CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

17 Jan 2015

Islam Nusantara



Tuhan menggunakan penamaan "Tuhan" utk menceritakan diri-Nya, dlm bahasa arab disebut: Rabb atau Ilah. Misalnya firman Allah:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi". Mereka bertanya: "Adakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yg akan membuat bencana dan menumpahkan darah, padahal kami sentiasa bertasbih dg memujiMu dan mensucikanMu?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui akan apa2 yg kamu tidak mengetahuinya".

Dalam do'a juga kita sering mengucapkan, "Ya Robbana atau Ya Ilahi " yg artinya "wahai Tuhan kami"

Tpi entah mengapa akhir2 ini sebagagian ummat Islam yg mengaku dirinya paling Islami banyak yg protes terhadap penulisan Tuhan karena katanya sama dg penyebutan untuk orang nashrani, atau terlalu dekat dg Sang Hyang dalam keyakinan agama lain.

Islam, bagi kita bangsa Indonesia itu Islam NUsantara. Anda boleh menyapa Dia dgn panggilan "Tuhan" atau menyebut "sembahyang" utk sholat atau "puasa" utk shaum atau " langgar/surau " untuk musholla, "ayah" untuk abi dll, bahkan tak mengapa mas paimin menyebut "sekaten" utk syahadatain atau mas parjo menyebut "sarengat" utk kata syari'at.

Pemangku da'wah saat ini sudah banyak yg latah dan terlalu banyak yg melangit, padahal Allah meminta kita menjadi khalifah di bumi, artinya kita justru harus membumi. Turunlah sejenak dari ketinggian. Sapalah mbo tukiyem yg meskipun hanya penjual sayur di pasar kaget, tetapi selalu jujur dlm transaksi dan amat menghargai pembeli.

Islam NUsantara itu ramah lingkungan, sebagaimana budaya lama nenek moyang kita yg menyenangi gotong royong dan kesederhanaan.

Baju koko ( asalnya dari kata taqwa), kopiah (asalnya dari kata khufyah) dan sarung (asalnya dari kata syar'an, oleh sebagian orang jawa tengah bagian selatan yg memiliki dialek ngapak akhirnya menjadi syarngan, lalu berevolusi lagi menjadi sarungan ) tak mengapa engkau kenakan, tak perlu juga menggantinya dgn gamis atau sorban putih. Keningmu yg tak menghitam tak perlu digosok2 saat sujudmu, biar saja, meski tdk berjidat hitam, bukan berrti engkau tidak sholeh. 

Mari kita fahami dan amalkn ajaran Islam dg tetap tidak menyampingkan budaya lokal. Itulah Islam NUsantara, Islam warisan para Aulia , penyebar agama Islam di bumi NUsantara tercinta.
والله اعلم بالصواب

16 Jan 2015

Allah, Kalimat Terakhir Bung Karno



Saat Haul Soekarno selalu disambut dengan doa dan tahlilan para Soekarno is, ribuan warga Blitar menggelar tumpeng sepanjang 2 km di Istana Gebang. Tempat itu merupakan rumah masa kecil Soekarno .

Sayangnya kematian Soekarno tak seindah jasanya memerdekakan negeri ini.

Soekarno meninggal dalam ruang perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Komplikasi ginjal, gagal jantung, sesak napas dan rematik mengalahkan tubuhnya. Semangatnya sudah hilang bertahun-tahun lalu lalu saat Jenderal Soeharto menahannya di Wisma Yasoo.

Soekarno diasingkan dari rakyat yang dicintainya. Bahkan keluarga sendiri dipersulit jika mau menjenguk. Dengan cepat kesehatannya menurun. Soekarno menjadi linglung dan suka bicara sendiri.

Pengamanan terhadap Soekarno diperketat. Alat sadap dipasang di setiap sudut rumah. Rupanya singa tua sakit-sakitan dalam sangkar berlapis ini masih menakutkan bagi Jenderal Soeharto .

Puncaknya, Soekarno dilarikan dari Wisma Yasoo tanggal 16 Juni 1970 dalam kondisi sekarat. Dia ditempatkan dalam sebuah kamar dengan penjagaan berlapis di lorong-lorong Rumah Sakit. Hal itu diceritakan dalam buku ‘Hari-hari Terakhir Soekarno ‘ yang ditulis Peter Kasenda dan diterbitkan Komunitas Bambu.

Kondisi Soekarno terus memburuk. Pukul 20.30 WIB, Sabtu 20 Juni 1970, kesadaran Soekarno menurun. Minggu dini hari, Soekarno tak sadar dan koma.

Dokter Mahar Mardjono sadar ini mungkin detik-detik terakhir hidup Putra Sang Fajar itu. Dia kemudian menghubungi anak-anak Soekarno . Meminta mereka segera datang.

Minggu, 21 Juni 1970, pukul 06.30 WIB, anak-anak Soekarno sudah berkumpul di RSPAD. Tampak Guntur, Megawati, Sukmawati, Guruh dan Rachmawati menunggu dengan tegang kabar ayah mereka.

Pukul 07.00 WIB, Dokter Mahar membuka pintu kamar. Anak-anak Soekarno menyerbu masuk ke ruang perawatan. Mereka memberondong Mahar dengan pertanyaan. Namun Mahar tak menjawab, dia hanya menggelengkan kepala.

Pukul tujuh lewat sedikit, suster mencabut selang makanan dan alat bantu pernapasan. Anak-anak Soekarno mengucapkan takbir.

Megawati membisikkan kalimat syahadat ke telinga ayahnya. Soekarno mencoba mengikutinya. Namun kalimat itu tak selesai.

“Allaaaah…” bisik Soekarno pelan seiring nafasnya yang terakhir.

Tangis pecah. Pukul 07.07 WIB, seorang manusia bernama Soekarno kembali pada penciptanya. Berakhirlah tugasnya sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia.

Tapi kematian juga yang membebaskannya dari status tahanan rumah Orde Baru. Soekarno merdeka dari para pengawal, tembok-tembok tinggi, alat penyadap dan para interogrator. Soekarno telah bebas.


13 Jan 2015

Walingo, Sejarah dan Asal Usulnya



Bisa dikatakan tak akan ada Islam di Indonesia tanpa peran khilafah. Orang sering mengatakan bahwa Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa disebarkan oleh Walisongo. Tapi tak banyak orang tahu, siapa sebenarnya Walisongo itu? Dari mana mereka berasal? Tidak mungkin to mereka tiba-tiba ada, seolah turun dari langit?

Dalam kitab Kanzul ‘Hum yang ditulis oleh Ibn Bathuthah yang kini tersimpan di Museum Istana Turki di Istanbul, disebutkan bahwa Walisongo dikirim oleh Sultan Muhammad I. Awalnya, ia pada tahun 1404 M (808 H) mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta dikirim sejumlah ulama yang memiliki kemampuan di berbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa.

Jadi, Walisongo sesungguhnya adalah para dai atau ulama yang diutus khalifah di masa Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Dan jumlahnya ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada 6 angkatan yang masing-masing jumlahnya sekitar sembilan orang. Memang awalnya dimulai oleh angkatan I yang dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, pada tahun 1400 an. Ia yang ahli politik dan irigasi itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua wali dari Palestina yang berdakwah di Banten. Yaitu Maulana Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliudin. Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan biologis dan ideologis dengan Palestina.

Lalu ada Syekh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah yang di sini lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Keduanya juga berasal dari Palestina. Sunan Kudus mendirikan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang kemudian disebut Kudus – berasal dari kata al Quds (Jerusalem).

Dari para wali itulah kemudian Islam menyebar ke mana-mana hingga seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau ada dari umat Islam sekarang yang menolak khilafah. Itu sama artinya ia menolak sejarahnya sendiri, padahal nenek moyangnya mengenal Islam tak lain dari para ulama yang diutus oleh para khalifah.

Islam masuk ke Indonesia pada abad 7M (abad 1H), jauh sebelum penjajah datang. Islam terus berkembang dan mempengaruhi situasi politik ketika itu. Berdirilah kesultanan-kesultanan Islam seperti di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan Peureulak (didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M), Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang; Ternate, Tidore dan Bacan di Maluku (Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440); Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai di Kalimantan.

Adapun kesultanan di Jawa antara lain: kesultanan Demak, Pajang, Cirebon dan Banten. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima. Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik dalam kesultanan-kesultanan tersebut.

PERIODE DAKWAH WALI SONGO

Kita sudah mengetahui bahwa mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudra Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.

Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati).

Mulai tahun 1463M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang); dan Raden Qasim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit.

Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu.


Hubungan tersebut juga nampak antara Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah. Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563M, penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa sejumlah raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk agama Islam jika kekhalifahan Utsmaniyah mau menolong mereka.

Saat itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang mendesak, yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya membentuk sebuah armada yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu masyarakat Aceh yang terkepung.

Namun, sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal yang tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan teknisi juga membawa senjata dan peralatan perang lainnya, yang langsung digunakan oleh penguasa setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat diketahui dalam berbagai arsip dokumen negara Turki.

Hubungan ini nampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan diantaranya Abdul Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu. Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan dari Syarif Mekah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Pada tahun 1638 M, sultan Abdul Kadir Banten berhasil mengirim utusan membawa misi menghadap syarif Zaid di Mekah.

Hasil misi ke Mekah ini sangat sukses, sehingga dapat dikatakan kesultanan Banten sejak awal memang meganggap dirinya sebagai kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar al-Islam yang ada di bawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar sultan dari Syarif mekah.

Hubungan erat ini nampak juga dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajari cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani (1300-1922).

Bernard Lewis (2004) menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis. Dikirimlah 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya pengangkut persenjataan dan persediaan; sekalipun hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh.

Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan orang Turki beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567, Sultan Salim II mengirim sebuah armada ke Sumatera, meski armada itu lalu dialihkan ke Yaman. Bahkan Snouck Hourgroye menyatakan, “Di Kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk Muslimin di Indonesia.” Bahkan pada akhir abad 20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan Turki.

Di istambul juga dicetak tafsir al-Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili yang pada halaman depannya tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam”. Sultan Turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki.

Pada masa itu, yang disebut-sebut Sultan Turki tidak lain adalah Khalifah, pemimpin Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Selain itu, Snouck Hurgrounye sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah air, melihat stambol (Istambul, kedudukan Khalifah Usmaniyah) masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua orang mukmin yang kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang oleh adanya kekuasaan orang-orang kafir, tetapi masih dan tetap [dipandang] sebagai raja dari segala raja di dunia. Mereka juga berpikir bahwa “sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk dan memberikan penghormatannya kepada khalifah.” Demikianlah, dapat dikatakan bahwa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani.

Dengan demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, baik saat Khilafah Abbasiyah Mesir dan Khilafah Utsmaniyah telah nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam oleh Utusan Syarif Mekkah, dan pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram oleh Syarif Mekkah.

Dengan mengacu pada format sistem kehilafahan saat itu, Syarif Mekkah adalah Gubernur (wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan Hijaz. Jadi, wali yang berkedudukan di Mekkah bukan semata penganugerahan gelar melainkan pengukuhannya sebagai sultan. Sebab, sultan artinya penguasa. Karenanya, penganugerahan gelar sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam. Sementara itu, kelihatan Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat khilafah Utsmaniyah di Turki.

KESIMPULAN

Jumlah dai yang diutus ini tidak hanya sembilan (Songo). Bahkan ada 6 angkatan yang dikirimkan, masing-masing jumlanya sekitar sembilan orang. (Versi lain mengatakan 7 bahkan 10 angkatan karena dilanjutkan oleh anak / keturunannya)

Para Wali ini datang dimulai dari Maulana Malik Ibrahim, asli Turki. Beliau ini ahli politik & irigasi, wafat di Gresik.
- Maulana Malik Ibrahim ini menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara.

- Seangkatan dengan beliau ada 2 wali dari Palestina yg berdakwah di Banten; salah satunya Maulana Hasanudin, beliau kakek Sultan Ageng Tirtayasa.

- Juga Sultan Aliyudin, beliau dari Palestina dan tinggal di Banten. Jadi masyarakat Banten punya hubungan darah & ideologi dg Palestina.

- Juga Syaikh Ja'far Shadiq & Syarif Hidayatullah; dikenal disini sebagai Sunan Kudus & Sunan Gunung Jati; mereka berdua dari Palestina.

- Maka jangan heran, Sunan Kudus mendirikan Kota dengan nama Kudus, mengambil nama Al-Quds (Jerusalem) & Masjid al-Aqsha di dalamnya.

(Sumber Muhammad Jazir, seorang budayawan & sejarawan Jawa , Pak Muhammad Jazir ini juga penasehat Sultan Hamengkubuwono X).

Adapun menurut Berita yang tertulis di dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghribi.

Sultan Muhammad I itu membentuk tim beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa dimulai pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara dari Turki.

Wali Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404 M/808 H. Terdiri dari:

1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara. 
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan. 
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir. 
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko. 
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara. 
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan. 
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina. 
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina. 
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli ruqyah.

Wali Songo Angkatan ke-2, tahun 1436 M, terdiri dari :

1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan 
2. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan 
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir 
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko 
5. Sunan Kudus, asal Palestina 
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina 
7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina 
8. Maulana 'Aliyuddin, asal Palestina 
9. Syekh Subakir, asal Persia Iran.

Wali Songo Angkatan ke-3, 1463 M, terdiri dari:

1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan 
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim 
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir 
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko 
5. Sunan Kudus, asal Palestina 
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina 
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim 
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim 
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim

Wali Songo Angkatan ke-4,1473 M, terdiri dari :

1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan 
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim 
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak 
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon 
5. Sunan Kudus, asal Palestina 
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina 
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim 
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim 
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim

Wali Songo Angkatan ke-5,1478 M, terdiri dari :

1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim 
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah 
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak 
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon 
5. Sunan Kudus, asal Palestina 
6. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran 
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim 
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim 
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim

Wali Songo Angkatan ke-6,1479 M, terdiri dari :

1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim 
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah 
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak 
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon 
5. Sunan Kudus, asal Palestina 
6. Sunan Tembayat, asal Pandanarang 
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim 
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim 
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim

9 Jan 2015

Indonesia Dicintai Para Waliyullah



Seorang ulama besar, wali quthub Hadhramaut Yaman, salah satu murid dari al-Imam al-Haddad yakni al-Habib Ahmad bin Umar al-Hinduan menjelang wafatnya mengutarakan 2 kekecewaan. Pertama, karena tidak hafal al-Quran. Dan kedua, karena belum pernah masuk ke Jawa (Indonesia).
Ada apa di balik pernyataan kekecewaan sang wali quthub tersebut? Habib Luthfi bin Yahya menjelaskan bahwa, itu sebetulnya membangkitkan kita sebagai warga Indonesia harus bangga memiliki Republik dan Tanah Air ini, Indonesia. Seorang wali besar Hadhramaut sampai berkata demikian.

Begitupula yang dikatakan wali besar lainnya, al-Habib Umar al-Muhdhar yang terkenal dengan Wali Ahl Dark: "Al-Indonesiy fi 'ainiy", Indonesia ada dalam pandanganku. Sekejap mata pun aku tak pernah luput darinya.

7 Jan 2015

Ratu Surga



Didalam Musnad Imam Ahmad di ceritakan "Pada hari kiamat di depan Pengadilan Allah ketika seluruh umat manusia akan dikumpulkan. Anbiya, Sahabat, Auliya & Semua orang beriman. Di antara mereka juga hadir para lelaki mulia dan wanita wanita terbaik, para malaikat dan masyarakat Jinn..

Dan dalam situasi seperti itu iapa yang akan terjadi ketika Ratu surga akan memasuki Pengadilan?
Rasulullah Saw mengatakan, "Pada hari kiamat (saat seluruh makhluk penciptaan dikumpulkan), Ada suara yang akan memanggil, 'Kalian semuanya, tundukkan pandangan mu, Fathimah putri Muhammad (Salamullah Ala Abiha wa Alaiyha) akan lewat!!!."

SubhanAllah. Betapa agungnya, hanya Allah dan Rasul Saw yang mengetahui kemuliaan sejati dan kemurnian dari Ratu Surga Ini, bahkan pada hari kiamatpun tak ada mata yang diperbolehkan memandang wanita mulia ini

Memang benar dia adalah NUR, putri dari manusia yang paling bercahaya, istri dari lelaki yang penuh cahaya dan ibu dari dua pemuda yang juga bercahaya,yakni Sayidina Hasan ra & Sayidina Husein ra...

Subhanallah:'