CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

28 Apr 2014

Detik-detik Wafatnya Sayyidah Fathimah Az Zahra



Sayyidah Fatimah Azzahra
Rumah kecil yang diberkahi Allah dan Rasulullah diselimuti kelam. Hasan dan Husein cucu kesayangan Rasul pun seakan faham bahwa mereka akan ditinggal bunda tercinta. Siang itu menjadi salam perpisahan buat Ali k.w., cucu Hasan, dan Husein Sang Martir.

Fatimah pun memanggil suami tercintanya, agar duduk disebelahnya, ia memohon: "Wahai suamiku 'Ali tercinta: "peganglah dadaku sebelah sini."
Ali k.w. pun melakukan perintah istri yang sebentar lagi akan menghadap Sang Khaliq. Lalu putri Rasulullah r.a. mengambil sehelai sutra hijau bertuliskan suatu maklumat.

"Wahai Suamiku, sertakanlah maklumat ini di dalam kafanku. Apakah engkau mengetahui hal ini? Ketika aku akan diserahkan kepadamu sebagai istri, aku menolak empat ratus dirham yang diwariskan. Aku berdoa bahwa yang diwariskan kepadaku menjadi syafaat di Hari Kiamat dan semoga Allah SWT ridha. Maklumat Ilahi ini adalah suatu yang membuktikan bahwa aku telah menerima hak dan sejumlah keharusan terhadap syafaat, atas nama pendosa-pendosa di kalangan umat ini. Tempatkan ia dalam kafanku, agar aku nanti membacanya di hadapan Allah Jalla Jalaaluh".

Kemudian Istri Solehah melanjutkan wasiatnya, "Suamiku, engkaulah yang mesti mengantarkanku dan menguburkanku dekat makam ayahku dan ucapkanlah, Ya Rasulullah, kami bawakan Anda Fatimah kesayangan Anda, cahaya kedua mata Anda. Engkau harus mengimbangi tanggapan apapun yang Engkau terima."
Sesaat kemudian, ruh Fatimah r.a. terbang melayang menuju alam atas sana, memenuhi panggilan Ilahi. Pulanglah!" ('irji').

Saat itu anggota Ahlul Bait tenggelam dalam lautan kepedihan dan derita, helaan nafas dan tangis mereka mengakibatkan para malaikat di langit berduka. Seluruh Madinah menumpahkan air-mata kesedihan mendalam. Ia yang oleh para Raja Para Rasul dikatakan bagian diri Rasulullah saw, meninggalkan dunia fana pada saat yang sama meninggalkan seluruh umat yang tak beribu lagi. Hanya Fatimah lah yang sangat berbahagia dengan kepergian itu untuk menemui ayah tercinta.

Imam Ali Karamallahu Wajhah (Wajah yang Diberkahi Allah) memandikan dan mengafaninya sendiri, dan pada saat yang sama menyertakan maklumat Ilahi di kafan Nabi Muhammad saw. Sang Imam melaksanakan prosesi pemakaman sesuai wasiat Al Batul dan di junjung tinggi. Pemandian dan pengkafanan menjadi hak prerogatif Abul Hasan atau Abu Turab (Gelar Beliau) saja.

Shalat pun telah dilangsungkan, Imam Ali bin Abi Thalib pun pergi menuju makan Rasulullah saw. Ia letakkan jenazah Fatimah r.a. di pintu gerbang makam dan berseru ke dalam makam, "Ya Rasulullah, saya membawakan Anda putri tercinta Fatimah."

Diriwayatkan bahwa ketika Imam Ali mengucapkan ini, makam Rasulullah saw merenggang dan terbuka, dua tangan yang diberkahi mencuat dari dalam dan suatu suara menjawab, "Bawalah ia kepadaku, Fatimahku, cahaya mataku, kebahagiaan hatiku." Lalu tangan tersebut merangkul Fatimah dan menariknya kedalam. Ia berada ke tempat semula sesaat setelahnya, dan para pengantar memakamkannya di pemakaman yang dikenal sebagai Taman Keindahan (Jannah Al-Baqi).
Disana ia berbaring hingga hari ini. Semoga Allah menganugrahkan kepada kita sarana yang halal untuk berkunjung dan berziarah menuju makan para Ahlul Bait.


Dari tulisan Habib Ali Abdurrahman Al-Habsyie

24 Apr 2014

Kisah Bergetarnya Nabi Sulaiman As Mendengar Kabar Pertanggung jawaban Hisabnya di Akhirat

                                                               Makam Nabi Sulaiman AS


Jangan kita terlalu sedih dengan keadaan diri kita (misalnya) yang dalam kesulitan atau sering kena musibah. Karena musibah itu bukan hanya di dunia, musibah itu bisa saja di alam barzah, musibah bisa di alam akhirat, bisa saja orang banyak kena musibah di dunia tapi di alam barzah, ia bebas dari musibah dan di yaumal qiyamah, ia bebas. Atau sebaliknya, orang yang selalu lancar hidupnya di muka bumi tapi di alam barzah ia banyak terkena musibah atau di yaumal qiyamah banyak terkena musibah dan musibah yang cukup berat adalah pertanyaan atas kenikmatan.

Ketika diriwayatkan Nabiyullah Sulaiman ‘alaihi shalatu wasalam, ketika sedang melihat kerajaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Sulaiman ini ditundukkan untuknya hewan, tumbuhan, jin dan juga angin, air ditundukkan untuknya sehingga taatlah kesemuanya pada Nabiyullah Sulaiman alaihi shalatu wa sallam. Ketika ia sedang melihat kerajaannya dari atas langit maka Jibril alaihi shallatu wa sallam mendatangi Nabi Sulaiman alaihi sallam berkata “wahai Sulaiman, kau lihat petani yang sedang bekerja di tengah ladang itu, tanyalah ia”. Maka Nabiyullah Sulaiman diturunkan dan bertanya “wahai petani apa yang ada di hatimu sampai Jibril datang kepadaku memerintahkan untuk bertanya kepadamu apa yang ada di hatimu?”, petani itu berkata “wahai Sulaiman, aku bersyukur kepada Allah atas kenikmatan yang diberikan kepadaku seluas – luasnya”. 

Nabiyullah Sulaiman berkata “wahai petani kenikmatan seluas- luasnya seperti apa? Kau bekerja dari pagi hingga sore dan kau hanya mendapatkan makanan untuk hari esok dan hari esok lagi kau tidak mempunyai makanan kecuali dengan bekerja lagi, apa yang kau sebut keluasan dan kenikmatan sehingga kau bersyukur kepada Allah? Ceritakan kepadaku kenikmatan yang datang padamu?”. Petani itu berkata “wahai Sulaiman, aku gembira karena hisabku perhitungan nikmatku sedikit, apa yang akan dihisab (dimintai pertanggungan jawab dihadapan Allah) dari kenikmatanku? Cuma alat tani, istri dan anakku, cuma itu saja yang dipertanyakan oleh Allah dan yang harus aku pertanggungjawabkan. 

Tapi engkau Sulaiman, kau bertanggungjawab mempunyai hak dan kewajiban pada semua hewan, jin, tumbuhan dan seluruh apa yang ditundukkan Allah untukmu”. Maka sujudlah Nabi Sulaiman menangis kepada Allah Swt, “Rabbiy beri aku kemudahan dalam pertanggungjawabanku?”. Bergetar Nabi Sulaiman ketika dikatakan “kau akan bertanggungjawab akan kewajibanmu atas hewan, tumbuhan, jin, angin dan semua yang ditundukkan oleh Allah untukmu”.

Oleh sebab itu jangan sampai kita terlalu sedih atau terlalu bingung dan risau akan musibah yang datang di dunia, barangkali itu merupakan kemudahan yang kekal dan abadi di yaumal qiyamah dan jangan pula kita tertipu dengan keadaan yang selalu dalam kenikmatan. Naudzubillah! barangkali di hari esok ia terkena musibah yang sangat berat atau barangkali musibah setelah wafatnya atau musibah di alam barzah.


Dari Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa
tulisan Syarifah Fatimah Assegaf

23 Apr 2014

Kisah Al-Imam Ibnu Qudamah dan Seorang Budak Dermawan



Al-Imam Ibnu Qudamah Rahimahullaah mencantumkan kisah yang menakjubkan tentang kedermawanan seorang budak hitam dalam kitab beliau Mukhtashor Minhajul Qoshidin. Semoga bisa kita ambil pelajaran.
Al-Imam Ibnu Qudamah menuturkan,

“Abdullah bin Ja’far keluar melihat-lihat tanah miliknya, lalu beliau singgah di sebuah kebun milik suatu kaum. Di sana ada seorang budak hitam yang sedang bekerja, makanan budak tersebut disediakan, saat dia hendak makan, tiba-tiba seekor anjing masuk ke dalam kebun, anjing itu mendekat kepada budak hitam, budak tersebut melemparkan sepotong roti, maka anjing itu memakannya, kemudian budak itu melempar potongan kedua dan anjing itu memakannya, kemudian budak itu melempar potongan ketiga dan anjing itu memakannya sementara ibnu Ja’far melihatnya.

Maka dia (Abdullah bin Ja’far) mendekat dan berkata (kepada budak itu), “Fulan, berapa banyak jatah makanmu dalam sehari?”

Dia menjawab, “Seperti yang engkau lihat.”

Ibnu Ja’far bertanya, “Lalu mengapa kamu memberikannya kepada anjing itu?”

Dia menjawab, “Daerah ini bukan daerah anjing, maka anjing itu sepertinya datang dari jauh, dia lapar, maka aku tidak ingin menolaknya.”

Ibnu Ja’far bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan?”

Dia menjawab, “Menahan lapar hari ini.”

Ibnu Ja’far berkata kepada dirinya sendiri, “Aku disalahkan karena banyak memberi, ternyata budak ini lebih murah hatinya daripada diriku.” Lalu Abdullah bin Ja’far membeli kebun sekaligus peralatannya, dia membeli budak itu, memerdekakannya dan memberikan kebun tersebut kepadanya.”


Kisah Hikmah: Syeikh Abu Yazid al-Busthami dan Anjing Hitam



Pada suatu hari, Syeikh Abu Yazid al-Busthami sedang menyusuri sebuah jalan sendirian. Tak seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya berpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Maka dengan enjoynya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi.

Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-lari. Syeikh Abu Yazid al-Busthami merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya. Ternyata anjing-anjing itu sudah mendekat di sampingnya.

Secara spontanitas Syeikh Abu Yazid al-Busthami pun segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah karena merasa khawatir jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis.

Tapi, betapa kagetnya Syeikh Abu Yazid al-Busthami begitu ia mendengar anjing hitam yang di dekatnya tadi memprotes: “Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!”

Mendengar suara anjing hitam seperti itu, Syeikh Abu Yazid al-Busthami masih terbengong: “Benarkah ia bicara padanya? Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata?” Syeikh Abu Yazid al-Busthami masih terdiam dengan renungan-renungannya.

Belum sempat bicara, anjing hitam itu meneruskan celotehnya: “Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!”

Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara anjing hitam yang ada di dekatnya itu, Syeikh Abu Yazid al-Busthami pun menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan keluh kesah si anjing hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar. Ia telah menghina sesama makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.

“Ya, engkau benar anjing hitam. Engkau memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih.” kata Syeikh Abu Yazid al-Busthami.

Ungkapan Syeikh Abu Yazid al-Busthami tadi tentu saja merupakan ungkapan rayuan agar si anjing hitam itu mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu.

“Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu. Tetapi siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu bagaikan raja. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari!” kata si anjing hitam.

Syeikh Abu Yazid al-Busthami masih termenung dengan kesalahannya. Setelah dilihatnya, ternyata si anjing hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si anjing hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati Syeikh Abu Yazid al-Busthami.

“Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing milikMu. Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersamaMu yang abadi dan kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhlukMu yang terhina di antara semuanya.” seru Syeikh Abu Yazid al-Busthami.

Kemudian, dengan langkah yang sempoyongan Syeikh Abu Yazid al-Busthami pun meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang telah menunggu pengajarannya.

Keunikan dan kenylenehan Syeikh Abu Yazid al-Busthami memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi juga diajak merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar di alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat para santri dari Syeikh Abu Yazid al-Busthami; baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis dalam hubungannya dengan ketuhanan.

Suatu hari, Syeikh Abu Yazid al-Busthami sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah anjing hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia anjing kuning yang lebih jelek dari anjing hitam. Begitu melihat si anjing kuning tadi terlihat tergesa-gesa, maka Syeikh Abu Yazid al-Busthami segera saja mengomando kepada para muridnya agar memberi jalan kepada anjing kuning itu.

“Hai murid-muridku, semuanya minggirlah. Jangan ada yang mengganggu anjing kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa,” kata Syeikh Abu Yazid al-Busthami kepada para muridnya.

Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Syeikh Abu Yazid al-Busthami. Setelah itu, si anjing kuning melewati di depan Syeikh Abu Yazid al-Busthami dan para santrinya dengan tenang, tidak merasa terganggu.

Secara sepintas, si anjing kuning memberikan hormatnya kepada Syeikh Abu Yazid al-Busthami dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Syeikh Abu Yazid al-Busthami ataukah si anjing kuning.

Si anjing kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Syeikh Abu Yazid al-Busthami yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: “Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhlukNya. Sementara, Guru adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?”

Syeikh Abu Yazid al-Busthami menjawab: “Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: “Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para sufi?” Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya.”

Mendengar penjelasan gurunya itu, para murid pun manggut-manggut. Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham mengapa guru mereka berlaku demikian. Semuanya diam membisu. Mereka tidak ada yang berani membantah lagi. Akhirnya mereka pun meneruskan perjalanannya.


22 Apr 2014

Ahli Sufi Yang Ditolak Oleh Bumi



Apakah ia sudah tepat berguru kepada Yusuf? Kalau sudah tepat, mengapa Yusuf termasuk orang yang tertolak, bahkan ditolak oleh bumi?

 Suatu ketika, salah seorang murid Yusuf, Ibrahim al Khawwas dalam mimpinya, mendengar suara tak dikenal, “Pergilah, dan katakan pada Yusuf, ‘Engkau adalah orang yang tertolak.’”

Bagi seorang murid, kata-kata ini terdengar begitu menyakitkan di telinga. Bukan hanya karena Yusuf merupkan guru dalam pengembaraan spiritualnya, tapi juga karena sosok Yusuf yang amat sangat dihormati hampir seluruh masyarakat di zamannya.

Karenanya, bagi Ibrahim, akan lebih mudah untuk menahan himpitan gunung yang jatuh di atas kepalanya daripada harus mengatakan apa yang ada dalam mimpinya.

Belum juga hilang gelisah dalam batinnya, Ibrahim kembali memimpikan hal yang sama di malam berikutnya. Sebuah suara yang tak dikenalnya kembali menggaung di telinga. “Katakan padanya, “Engkau adalah orang yang tertolak!”

Ia pun terbelalak seraya bergegas menuju masjid. Membersihkan diri, dan kemudian duduk dzikir, untuk meminimalisir ketakutannya.

Namun, untuk ke sekian kalinya, mimpi itu kembali hadir. Bahkan, kali ini tampak lebih keras dan bernada mengancam, “Katakan padanya, ‘Engkaulah yang tertolak’. Jika pesan ini tidak kau sampaikan, maka engkau tidak akan sanggup bangkit dari tempat tidurmu ini!”

Ibrahim segera terbangun dengan kesedihan yang dalam. Hal yang serupa ia lakukan juga, pergi ke masjid dan dzikir.

Kali ini, ia melihat sang guru rupanya sedang duduk dzikir. Ibrahim yang sedari beberapa waktu digelisahkan mimpi, akhirnya memilih duduk agak jauh dari Yusuf.

Sayangnya, sang guru yang kala itu sedang dzikir justru menghampirinya, sembari berkata, “Muridku, apakah engkau hafal satu saja ayat Al Qur’an?” tanyanya.

“Ya,” jawab Ibrahim singkat. Lalu, ia pun membacakannya satu ayat yang mampu ia ingat.

Mendengar lantunan Ibrahim, Yusuf tampak sangat bahagia. Ia pun kemudian bangkit dan mematung sejenak. Berusaha menutupi air matanya yang mengalir begitu deras dari hadapan muridnya.

“Sejak dini hari sampai saat ini,” kata Yusuf, “Aku mendengarkan berbagai bacaan ayat Al Qur’an dari para muridku. Namun, tak satu pun bacaan mereka mampu mengalirkan satu tetes air mata pun. Kini, melalui satu ayat, suatu keadaan telah mewujud—air mata telah mengalir deras dari kedua mataku. Manusia benar, bahwa aku adalah orang yang tertolak bumi. Seseorang yang dapat begitu terhanyut dalam sebuah syair puisi lagu, sementara Al Qur’an tidak berpengaruh padanya—ia sungguh orang yang tertolak.”

Mendengar penjelasan sang guru, Ibrahim semakin bingung dan mulai ragu dengan gurunya itu. Apakah ia sudah tepat berguru kepada Yusuf? Kalau sudah tepat, mengapa Yusuf termasuk orang yang tertolak, bahkan ditolak oleh bumi?

Sembari berjalan menyusuri padang pasir yang luas, Ibrahim bertemu dengan Khidir as.  Khidir berkata, “Yusuf telah mendapat hadiah dari Allah. Ia tertolak bumi, karena tempatnya memang bukan di bumi, tapi di surga. Di kala semua orang di sekelilingnya sanggup merintih, sedih, terhanyut, bahkan menangis karena syair puisi, namun Yusuf menangis karena ayat Tuhannya. Bukankah itu lebih baik daripada terhanyut karena syair manusia?

------

Fariduddin Aththar berkisah tentang Abu Ya’qub Yusuf ibn al Husain ar Radardhi. Ia merupakan salah seorang sufi berasal dari Rayy.

Yusuf berkelana ke beberapa wilayah Timur Tengah untuk menuntut ilmu, dan sempat bertemu Dzun Nun Al Misri di Mesir, dan kemudian belajar di bawah bimbingannya.

Ia kembali ke Rayy untuk berkhotbah dan meninggal pada 304 H/ 916 M di sana.

Tangisan Rindu Seorang Penyair



Dahulu di masa seorang penyair hebat dan sangat terkenal yaitu syaikh Farazdaq dimana beliau selalu asyik memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mempunyai kebiasaan melakukan ibadah haji setiap tahunnya.

Suatu waktu ketika beliau melakukan ibadah haji kemudian datang berziarah ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan membaca qasidah di makam beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,dan ketika itu ada seseorang yang mendengarkan qasidah pujian yang dilantunkannya, setelah selesai membaca qasidah orang itu menemui syaikh Farazdaq dan mengajak beliau untuk makan siang ke rumahnya,

beliau pun menerima ajakan orang tersebut dan setelah berjalan jauh hingga keluar dari Madinah Al Munawwarah hingga sampai di rumah orang tersebut, sesampainya di dalam rumah orang tersebut memegangi syaikh Farazdaq dan berkata: “sungguh aku sangat membenci orang-orang yang memuji-muji Muhammad, dan kubawa engkau kesini untuk kugunting lidahmu”,  maka orang itu menarik lidah beliau lalu mengguntingnya dan berkata : “ambillah potongan lidahmu ini, dan pergilah untuk kembali memuji Muhammad”,

Maka Farazdaq pun menangis karena rasa sakit dan juga sedih tidak bisa lagi membaca syair untuk sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau datang ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berdoa : “Ya Allah jika shahib makam ini tidak suka atas pujian-pujian yang aku lantunkan untuknya, maka biarkan aku tidak lagi bisa berbicara seumur hidupku, karena aku tidak butuh kepada lidah ini kecuali hanya untuk memuji-Mu dan memuji nabi-Mu, namun jika Engkau dan nabi-Mu ridha maka kembalikanlah lidahku ini ke mulutku seperti semula”,

Beliau terus menangis hingga tertidur dan bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkata : “aku senang mendengar pujian-pujianmu, berikanlah potongan lidahmu”, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil potongan lidah itu dan mengembalikannya pada posisinya semula, dan ketika syaikh Farazdaq terbangun dari tidurnya beliau mendapati lidahnya telah kembali seperti semula, maka beliaupun bertambah dahsyat memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Hingga di tahun selanjutnya beliau datang lagi menziarahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kembali membaca pujian-pujian untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan di saat itu datanglah seorang yang masih muda dan gagah serta berwajah cerah menemui beliau dan mengajak beliau untuk makan siang di rumahnya, beliau teringat kejadian tahun yang lalu namun beliau tetap menerima ajakan tersebut sehingga beliau dibawa ke rumah anak muda itu, dan sesampainya di rumah anak muda itu beliau dapati rumah itu adalah rumah yang dulu beliau datangi lalu lidah beliau dipotong, anak muda itu pun meminta beliau untuk masuk yang akhirnya beliau pun masuk ke dalam rumah itu hingga mendapati sebuah kurungan besar terbuat dari besi dan di dalamnya ada kera yang sangat besar dan terlihat sangat beringas, maka anak muda itu berkata :

“engkau lihat kera besar yang di dalam kandang itu, dia adalah ayahku yang dulu telah menggunting lidahmu, maka keesokan harinya Allah merubahnya menjadi seekor kera”. Dan hal yang seperti ini telah terjadi pada ummat terdahulu, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :

فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
( الأعراف :166 )

“Maka setelah mereka bersikap sombong terhadap segala apa yang dilarang, Kami katakan kepada mereka jadilah kalian kera yang hina”. ( QS. Al A’raf : 166 )

Kemudian anak muda itu berkata: “jika ayahku tidak bisa sembuh maka lebih baik Allah matikan saja”,  maka syaikh Farazdaq berkata : “Ya Allah aku telah memaafkan orang itu dan tidak ada lagi dendam dan rasa benci kepadanya”, dan seketika itu pun Allah subhanahu wata’ala mematikan kera itu dan mengembalikannya pada wujud yang semula.

Dari kejadian ini jelaslah bahwa sungguh Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang suka memuji nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena pujian kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam disebabkan oleh cinta dan banyak memuji kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berarti pula banyak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan semakin banyak orang yang berdzikir, bershalawat dan memuji nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalla, maka Allah akan semakin menjauhkan kita, wilayah kita dan wilayah-wilayah sekitar dari musibah dan digantikan dengan curahan rahmat dan anugerah dari Allah subhanahu wata’ala.

Diceritakan oleh: Alhabib Munzier Al-Musawa

Kisah Sufi Abu Hafs Al-Haddad



Abu Hafs Amr ibnu Salamah al-Haddad adalah seorang tukang pandai besi di Nisyabur. Ia pergi ke Baghdad dan bertemu dengan Junaid yang mengagumi ketaatannya. Ia juga bertemu dengan As-Syibli dan para sufi mazhab Baghdad lainnya.

Kemudian ia kembali lagi ke Nisyabur, melanjutkan pekerjaannya sebagai tukang Pande Besi, dan meninggal dunia di sana pada 265 H / 879 M.

Sebagai seorang lelaki muda Abu Hafs pernah jatuh cinta pada seorang gadis pelayan. Begitu tergila-gilanya Abu Hafs pada gadis itu, sampai-sampai setiap hari ia selalu gelisah.

Teman-temannya berkata padanya, “Ada seorang dukun Yahudi tinggal di pinggiran Kota Nisyabur. Ia akan bisa membantumu.”

Abu Hafs pergi menemui dukun Yahudi yang dimaksud dan menjelaskan masalahnya.

Si dukun Yahudi itu menasihati, “Selama 40 hari, engkau tidak boleh shalat, atau mematuhi semua perintah Tuhan dengan cara apapun, atau melakukan perbuatan baik, sekecil apapun. Janganlah pernah menyebut nama Tuhan, atau berniat baik, apapun niat itu, setelah itu aku akan membantumu dengan sihir untuk mewujudkan keinginanmu.”

Selama 40 hari Abu Hafs melakukan apa yang diperintahkan oleh si dukun, kemudian si dukun memberikan jimat, tapi tak membawa hasil seperti yang diharapkan.

“Pastilah sesuatu yang baik telah terwujud melaluimu,” kata si dukun Yahudi, “Kalau tidak, aku yakin keinginanmu pasti terwujud.”

“Aku tidak melakukan apa-apa,” kata Abu Hafs berusaha meyakinkan. “Satu-satunya hal yang aku lakukan adalah ketika aku menuju ke sini, aku menendang sebongkah batu keluar dari jalan agar tidak ada orang yang tersandung olehnya.”

“Jangan plin-plan di hadapan Tuhan,” kata si Yahudi, “Yang perintah-Nya telah kau abaikan selama 40 hari dan yang dengan kemahapemurahan-Nya tidak menyia-nyiakan bahkan perbuatan baik sekecil apapun yang engkau lakukan.”

Kata-kata ini serasa membakar hati Abu Hafs. Begitu kuatnya pengaruh kata-kata si Yahudi itu, sehingga ia meninggalkan gaya hidupnya yang telah ia jalani selama ini.

Abu Hafs tetap menjalankan profesinya sebagai pandai besi, menyembunyikan keajaiban yang telah ia alami. Setiap hari ia mendapat satu dinar. Malam harinya ia menyedekahkan seluruh penghasilannya kepada fakir miskin, dan meletakkan uang itu di depan pintu rumah para janda secara sembunyi-sembunyi. Lalu pada saat malam tiba, ia mengemis, dan berbuka puasa dengan hasil mengemisnya. Terkadang ia mengumpulkan sisa-sisa bawang perai di tempat cuci umum, dimana orang-orang biasa mencuci bahan makanan mereka, dan membuat makanan dari sisa-sisa ini.

Dengan tangan telanjang ia mengambil besi panas dari dalam tungku. Ia menempatkan besi itu di tempat penempaan. Anak buahnya bersiap untuk menempanya. Mereka kemudian melihat Abu Hafs menempa besi panas itu dengan tangannya.

“Tuan, apa-apaan ini?” pekik mereka.

“Ayo tempa! Perintahnya pada para pekerjanya.

“Tuan, apa yang harus kami tempa?” Tanya mereka. “Besi ini telah jadi.”

Abu Hafs baru sadar, ia melihat besi panas di tangannya dan mendengar suara anak buahnya, “Besinya telah rapi, apa yang harus kami tempa?”

Abu Hafs segera melepaskan besi panas itu dari genggamannya, kemudian ia meninggalkan tempat usahanya.

“Sudah sejak lama aku ingin dengan sengaja berhenti dari pekerjaan ini, namun aku tidak bisa, sampai kejadian ini menimpaku dan merenggutku secara paksa dari diriku sendiri. Dulu, walaupun aku terus berusaha untuk meninggalkan pekerjaan ini, namun aku tidak bisa, sampai pekerjaan ini meninggalkanku.

Setelah kejadian itu, ia menjalankan disiplin diri yang sangat keras, dan melakukan meditasi dalam kehidupan terasing.

Suatu saat ia berniat haji. Tapi ia  seorang yang buta huruf dan tidak bisa berbahasa arab. Saat ia tiba di Baghdad, murid-murid Junaid berbisik-bisik satu sama lain, “Sungguh memalukan, syekhnya para syekh Khurasan buta huruf dan membutuhkan penerjemah bahasa Arab.”

Junaid mengutus murid-muridnya untuk menyambut kedatangan Abu hafs. Abu Hafs tahu apa yang dipikirkan oleh murid-murid Junaid. Tiba-tiba ia mulai berbicara dalam bahasa Arab, begitu fasih, sampai-sampai orang-orang takjub mendengarnya.

***

Sejumlah ulama berkumpul untuk bermusyawarah dan bertanya kepada Abu hafs tentang cinta yang penuh  dengan pengorbanan diri.

“Kalian mampun mengekspresikan diri kalian sendiri. Kalian saja yang menjawab,” tukas Abu hafs.

Junaid berkata, “Menurutku, pengorbanan diri sejati berarti engkau tidak menganggap dirimu dirimu berkorban, dan engkau tidak menganggap dirimu berjasa atas apa pun yang telah engkau lakukan.”

“Bagus sekali,” komentar Abu Hafs. “Tapi menurutku, pengorbanan diri berarti berlaku adil terhadap orang lain, dan tidak mencari-cari keadilan bagi diri sendiri.”

“Wahai murid-muridku, berlakulah seperti itu,” kata Junaid.

“Berlaku benar tidak cukup dengan kata-kata,” Ujar Abu hafs.

“Bangkitlah wahai murid-muridku,” perintah Junaid setelah mendengar kata-kata Abu Hafs. “Pengorbanan diri Abu Hafs tiada tandingannya.”

***

Abu Hafs melatih murid-muridnya dengan disiplin yang sangat keras dan sopan santun. Tidak ada muridnya yang berani duduk di dekatnya atau menatapnya langsung. Mereka selalu berdiri kala berada di dekatnya, dan tidak akan duduk tanpa perintahnya. Abu Hafs sendiri duduk ditengah-tengah para muridnya seperti seorang sultan.

Junaid berkata, “Engkau mengajari murid-muridmu tata karma terhadap sultan.”

“Engkau hanya melihat kulit luarnya saja,” tukas Abu Hafs. “Namun dari alamat , kita dapat memperkirakan isi suratnya.”

Kemudian Abu Hafs berkata kepada Junaid, “Perintahkan muridku untuk membuat kadu dan Halwa.”

Junaid menyuruh salah seorang murid Abu Hafs untuk membuat Kaldu dan Halwa. Ketika kedua jenis makanan itu di bawa kehadapannya, Abu Hafs melanjutkan, “Panggillah seorang kurir dan letakkan makanan ini di atas kepalanya. Suruh ia berjalan membawa makanan ini di kepalanya sampai ia merasa lelah. Lalu, di rumah manapun ia sampai, suruh ia memanggil si empunya rumah. Dan siapapun yang membukakan pintu, suruh si kurir untuk memberikan makanan ini padanya.”

Si kurir itu mengikuti semua instruksi yang diberikan Abu Hafs. Ia terus berjalan sampai ia sangat lelah dan tidak bisa terus berjalan. Ia meletakkan makanan yang dibawanya di depan pintu sebuah rumah, lalu memberi salam. Sang pemilik rumah seorang lelaki tua, menjawab, “Jika engkau membawa Kaldu dan Halwa, aku akan membawakan pintu.”

“Ya, aku membawa Kaldu dan Halwa,” jawab si kurir.

“Bawa makanan itu masuk,” kata si empunya rumah sambil membukakan pintu.

Si Kurir mengisahkan, “Aku begitu takjub. Aku bertanya pada lelaki tua itu, “Apa yang terjadi? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku datang dengan membawa Kaldu dan Halwa?” lelaki tua itu menjawab, “semalam, saat aku sedang berdoa, aku teringat sesuaatu, bahwa anak-anakku telah lama menginginkan Kaldu dan Halwa, aku percaya bahwa doaku tidaklah sia-sia.”

***

Ada seorang murid Abu Hafs yang menunggu dengan sikap dan kesopanan yang luar biasa. Junaid berkali-kali memandangnya, karena ia sangat terkesan dengan sikap murid Abu Hafs itu.

Junaid bertanya kepada Abu Hafs, “Sudah berapa lama ia menjadi muridmu?”

“Sepuluh tahun,” jawab Abu Hafs.

“Tata kramanya sempurna, ia benar-benar bermartabat, anak muda yang sungguh mengagumkan.” Kata Junaid.

“Ya,” ujar Abu Hafs, “Ia telah menghabiskan 17 ribu dinar uangnya untuk keperluan kami, dan telah meminjam 17 ribu dinar lagi untuk keperluan kami. Namun setelah semua itu, ia masih saja belum berani mengajukan satu pertanyaan pun kepada kami.”

***

Ketika Abu Hafs berada di Mekkah, ia melihat sekelompok jemaah haji yang miskin dan papa di sana. Ia ingin memberikan sesuatu kepada mereka, dan merasa sangat terguncang melihat keadaan mereka.

Dengan perasaan terguncang seperti itu, ia memungut sebuah batu dan memekik, “Demi keagungan-Mu, jika Engkau tidak memberiku sesuatu, maka aku akan memecahkan seluruh lampu yang ada di masjidil Haram ini.”

Kemudian ia melakukan tawaf, mengelilingi ka’bah. Tiba-tiba seorang lelaki mendatanginya dan memberinya sekantong emas. Abu Hafs kemudian membagi-bagikan emas itu kepada kaum miskin tadi.

Setelah menunaikan ibadah haji, ia kembali ke Baghdad. Di sana murid-murid Junaid keluar menyambutnya dengan segala kehormatan.

“Apa oleh-oleh yang engkau bawa dari perjalananmu?” Tanya Junaid.

“Yang akan kukatakan ini adalah oleh-oleh dariku,” jawab Abu Hafs. Mungkin salah seorang saudara kita tidak mampu hidup (berlaku) sebagaimana seharusnya. Jika engkau mendapati saudaramu berkelakuan buruk, carilah alsan baginya, dan maafkanlah ia. Jika debu kesalahpahaman itu tidak juga hilang dengan alasan itu, maka carilah alasan yang lebih baik lagi baginya, dan maafkanlah ia. Jika debu kesalahpahaman itu masih juga belum hilang, carilah alasan lain, teruslah begitu, bahkan sampai empat puluh kali. Jika debu kesalahpahaman itu lagi-lagi belum juga hilang, sementara engkau berada di pihak yang benar, dan empat puluh alasan tadi tidak juga mampu menutupi kesalahan saudaramu itu matamu, maka duduklah, dan katakana pada dirimu sendiri, “Engkau benar-benar jiwa yang keras kepala dan bebal, engkau benar-benar kepala batu, kurang ajar, dan tak tahu diri, saudaramu mengemukakan empat puluh alasan bagi kesalahannya, namun engkau tidak menerima semua alasan itu dan berkeras dengan sikapmu, aku berlepas diri darimu. Engkau tahu apa yang engkau enginkan, lakukanlah sesukamu!”

Junaid bernar-benar kagum dengan kata-kata ini. “Siapa yang dapat memiliki kekuatan seperti itu?” tanyanya dalam hati.

***

Sebagai tuan rumah, Syibli menerima dan melayani Abu Hafs di rumahnya selama empat bulan. Syibli menyuguhkan makanan serta beberapa jenis manisan yang berbeda setiap harinya.

Setelah empat bulan berlalu, Abu Hafs berpamitan kepada Syibli. “Syibli, jika engkau datang Nisyabur, aku akan menunjukkan padamu keramah tamahan dan dan kedermawanan yang sesungguhnya.”

“Ada apa, apa yang telah aku lakukan, wahai Abu Hafs?” Tanya Syibli.

“Engkau telah banyak berkorban selama aku di sini. Namun pemborosan tidaklah sama dengan kedermawanan,” kata Abu Hafs. “Seseorang harus memperlakukan tamunya tepat sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri. Dengan begitu, tamunya itu tidak akan membebaninya, dan saat kepergian tamunya itu tidak akan menjadi saat yang membahagiakannya. Jika engkau berlebih-lebihan dalam melayani tamumu, maka kehadirannya akan membebanimu dan kepergiannya akan melegakanmu. Seseorang yang merasa seperti itu bukanlah seorang dermawan sejati.”

Ketika Syibli berkunjung ke Nisyabur, ia tinggal di rumah Abu Hafs. Si tuan rumah mengadakan jamuan makan untuk empat puluh orang tamunya. Pada malam hari, Abu Hafs menyalakan 41 buah lampu.

“Bukankah engkau telah mengatakan bahwa kita tidak boleh berlebih-lebihan,” Tanya Syibli.

“Bangkitlah, dan matikanlah lampu-lampu itu,” tukas Abu Hafs.

Syibli pun bangkit mematikan lampu, namun ia hanya berhasil memadamkan satu buah lampu.

“Wahai Syekh, mengapa bisa begini?” tanyan Syibli.

Abu Hafs menjelaskan, “Kalian ada 40 orang, wahai para utusan Tuhan. Tamu adalah utusan Tuhan. Aku menyalakan 40 buah lampu itu dengan nama masing-masing kalian, karena Allah. Sedangkan yang satunya aku nyalakan bagi diriku sendiri. 40 lampu yang kunyalakan karena Allah, tidak dapat engkau padamkan, tapi satu lampu yang kunyalakan untuk diriku sendiri, bisa engkau padamkan. Semua yang telah engkau lakukan di Baghdad, engkau lakukan karena aku, sedangkan yang kulakukan ini, aku lakukan karena Allah. Jadi, yang engkau lakukan adalah pemborosan, sedangkan yang kulakukan bukan pemborosan, tapi kedermawanan.


Keindahan Suara Rasulullah SAW



Dijelaskan di dalam Shahih Muslim, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan membaca al qur’an dan di saat itu iblis melihat pintu-pintu langit ditutup dan tidak bisa lagi ditembus oleh iblis dan syaitan, maka di saat itu iblis berkata : “apa yang telah terjadi di barat dan timur sehingga kita tidak bisa lagi menembus langit?!”, maka ketika mereka mencari di penjuru barat dan timur, mereka pun menemukan cahaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang berdoa dan membaca Al-quran Al-karim, dan cahaya itu membuat para jin berdesakan untuk mendengarkan bacaan itu kemudian mereka BERIMAN.

indahnya suara rasulullahDan dijelaskan di dalam Kitab-kitab Tafsir, tafsir Ibn Katsir dan lainnya bahwa di saat itu ada beberapa raja jin yang diperintahkan oleh iblis untuk melihat apa yang terjadi, justru mereka beriman kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Para jin itu pun berdesakan ingin mendengarkan suara indah yang keluar dari jiwa yang suci dan khusyu’ yang merindukan Allah subhanahu wata’ala, jiwa yang dipenuhi dengan getaran iman.

Oleh sebab itu, (dalam riwayat yang tsiqah).ketika salah seorang sahabat yang sangat mencintai Rasulullah, baru masuk islam. Pada suatu hari setelah duduk bersama Rasulallah, ia keluar ke suatu tempat, melihat aurat seorang wanita dengan sengaja, maka ia merasa telah berbuat dosa yang sangat besar. dan ia pun menyendiri ke atas gunung dan tidak mau lagi melihat wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena dia merasa tidaklah pantas matanya melihat wajah beliau karena mata itu telah berbuat zina. 

Sehari, dua hari , tiga hari, Rasulullah dapat kabar dari Jibril alaihissalam. Rasul bertanya, ‘mana itu si Fulan? Tidak pernah hadir lagi shalat berjama’ah, tidak pernah lagi hadir di majelis?’. Dicari kerumahnya, keluarganya berkata ‘Ia naik ke atas bukit, konon mau bertaubat’

Sayyidina Abu Bakar Ashshidiq Radiyallohu’anhu diutus untuk melihatnya dan ternyata pemuda itu sedang menangis. Ditanya oleh Abu Bakar: ‘Kenapa engkau ini?’, pemuda itu menjawab, ‘aku punya dosa’. Sayyidiina Abu Bakar berkata lagi, ‘Ya sudah, sekarang menghadap kembali kepada Rasul shallallau’alayhi wasallam.’ Pemuda itu menjawab: ‘Aku tidak berani melihat wajah Rasulullah, mataku telah berbuat dosa, mataku ini tidak pantas lagi melihat wajah Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam’. Abu Bakar Ashsidiq berkata: ‘Urusan adab dan malumu singkirkan dulu, kau diperintahkan oleh Rasulullah untuk datang’

maka ia pun datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ketika itu Rasulullah sedang melakukan shalat maghrib, dan ketika ia mendengar bacaan Rasulullah dari kejauhan, ia pun terjatuh dan roboh karena tidak mampu mendengarkan lantunan suara indah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia diberdirikan oleh sayyidina Abu Bakr As Shiddiq dan dibimbing untuk terus masuk ke shaf shalat. Selesai shalat ia hanya terdiam ditempatnya, orang satu persatu pergi dan pergi dan tinggallah ia sendiri.

Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam berkata: ‘Mendekatlah engkau’
Pemuda itu menjawab, ‘baiklah Ya Rasulullah’. Sampai ia dekat dengan Rasul shallallahu’alayhi wasallam dan pahanya dekat dengan pahanya Rasulullah. Ia tidak berani mengangkat kepala untuk melihat wajah Nabi Muhammad shallallahu’alayhi wasallam.
“wahai Rasulullah, aku tidak mau lagi melihat wajahmu karena mataku sudah banyak berbuat dosa”,
maka Rasulullah berkata :”mohonlah ampunan kepada Allah”, maka ia berkata: “aku meyakini bahwa Allah Maha Pengampun, namun mata yang sudah banyak berbuat dosa ini tidak lagi pantas melihat wajahmu wahai Rasulullah”

Rasul berkata, ‘Angkatlah kepalamu, pandanglah aku’. Maka pemuda itu mengangkat kepalanya sedikit, air matanya mengalir dan ia menunduk menangis di pangkuan Sang Nabi shallallahu’alayhi wasallam yang mulia dan pemuda itupun wafat. Allah Ta’ala wafatkan pemuda itu di pangkuan Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam.

Rasulullah menangis,, berkata Abu Bakar Ashshidiq, ‘Aku melihat air mata Rasulullah jatuh di atas kepala pemuda itu saat ia menciumi paha sang Nabi shallallahu’alayhi wasallam hingga wafat di pangkuan Rasul.’ Maka para sahabat berkata: ‘Kami ini berjihad siang dan malam tapi tidak kebagian wafat dipangkuan Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam.’

Sowdaraqu, sungguh mata kita penuh dengan dosa dan kesalahan, namun Sang Maha Pengampun tidak berhenti mengampuni, sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa ada 7 golongan yang mendapatkan naungan Allah dimana ketika itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah, diatara 7 kelompok itu adalah :

رَجُلٌ ذَكَرَ اللهُ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

Rojulun dzakarollaahu fafaadlot ‘aynaahu

” Seseorang yang ketika berdzikir (mengingat Allah) maka mengalirlah air matanya”


Kisah Ruh Syaikh Abdul Qodir Jailany, Buraq dan Mi'raj Rasulullah SAW



Berikut  adalah manaqib dari Rajanya Aulia (Qotbul Aqtob) Syeikh Abdul Qodir Jaelani diterjemahkan dari kitab “Al-Lujaini ad-Daani” yang disusun oleh Syeikh Al-Karim Ja’far bin Hasan Abdul Karim al~Barzanji R.A. Mudah mudahan kita semua mendapat barokah serta karomah nya aamiin yaa mujiib..Diriwayatkan oleh Syeikh Rasyid bin Muhammad Al-Junaidi dalam kitab Roudhoh An-Nadzir,, pada malam Rasulullah (shollallahu’alayhi wasallam) Mi’raj,, Malaikat Jibril datang menghadap Rasulullah SAW sambil membawa Buroq,, telapak kaki Buraq tersebut mengeluarkan cahaya seperti cahaya rembulan.

Buraq tersebut diberikan kepada Nabi Muhammad SAW oleh Malaikat Jibril As. Seketika itu juga Buraq tersebut tidak mau diam karena sangat senang yang luar biasa sehingga Nabi SAW bersabda: “wahai Buraq kenapa engkau tidak mau diam?? Apa karena engkau tidak mau aku tunggangi?”

Buraq mnjawab: “Wahai Rasulullah, bukan aku tidak mau Baginda tunggangi, tetapi aku mempunyai permintaan kepada Baginda wahai kekasih Allah, permintaanku adalah nanti di hari Qiyamat ketika baginda masuk kedalam Surga agar tidak menunggangi yang lain kecuali aku”.

Rasulullah SAW bersabda: ”wahai Buraq permintaanmu aku kabulkan”.. Buraq itu pun berkata lagi: “wahai baginda sudikah kiranya baginda memegang pundakku agar menjadi ciri di hari Qiyamah?” kemudian Rasulullah SAW memegangkan kedua tangannya pada pundak buraq tersebut,, karena buraq saking gembiranya yang sangat luar biasa, sehingga badan nya tidak muat lagi untuk ditempati ruh nya, terpaksa buraq tersebut membesar dan tinggi sampai 40 hasta. Setelah itu Rasulullah SAW berdiri sebentar sambil melihat betapa tingginya Buraq dan berpikir bagaimana caranya untuk naik ke punggungnya sedangkan pada saat itu tidak ada satupun tangga untuk naik.


Pada saat itu juga datang ruh nya Syeikh Abdul Qodir Aljaelani seraya berkata: “silahkan baginda naik ke pundak saya”.. Kemudian Rasulullah SAW naik ke pundaknya ruh Ghautsul ‘Adzom ‘Syeikh AbdulQodir Jaelani, kemudian Syeikh AbdulQodir Jaelani berdiri, sehingga Rasulullah SAW dapat naik ke pundaknya Buraq kemudian Nabi SAW bersabda: “dua telapak kaki ku menaiki pundakmu wahai Abdul Qodir, maka telapak kakimu nanti yang akan menaiki pundak semua wali-wali Allah”

Abu Bakar Asy-Syibli, Sufi yang Hendak “Membakar” Neraka



Ia pernah menjadi gubernur. Demi mencari kebenaran Ilahiah, ia rela meninggalkan jabatan, lalu jadi pengemis, dan sempat kelaparan.

Nama Abu Bakar Asy-Syibli banyak menghiasi berbagai kitab tentang sufi. Ulama besar ini tidak hanya dikenal dengan konsepnya tentang bagaimana menempuh jalan kerohanian, tapi juga terkenal karena kehidupannya yang unik. Harta berlimpah dan jabatan tinggi ditinggalkannya, demi memburu hakikat hidup dalam ritus sufisme yang mendalam. Tak pelak kehidupannya yang unik memberikan inspirasi para peminat tasawuf bagi generasi-generasi berikutnya.

Nama aslinya adalah Abu Bakar bin Dulaf ibnu Juhdar Asy-Syibly. Nama Asy-Syibli dinisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di Kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Ia dilahirkan pada 247 H di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. Mendapat pendidikan di lingkungan yang taat beragama dan berkecukupan harta, ia berkembang menjadi seorang yang cerdas.

Di Baghdad ia bergabung dengan kelompok Junaid. Ia menjadi sosok terkemuka dalam sejarah Al-Hallaj yang menghebohkan. Ia dikenal karena perilakunya yang eksentrik, yang menyebabkan akhirnya menyeret dia ke rumah sakit jiwa. Ia meninggal dunia pada 334 H / 846 M dalam usia 87 tahun.

Mula-mula ia menempuh pendidikan agama dengan belajar fikih Mazhab Maliki dan ilmu hadits selama hampir 12 tahun. Kecerdasan dan keluasannya dalam ilmu agama membawanya masuk dalam lingkungan kekuasaan, sehingga sempat menyandang berbagai jabatan. Karirnya melesat, ia menduduki beberapa jabatan penting selama bertahun-tahun. Ia, antara lain, menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermavend.

Dalam buku ajaran dan teladan para sufi, Dr. HM. Laili Mansur menulis:

    “Bersama dengan seorang pejabat baru, Abu Bakar Asy-Syibli dilantik oleh Khalifah dan secara resmi dikenakan seperangkat jubah pada dirinya. Setelah pulang, di tengah jalan pejabat baru itu bersin dan batuk-batuk seraya mengusapkan jubah baru itu ke hidung dan mulutnya. Perbuatan pejabat tersebut dilaporkan kepada Khalifah. Dan Khalifah pun memecat serta menghukumnya.”

Asy-Syibli pun terheran-heran, mengapa hanya karena jubah seseorang bisa diberhentikan dari jabatannya dan dihukum. Tak ayal, peristiwa ini membuatnya merenung selama berhari-hari. Ia kemudian menghadap Khalifah dan berkata:

    “Wahai Khalifah, engkau sebagai manusia tidak suka bila jubah jabatan diperlakukan secara tidak wajar. Semua orang mengetahui betapa tinggi nilai jubah itu. Sang Maharaja alam semesta telah menganugerahkan jubah kepadaku di samping cinta dan pengetahuan. Bagaimana dia akan suka kepadaku jika aku menggunakannya sebagai sapu tangan dalam pengabdianku pada manusia?”

Sejak itu ia meninggalkan karir dan jabatanya, dan ingin bertobat. Kisah pertobatannya menyentuh kalbu. Asy-Syibli mulai mengarungi dunia tasawuf. Ia berguru kepada sejumlah ulama sebagai pembimbing spritualnya. Antara lain ia juga masuk ke dalam kelompok spritual Khairal Nassaj. Belakangan ia juga berguru kepada beberapa sufi terkenal, seperti Junaid Al-Baghdadi – yang sangat mempengaruhi perkembangan kerohaniannya. Sufi masyhur yang cemerlang dalam berbagai gagasan tasawuf ini memang punya banyak pengikut.

Pertemuannya dengan Junaid Al-Baghdadi digambarkan oleh Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkirul Awliya. “Engkau dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah aku satu atau juallah kepadaku sebutir,” kata Asy-Syibli kepada Junaid.

Maka Junaid pun menjawab:

“Jika kujual kepadamu, engkau tidak sanggup membelinya, jika kuberikan kepadamu secara cuma-cuma, karena begitu mudah mendapatkannya engkau tidak akan menyadari betapa tinggi nilainya. Lakukanlah apa yang aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan, apabila engkau dapat dapat menunggu dengan sabar, niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu sendiri.”

Lalu kata Asy-Syibli, ”Jadi apakah yang harus kulakukan sekarang?”

Jawab Junaid, “Hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun.”

Maka Asy-Syibli berjualan belerang selama setahun. Lorong-lorong Kota Baghdad dilaluinya tanpa seorangpun yang mengenalnya. Setelah setahun lewat, ia kembali kepada Junaid. Maka ujar Junaid:

“Sekarang sadarilah nilaimu! Kamu tidak ada artinya dalam pandangan orang lain. Janganlah engkau membenci mereka dan janganlah engkau segan. Untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi bendahara, dan untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi Gubernur. Sekarang kembalilah ke tempat asalmu dan berilah imbalan kepada orang-orang yang pernah engkau rugikan.”

Maka ia pun kembali ke Kota Demavend. Rumah demi rumah disinggahinya untuk menyampaikan imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya. Akhirnya masih tersisa satu orang, tapi ia tidak tahu kemana dia pergi. Ia lalu berkata, “Aku telah membagi-bagikan 1000 dirham, tapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian.” Setelah empat tahun berlalu, ia pun kembali menemui Junaid. Perintah Junaid, “Masih ada sisa-sisa keangkuhan dalam dirimu. Mengemislah selama setahun!”

Tanpa banyak bicara, ia pun segera melaksanakan perintah sang guru. “Setiap kali aku mengemis, semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid. Dan Junaid membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara pada malam hari aku dibiarkan kelaparan,” kenang Asy-Syibli.

Setahun kemudian Junaid berkata, “Kini kuterima engkau sebagai sahabatku, tapi dengan satu syarat, engkau terus jadi pelayan sahabat-sahabatku.”

Setelah ia melaksanakan perintah sang guru, Junaid berkata lagi, “Hai Abu Bakar, bagaimanakah pandanganmu sekarang terhadap dirimu sendiri?” Jawab Asy-Syibli, “Aku memandang diriku sendiri sebagai orang yang terhina di antara semua makhluk Allah.”

Junaid menimpali, “Sekarang sadarilah nilai dirimu, engkau tidak ada nilainya di mata sesamamu. Jangan pautkan hatimu pada mereka, dan janganlah sibuk dengan mereka.” Junaid pun tersenyum, sembari berkata, “Kini sempurnalah keyakinanmu.”

Banyak hikmah dan karomah di sekitar sufi besar ini. Dalam kitab Tadzkirul Awliya diceritakan, selama beberapa hari Syibli menari-nari di bawah sebatang pohon sambil berteriak-teriak, “Hu, Hu, Hu!”

Para sahabatnya bertanya-tanya, “Apakah arti semua ini?” beberapa hari kemudian Syibli menjawab, “Merpati hutan di pohon itu meneriakkan “Ku, Ku”, maka aku pun mengirinya dengan “Hu, Hu”, burung itu tidak berhenti bernyanyi sebelum aku berhenti meneriakkan Hu, Hu,” begitulah!”

Membakar Surga
Di lain hari orang menyaksikan Syibli berlari-lari sambil membawa obor. “Hendak kemanakah engkau?” tanya orang-orang itu. “Aku hendak membakar Ka’bah, sehingga orang-orang hanya mengabdi kepada yang memiliki Ka’bah,” jawab Syibli.

Di lain waktu, tampak Syibli membawa sepotong kayu yang terbakar di kedua ujungnya, “Aku hendak membakar neraka dengan api di satu ujung kayu ini dan membakar surga dengan api di ujung lainnya, sehingga manusia hanya mengabdi karena Allah.

Setelah mengalami kemajuan spiritual sampai pada suatu titik di mana ia dapat memenuhi sakunya dengan gula-gula, dan pada setiap bocah yang ia temui, ia akan berkata, “Katakanlah, Allah!” lalu ia akan memberikan gula-gula. Setelah itu ia akan memenuhi saku bajunya dengan uang dirham dan dinar. Ika berkata, “Siapa saja yang berkata Allah sekali saja, aku akan penuhi mulutnya dengan emas.”

Setelah itu semangat kecemburuan berkobar dalam dirinya, dengan menghunus pedang, sambil berkata, “Siapa saja yang menyebut nama Allah, akan ku tebas kepalanya dengan pedang ini,” pekiknya.

Orang-orang berkata, “Sebelumnya engkau biasa memberikan gula-gula dan emas, namun mengapa sekarang engkau mengancam mereka dengan pedang?”

Ia menjelaskan, “Sebelum ini aku kira mereka menyebut nama-Nya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hakiki. Kini aku sadar bahwa mereka melakukannya tanpa perhatian dan hanya sekedar kebiasaan. Aku tidak dapat membiarkan lidah-lidah kotor menyebut nama-Nya.”

Setelah itu di setiap tempat yang ia temui, ia menuliskan nama Allah. Tiba-tiba sebuah suara berkata padanya: “Sampai kapan engkau akan terus berkutat dengan nama itu? Jika engkau merupakan seorang pencari sejati, carilah pemiliknya!”

Kata-kata ini begitu menyentak As-Syibli. Tak ada lagi ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya cinta menguasainya, begitu sempurnanya ia diliputi oleh gonjang-ganjing mistis, sampai-sampai ia menceburkan diri ke Sungai Tigris.

Gelombang sungai membawanya kembali ke tepi. Kemudian ia menghempaskan dirinya ke dalam kobaran api, namun api itu kehilangan daya untuk membakarnya. Ia mencari tempat di mana sekelompok singa berkumpul lalu berdiam diri di sana, namun singa-singa itu malah melarikan diri menghindarinya. Ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkram dan menurunkannya ke tanah dengan selamat. Kegelisahannya semakin memuncak beribu-ribu kali lipat.

Ia memekik, “Terkutuklah ia, yang tidak diterima oleh air maupun api, yang ditolak oleh binatang buas dan pengunungan!” Lalu terdengarlah sebuah suara, “Ia yang diterima oleh Allah, tidak diterima oleh yang lain.”

Kemudian orang-orang membelenggunya dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Mereka berkata, “Orang ini sudah gila.”

Ia menjawab, “Di mata kalian aku ini gila dan kalian waras. Semoga Allah menambah kegilaanku dan kewarasan kalian. Kalian dihempaskan semakin jauh dan jauh lagi!”

Khalifah lalu menyuruh seseorang untuk merawatnya. Orang itu datang dan menjejalkan obat secara paksa ke mulut As-Syibli.

“Jangan persulit dirimu,” pekik As-Syibli. “Penyakit ini bukanlah jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan obat-obatan seperti itu.”

Saat As-Syibli tengah dikurung dan di belenggu di rumah sakit jiwa, beberapa orang sahabatnya datang menjenguk.

“Siapa kalian?” pekiknya.

“Sahabat-sahabatmu,” jawab mereka.

Tiba-tiba ia mulai melempari mereka dengan batu, dan mereka lari menghindar.

Ia berteriak, “Dasar pembohong! Apakah seorang sahabat lari dari sahabatnya hanya karena beberapa bongkah batu? Ini membuktikan bahwa kalian sebenarnya adalah sahabat bagi diri kalian sendiri, bukan sahabatku!”

***

DIRIWAYATKAN bahwa ketika As-Syibli mulai mempraktikkan penyangkalan diri, selama bertahun-tahun ia biasa mengurapi matanya dengan garam agar ia tetap terjaga. Ia telah menghabiskan 260 kilogram untuk itu.

Ia kerap berujar, “Allah Yang Maha Kuasa selalu memperhatikanku.”

“Orang yang tidur itu lalai, dan orang lalai itu terhijabi,” tambahnya.

Suatu hari Junaid mengunjungi As-Syibli dan melihat sedang menahan kelopak matanya dengan jepitan.

“Mengapa engkau melakukan ini?” tanya Junaid.

“Kebenaran telah menjadi nyata, namun aku tak tahan melihatnya,” jawab As-Syibli. “Aku menjepit kelopak mataku karena siapa tahu Dia berkenan menganugerahkanku satu pandangan saja.”

As-Syibli biasa pergi ke sebuah gua dengan membawa seikat tongkat kayu. Kapan saja hatinya lalai, ia akan memukul dirinya sendiri dengan tongkat-tongkat itu.

Akhirnya ia kehabisan tongkat, semuanya telah patah. Maka ia pun membentur-benturkan kedua tangan dan kakinya ke dinding gua.

As-Syibli selalu mengatakan kalimat: “Allah…, Allah…,” salah seorang muridnya yang setia bertanya kepadanya, “Mengapa Guru tidak berkata, “Tiada Tuhan selain Allah.”

As-Syibli menghela nafas dan menjelaskan, “Aku takut ketika aku mengucapkan “Tiada Tuhan” nafasku terhenti sebelum sempat mengatakan “Selain Allah.” Jika begitu, aku akan benar-benar hancur.

Kata-kata ini benar-benar menggetarkan dan menghancurkan hati sang murid, hingga ia tersungkur dan akhirnya meninggal dunia.

Teman-teman si murid itu datang dan menyeret As-Syibli ke hadapan Khalifah. As-Syibli, tetap dalam gejolak ekstasinya, berjalan seperti orang mabuk. Mereka menuduh As-Syibli telah melakukan pembunuhan.

“As-Syibli, apa pembelaanmu?” tanya Khalifah.

As-Syibli menjawab, “Jiwanya, yang terbakar sempurna oleh kobaran api cinta, tak sabar menghadap keagungan Allah. Jiwanya, yang keras disiplinnya, telah terbebas dari keburukan badaniah. Jiwanya, yang telah sampai pada batas kesabarannya sehingga tak mampu menahan lebih lama lagi, dikunjungi secara berturut-turut oleh para utusan Tuhannya yang mendesak. Kilatan cahaya keindahan dari kunjungan ini menembus inti jiwanya. Jiwanya, seperti burung, terbang keluar sangkarnya, keluar tubuhnya. Apa salah As-Syibli dalam hal ini?

“Segera kembalikan As-Syibli ke rumahnya,” perintah Khalifah. “Kata-katanya telah membuat batinku terguncang sedemikian rupa hingga aku bisa terjatuh dari singgasanaku ini!”

Ketika ajalnya hampir tiba, pandangan matanya tampak murung. Ia minta segenggam abu, kemudian ditaburkannya di kepalanya. Ia gelisah.

“Mengapa engkau gelisah?” tanya salah seorang sahabatnya. Maka jawab Syibli:

    “Aku iri kepada Iblis. Di sini aku duduk dalam dahaga, tapi dia memberi nikmat kepada yang lain. Allah telah berfirman: “Sesungguhnya laknat-Ku kepadamu hingga hari kiamat (QS, 38:78). Aku iri karena Iblislah yang mendapatkan kutukan Allah itu. Meskipun berupa kutukan, bukanlah kutukan itu dari Dia dan dari kekuasaan-Nya?”

Apakah yang diketahui oleh si laknat mengenai nilai kutukan itu? Mengapa Allah tidak mengutuk pemimpin-pemimpin kaum muslimin dengan membuat mereka menginjak mahkota di singgasana-Nya? Hanya ahli permatalah yang mengetahui nilai permata. Jika seorang Raja mengenakan gelang manik dari kristal, itu akan tampak seperti permata. Tapi jika pedagang sayur mengenakan cincin setempel dari permata, cincin itu akan tampak sebagai manik dari kaca.”

Setelah beberapa saat tenang, Syibli kembali gelisah. “Mengapa engkau gelisah lagi?” tanya sahabatnya.

Maka jawabnya, “Angin sedang berembus dari dua arah. Yang satu angin kasih sayang, yang lain angin kemurkaan. Siapa saja yang ingin terhembus oleh angin kasih sayang, tercapailah harapannya. Dan siapa yang terembus angin kemurkaan, tertutuplah penglihatannya. Kepada siapakah angin bertiup? Bila angin kasih sayang berembus ke arahku karena akan tercapai harapan itu, aku dapat menanggung segala penderitaan dan jerih payah. Jika angin kemurkaan berembus ke arahku, penderitaan ini tidak ada artinya dibanding bencana yang akan menimpaku. Tidak ada yang lebih berat dalam batinku daripada uang satu dirham yang kuambil dari seseorang secara aniaya. Walaupun untuk itu aku telah menyedekahkan 1000 dirham, batinku tidak memperoleh ketenangan. Berikan air kepadaku untuk bersuci!”

Maka para sahabatnya pun mengambil air untuknya. Usai bersuci, Asy-Syibli pun wafat dengan tenang.


Sumber Kisah Alkisah Nomor 09 / 25 April – 8 Mei 2005

21 Apr 2014

Kisah Hikmah: Santri vs Tukang Cukur


Diadaptasi dengan perubahan seperlunya dari cerita Habib Novel bin Muhammad Alaydrus

Satu siang, di tempat cukur rambut terjadi obrolan antara si tukang cukur dengan pelanggannya. Kebetulan yang dicukur itu Zaid, seorang alumni sebuah Pesantren ternama.

Kian lama obrolan dua orang itu kian hangat saja.  Dari tema yang mulanya ngalor-ngidul, si tukang cukur yang “abangan” itu membawa obrolan ke masalah seputar akidah.  

“Kalau menurut saya, Tuhan itu tak benar-benar ada ,“ tukang cukur memulai.

“Lho kok bisa mengatakan seperti itu?” Zaid mengejar tanya.

“Ya lihat saja kehidupan ini Mas, banyak orang yang hidupnya nelangsa, penuh masalah, ribet semrawut, bahkan saking beratnya masalah itu ada yang sampai berani bunuh diri. Katanya Tuhan itu maha Pengasih yang bakal menolong setiap hambanya,. Nah buktinya mana?”

Hmm.  Zaid terdiam. Dia tak langsung menjawab. Bukan lantaran tak mampu, tapi Zaid tengah mencari jawaban yang pas buat si tukang cukur. Dia teringat benar pesan Kiainya agar bisa menyampaikan setiap hal sesuai dengan nalar lawan bicaranya.

Hingga berapa lama, Zaid belum juga angkat bicara. Si tukang cukur hampir menyelesaikan tugasnya. Tiba-tiba Zaid melihat seorang tengah duduk di luar tempat cukur rambut. Tampang dan rambut orang itu begitu acak-acakan dan berantakan. Seberkas ide pun mengalir  di kepala Zaid.

“ Nah Pak, kalau Anda mengatakan Tuhan itu tak ada, maka saya katakan tukang cukur itu tak ada.“

“ Lho, gimana sih, wong saya itu ada di sini,” tukang cukur tak mengerti

“Pokoknya, saya yakin kalau tukang cukur itu tak ada,“ Zaid ngeyel.

“Kalau tukang cukur itu ada, lha kok masih ada orang yang rambutnya berantakan,“ jawab Zaid sambil menunjuk seorang tak jauh dari tempat itu.

“Anda ini gimana sih, dia yang di sana itu maksudnya, kalau dia rambutnya berantakan, ya sebab tak mau datang ke tempat ini, coba kalau ke sini, pasti saya rapikan,“ sergah Tukang cukur.

“Nah, seperti itu juga pak, kalau ada orang yang ditumpuk masalah dan hidupnya begitu ribet, bukan lantaran Tuhan itu tak ada, tapi sebab si pemilik masalah itu tak mau datang menghadap Tuhannya, Allah. Coba kalau datang, berserah diri, memohon ampun dan pertolongan, Allah pasti menolongnya,” jawab Zaid mantab.

Sang Tukang cukur pun terdiam seribu bahasa. Skak mat!*

Peristiwa Ajaib Pertobatan Sang Pemabuk



Jika ada kemauan pasti ada jalan. Entah kapan awal mula pepatah masyhur ini muncul. Tetapi, kebenarannya teruji berkali-kali di hampir setiap zaman. Karena “mau”, seorang pemuda pemabuk pada masa Umar bin Khathab, tak hanya mendapat “jalan” tapi juga keajaiban.

Kisah tersebut bermula ketika Umar bin Khathab berjalan-jalan di lorong Kota Madinah. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang pemuda. Amirul Mu’minin tahu, ada sesuatu di balik bajunya.

Umar bin Khathab yang penasaran pun menanyakan kepada sang pemuda perihal benda yang disembunyikan tersebut. Karena malu, pemuda ini tak lantas menjawab pertanyaan umar. Siapa tak gugup, ketika kepergok membawa minuman keras (khamr) di hadapan “Singa Padang Pasir”?

“Tuhanku, jangan Engkau membuka rahasiaku. Dan janganlah Engkau permalukan diriku di hadapan Umar bin Khathab. Tutuplah semua itu. Dan aku berjanji, tidak akan minum minuman keras lagi untuk selama-lamanya,” gumam pemuda itu dalam hati.

Kehadiran Umar ternyata sanggup menggerakkan komitmen pemuda itu untuk mengakhiri perbuatan terlarangnya. Tekadnya untuk bertobat betul-betul sudah bulat. Tapi, sang pemuda tak bisa menghindar dari pertanyaan Umar bin Khathab.

“Ya Amiral-Mu’minin, aku membawa cukak,” aku sang pemuda berusaha menutupi aibnya.

“Bukalah hingga aku mengetahui apa sebenarnya yang berada di balik bajumu.”

Pemuda itu lalu mengeluarkan benda yang ada di balik bajunya. Ajaib, minuman keras itu tiba-tiba sudah berubah menjadi cukak segar yang bisa dinikmati. Cerita ini bisa kita simak di kitab Al-Minahus Saniyah karya Abdul Wahhab Asy-Sya’rani terjemahan Zaid Husein Al-Hamid.

Hikayat di atas merupakan secuil bukti bahwa kejahatan seseorang sesungguhnya sudah menemukan jalan terang sejak niat memperbaiki diri menghujam di dada. Namun demikian, sebagai niat, ia tetaplah pada level permulaan. 

Abdul Wahhab Asy-Sya’rani mengurai lagi tahapan-tahapan tobat untuk mencapai pada puncak kesucian diri. Pertama adalah bertobat dari dosa-dosa besar, kemudian dari dosa-dosa kecil, dari perkaran yang dibenci (makruh), lalu dari perkara yang menyalahi keutamaan.

Selanjutnya, bertobat dari prasangka baik terhadap diri sendiri, dari prasangka bahwa dirinya adalah kekasih Allah, dari prasangka bahwa dirinya sudah benar-benar bertobat, dan akhirnya bertobat dari kehendak hati yang tidak diridlai oleh Allah. Puncaknya adalah bertobat setiap kali alpa dari mengingat Allah, meskipun hanya sekejap


Keteguhan Masyitah Mempertahankan Keimanan



Kisah tentang keteguhan seorang wanita yang bernama Masyitah dalam mempertahankan keimanannya ini begitu masyhur. Masyitah adalah seorang pelayan di kerajaan Fir’aun. Dia bertugas melayani putri Fir’aun.

Secara diam-diam, rupanya Masyitah telah mengikuti ajaran Nabi Musa a.s. Ia menyembunyikan keyakinannya, sebab  Fir’aun akan bertindak kejam kepada siapapun yang mengikuti ajaran Nabi Musa a.s.

Hingga suatu hari, ketika Masyitah menyisir rambut putri Fir’aun, dia mengucap kalimat basmalah sehingga putri Fir’aun mendengarnya. Sang putri pun mengadukan peristiwa ini kepada ayahnya. Masyitah dipanggil untuk menghadap Fir’aun.

“Hai Masyitah, kudengar dari puteriku kamu dan seluruh keluargamu telah mengikuti ajaran Musa dan Harun! Benarkah berita itu?” tanya Fir’aun.

“Benar! aku dan seluruh keluargaku telah menjadi pengikut Musa. Ketahuilah, tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah! termasuk dirimu!”

Mendengar hal itu, Fir’aun menjadi murka. “Baiklah, kalau kamu tetap pada pendirianmu. Kamu dam keluargamu akan kumasukkan ke kuali itu,” kata Fir’aun, sembari menunjuk ke sebuah kuali besar berisi air mendidih.

“Azab Allah di akhirat lebih aku takutkan daripada hukumanmu,” jawab Masyitah mantap.

Maka, satu persatu keluarga Masyitah mulai dimasukkan ke dalam kuali. Hingga pada giliran anaknya yang masih bayi, iman Masyitah mulai diuji dengan rasa sayang seorang ibu.

Namun, di sini keajabian terjadi. Bayi Masyitah tiba-tiba dapat bebicara. “Wahai Ibu! Janganlah engkau ragu. Sesungguhnya engkau di jalan yang benar. kelak kita akan berkumpul lagi di dalam surga Allah yang penuh kenikmatan,”

Mendengar perkataan tersebut, tanpa ragu lagi Masyitah pun terjun bersama bayinya, menemui Allah swt. sebagai seorang syuhada.

Gaya Hidup Putri Rasulullah SAW



Menjadi anak raja hampir selalu membawa takdir keberuntungan. Kekuasaan puncak sang ayah tak hanya memungkinkan dia hidup serbakecukupan tapi juga berlumuran kemewahan. Lantas, bagaimana dengan putri Nabi Muhammad SAW, pemimpin tertinggi dan pelaksana risalah ilahi?

Suatu hari Sayyidah Fathimah, dihampiri Abdurrahman bin ‘Auf. Dia mengabarkan bahwa Rasulullah tengah menangis sedih selepas menerima wahyu dari Jibril. Abdurrahman datang dalam rangka mencari obat bagi susana hati Nabi yang kalut itu. Satu hal yang selalu membuat bahagia Rasulullah adalah melihat putrinya.

“Baik. Tolong menyingkirlah sejenak hingga aku selesai ganti pakaian.” Demikian diceritakan dalam kitab al-Aqthaf ad-Daniyyah melalui riwayat Umar bin Khattab.

Keduanya lalu berangkat ke tempat Rasulullah. Saat itu Fathimah menyelimuti tubuhnya dengan pakaian yang usang. Ada 12 jahitan dalam lembar kain tersebut. Serpihan dedaunan kurma juga tampak menempel di sela-selanya.

Sayidina Umar bin Khattab menepuk kepala ketika menyaksikan penampilan Fathimah. “Betapa nelangsa putri Muhammad SAW. Para putri kaisar dan raja mengenakan sutra-sutra halus sementara Fathimah anak perempuan utusan Allah puas dengan selimut bulu dengan 12 jahitan dan dedaunan kurma.”

Sesampainya menghadap ayahandanya, Fathimah bertutur, “Ya Rasulullah, tahukah bahwa Umar terheran-heran dengan pakaianku? Demi Dzat yang mengutusmu dengan kemuliaan, aku dan Ali (Sayyidina Ali bin Abi Thalib, suaminya) selama lima tahun tak pernah menggunakan kasur kecuali kulit kambing.”

Fathimah menceritakan, keluarganya menggunakan kulit kambing tersebut hanya pada malam hari. Sementara siang kulit ini menjelma sebagai tempat makan untuk unta. Bantal mereka hanya terbuat dari kulit yang berisi serpihan dedaunan kurma.

“Wahai Umar, tinggalkan putriku. Mungkin Fathimah sedang menjadi kuda pacu yang unggul (al-khailus sabiq),” sabda Nabi kepada sahabatnya itu.

Analogi kuda pacu merujuk pada pengertian keutamaan sikap Fathimah yang mengungguli seluruh putri-putri raja lainnya. “Tebusanmu (wahai Ayah) adalah diriku,” sahut Fathimah.

Dengan kedudukan dan kharisma ayahandanya yang luar biasa, Fathimah sesungguhnya bisa memperoleh apa saja yang ia kehendaki, lebih dari sekadar pakaian dan kasur yang bagus. Namun, kepribadian Rasulullah yang bersahaja tampaknya memang mewaris ke dalam dirinya. Fathimah tetap tampil sederhana, dengan segenap kebesaran dan kemewahan jiwanya