Diejek Lalat



Khalifah II Dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansur, hari itu benar-benar sedang jengkel. Seekor lalat terus mendekati wajahnya.

Usaha mengusir si lalat sudah dilakukan, tapi serangga mungil itu seperti justru ingin mengganggu. Terbang, berdenging, hinggap, terbang lagi, hinggap lagi.

Kemarahan sang khalifah memuncak. Bukan saja karena ia adalah seorang raja. Kala itu al-Mansur sedang memulai pertemuan dengan para menterinya.

Bagaimana mungkin makhluk sekelas lalat leluasa menempel di hidungnya, sedangkan para menterinya untuk berjarak semeter saja tak akan berani?

"Thok.. thok.. thok..." Terdengar suara pintu diketuk. Muqatil bin Sulaiman datang telat. Ulama ahli tafsir ini sengaja berkunjung ke istana memenuhi undangan raja. Kepakaran dan kecerdasannya yang membuat Muqatil bersahabat baik dengan khalifah, termasuk berkali-kali menjadi tamu istana.

Melihat kehadiran Muqatil, Khalifah al-Mansur langsung menodongnya dengan sebuah pertanyaan, “Kamu tahu, kenapa Tuhan menciptakan lalat sialan ini?"

Tanpa pikir panjang Muqatil menyahut; "Khalifahku yang mulia, Tuhan sengaja menciptakan lalat-lalat untuk menghinakan orang-orang angkuh dan congkak," demikian diceritakan Abu Hayyan dalam al-Imta wal Muanasah.

Jawaban spontan Muqatil sungguh di luar dugaan sang khalifah. Mulut al-Mansur tiba-tiba terkunci sangat rapat. Tatapannya terhenti. Hening. Tapi isi dadanya berdebar-debar.


Kisah Teladan, Seorang Waliyullah Mencintai Kebaikan Walaupun Sebesar Atom


Habib Umar Bin Hafidz:

Para Auliya Allah selalu mencintai kebaikan, meski sekecil atom sekalipun..

Pernah seorang ayah menyuruh anaknya untuk pergi ke pandai besi (haddad) untuk memperbaiki / menajamkan pisau yang akan di gunakan untuk menyembelih hewan korban di Idul Adha,.
Si Anak membawa pisau tsb kepada Waliyullah Al Habib Imam Abdullah Bin Alwi Al Haddad (shohibul Ratib Haddad), dan menjelaskan keinginan nya.
Imam Haddad tahu bahwa anak ini telah keliru datang padanya (karena beliau adalah ulama bukan tukang besi), tapi karena untuk kebaikan, beliau bersedia dan meminta anak itu untuk kembali esok hari.
Imam Haddad meminta bantuan salah satu muridnya untuk pergi membawa dan memperbaiki pisau itu ke pandai besi, sekaligus membayari ongkosnya.
Keesokan harinya anak itu kembali pada Imam Haddad dan mengambil pisau itu, dan imam Haddad menolak tidak menerima bayaran yang di tawarkan anak itu..
Anak itu kembali kepada ayahnya dan memberikan pisaunya serta mengatakan bahwa Al Haddad (pandai besi) menolak menerima bayaran..
Ayahnya heran, pandai besi mana yang tidak bersedia dibayar? Dia adalah Imam Al Haddad yang tinggal di Al Hawi! Jelas anaknya,
Ayahnya kaget sekali mendengar hal ini
"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun,
Aku menyuruhmu ke pasar mencari pandai besi bukan pergi ke seorang Waliyullah!".
Bergegas sang ayah pergi menghadap Imam Al Haddad untuk meminta maaf..
Dan Imam Al Haddad dengan tersenyum mengatakan, "tak mengapa, karena akupun mengharapkan dapat bagian balasan pahala dari hewan kurban yang anda sembelih".

اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ على سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ ، صَلاةً نَكونُ بِها مَحْبُوبِينَ لَكَ و مَحْبُوبِينَ لَهُ


Habib Umar Bin Hafidz, Jangan MendekatiNya Sendirian!


Sayyidil Habib Umar Bin Hafidz ,

Tentang Kebesaran dan Kemuliaan Allah dan Rasul Nya..
(diambil dari pelajaran Fajr pada tafsir Al-Fatihah):

Allah mengajarkan pada kita untuk tidak memanggil Nya sesuka hati, kita tidak mengatakan, 'Engkaulah yang aku sembah' melainkan kita katakan "Engkaulah yang kami sembah"
'Siapa anda sehingga berani berpikir mampu menghadapi Nya sendirian?'
Anda sendirian tidak akan dapat menyembah Nya seperti yang Allah inginkan, Dia sangat layak untuk disembah. Tetapi Jangan mendekati-Nya sendirian, melainkan mendekati-Nya bersama dengan Rasul-Nya dan Nabi serta hamba hamba Nya yang saleh. Jika Anda melakukannya, Anda lebih mungkin untuk mendatangi Nya dengan akhlak dan kerendahan hati dan lebih mungkin untuk mendapatkan penerimaan/penyambutan yang baik. Untuk alasan ini, Rasulullah ﷺ mengajarkan Sayyidina al-Hasan untuk berkata: "Pandulah aku bersama dengan orang-orang yang telah Engkau pandu". Dan untuk alasan yang sama kita di ajarkan untuk "membuka dan menutupi doa kita dengan sholawat pada Nabi". 

Salah satu orang saleh disini (tarim) akan menunggu di pintu masjid dan hanya mau masuk ketika ada orang lain masuk bersama nya, dia sadar dan tahu bahwa Allah sedang melihat hatinya dan dia tidak merasa layak masuk kecuali dia berada bersama orang beriman lainnya"

Adalah 'Adab' Dari seorang ulama besar di Tarim, ketika Nama Sang Kekasih di sebutkan, Rasulullah Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wasallam, dia akan 'bangkit berdiri' sembari mengirimkan sholawat dan salam padanya..
Juga di sebutkan bahwa jika di dalam sebuah rumah terdapat seseorang yang memakai / bernama Muhammad, rumah itu setiap hari akan didatangi Malaikat penebar Rahmat, bukan karena amalan atau 'alimnya penghuni rumah, tapi karena ada kemuliaan nama Muhammad didalamnya...

اللَّهُمَّ يا اللهُ يا بَصِيرُ صَلِّ على عَبْدِكَ و حَبِيبِكَ سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ البَصِيرُ و على آلِهِ و صَحْبِهِ و سَلِّمْ تَسْلِيماً و بِهِ بَصِّرْنِي بِكَ تَبْصِيراً

Kisah Teladan, Ketika Rasulullah SAW Berselisih Paham Dengan Aisyah, Ra


Habib Ali Al Jufri:
(Baitun Nabawi-rumah tangga Nabi)

Pada satu waktu Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wasallam, punya perbedaan pendapat dengan Sayyidah Aisyah, bukan masalah yang berhubungan dengan hati, tapi persoalan yang biasa terjadi dalam rumah tangga manusia, dan sebagai pembelajaran bagi umatnya bagaimana menempuh cara bijak ketika ada persoalan rumah tangga.. Sayyidah 'Aisyah marah. Maka Nabi
berkata, "bagaimana kalau kita memanggil ayahmu dan biarkan dia menilai atas persoalan kita?" 
Sayyidina Abu Bakr datang.
Nabi dengan bijak berkata kepada Sayyidah 'Aisha,' Anda ingin bicara lebih dulu atau saya bicara lebih dulu? '
Dan sayyidah aisyah berkata"Anda berbicaralah, tapi tidak mengatakan apa-apa selain kebenaran."
Mendengar pernyataan Sayyidah Aisyah ini membuat ayahnya marah besar, "Apakah Rasulullah pernah mengatakan apa-apa selain kebenaran?" Dan tak terkontrol lagi beliau Sayyidina Abu Bakr mengangkat tangannya untuk memukul putrinya, sambil mengatakan 'musuhmu adalah dirimu sendiri, bagaimana Kamu berani berkata tentang Nabi Allah dengan pernyataan seperti ini?, 
Mendapat kemarahan dan ancaman ayahnya, sayyidah Aisyah berlari dan bersembunyi di belakang Rasulullah. 
Sayyidah Aisyah sedang marah Dgn Nabi, namun dia bersembunyi di belakangnya.
Ada pesan dalam hal itu..

Meskipun dia dipengaruhi oleh emosinya, dalam hati sayyidah Aisyah tahu betapa lembut dan penuh rahmat-Nya..hati nabi

Seorang wanita ketika terancam bahaya, akan mencari perlindungan pada tempat yang aman, instingnya akan membawa dia pada orang yang di percaya atau dia cintai.. Dan sayyidah Aisyah melakukan hal tersebut, dan Nabi adalah sebaik baiknya manusia untuk hal tersebut.. 

Jadi, Sayyidah 'Aisyah bersembunyi di belakang Nabi (saw), dan Nabi berkata:"oh tidak Abu Bakar, kami tidak memanggil Anda di sini untuk ini, kami membawa Anda ke sini untuk mendamaikan antara kami. "

Sayangnya sekarang, banyak dari kita menganiaya perempuan atas nama agama. Beberapa pria berpikir bahwa karena mereka mulai tumbuh jenggot panjang, dan mulai memiliki penampilan Sunnah, adalah salah baginya untuk mulai memperlakukan istrinya dengan baik. ia berpikir bahwa untuk menjadi lembut dengan 
istrinya, atau bercanda dan bersenda gurau dengan istri dapat merendahkan dirinya. 

di hadapan Allah, seorang pria adalah pemimpin wanita.. 
Tapi ingat, seorang pria yang menyerang/mendzolimi/merebut hak hak seorang wanita, bukanlah telah menjalankan perintah Allah,
bukan pecinta Rasulullah
Bukan menjalankan syariat Islam..

Saya ulangi lagi, dia bukan lelaki sejati..

Sayyidah Aisyah juga menceritakan kisah dengan Nabi Allah, beliau mengatakan 'saya bepergian dengan
Nabi Allah dan ia bisa melihat wajah saya bahwa saya lelah dan sedikit bosan dengan perjalanan itu, sehingga ia mengatakan kepada orang-orang untuk 'pergi ke depan, mendahului kami" itu adalah bagian dari adab nabi..
Ada orang yang berpikir bahwa bagian dari cara yang lemah lembut terhadap wanita dengan menempatkan tangan Anda di sekitar istri Anda di pasar, atau menciumnya di depan umum.
Ini bukan bagian dari adab Rasulullah.. 

Setelah ada jarak
antara kami dan anggota rombongan lain, ia berpaling kepada saya; Dikatakan dalam buku-buku yang menggambarkan Nabi (saw) bahwa setiap kali dia
berpaling kepada seseorang, ia berbalik seutuhnya. Jadi dia berpaling padanya dan berkata 'Ya
'Aisyah, apakah Anda ingin berjalan di samping saya? Atau bagaimana kalau kita balapan lari? Dan merekapun mengadakan lomba lari dimana sayyidah Aisyah di biarkan menang oleh nabi..

Sayyidah Aisyah berkata, "Beberapa puluh tahun setelah kepergian sang Habiballah, kenangan2 kecil seperti itu abadi dalam benakKu 
Kadang-kadang, kita laki-laki, karena gengsi kita, kita melihat hal-hal kecil sebagai tak berarti,atau sepele, tetapi tidak bagi wanita..

Beberapa dari kita, jika istrinya berkata kepadanya, "Saya sedikit lelah, bangunlah dan tolong bantuin aku bersihkan rumah.
Anda akan mengatakan, 'hah, apa?' Apakah Anda pikir itu melecehkan kedewasaan Anda untuk bangun dan mulai membersihkan?
"Saya seorang pria, bagaimana saya bisa bangun dan mulai menyapu lantai? 
beberapa sahabat bertanya pada Aisyah tentang bagaimana kelakuan lelaki terbaik di jagat raya (SAW) ketika berada di rumah..
Sayyidah 'Aisyah berkata' dia seperti
salah satu dari kalian. Dia akan memerah susu hewan itu sendiri. Dia akan menimba air. Dan 
menyapu lantai rumah. Dan dia akan memperbaiki sandalnya sendiri. Dan dia akan melayani keluarganya sebaik mungkin. Kecuali pada saat shalat dipanggil. Ketika
Adzan berkumandang ia akan berdiri didepan kami tapi seolah-olah tidak tahu dan dia tidak mengenal kami lagi (itulah tingkatan Cinta Allah tertinggi)

19 Des 2014

Kisah Keajaiban Sholat Tepat Waktu dan Penyayang Burung

Habib Muhammad Bin Abdurrahman Al-Saqqaf.
(Tausiyah di Masjid Regents Park (London) 15 October 2011);


Beliau Bercerita tentang seorang pria di Jeddah, Bahwa Suatu insiden telah terjadi pada seseorang yang menyebabkan satu lengannya putus terpotong. Waktu tiba di rumah sakit, seorang ahli bedah terbaik didatangkan untuk menyambung kembali tangan yang terputus itu, ini termasuk jenis operasi besar dan sulit, karena selain menyambung kembali tulang yang terputus, juga ada banyak pembuluh darah, besar dan kecil yang harus disambung kembali, butuh waktu dan keahlian besar untuk bisa melakukan ini,.

Dokter melakukan operasi, dan ditengah pembedahan tiba tiba pria tsbt tersadar/terbangun dari keadaan terbius / penenang,
Dokter berkata, "aku tak pernah bertemu keadaan yang seperti ini sebelumnya, ini sangat ajaib, Mengapa ketika aku berusaha untuk menyambungkan kembali pembuluh darah / urat saraf Anda, mereka bergabung dan tersambung dengan sendirinya secara sempurna dan cepat ? Bisa anda ceritakan siapa dan amalan apa yang telah anda lakukan?".

Pria itu mulai menangis dan bercerita, "aku bukanlah seorang yang alim, tak banyak ibadah yang aku lakukan selain sholat tepat waktu dan berbakti pada ibuku, aku juga seorang yang mencintai burung, diwaktu senggang aku pergi ke pasar burung membeli dan mencari burung burung yang sakit, membawa pulang, merawat mereka berhari hari hingga minggu, sampai burung itu sembuh dan setelah sembuh, mereka ku biarkan terbang lepas dan bebas, kemudian aku akan ke pasar lagi untuk mencari burung lainnya, begitu seterusnya..".

Dokter mengatakan, "mukjizat yang barusan terjadi di meja operasi terjawab sudah, Alasan di balik keberhasilan operasi tadi adalah perawatan/ cinta kasih yang Anda tunjukkan kepada hewan-hewan itu".
Pria itu berkata,"tadi sewaktu dalam keadaan terbius Aku melihat Nabi [salla Llahu 'alaihi wa alihi wa sallam] datang padaku, tersenyum dan beliau meletakkan tangannya yang diberkati/mulia pada daerah tanganku yang terputus".

اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ على سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ ، صَلاةً نَكونُ بِها مَحْبُوبِينَ لَكَ و مَحْبُوبِينَ لَهُ

Pesan Habib Ali Al-Jufry Tentang Takfiri



Sayyidil Habib Ali Al Jufri:
Semoga Allah melindungi dan menolong (anak anak) kita,

Di Rusia gerakan pemberontak dari Shamil Basayev bertanggung jawab atas pembunuhan 350 orang dalam pengepungan sekolah Beslan. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak. 
Di Nigeria Boko Haram menculik 276 gadis-gadis muda dari sebuah sekolah di Borno. 
Di Yaman Al-Qaeda meledakkan sebuah sekolah di kota Reda di mana 20 anak-anak tewas. 
Dan terakhir, Taliban Pakistan membantai 141 siswa di sebuah sekolah di Peshawar.

Setelah melihat itu semua masih saja tetap ada di antara kita orang-orang yang menganggap para penjahat haus darah 'Khawarij' ini, sebagai 'mujahidin?!'

Semoga Allah membimbing kita & membimbing melalui kita, mengangkat tabir dari pandangan kita dan kembalikan kita kepada Islam sejati
Islam yang indah (penuh Damai).

17 Des 2014

Dakwah Akulturatif Walisongo, Sunan Kalijogo



Walisongo merupakan teladan pendakwah yang sangat sukses, kesembilan waliyullah yang makamnya selalu ramai oleh peziarah tersebut telah membuktikan bahwa metode dakwah yg digunakan beliau-beliau efektif dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Walisongo membawa Islam kepada masyarakat Jawa yang ketika itu mayoritas Hindu Budha dengan pendekatan Akulturasi. Pendekatan yang kemudian dilanjutkan oleh Ulama-ulama Nahdlatul Ulama’ (NU) hingga sekarang. Tidak lewat perebutan kekuasaan dan tidak melalui konflik. Karena jika dengan perebutan kekuasaan, nilai-nilai Islam akan sulit untuk membudaya di tanah jawa. Sedangkan jika dengan konflik, maka hal itu akan membuat konflik yang baru lagi.

Penyikapan terhadap budaya inilah yang menjadikan Ajaran Islam Ahlussunah wal Jamaah yang dibawa Walisongo terus meluas di saentero pulau Jawa dan Nusantara secara sejuk dan damai. Kenapa sekarang ada yang mulai mengedepankan kekerasan dan anarki. Ada pula yang membawa-bawa budaya asing (budaya Arab) untuk dipaksakan untuk mengganti budaya negeri ini. Padahal uchuwah Islamiyah, sama sekali bukan untuk mengkudeta budaya Nusantara dan "meng-Arab-kan" bangsa Indonesia di negerinya sendiri....

Akulturasi sendiri menurut Wikipedia adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Sedangkan menurut KBBI, Akulturasi ialah percampuran dua kebudayaan atau lebih yg saling bertemu dan saling mempengaruhi.

Dalam Sejarah Walisongo yang sering dijadikan bukti dakwah dengan pendekatan Akulturasi di antaranya yaitu Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga berupaya mengajarkan Islam sekaligus melestarikan budaya Jawa. Awalnya, metode syiar beliau dikritisi para wali yang lain. Namun, perlahan, cara dakwah ini diakui efektif. Sunan Kalijaga yang hidup pada pertengahan abad ke-16 Masehi memang berupaya keras menyerap budaya Jawa dalam dakwahnya. Dari sembilan wali, diperkirakan hanya beliau yang kerap tak memakai jubah atau sorban. ”Baju takwa” yang dipakai Sunan ini didesain sendiri dari baju surjan alias baju tradisional Jawa.

Sunan Kalijogo

Hingga kini, semangat akulturasi Sunan Kalijogo masih terus dikenang dan beberapa tradisi tinggalannya masih terus bertahan sampai kini. Sebut saja, tabuh beduk dan shalat malam setiap pukul 24.00. Tradisi itu mempertemukan budaya tirakat malam Jawa dan ibadah shalat malam (qiyamul lail) dalam Islam. Dalam salah satu syair tembang Lir-ilir ciptaan Sunan Kalijogo, misalnya, berbunyi: ”Cah angon-cah angon, penekno belimbing kuwi. Lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodot iro (anak gembala, panjatlah pohon belimbing itu. Meski licin, tetap panjatlah, untuk membasuh pakaianmu)”. Tembang itu memanfaatkan buah belimbing dengan lima sisi, sebagai simbol lima rukun Islam: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Lebih lanjut, tembang itu mengajarkan betapa sulitnya menunaikan semua rukun Islam.

Sunan Kudus pun mengikuti metode gurunya Sunan Kalijogo dalam berdakwah, yakni dengan dakwah akulturatif. Banyak hal yang dilakukan oleh Sunan Kudus sebagai siasat menarik perhatian masyarakat Kudus yang saat itu mayoritas memeluk agama Hindu, di antaranya larangan penyembelihan sapi, karena sapi merupakan hewan yang dikeramatkan oleh pemeluk agama Hindu dan budha. Selain itu juga dengan pendekatan akulturasi dari aspek seni bangunan, yakni arsitektur masjid dan Menara Kudus yang sarat akan kebudayaan Hindu.

Menara Kudus merupakan salah satu wujud dakwah akulturatif yang dilakukan oleh Sunan Kudus. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kebijaksanaan serta toleransi antar agama yang ditanamkan oleh para waliyullah dan bukti bahwa proses Islamisasi tanah Jawa bukanlah dengan jalan kekerasan namun justru kelembutan yang ditawarkan sehingga Islam bisa menjadi agama mayoritas yang berkembang di Indonesia sampai dengan saat ini. Hal ini juga seharusnya menyadarkan kita bahwa untuk menyebarkan ajaran Islam bukan sikap radikal yang ditampakkan sehingga menghilang substansi ajaran Islam yang bersifat Rahmatan Lil Alamiin. Cara-cara kekerasan seperti yang dianut oleh Al Qaidah, Boko Haram (Nigeria), ISIS (Irak-Suriah) dan kelompok garis keras lainnya. Mereka ini justru merusak nama Islam. Disinyalir mereka ini sebetulnya adalah kelompok-kelompok anarki, kelompok preman atau pemberontak yang memanfaatkan Islam untuk mendongkrak popularitas gerakan mereka.

Menara Kudus dan Masjid Al-Aqsa

Akulturasi religi sangat kental terlihat pada Sunan Kalijogo dan Sunan Kudus dalam melakukan dakwah Islam secara bijaksana (hikmah). Hasil dakwahnya sangat luar biasa. Penduduk setempat yang dahulunya pemeluk taat ajaran Hindu-Buddha, beralih memeluk ajaran tauhid (Islam) secara damai. Kunci sukses walisongo terletak pada kemampuannya melakukan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang sudah punya budaya mapan.

Islamisasi masyarakat tanah Jawa dan Nusantara diwarnai dengan pencampuran warisan budaya Hindu-Buddha dengan nilai-nilai Islam. Di samping melestarikan tradisi-tradisi, Sunan Kalijogo dan Sunan Kudus juga memelihara simbol-simbol budaya lama. Tujuannya agar nilai-nilai Islam dapat diterima masyarakat tanpa menimbulkan gejolak sosial dan tanpa friksi yang berarti.

Hal ini yang menyebabkan terwujudnya bentuk baru tanpa menentang kaidah–kaidah yang sudah ada sebelumnya, sehingga rangkuman kaidah–kaidah tersebut dapat berfungsi lebih baik bagi masyarakat yang menganut agama Islam. Akulturasi dalam Dakwah Islam di Tanah Jawa diperkenalkan oleh waliyullah sebagai orang yang dianggap dekat dengan Tuhan (Allah) dan diyakini memiliki berbagai kelebihan. Karena itulah para wali sangat dihormati dan disegani karena selain bertugas mengajarkan agama Islam, beliau juga masih menghormati kebudayaan lokal yang sudah berkembang pesat sebelum masuknya agama Islam.

Dengan demikian, jelaslah perjalanan sejarah rekonsiliasi antara islam sebagai agama dan budaya lokal yang melingkupinya serta adanya landasan hukum legitimatif dari syara’ berupa ‘urf (adat istiadat) dan maslahah (kemaslahatan). Maka untuk strategi Dakwah Islam di Indonesia yang multi-etnis dan multi budaya, pendekatan Akulturasi tanpa meninggalkan nilai-nilai spirit Al-Qur’an adalah cara yang paling baik. Islamisasi bukanlah harus Arabisasi, karena islam adalah agama yang menyeluruh dalam budaya, sikap dan mentalitas.

Gerakan akulturatif dalam berdakwah dengan menggunakan unsur-unsur lokal dapat mendorong efektifitas serta percepatan proses dakwah dan transformasi nilai-nilai dan ajaran Islam. Maka dari itu, dituntut pula peran kreatif seorang Da’i dalam menghadirkan budaya alternatif setempat secara inovatif sebagai solusi terhadap penyikapan budaya yang bertentangan dengan ajaran agama Islam agar tidak terjebak ke dalam kejumudan dan sinkretisme sesat.

Dengan metode dakwah akulturatif yang toleran terhadap budaya masyarakat setempat, maka Nilai-Nilai Islam sebagai agama yang Rohmatal lil ‘Alamin bisa semakin membumi di bangsa dan negara multikultural ini. Bukan tidak mungkin dengan massifnya realisasi konsep dakwah ini telah menjadikan Indonesia Mercusuar Dunia dalam hal teladan beragama dalam keragaman.

> Jangan biarkan para oknum anarki (yang mengaku pemuka agama) merusak tatanan negeri ini. Jangan biarkan gaya ISIS, Boko Haram atau Al Qaeda diterapkan di negeri yang bhineka tunggal ikan yang cinta damai ini... 
> Contohlah Wali Songo, contohlah Sunan Kalijogo...

16 Des 2014

Mengenal Perancang Desain Lambang Negara Garuda Pancasila



Siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.

Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.

Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.

Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.

Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.

Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.



15 Des 2014

Mengenang Kembali KH Hasyim Asy’ari, Sang Pendiri NU



Inilah sejarah KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Seorang pahlawan sekaligus guru bangsa.

KH Hasyim Asy’ari dilahirkan pada 10 April 1875 atau menurut penanggalan Hijriyah pada 24 Dzulqaidah 1287 H, di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau tutup usia pada 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang. Beliau merupakan putra dari pasangan Kyai Asy’ari dan Halimah. Ayahnya seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH Hasyim Asy’ari sendiri merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Asy’ari merupakan keturunan ke-8 dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Dan dari ayah serta ibunya, KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Asy’ari memang sudah tampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dan dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya.

KH Hasyim Asy’ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya beliau merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.

Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Kyai Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri terkagum-kagum pada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Kyai Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Kyai Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, beliau kembali ke Tanah Air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun 1893, beliau berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah beliau menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.

Tahun l899, beliau pulang ke Tanah Air dan mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng.

Beliau bukan saja dikenal sebagai kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920-an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya, bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun, yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia,

termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak umat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkapnya. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmat-nya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama kyainya itu.

Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan kompeni itu tak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M, intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.

Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei, yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.

Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.

Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.

Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.

Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan.

Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.

Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama. Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia. Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional.

Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik. Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah. Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan. Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata. Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati. Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”Kalung ini yang menaruh adalah kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus kyai”.

Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. ”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah. Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah.

Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ‘kiblat’ para kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini. Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942). 

(sumber: kolom-biografi.blogspot.com)

12 Des 2014

Kisah Moral Sayyidina Umar Al-Khattab RA dan Pelaku Maksiat



Saat menjadi khalifah, Sayyidina Umar AlKhattab suatu kali berjalan ² menyusuri Madinah. Ketika sedang menyelusuri sebuah kawasan perumahan, tiba ² Sayyidina Umar mendapati sebuah rumah yang dalam keadaan mencurigakan. Lantas Sayyidina Umar memasang telinga untuk memastikan perkara tersebut apakah benar atau tidak, tetapi rumah itu tertutup rapat. Lalu Beliau memasuki rumah tersebut melalui atap.

Dan itu memang benar ² terjadi , tuan rumah memang sedang bermaksiat di rumahnya. Melihat demikian, lantas Sayyidina Umar menghentikankannya, dan hendak menangkapnya.

Yang Peliknya, Sang pemilik rumah justru membantah. Dia mengakui memang dirinya telah berbuat dosa. Tapi menurutnya dosanya cuma satu. Sedangkan perbuatan Sang Khalifah, yang masuk ke rumahnya melalui atap telah melanggar 3 perintah Allah.

Kata si Tuan Rumah itu..

Bukanlah Allah melarang mencari ² kesalahan orang lain?
. ولا تجسّسو
(49:12)
Janganlah kalian mencari cari kesalahan orang lain

Kamu juga telah masuk rumah orang, tanpa melalui pintu, bukankah melanggar seruan Allah seperti yang diserukan didalam Qur’an.

واْتو البيوت من ابوابها
Dan masuklah rumah ² itu melalui dari pintunya (2: 189)

Dan Engkau masuk tanpa minta izin dan Tanpa mengucapkan salam, padahal Allah memerintahkannya

يا ايّها الّذين آمنو الا تدخلوا بيوتاً غير بيوتكم حتّىٰ تستاْنسوا وتسلّموا علىٰ اهلها

Wahai orang beriman, janganlah kamu masuk ke rumah yang bukan milik kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada prnghuni rumahnya (24: 27).

Menyadari kesalahan tindakannya, Sayyidina Umar akhirnya melepaskan orang tersebut dan hanya menyuruhnya bertaubat kepada Allah.

Kisah ini ada didalam kitab Al Imam Al-Ghazali, Ihya’ UlumudDin

Moral of the story: mencegah kemungkaran haruslah dijalankan dengan cara yang tidak munkar

Kisah Keteladanan Al-Habib Umar Bin Hafidz, Kesaksian Alm Habib Munzir Al-Musawwa



Al Marhum Habib Munzir Al Musawa menceritakan pengalamannya sewaktu di Darul Mustafa. . .
Kami teringat saat Idul Fitri pertama kami disana, semua murid santri pulang pada ayah ibu mereka, tinggallah kami para pemuda belia yang kesedihan mengenang Idul Fitri di kampung halaman, dengan hati yang sayu melihat semua teman ² lain yang bergembira dengan keluarganya,

Beliau, Habib Umar memahami perasaan kami, malam lebaran itu beliau meninggalkan keluarganya, beliau mendatangi kami, lalu berkata dengan suara sangat teramat lembut : "semua santri telah bersama ayah dan ibunya, dan kalian bersamaku.., aku akan menemani kalian dan bersama kalian bertakbir malam ini".
. .

Kami teringat malam itu Beliau mengumpulkan seluruh mereka dan murid muridnya yang lain, lalu beliau memberi nasihat, lalu tiba tiba nasihatnya terhenti.. suasana pun mencekam, tiba tiba beliau mulai menangis.. menangis.. menangis sekeras kerasnya. .

seraya berkata : "Bila Dia (Allah) bertanya kepadaku kelak tentang kalian? Bila Dia meminta pertanggungjawaban dariku atas kalian..., Bila Dia menanyaiku? dan bila sang Nabi bertanya pula kepadaku tentang perbuatan kalian?, aku harus bertanggungjawab?

Demi Allah, kalau ditindihkan Gunung besar diatas kepalaku hingga aku lumat dan lebur menjadi debu, itu jauh lebih baik daripada sampainya berita tentang buruknya amal kalian kepada Baginda Nabi ﷺ ?

lalu beliau bermunajat dengan tangisnya agar seluruh muridnya dilimpahi hidayah dan keluhuran.. Kami menyaksikan bagaimana Guru Mulia ini selalu memberikan perhatian kepada kami dibanding murid murid yang lain dari warga Negara Yaman,
.
.

Beliau selalu berkata kepada mereka murid Yaman, "Mereka datang dari jauh, meninggalkan keluarga dan kampung halamannya, untuk mencari ilmu, wajib bagi kita memuliakan para tetamu Allah ini.."