CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

20 Des 2016

Membela Habaib dan NU



Oleh: KH. Muhajir Madad Salim

A. Membela Habaib
Di sebuah dusun kecil, serombongan habaib muda ('alaihimussalam) sowan kepada seorang kiai sepuh. Dengan nada penuh kegelisahan cucu-cucu Baginda Nabi Saw. yang dimuliakan Tuhan itu berkata, "Kiai, bagaimana NU ini? Semuanya pada berangkat ke jakarta NU malah menahan diri. Malah kabarnya akan kirim Banser untuk Demo tandingan?"

Sesudah menghela nafasnya yang dalam Kiai menjawab, "Yiiik...", begitu biasanya beliau memanggil mereka. 'Antum di dusun ini jangan sekali-kali merendahkan NU nggih? Karena di dusun ini hanya orang-orang NU saja yang mau bershalawat kepada Kanjeng Nabi beserta Ahli Baitnya. Kalau antum memusuhi mereka, saya takut di dusun ini tidak akan ada lagi ada ummat Islam yang bershalawat untuk antum para Ahlul Bait."

Sebuah jawaban tidak terduga, yang sontak membuat para saadah muda itu tertegun. Bahkan tertegun cukup lama .
Kiai meneruskan, "Orang-orang dusun sini, adalah orang-orang awam yang tidak mengerti membalas kebaikan para Ahlul Bait kecuali dengan cara bershalawat untuk mereka. Janganlah antum berbuat sesuatu yang menyebabkan mereka meninggalkan satu-satunya kebaikan yang mereka punya!"
Sebuah kisah nyata, dari sebuah perkampungan kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kita sekalian selama ini. Tetapi begitu mendengar kisah tersebut, saya berfikir ada banyak kata-kata yang mesti diungkapkan untuk dapat tetap "Mbelani NU" dan sekaligus tetap "Memuliakan Habaib".

Ketua Umum PBNU Kiai Said Aqil Siraj menyatakan bahwa memuliakan para habaib itu bagi kaum Nahdliyin adalah sebuah keyakinan agama mereka. Tetapi jauh sebelum Kiai Said berkata seperti itu, salah satu ulama kebanggaan kaum Nahdliyin yang merupakann mahaguru para kiai Jawa yang mayoritas kaum Nahdliyin banyak berhutang ilmu kepada beliau, yakni Syaikhul Haramain Syaikh Nawawi Banten, berkata dalam kitab kecil beliau Qami’ ath-Thughyan: “ …bahwa patut bagi setiap Muslim untuk berkeyakinan apa yang dilakukan oleh para Ahli Bait, Allah telah menganpuni mereka. Tidak boleh bagi kita merendahkan seseorang, terlebih merendahkan para Ahli Bait."

Mari berbicara tentang kemuliaan. Kemuliaan derajat seorang Muslim itu bisa disebabkan oleh banyak hal. Yang paling mudah menyebutkannya adalah kemuliaan karena "ketaqwaan". Jika seorang Muslim hidupnya penuh dengan ketaqwaan, maka dia akan mulia disisi Allah Ta’ala.

Selain ketaqwaan, ada juga sebab yang lainnya yaitu "kedekatan". Maksud kedekatan ini adalah kedekatan Muhammadiyyah. Seorang Muslim jika mempunyai kedekatan dengan Baginda Nabi Saw., maka dia akan mulia disisi Allah dibanding yang tidak.

Para sahabat Rasulullah Saw. memperoleh kemuliaan itu karena sebab ini. Mereka hidup sebagai sahabat Nabi, hidup bersama Nabi, ada dalam satu zaman dengan Nabi. Maka dikatakan: "Sebaik-baiknya tabi’in (setaqwa-taqwanya para tabi’in) tidak akan dapat mengungguli kemuliaan dari serendah-rendahnya seorang sahabat Nabi." Sebaik-baiknya tabi’in itu contohnya seperti Sayyidina Said bin Musayyib, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz, Sayyidina Hasan al-Bashri, Sayyidina Abi Hanifah dan masih banyak yang lain. Mereka semua tingkat ketaqwaannya sudah sebegitu tingginya setaraf “Dewa”. Tetapi di sisi Allah mereka tidak mampu mengungguli kemuliaan golongan terendah dari para sahabat seperti Sayyidina Wahsyi.

Sayyidina Wahsyi ini sahabat Nabi Saw. Tetapi beliau adalah shahabiy yang tingkat ketaqwaannya ada pada level terendahnya. Selain ada “bayang-bayang” kelam dirinya yang sebelum Islam telah membunuh Sayyidina Hamzah, seorang paman yang sangat dicintai Baginda Nabi, beliau Sayyidina Wahsyi ini selama hidupnya tenggelam dalam pengaruh buruk alkohol. Bahkan beliau meninggal dunia dalam keadaan dihukum cambuk karena kebiasaan buruknya itu.

Meskipun demikian, sebagai seorang sahabat sebagaimana sahabat-sahabat Nabi yang lainnya, beliau itu "maghfurun lahum", orang-orang yang dosa-dosanya diampuni oleh Allah Ta’ala.

Jika diukur dengan ketaqwaan, para Sayyidut Tabi’in itu jauh mengungguli Sayyidina Wahsyi. Tidak selevel. Namun di akhirat, kedudukan Sayyidina Wahsyi lebih tinggi disisi Allah dibanding mereka. Bukan karena ketaqwaan Wahsyi mendapatkan keunggulannya itu, tetapi beliau mendapatkan keutamaannya karena sebab kedekatan Muhammadiyyahnya (keshahabiyannya).

Mulia karena dekat dengan seorang yang mulia, yakni Baginda Nabi al-Mushthafa. Dalam hal-hal serupa ini para ulama menerangkannya dalam sebuah analog ini:
"Seorang pelayan yang memijit tubuh seorang Raja, dia dimuliakan sehingga berdiri di tempat yang lebih tinggi dibanding para Mentri. Mereka para mentri duduk di bawah, sementara pelayan tersebut tempatnya di atas di samping Raja. Bukan berarti pelayan dimuliakan karena kepandaiannya sebagaimana para mentri. Para mentri jauh lebih pandai dan jauh lebih memahami dan berkhidmat kepada urusan rakyat dibanding dirinya. Tetapi pelayan itu dimuliakan tempatnya karena kedekatannya dengan Raja saja."

Para pemerhati sejarah Islam akan dengan mudah menempatkan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sebagai slah satu tokoh protagonis. Lalu dalam banyak hal mereka akan mudah menempatkan Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai tokoh antagonisnya.

Tetapi mereka akan terkesima jika menyimak apa keyakinan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sendiri dalam hal ini. Suatu saat, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz ditanya seseorang, "Siapakah yang lebih mulia, diri Tuan ataukah Muawiyah?"

Dengan nada kesal beliau menjawab, "Sungguh, seonggok debu yang masuk di dalam rongga hidung kuda yang ditunggangi Muawiyyah saat dirinya berjihad di samping Rasulullah Saw. itu, jauh lebih mulia dibanding Umar bin Abdul Aziz!"

Kemuliaan Sayyidina Muawiyah tersebut bukan dari sebab ketaqwaannya, tetapi sebab kedekatan Muhammadiyyah yang dimilikinya. Sehingga seorang yang telah paripurna ketaqwaannya seperti Umar bin Abdul Aziz pun tidak dapat melampauinya.

Sampai di sini, sudah dapat ditarik natijah bahwa "ketaqwaan" itu tidak satu-satunya mizan/parameter kemuliaan seorang Muslim disisi Allah Ta’ala. Tetapi masih ada sebab yang lain yang dapat membuat seorang Muslim mulia disisi Allah, yaitu sebab "Anshoriyyah Nabawiyyah". Seseorang yang mempunyai unsur-unsur genetik Rasulullah, yang dalam dirinya mengalir darah dan daging Rasulullah Saw., yakni mereka adalah para anak-cucu Rasulullah. Mereka semua akan dimuliakan di sisi Allah Ta’ala karenanya. Kemuliaan yang Allah berikan melalui ayat Tath-hir (QS. al-Ahzab ayat 33):
ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Kemuliaan yang membuat semua anak cucu keturunan Nabi Saw. adalah "maghfurun lahum", orang-orang yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah Ta’ala persis kemuliaan serupa yang dimiliki oleh golongan shahabiy. Orang yang shaleh dari mereka ataupun orang yang thaleh (jahat) dari mereka, semuanya oleh Allah akan diampuni. Mereka diampuni bukan karena ketqwaan/amal mereka. Tetapi ampunan itu mereka dapatkan murni "pemberian" Allah belaka.

Berkata Syaikh an-Nabhaniy dalam sebuah kitabnya: "…Para Syarif itu termasuk juga sebagai anak cucu Sayyidah Fathimah, Radhiyallahu 'anhum, mereka semua sampai hari kiamat mendapatkan anugerah hukum ayat ini (yakni) mendapatkan ampunan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang disucikan (almuthahharun) yang khusus mereka terima dari Allah sebagai sebuah inayah untuk mereka dikarenakan (maziyyah) kemuliaan Baginda Nabi Muhammad Saw. Kekhususan ini juga merupakan inayah Allah untuk Baginda Nabi Muhammad Saw. pula."

Sampai di sini, natijah tersebut semakin menguat bahwa ketaqwaan bukan satu-satunya ukuran kemuliaan seseorang. Karena kedekatan zaman (seperti yang dimiliki oleh para Sahabat) dan kedekatan jasad (seperti yang dimiliki oleh para Ahlul Bait) juga dapat menjadi sebab sebuah kemuliaan disisi Tuhan.

Hal sedemikian ini yang mendasari pernyataan Kiai Said Aqil Siraj dan mahaguru para kiai Jawa, Syaikh Nawawi al-Bantani, tentang kedudukan Ahlul Bait di awal tulisan ini. Orang-orang NU yang mempunyai kecintaan kelas “Dewa” kepada para habaib ternyata bukan akal-akalan atau emosionalisme mereka belaka. Ternyata mereka mempunyai imam panutannya, dalam masalah ini yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani .

Sehingga tidak perlu terjadi sesungguhnya, beberapa pemuda Nahdliyin dengan gaya ala Koboy menantang-nantang duel ala carok dengan para habaib. Jika belum dapat menghormati para sayyid, semestinya mereka menghormati keyakinan kiai-kiai mereka atau syaikh-syaikh mereka seperti Syaikh Nawawi ini.

Hanya saja saya memaklumi perbuatannya itu, karena saya husnudzan mereka melakukannya atas dasar ketidaktahuan mereka akan Rutbah (kedudukan tinggi) para Sayyid. Namanya saja tidak tahu, maklumi saja. Jikalau mereka sudah mengetahui, mereka tidak mungkin melakukannya.
Atau bisa saja mereka mengenal Rutbah para Sayyid itu dengan bahasa, ajaran serta stigma-stigma yang salah yang diajarkan oleh orang-orang “terpelajar” di sekitar mereka. Sehingga keyakinan yang tertanam dalam diri mereka berbeda dengan keyakinan ala Qami’ ath-Thughyan-nya Syaikh Nawawi Banten 

Tulisan berikut adalah bagian tentang yang ketidaktahuan/kesalahtahuan tersebut. Karena di bagian ini harus menjelentrehkant entang kewajiban membela NU-nya. Dan pengetahuan yang komprehensif atas serba-serbi kemuliaan seperti di atas akan menjauhkan seseorang bersikap berlebihan dalam mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap perbuatan "oknum-oknum" dari para Sayyid yang dianggapnya keliru/jahat.

B. Membela NU
Sebagaimana membela Habaib itu diniati menjalankan perintah agama yaitu membela dan mencintai para Ahlul Bait Baginda Nabi, maka membela NU juga kudu diniati untuk membela para Ulama para pewaris Nabi. Ini perintah agama juga.

Ulama sebagai salah satu bentuk Sya’airillah (tanda-tanda kemuliaan Allah) di muka bumi, maka menghormatinya hukumnya wajib. Bahkan dihitung sebagai amal terbaik, ketaqwaan terbaik. Jika demikian, membela, memuliakan rumah-rumah para ahli ilmu ini seperti Nahdlatul Ulama, sama halnya memuliakan penghuninya yakni mereka para ulama. Tidak akan mengingkari hal-hal seperti ini kecuali orang-orang yang benar-benar tertutup mata hatinya.

Menghormati ulama bahkan tidak mesti melihat keshalehan atau tidaknya sang ulama itu sendiri. Disebabkan ilmu-ilmu yang ada dalam otak mereka, yang tersimpan di dalam dada mereka, adalah makhluk-makhluk Tuhan yang dzatiyahnya sudah mulia dan patut untuk dihormati .

Hal ini ditekankan betul oleh guru-guru kita, agar para pencari ilmu mesti memahami hakekat kemuliaan ilmu. Dia (ilmu itu sendiri) adalah mahluk yang mulia, dan manusia yang di dalam dirinya membawa ilmu-ilmu menjadi mulia karenanya. Jika manusia yang berilmu itu dapat mengamalkan ilmu-ilmunya, maka ini adalah "mulia di atas mulia".

Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiriy pernah berkata, "Seorang alim seyogyanya dihormati meskipun engkau lihat dia tidak mengamalkan sendiri ilmunya, atau meskipun engkau lihat dia kurang mengamalkannya. Penghormatan ini dilakukan untuk menghormati ilmunya, yang mana ilmu itu sendiri adalah sesuatu yang mulia. Dalam Nadzam Zubad dikatakan:

العلم اسنى سـائر الاعمال ÷ وهو دليل الخير والافضـال
"Dari sekalian amal, ilmu adalah yang terbaik. Dan ilmu itu pertanda sebuah kebaikan dan keutamaan." Seorang shalihin berkata:
انظر لعلمى ولا تنظر الى عملى ÷ ينفعك علمى ولا يضرّك تقصيرى 
ان العلوم كالاشجر على ثمر ÷ فشلّ الثمـار وخلّ العود للنار
"Lihatlah ilmuku, jangan lihat amalku. Niscaya ilmuku akan bermanfaat untukmu dan kekuranganku tidak akan merugikanmu. Sungguh ilmu-ilmu itu laksana pepohonan yang berbuah. Ambil buahnya dan biarkan kayunya terbakar di perapian." Sebuah syair dikatakan:
خذ العلوم ولا تنظر لقائلها ÷ حيث كانت فان العلم ممدوح
كمثل جوهرة وسط مزبلة ÷ اليت تأخذهـا والزبل مطروح ؟
"Ambil saja banyak ilmu bagaimanapun keadaannya, jangan perdulikan siapa yang menyampaikannya. Sesungguhnya ilmu itu sendiri sesuatu yang terpuji. Bagaikan mutiara yang terjatuh di kubangan kotoran. Bukankah engkau tetap ambil mutiaranya, sementara kotorannya engkau buang?" Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. bersabda:
الحكمة ضـالّة المؤمن يأخذهـا اينمـا وجدهـا
"Hikmah itu (laksana) harta yang hilang milik seorang mukmin, dimanapun ditemukan, diambillah ia."

Mutiara nasihat Habib Salim tersebut sudah cukup mewakili sebagai landasan untuk siapapun supaya tetap menghormati para ulama meskipun dalam beberapa hal mungkin tidak dalam satu pendapat yang sama atau dalam satu gerakan yang sama.

Tidak patut bagi seorang yang terpelajar, secara terbuka menyudutkan dan merendahkan seorang ulama. Meskipun di dalam pandangan matanya ulama tersebut ia anggap bukan ulama yang baik. Beberapa waktu lalu, sangat disayangkan terjadi seorang terpelajar memperolok Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) melalui medsos miliknya, dengan bahasa yang jauh dari sopan santun.

Bukankah beliau adalah seorang ulama, bahkan salah satu pimpinan yang disepuhkan dalam Nahdlatul Ulama? Jika tidak ingin menghormati dirinya Gus Mus, bukankah mesti menghormati keulamaannya? Bahkan menghormati institusi besar yang ada dibelakangnya?

Kesimpulan yang paling sederhana dari uraian-uraian ini adalah: "Menjadi seorang Muhibbin harus tetap dapat memuliakan Ulama, menghormati Nahdlatul Ulama. Menjadi Nahdliyyin harus selalu memuliakan dan menghormati para Habaib."

Apalagi NU itu mengikat secara emosional ke dalam jiwa banyak orang. Sejarah panjang hidupnya, hidup orangtua serta kakek-kakeknya bersinggungan langsung dengannya. NU sudah menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan. Sehingga jika dimuliakan, rasanya seperti kehidupan dirinya yang dimuliakan. Sebaliknya jika direndahkan, rasa-rasanya seperti dirinyalah yang direndahkan. Sebuah ikatan emosional dan sentimental.

Nahdlatul Ulama bagi banyak orang (termasuk saya) adalah bagaikan benda keramat warisan keluarga. Warisan orang-orang tua terdahulu. NU itu laksana kanz/gudang kemuliaan yang banyak orang seperti saya berhutang banyak dengan "harta-harta" yang tersimpan didalamnya.

Saya ingat nasihat yang selalu diulang-ulang oleh salah satu Syaikh saya, KH. Aniq Muhammadun, "Hendaklah kalian sepulangnya dari belajar di pesantren, saat sudah berkecimpung di tengah-tengah masyarakat agar ikut memikirkan Aswaja melalui wadah Nahdlatul Ulama. Jamiyyah ini didirikan dengan penuh ketulusan oleh Kiai-kiai terdahulu, dan sampai sekarang terhitung yang masih memegang teguh ajaran-ajaran ulama salafus shalih terdahulu..."

Pesan-pesan semacam itulah yang membuat NU bagi banyak kalangan, terutama bagi para santri pesantren, melebur menjadi bagian kehidupan mereka. Mereka senantiasa mengingat-ingat janji Hadhratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari: "Siapa yang mau ikut mengurusi NU, saya doakan ia masuk surga."
Soal perbedaan sikap antara NU dengan banyak kalangan habaib dalam kasus "Bela Agama" selama ini, menurut saya masuk di dalam tataran Ijtihadiyyah mereka masing-masing. Saya sangat yakin keduanya sama-sama membela agama, tetapi hasil ijtihad mereka membuat yang terlihat adalah sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang seperti tampak bertentangan di antara keduanya, dan sudah sedari dahulu perbedaan di antara ulama itu biasa.

Tetapi sikap NU yang berbeda itu jangan dijadikan jalan untuk merendahkan ulama dan institusinya. Perbedaan jika masih dalam satu koridor yang sama, aqidahnya masih sama, rujukan serta manhajnya masih sama, maka sikap yang diambil di dalam mengutarakan perbedaan tersebut adalah dalam bentuknya yang konstruktif dengan bahasa-bahasa yang santun serta tetap saling menta'dzimi antara satu dengan lainnya.

Jika diamati dengan rasa penuh inshaf (terbuka), dapat dilihat bahwa di sisi para habaib dan di sisi lain para kiai NU kedua-duanya masih; "Sama-sama Asy’ariyyin-Maturidiyyin. Sama-sama Syafi’iyyin. Sama-sama Shufiyyin Ghozaliyyin. Dan masih seabrek kesamaan-kesamaan yang lain".
Kalau benar begitu, mengapa harus ada rendah-merendahkan satu dengan yang lain? Tentu yang seperti ini tidak diharapkan terjadi.

Anak-anak muda Nahdliyin haram hukumnya merendahkan para jamaah yang berangkat berdemo menyertai habaib mereka. Sementara para Muhibbin tidak sepatutnya menyudutkan atau merendahkan kaum Nahdliyin yang menahan dirinya tidak turut berdemo ke jalan sebagaimana mereka. Bukankah masing-masing mengikuti "perintah" pemimpinnya?
Para Muhibbin bergerak dengan komando pemimpinnya, yakni para habaib. Para Nahdliyin menahan diri juga atas perintah pemimpin mereka, yakni para Kiai. Dan Habaib serta Kiai sama-sama wajib dihormati. Keduanya mempunyai landasan terhadap manhaj gerakan yang dipilih.

Boleh sekadar mengadu hujjah/dalil mereka, tetapi tidak sepatutnya saling merendahkan lawan hujjahnya. Syukur jika dapat ditarik satu kesimpulan yang sama, atau dicari solusi jalan tengahnya. Jika tidak dapat dijami’kan, maka tetap menghormati pilihannya masing-masing.

Ajaran Kebangsaan Maulana Habib Luthfi bin Yahya



Banyak sufi sepanjang beratus-ratus tahun sudah meninggalkan cerita mengenai kebijaksanaan mereka terkait dengan raja-raja serta penguasa. Cerita Imam al-Bashri dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, al-Junaid, al-Bisthami serta al-Karkhi dengan tokoh penguasa semasanya. Walau demikian, sekarang ini masihlah ada beberapa kiai yang mengambil posisi senantiasa berhadap-hadapan, mengritik petinggi dengan argumen itu yang diajarkan beberapa ulama kita dulu selalu untuk mengambil posisi berjarak dengan pemerintah. Lantaran argumen itu, masihlah ada penceramah yang menjamah kehormatan petinggi serta mencabik-cabik nama baiknya di hadapan khalayak, dengan argumen mengritik pejabat merupakan ajaran beberapa ulama dulu serta yang sudah mereka contohkan.

Habib Luthfi mengecam keras pandangan seperti itu. Menurut Habib Luthfi, para ulama dulu sebagian bersikap demikian lantaran sistem pemerintah waktu itu tidak sama dengan saat ini. Dulu berbentuk monarki serta rakyat sekalipun tidak bisa ikut serta dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sekarang ini kita hidup dalam alam demokrasi, dimana peran aktif orang-orang serta tokoh agama begitu perlu untuk memberikan pertimbangan pada beberapa petinggi pemerintah dalam memastikan kebijakan. Lantaran lewat masukan orang-orang serta beberapa input dari golongan cerdik pandai pemerintah dapat mengambil policy yang pas. Pendirian Habib Luthfi seperti ini pada masa Orde Baru pasti tak populis. Nyaris semuanya kiai mengambil posisi berhadap-hadapan atau sekurang-kurangnya acuh pada penguasa.

Seorang sufi besar, Ahmad bin Amad al-Barnasi al-Maghribi yang dikenal dengan Syaikh Zaruq (w. 899 H) menyampaikan: “...menjaga kestabilan itu hukumnya wajib. Serta memerhatikan kemaslahatan umum itu berbentuk pasti. Oleh karenanya beberapa ulama setuju kalau lakukan ‘makar’ pada pemimpin yang sah itu haram hukumnya, baik dalam perkataan ataupun perbuatan. Bahkan juga beberapa ulama setuju (ijma’; konsensus) sah shalat di belakang seseorang petinggi maupun orang umum yang baik ataupun yang dzalim sepanjang kefasikannya itu tak dikerjakan waktu shalat. Oleh karenanya Nabi Saw. bersabda, “Tidak mencemooh satu golongan orang-orang pada pemerintah mereka terkecuali mereka bakal terhambat dari kebaikan pemerintahnya itu.” Imam at-Tirmidzi meriwayatkan, “Tidak melakukan perjalanan satu golongan orang-orang menuju tempat pemerintah dengan maksud menjelek-jelekan pemerintah, terkecuali Allah bakal mengejekkan mereka".”

Habib Luthfi memanglah cuma menyampaikan kita mesti menghormati pemerintah. Mesti menghormati Presiden. Sebab Presiden itu lambang Negara. Serta beberapa lambang Negara punya sifat sakral. Di balik ajarannya itu, nyatanya ada landasan filosofis serta didasarkan atas sebagian alasan syariat. Seperti dijelaskan dalam keterangan Syaikh Ahmad Zaruq di muka kalau menghormati pemerintah tidak cuma menjadi keharusan yang berasaskan kearifan budaya tetapi ajaran Nabi Saw. Nabi mengingatkan barangsiapa yang mencemooh pemerintah, Allah bakal mengejekkannya. Bila petinggi itu dapat dibuktikan lakukan tindak pidana, menurut Habib Luthfi ada mekanisme serta cara perlakuannya. Walau demikian pada prinsipnya jangan pernah mengakibatkan kerusakan kesakralan beberapa lambang Negara.

Dalam pandangan Habib Luthfi menghormati pemerintah yaitu sisi yang tidak terpisahkan dari bentuk kecintaan pada Bangsa serta Negara. Jalinan baik Habib Luthfi dengan pemerintah dapat dilihat dari kehadiran Presiden RI pada perayaan Maulid Nabi Kanzus Shalawat pada tahun 2004 serta 2014. Gubernur serta Wakil Gubernur dari beragam provinsi, serta menteri-menteri dalam perayaan Maulid Nabi.

(Dikutip dari buku “Sejarah Maulid Nabi; Meneguhkan Semangat Keislaman serta Kebangsaan Mulai sejak Khaizuran 173 H sampai Habib Luthfi bin Yahya 1947 M-Sekarang)

Pesan Habib Lutfi Tentang Maulid SAW



“Membaca shalawat jangan malas-malas, bershalawat harus penuh dengan semangat,” begitu pesan yang pernah disampaikan Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Menurut beliau, sedikitnya ada tujuh keutamaan memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. yang tidak sekadar kegiatan rutinitas:
  1. Nabi Muhammad Saw. pada masa muda, sebelum masa kerasulan, telah mendapat gelar al-Amin oleh pemuka kaum Quraisy pada peristiwa peletakan Hajar Aswad di Mekkah.
  2. Nabi Muhammad Saw. merupakan satu-satunya nabi dan rasul yang kewilayahannya meliputi seluruh dunia, sedangkan nabi atau rasul lain hanya wilayah tertentu saja.
  3. Nabi Muhammad Saw. tidak pernah dipanggil hanya dengan namanya saja oleh Allah Swt. seperti nabi-nabi lain, melainkan beliau Saw. dipanggil dengan gelar-gelarnya diantaranya Thaha, Ya Muzammil, Ya Mudatsir, Yasin, dlsb.
  4. Nabi atau rasul lain hidup sejaman, semisal Nabi Daud dengan Nabi Sulaiman, Nabi Ibrahim dengan Nabi Ismail, sedangkan jaman Nabi Muhammad Saw. hanya beliau Saw. saja tidak ada rasul lainnya yang hidup sejaman.
  5. Yatimnya Nabi Muhammad Saw. mengisyaratkan bahwa tarbiyah (pendidikan) al-Quran langsung oleh Allah Swt. bila washithah (tanpa perantara), bukan seperti yatim orang pada umumnya.
  6. Allah Swt. Tuhan pencipta alam semesta dan para malaikatNya bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. (QS. al-Ahzab ayat 56). Dikuatkan dalam riwayat Ibnu Majah: “Bershalawatlah kamu kepadaku, karena shalawat itu menjadi zakat penghening jiwa dan pembersih dosa bagimu.”
Adanya al-Quran (nuzulul Quran), peristiwa Isra’ dam Mi’raj, dlsb. berawal dari lahirnya Baginda Nabi Muhammad Saw. sebagai kekasih Allah Swt.
Demikianlah jaminan malaikat kepada orang yang membawa shalawat. Untuk itu, semua umat Nabi Muhammad Saw. diharuskan memperbanyak membaca shalawat sebagai tanda bukti kecintaan umat terhadap beliau Saw. Malukah kita sebagai umatnya yang hanya manusia biasa tidak bershalawat kepada beliau Saw.?

Adapun inti dari peringatan dan pembacaan Maulid Nabi Saw. adalah syukur kita terhadap Allah Ta’ala karena Allah telah mengutus Nabi Muhammad Saw. dan kita termasuk ke dalam umat beliau Saw. Peringatan dan pembacaan maulid Nabi Saw. juga merupakan ungkapan rasa terimakasih kita kepada Nabi Saw. agar kita mencintai Rasul Saw. Kita iman dan Islam karena kita mengenal Nabi Muhammad Saw. Sehingga, oleh karena bersyukur itu diwajibkan, maka membaca maulid Nabi Saw. itu pun menjadi wajib.

Adapun dalil naqli dari Maulid Nabi Saw. ini sudah jelas terdapat dalam al-Quran. Di dalam al-Quran banyak terdapat maulid Nabi Musa As., Nabi Isa As., dan nabi-nabi lainnya. Bahkan di al-Quran Allah Ta’ala yang menciptakan seluruh makhluk termasuk menciptakan Nabi Muhammad Saw. pun menyaksikan dan menyebutkan sifat-sifat Nabi Muhammad Saw. Apakah hal tersebut bukan termasuk Maulid?

Walhasil, oleh karena pembacaan dan peringatan Maulid Nabi Saw. merupakan wujud syukur dan terimakasih kita kepada Allah Swt. dan Nabi Muhammad Saw., maka perlu untuk semakin gencar dan semangat dilestarikan. Karena apabila kepada Allah dan Rasul Saw. saja tidak mau berterimakasih, apalagi kepada makhlukNya yang lain.

Selain itu, pembacaan Maulid Nabi Saw. juga dilakukan dengan harapan turunnya berkah dan syafaat dari Baginda Nabi Saw. Sehingga kita, keluarga, dan lingkungan kita terhindar dari berbagai macam bala’ dan fitnah, dan tentu saja kita berharap bisa meneladani akhlak Nabi Saw. melalui pembacaan Maulid Nabi Saw.

Kisah Peci Bung Karno dan Surban Diponegoro Mbah Wahab



Mbah Wahab seorang ulama yang multitalenta. Selain menguasai ilmu agama beliau juga seorang politikus ulung, jago silat dan ahli wirid. Beliau menyatakan orang Islam bukan hanya berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena wiridnya. Salah satu peninggalan wirid Kiai Wahab yang terkenal dan biasa diamalkan terutama di kalangan Pesantren sampai sekarang adalah:
“Maulaya shalli wasallim da-iman abada # ‘Ala habibika khairil khalqi kullihimi
Huwal habibulladzi turja syafa’atuhu # Likulli haulin minal ahwali muqtahami.”

Di pentas politik nasional, Mbah Wahab memperoleh lawan tanding yang layak: Bung Karno. Konon pernah terjadi ketika seluruh peserta pertemuan sudah siap di ruangan ketika Presiden Soekarno datang. Berjalan menuju tempat duduknya, Bung Karno menyempatkan diri menghampiri Mbah Wahab dan menepuk bahunya, “Ikut pendapatku!” kata Bung Karno, kemudian berlalu.
Mbah Wahab tidak menjawab. Bukan karena taat atau tak punya kata-kata, tapi tubuhnya mendadak kaku, lidahnya kelu. Hampir sepuluh menit beliau terpatung seperti itu. “Astaghfirullahal ‘adzim,” batinnya, “kena aku...”

Mbah Wahab jelas bukan orang yang gampang menyerah. Bung Karno baru selesai menyapa orang-orang ketika Mbah Wahab berhasil membebaskan diri dari ‘jurus’ Bung Karno itu. Belum lagi Presiden mantap duduknya, Mbah Wahab bangkit, ganti menghampiri dan menepuk pundaknya. “Aku punya pendapat sendiri!” kata Kiai Wahab.

Setengah jam Bung Karno terhenyak tanpa bergerak, hingga hadirin bengong, tak tahu yang terjadi.
Bagi Bangsa Indonesia, peci hitam memiliki arti penting. Peci ini dipakai Presiden pertama RI keliling dunia. Tak ayal, para pemimpin negara sahabat pun akrab dengan peci tersebut. Di mana peci hitam tampak, di situlah orang Indonesia disebut. Peci hitam memang menjadi identitas kebangsaan kita. Dalam buku “Berangkat dari Pesantren”, Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri menceritakan tentang uniknya peci hitam.

Suatu ketika, di sela-sela sidang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada September 1959 muncul kisah menarik. Bung Karno, kata Kiai Saifuddin Zuhri, menyatakan bahwa dia sebenarnya kurang nyaman dengan segala pakaian dinas kebesaran. Akan tetapi, semuanya dipakai untuk menjaga kebesaran Bangsa Indonesia. “Seandainya saya adalah Idham Chalid yang ketua Partai NU atau seperti Suwiryo, ketua PNI, tentu saya cukup pakai kemeja dan berdasi, atau paling banter pakai jas,” ujar Bung Karno sambil melihat respon hadirin.

Dengan yakin dan percaya, proklamator itu menegaskan tidak akan melepas peci hitam saat acara resmi kenegaraan. “Tetapi soal Peci Hitam ini, tidak akan saya tinggalkan. Soalnya, kata orang, saya lebih gagah dengan mengenakan songkok hitam ini. Benar enggak, Kiai Wahab?” tanya Bung Karno pada Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang juga anggota DPA, KH. Abdul Wahab Hasbullah.

Dengan tangkas, Mbah Wahab pun segera menimpali lontaran Bung Karno itu. “Memang betul, saudara harus mempertahankan identitas itu. Dengan peci hitam itu, saudara tampak lebih gagah seperti para muballigh NU,” jawab sang kiai

Sontak, pernyataan kiai kharismatik ini langsung disambut gelak tawa seluruh anggota DPA. Suasana pun meriah oleh canda tawa dan tepuk tangan hadirin. “Dengan peci itu saudara telah mendapat banyak berkah. Karena itu, ketika berkunjung ke Timur Tengah, saudara mendapat tambahan nama Ahmad. Ya, Ahmad Soekarno,” seloroh Kiai Wahab yang lagi-lagi disambut gelak tawa hadirin.

Dalam buku saku yang diterbitkan Panitia Haul ke-43 KH. A. Wahab Chasbullah disebutkan, kiai perintis, pendiri, dan penggerak Nahdlatul Ulama itu hampir tak lepas dari sorban dalam segala situasi. Baik di rapat-rapat NU, sidang parlemen, resepsi, istana negara, atau perjalanan. Suatu ketika Kiai Wahab berbicara pada sidang parlemen. Sebelum berdiri, ia membetulkan letak sorbannya. Sekelompok anggota parlemen komentar, “Tanpa sorban, kenapa sih?”
“Sorban Diponegoro,” jawab Kiai Wahab.

Ketika berdiri di podium, Kiai Wahab mengatakan, bahwa Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Kiai Mojo, dan Teuku Umar juga mengenakan sorban. Penjelasannya itu membuat sebagian anggota parlemen tergelak, tapi kemudian terdiam.

Menurut sejarawan, silsilah keturunan Kiai Wahab jika dirunut ke atas maka akan sampai pada kisah heroik Kiai Abdus Salam. Kakek Kiai Wahab itu merupakan salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro di sektor timur (1825-1830). Kiai Abdus Salam merupakan putra Pangeran Sambo bin Pangeran Benowo bin Joko Tingkir (Mas Karebet) bin Kebo Kenongo bin Pangeran Handayaningrat bin Lembu Peteng bin Pangeran Brawijaya VI. Dari trah para pejuang ini wajar jika kemudian Kiai Wahab tampil sebagai ulama yang tak pernah berhenti berpikir dan bergerak untuk umat.

13 Des 2016

Kisah Teladan, Abu Yazid Al Busthami qs dan Seekor Anjing


\
"Siapakah Dirimu Yang Sebenarnya? "
Siapa yang tidak kenal Abu Yazid Al-Busthami Qadasallahu Sirrahu, termasuk pemimpin kaum sufi. Namun siapa sangka beliau pernah mendapat ilmu yang sangat berharga dari seekor anjing.
Seperti biasa, Abu Yazid suka berjalan sendiri di malam hari. Lalu dia melihat seekor anjing berjalan ke arahnya, anjing itu dengan begitu jalan tidak menghiraukan sang Syeikh, namun ketika sudah hampir dekat, Al-Busthami mengangkat jubahnya khuatir tersentuh anjing yang najis itu.
Spontan anjing itu berhenti dan memandangnya. Entah bagaimana Abu Yazid seperti mendengar anjing itu berkata padanya,

"Tubuhku kering tidak akan menyebabkan najis padamu, kalau pun engkau merasa terkena najis, engkau tinggal basuh 7x dgn air & tanah, maka najis di tubuhmu itu akan hilang. Namun jika engkau mengangkat jubahmu kerana menganggap dirimu yang berbaju, badan manusia lebih mulia, dan menganggap diriku yang berbadan anjing ini najis dan hina, maka najis yang menempel di hatimu itu tidak akan bersih walau kau basuh dengan 7 samudra lautan".

Abu Yazid tersentak dan minta maaf. Lalu sebagai permohonan maafnya dia mengajak anjing itu untuk bersahabat & jalan bersama. Tapi si anjing itu menolaknya.
"Engkau tidak patut berjalan denganku, mereka yang memuliakanmu akan mencegahmu dan melempari aku dengan batu. Aku tidak tahu mengapa mereka menganggapku begitu hina, padahal aku berserah diri pada sang Pencipta wujud ini, lihatlah aku juga tidak menyimpan dan membawa sebuah tulang pun, sedangkan engkau masih menyimpan sekarung gandum", lalu anjing itu pun berjalan meninggalkan Abu Yazid.

Abu Yazid masih terdiam, "Duhai Allah, untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaanMU saja aku tak layak, bagaimana aku merasa layak berjalan bersama denganMU, ampunilah aku dan sucikan hatiku dari najis "

Sejak itu Abu Yazid memuliakan dan mengasihi semua mahluk Tuhan tanpa syarat.
"Janganlah menganggap dirimu lebih suci dari yang lain, sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang paling suci di antara hamba-hamba-Nya" (Surah an-Najm).
Wallahualam

Allahuma sholi 'ala sayidina Muhammad nabiyil umiyi wa 'ala 'alihi wa shohbihi wa salim

dikutip dari FB Diah Listyani

24 Nov 2016

Ajaran Toleransi Maulana Habib M. Luthfi bin Yahya



“Jika sulit mencari alasan untuk menghormati pemeluk agama lain, alasan bahwa dia adalah manusia ciptaan Allah Swt. saja sudah cukup.” (Maulana Habib M. Luthfi bin Yahya) 

Ketika kita telah menjelma kasih sayang di antara sesama kita pasti kedamaian itu akan semakin kokoh, semakin kuat dan semakin melejit. Dan cahaya kedamaian itu tidak dirasakan untuk Bangsa Indonesia saja, melainkan juga akan ditiru oleh bangsa lain.

Kita melihat tokoh-tokoh sesepuh kita, dari Budha, Hindu, Kristiani, Katolik, Protestan, dlsb. juga yang Muslim, kita melihat secara langsung ternyata semuanya koq Indonesia. Beda memang, ok, beda. Tapi saya kira tidak ada kalimat ‘Beda Indonesia’.

Rahmat Yang Maha Kuasa itu cepat turun karena kedamaian. Coba ribut terus, berkah dicabut, isinya hanya permusuhan, curiga, dan lain sebagainya. Ya ndak ada habisnya. Kalau orang selalu mencari kejelekan, saya jadi teringat nasihat guru saya, “Luth, Luth...”

“Ada apa Kiai?”

“Kamu kalau melihat orang lain, hidungmu itu dikasih minyak wangi, dioleskan. Nantinya mencium siapa pun akan wangi. Jika istrimu saat memasak maka akan berbau kompor, yang memakai kayu bakar maka berbau kayu, tapi tetap sedap karena di bawah hidungmu ada minyak wanginya. Secantik apapun jika di bawah hidungmu ada kotorannya maka jadi tak karuan. Sudah tampil cantik, mandinya sungguhan, ternyata bau kotoran. Dia tidak melihat, ternyata yang ada kotoran di bawah hidungnya adalah dirinya sendiri.”

Itulah kalau kita selalu memandang tidak baik, curiga terus, saya mengingat; ‘Eh di hidungku ada kotorannya tidak’. Nah ini suatu ajaran dari sesepuh-sesepuh kita. Dari sinilah kekuatan yang tanpa kita prediksi. 

Dengan doa bersama ini melambangkan dan menunjukkan suatu kekuatan Indonesia yang tidak main-main. Saya sedikit memperingatkan untuk kita semuanya, kalau Indonesia ini umpanya ditekan oleh oknum-oknum politik entah luar negeri atau siapapun, kita ndak mempan. Digoyahkan tentang faktor ekonomi, Indonesia masih tetap kuat. Ujungnya yang paling berbahaya adalah, ‘benturkan antar-umat beragama’. Itulah 

(Sumber: Fp IbjmArt.com)

22 Nov 2016

Tentang KHR. As'ad Syamsul Arifin



Saya belum pernah berjumpa dengan beliau, tapi saya merasa dekat dan sayang kepada beliau melalui cerita cerita indah nan hebat tentang beliau dari almarhum ayahanda
H. Nadhir Muhammad.

Di bulan dimana beliau dinobatkan sebagai pahlawan nasional,ingin saya mengenang beliau melalui cerita almarhum ayah;

1. "Kiai As'ad itu kiai sakti nak". kalimat dari ayah saya itu masih teringat jelas di ingatan.
bagaimana ketika almarhum ayah berkeinginan kuat melaksanakan haji namun belum memiliki bekal, maka kiai As'ad memakaikan kopiyah putih ke ayah saya sambil berucap "haji, haji". Dan Alhamdulillah setelah itu juga ayah saya mendapat beasiswa kuliah S2 ke baghdad dari kiai idham khalid, dan dari situ bisa menunaikan ibadah haji.

2. "Nak,ketika bapak ditahan tentara di kodim gara gara bapak menjadi ketua pemenangan pemilu PPP tahun 1982 dan Golkar kalah waktu itu, bapak ngamalkan wiridan dari kiai As'ad di penjara, dan alhamdulillah selesai wiridan, langsung ada telpon dari militer pusat supaya bapak dibebaskan". kalimat ini, lebih teringat lagi di benak saya. Mungkin karena waktu itu ibu saya "terpaksa" mengandung saya dalam keadaan almarhum ayah ditahan oleh rezim orde baru golkar. sebuah wirid yang ketika saya telusuri, berasal dari syaikh Bahauddin An-Naqsyabandi.

3. Yang terakhir walau masih teramat banyak kenangan yang lain, dan ini menurut saya yang paling penting. "Nak, ketika pak harto memberi kiai as'ad mobil sedan karena menerima asas tunggal pancasila, mobil itu tetap diterima supaya tetap menjaga hunungan baik dengan pak harto, tapi setelah itu mobilnya langsung diberikan ke orang lain". Bagaimana Ayah saya menggambarkan kiai As'ad sebagai kiai dan tokoh yang ikhlas berjuang untuk rakyat indonesia. beliau menerima pancasila dan menjaga hubungan baik dengan pemerintah bukan karena materi apalagi jabatan. beliau lakukan itu semua karena rasa sayang kepada rakyat indonesia. Ya, rasa sayang kepada sesama inilah karakter wajib yang harus dimiliki seorang wali Allah, dalam tingkatan apapun juga.

Kiai As'ad, gelar pahlawan nasional ini pasti bukanlah yang kiai As'ad cari, gelar ini tidak lain hanya busyra -kabar gembira- dari Allah, sebagaimana syaikh ibn Athoillah sakandari berhikmah, tanda amal diterima oleh Allah di akhirat adalah adanya "tanda gembira" di dunia.gelar ini hanya salah satu pengingat dari Allah untuk rakyat indonesia, bahwa kiai As'ad memang memiliki tempat yang teramat mulia di sisi Allah. Amin Ya Allah.

الى العارف بالله الشيخ أسعد شمس العارفين ،الفاتحة...

Ahmad Gholban Aunir Rahman
Talangsari Jember

Kisah Teladan, Sang Kyai Mencari Jodoh



Kisah Seorang Kyai Yang Mencari Jodoh

Syahdan, adalah seorang kiai dari suatu daerah. Kiai ini sudah hampir mendekati lima puluh tahun usianya, tetapi masih membujang. Keinginan untuk berkonsentrasi sebagai Kiai tanpa menghiraukan urusan dunia termasuk wanita, membuatnya menjadi bujang lapuk. Tapi soal kebutuhan penyaluran syahwat, tetap saja mengusik setiap hari. Apalagi kalau ia berfikir, siapa nanti yang meneruskan pesantrennya kalau ia tidak punya putra ?

Dengan segala kejengkelan pada diri sendiri dan gemuruh jiwanya, akhirnya Sang Kyai melakukan istikhoroh, mohon petunjuk kepada Allah, siapa sesungguhnya wanita yang menjadi jodohnya?
Petunjuk yang muncul dalam istikhoroh, adalah agar Sang Kyai mendatangi sebuah komplek pelacuran terkenal di daerahnya. “Disanalah jodoh anda nanti…” kata suara/tanda isyarat dalam istikhoroh itu.

Tentu saja Sang Kyai menangis tak habis-habisnya, setengah memprotes Tuhannya. Kenapa ia harus berjodoh dengan seorang pelacur ? Bagaimana kata para santri dan masyarakat sekitar nanti, kalau Ibu Nyainya justru seorang pelacur? “Ya Allah…! Apakah tidak ada perempuan lain di dunia ini ?”

Dengan tubuh yang gontai, layaknya seorang yang sedang mabuk, Sang Kyai nekad pergi ke komplek pelacuran itu. Peluhnya membasahi seluruh tubuhnya, dan jantungnya berdetak keras, ketika memasuki sebuah warung dari salah satu komplek itu. Dengan kecemasan luar biasa, ia memandang seluruh wajah pelacur di sana, sembari menduga-duga, siapa diantara mereka yang menjadi jodohnya.
Dalam keadaan tak menentu, tiba-tiba muncul seorang perempuan muda yang cantik, berjilbab, menenteng kopor besar, memasuki warung yang sama, dan duduk di dekat Sang Kyai. “Masya Allah, apa tidak salah perempuan cantik ini masuk ke warung ini?” kata benaknya.

“Mbak, maaf, Mbak. Mbak dari mana, kok datang kemari ? Apa Mbak tidak salah alamat ?” tanya Sang Kyai pada perempuan itu. Perempuan itu hanya menundukkan mukanya. Lama-lama butiran airmatanya mulai mengembang dan menggores pipinya. Sambil menatap dengan mata kosong, perempuan itu mulai mengisahkan perjalanannya, hingga ke tempat pelacuran ini. Singkat cerita, perempuan itu minggat dari rumah orang tuanya, memang sengaja ingin menjadi pelacur, gara-gara ia dijodohkan paksa dengan pria yang tidak dicintainya.

“Masya Allah…. Masya Allah… Mbak.. Begini saja Mbak, Mbak ikut saya saja .…” kata Sang Kyai, sambil mengisahkan dirinya sendiri, kenapa ia pun juga sampai ke tempat pelacuran itu. Dan tanpa mereka sadari, kedua makhluk itu akhirnya sepakat untuk berjodoh.
Kisah tentang Sang Kyai ini sesungguhnya merupakan refleksi dari rahasia Allah yang hanya bisa difahami lebih terbuka dari dunia Sufi.

Hal ini menggambarkan bagaimana dunia jiwa, dunia moral, dunia keindahan dan kebesaran Ilahi, harus direspon tanpa harus ditimbang oleh fakta-fakta normatif sosial yang terkadang malah menjebak moral seorang hamba Allah.

Sebab tidak jarang, seorang Kiai, sering mempertaruhkan harga dirinya di depan pendukungnya, ketimbang mempertaruhkan harga dirinya di depan Allah. Dan begitulah cara Allah menyindir para Kyai, dengan menampilkan Sang Kyai ini.


Sumber dengan beberapa edit

17 Nov 2016

Penyakit RASIS


Sayyidi al-Habib Umar bin Hafidz:

"Rasisme adalah penyakit dari orang-orang kafir! 
Ketika Abu Bakar RA menebus Bilal RA dari perbudakan dan kebebasannya dikabulkan, Abu Bakar dan Umar radhiallahu anhuma memanggil Sayyidina Bilal RA dengan sebutan Tuan karena derajatnya (ketakwaannya) yang tinggi, dekat dengan Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ.

Ketika Nabi ﷺ diutus, beliau membawa kesetaraan kedudukan dalam Islam, jika kalian masih memiliki penyakit ini (rasis), ketahuilah bahwa kalian memiliki penyakit yang sama dari orang-orang kafir atau non-Muslim".

Biografi Habib Ali Al-Jufri, Sang Da'i Fenomenal



Rusaknya moral umat manusia sudah bukan lagi berita baru. Semua orang yang merenung pasti menyadarinya. Semakin lama semakin banyak hal-hal tabu yang menjadi suatu hal yang biasa bahkan istimewa. Demikian pula perseteruan antar ideologi yang tak ada habisnya. Saling tuding, saling menuduh dan saling mengafirkan sudah jadi tontonan wajib. Parahnya, saling benci hanya karena berbeda ideologi itu sudah menjadi hal lazim, bahkan saling bunuh.

Kini kita nampak hidup di zaman jahiliah. Wanita sudah malu tuk berbusana. Maksiat pun biasa dilakukan dihadapan ribuan mata. Bahkan maksiat juga bisa bikin orang bangga. Saat ombak kemiskinan moral menggunung. Di tengah gejolak pemikiran yang memanas. Dan di masa modernitas jahiliah. Masih terdapat kebaikan di dalam tubuh umat Islam. Kita masih menemukan sosok-sosok manusia jaman dulu, yaitu para ulama yang mengamalkan ilmunya serta membawa manhaj nabawi serta menaburkannya di muka bumi.

Adalah Habib Ali al-Jufri salah satu ulama yang cukup berpengaruh dewasa ini. Sebelum terbitnya fajar Jum’at 20 Shafar 1931 yang bertepatan dengan 16 April 1971 ia meneriakkan tangisan pertamanya di Kota Jeddah, Arab Saudi. Ulama berwajah tampan ini bernama asli Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri dari keluarga Ba’alwi yang nasabnya bersambung sampai pada Rasulullah Saw.

Ayahnya adalah Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Alwi bin Ali bin Ahmad bin Alwi bin Abdurrahman Maula al-‘Ursah bin Muhammad bin Abdullah at-Turisi bin Ali al-Khawwash bin Abu Bakar al-Jufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Ubaidullah bin Ahmad bin al-Muhâjir ilallâh Ahmad bin Isa ar-Rumi bin Muhammad bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali Kw. bin Abu Thalib suami Siti Fathimah binti Rasulullah Saw.

Selain mewarisi garis keturunan dari Rasulullah Saw., ia juga mewarisi ilmu dan akhlaq beliau Saw. Tumbuh di lingkungan akademis nan agamis di sekeliling keluarganya, sejak kecil ia sudah dicekoki dengan wejangan-wejangan keagamaan bernuansa sufi ala tarekat Alawiyah.



Di masa kecilnya, ia sudah banyak menerima sentuhan-sentuhan energi rohani serta pelajaran agama dari bibinya yang juga merupakan seorang wanita salehah yaitu al-Ârifah billah Hababah Shafia binti Alwi al-Jufri.

Selanjutnya ia menjalani jalan setapak para penuntut ilmu agama dengan mengambil ilmu-ilmu agama dari guru-guru yang mempunyai sanad yang bersambung sampai pada Rasulullah Saw. Sejak umur 10 tahun ia mulai berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah. Dari Habib Abdul Qadir ini ia belajar banyak ilmu agama beserta sanadnya sampai pada umur yang ke-21.

Setelah itu ia belajar kepada beberapa ulama lain, seperti Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad, Habib Abu Bakar Alattas di Mekkah, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Habib Hamid bin Alwi al-Haddad, Habib Abu Bakar al-‘Adani, dan Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Basyekh.

Pada tahun 1991 ia bergabung di Fakultas Dirasat al-Islamiyah Universitas San’a Yaman sampai tahun 1993. Selama jenjang waktu tersebut, ia memanfaatkannya untuk berguru kepada Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar sampai sang guru itu menghembuskan nafas terakhirnya di Kota Baidha’ Yaman. Di sini beliau banyak mengambil pelajaran dari metode dakwah Habib Muhammad. Habib Muhammad senantiasa mengaplikasikan ilmu-ilmu yang dikuasainya di segala sisi kehidupannya. Dari sinilah titik tolak pandangan Habib Ali dalam penyelarasan ilmu teori dan praktik di medan dakwah.

Selanjutnya ia mengambil ilmu dari Habib Umar bin Hafidz dan menetap di kampung nenek moyangnya Tarim Hadhramaut, tepatnya di pondok Darul Musthafa milik Habib Umar dari sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2003.

Selain itu ia juga berkali-kali ke Mesir untuk berguru kepada ulama-ulama Negeri Musa seperti, Syaikh asy-Sya’rawi, Syaikh Isma’il Shadiq al-‘Adawiy Imam dan Khathib Masjid al-Azhar, dan juga berguru kepada asy-Syadzuli Kedua Syaikh Muhammad Zakiyuddin Ibrahim.

Ia juga telah melalang buana ke berbagai negara lainnya hanya untuk berguru. Di Syam beliau berguru dengan Syaikh Abdurrazaq al-Halabi, Syaikh Ahmad al-Khathib, dan Syaikh Husain ‘Usairan di Lebanon. Di India berguru dengan Syaikh Muhammad In’am Hasan. Dan di Maroko dengan Syaikh Idris al-‘Iraqi. Dari perjalanan panjangnya dalam menuntut ilmu ini, beliau meraih lebih dari 300 Ijazah di berbagai disiplin ilmu beserta sanadnya.

Di mata pengagumnya Habib Ali dikenal sebagai da’i yang membawa manhaj moderat dalam usaha mempersempit lingkaran perbedaan antar golongan-golongan yang ada dalam agama Islam. Salah satu usahanya ini dilakukan dengan menggabunggkan metode klasik dan modern dalam berdakwah dan sangat anti untuk mengafirkan golongan lain.

Gerakannya dalam bidang dakwah ini mendapat apresiasi dari banyak ulama di berbagai belahan dunia. Diantara para ulama yang menunjukkan apresiasinya kepada Habib Ali adalah, Salman ‘Audah dan Aidh al-Qarny dari Saudi, beberapa ulama Ja’fariyah dan Zaidiyah. Mayoritas ulama Syam dari Suriah maupun Lebanon seperti, Mufti Suriah Syaikh Ahmad Kiftaro, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bouty, Mufti Lebanon Muhammad Rasyid Qabbany. Demikian pula masyarakat Mesir pada umumnya, bahkan Mufti Mesir Syaikh Ali Jum’ah menganggap Habib Ali sebagai salah satu anggota kelompok kajian ilmiah dan dakwahnya. Habib Ali juga mempunyai pengagum setia di belahan dunia lain seperti di Indonesia, India, Afrika, Eropa dan Amerika.

Para pengamat tasawuf, khususnya para ulama Syam, Yaman, Mesir dan Maroko memandang Habib Ali sebagai tokoh sufi yang moderat, sesuai dengan yang dicontohkan oleh ulama salaf seperti Hasan al-Basri, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dan juga ulama khalaf seperti Ibnu Taimiyah. Di mata mereka Habib Ali bagaikan reinkarnasi ulama-ulama salaf. Meskipun demikian, tidak dapat diingkari bahwa masih ada beberapa yang menganggap Habib Ali sebagai sufi yang terlalu over dalam praktek tasawuf.

Selain aktif di berbagai kegiatan ilmiah dan dakwah di banyak seminar maupun muktamar internasional, ia juga aktif meramaikan dakwah melalui media masa yang ada. Ia seringkali tampil di channel-channel televisi, bahkan beberapa channel menyediakan program khusus secara bersambung yang khusus menampilkan Habib Ali seperti yang diadakan oleh channel Drama 2, Iqra’, Risalah, Mehwar, CBC dan lain-lain.

Objek dakwah Habib Ali tidak terbatas di Timur Tengah saja, disamping kesibukannya yang padat, ia masih menyempatkan dirinya untuk menyebarkan pesona Islam di negeri Paman Sam. Ia menjadi dosen tamu di beberapa universitas di Amerika Serikat seperti, Universitas St. Clara, Universitas San Diego, Universitas Miami, Universitas California Selatan di Los Angels. Sebagaimana ia juga menjadi dosen tamu di Universitas SOAS di Uni Emirat Arab.

Walaupun Habib Ali memiliki jasa yang sangat besar pada umat Islam, seringkali ia menerima kritikan pedas dari pembesar-pembesar golongan Salafi Wahabi. Hal itu wajar, karena Habib Ali berafiliasi kepada akidah Asy’ari dan berpegang teguh dengan ajaran-ajaran tasawuf.

Namun di tengah derasnya tuduhan dari golongan Salafi, ia juga mendapat dukungan keras dari banyak ulama Ahlusunnah. Syaikh Muhammad Abdul Ghaffar Sekjen Wakaf Kuwait mengatakan, “Orang-orang yang menyerukan untuk mewaspadai dakwah Dai’ Hebat (Habib Ali) ini kebanyakan hanyalah atas dasar kedengkian.” Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bouty mengatakan bahwa Habib Ali adalah salah satu dari ulama yang mengamalkan ilmunya dan termasuk orang saleh.

Demikianlah sekilas tentang sosok Habib Ali al-Jufri. Ia bak pemborong warisan Nabi Saw., dari nasab, ilmu sampai akhlaknya. Semoga Allah senantiasa menjaganya dan memanjangkan umurnya. Dan semoga kita mendapatkan barakah ilmunya dan mengikuti jejaknya. Amin. (*Diterbitkan di Majalah La Tansa IKPM Cab. Kairo via http://www.ikpmkairo.com).

Habib Luthfi bin Yahya: Bedanya Orang Thariqah dan Belum Berthariqah



Pertama, thariqah mengajak ruju’ ilallah (kembali menuju Allah), fafirru ilallah (berlari menuju Allah), kembali kepada ajaran Baginda Nabi Saw. Mengikuti ajaran, akhlak dan adabnya Rasulullah Saw.

Kedua, thariqah memiliki madad yang musalsal, yang tidak terputus (sanadnya/sambungannya) kepada guru-guru kita hingga ke Rasulullah Saw. Naqsyabadiyah, al-Ahrariyah, Khalidiyah, begitupula Qadiriyah, bukan semata-mata ciptaan ulama. 

Semisal penamaan Qadiriyah dari Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Itu tiada lain karena Syaikh Abdul Qadir adalah sebagai imamnya. Namun Syaikh Abdul Qadir al-Jilani bukanlah yang membuat thariqah tersebut. Tapi ada dasar-dasarnya. Dimana beliau mengambil dari gurunya, Syaikh Abu Sa’id Mubarok al-Makhzimi, dari Syaikh Abul Hasan Ali al-Hakkari, dari Syaikh Abul Faraj at-Tartusi, dari Syaikh Abul Fadhl Abdul Wahid at-Tamimi, dari Syaikh Abu Bakar asy-Syibli, dari Syaikh al-Imam Abul Qasim Junaidi al-Baghdadi, dari Syaikh Abul Hasan Sarri as-Saqati, dari Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, dari Syaikh al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa ar-Ridha, dari Syaikh al-Imam Musa al-Kadzim, dari Sayyidina al-Imam Ja’far ash-Shadiq, dari Sayyidina al-Imam Muhammad al-Baqir, dari Sayyidina al-Imam Ali Zainal Abidin, dari Sayyidina al-Imam Abu Abdullah al-Husain, dari Sayyidina al-Imam Ali bin Abi Thalib Ra., dari Sayyidina Muhammad Rasulullah Saw.

Kalau ditanya apa bedanya orang yang sudah berthariqah dan yang belum berthariqah? Jawabnya sama, tidak ada bedanya. Orang yang berthariqah membaca La ilaha illallah, orang yang belum berthariqah pun membaca La ilaha illallah.

Lha kalau begitu perbedaannya di mana? Bedanya hanya sedikit, tidak banyak. Saya contohkan supaya mudah. Saat para sahabat berkumpul di Masjidil Haram, Rasulullah Saw. mengajarkan sunnah minum air zamzam. Lalu para sahabat berebut meminumnya, berasal dari sumber yang sama. Yang diminum salah seorang sahabat air zamzam, dan yang diminum sahabat lainnya pun air zamzam. Yang diminum Rasulullah Saw. juga air zamzam.

Tapi sahabat yang minumnya di belakang Rasulullah Saw., mendapatkan gelasnya dari Rasulullah Saw. yang isinya air zamzam tadi. Setelah diminum Rasulullah Saw. lalu dioperkan ke barisan belakangnya. Yang satu tidak mendapatkan bekas (atsar) cangkirnya Rasulullah Saw., tapi yang satunya lagi mendapatkan cangkirnya Rasulullah Saw. Sampai kepada tabi’in, tabi’ut tabi’in, dst. yang disebut dengan madad min madadillah. Semoga kita termasuk di jajaran orang yang musalsal hingga ke Rasulullah Saw. Amin. 

(*IBJ. Ditranskrip dari video ceramah Maulana Habib M. Luthfi bin Yahya

Kisah Syaikh Muhammad Al-Ghazali dengan Wanita Tak Berhijab



Ulama sekaligus dai produktif asal Mesir yang wafat tahun 1996, Syaikh Muhammad al-Ghazali bercerita, “Seorang wanita berpakaian ‘tak pantas’ masuk ke kantorku. Aku sedikit risih saat melihat penampilannya pertama kali. Namun dari tatapan matanya ia tampak sedih dan kebingungan. Wanita ini patut dikasihani, pikirku. Aku pun duduk, mendengarkan keluh-kesah yang ia sampaikan kepadaku dengan seksama.

Dari sela-sela obrolan tersebut aku tahu bahwa wanita itu adalah pemudi Arab yang mengeyam pendidikan di Prancis, dan nyaris tak mengenal sedikitpun tentang Islam, agama yang ia peluk. Kepadanya, aku berusaha menerangkan hakikat Islam, menjawab sejumlah syubhat dan pertanyaan yang ia ajukan. Serta mengungkap berbagai kedustaan yang disampaikan para orientalis.
Tak lupa pula aku sampaikan terkait peradaban modern yang kerap memposisikan wanita sebagai ‘daging’ pemuas nafsu, yang tak mengenal keindahan, ketenangan, dan makna ‘iffah di dalam keluarga. “Izinkan aku suatu hari untuk kembali ke tempat ini menemuimu, Syaikh,” ujar sang wanita. Ia pun mohon pamit keluar.

Tak lama berselang seorang pemuda berpenampilan religius masuk membentakku, “Apa yang membuat wanita kotor seperti itu datang kemari!?”
Aku jawab, “Tugas seorang dokter adalah menyembuhkan orang yang sakit sebelum orang sehat.”
Ia menyela, “Kenapa kau tak menasehatinya memakai hijab!?”
Aku katakan, “Perkara yang dihadapi wanita tadi jauh lebih besar dari sekadar memakai atau melepas hijab. Ada proses yang harus dilalui, terkait esensi iman kepada Allah dan Hari Kiamat, menegaskan makna taat kepada wahyu yang tertuang dalam al-Quran dan as-Sunnah, serta pilar-pilar inti agama ini dalam aspek ibadah dan akhlak.”

Lagi-lagi ia memotong pembicaraanku. “Bukankah hal-hal tersebut sama sekali bukan halangan bagimu untuk menyuruhnya berhijab!?”
Dengan tenang aku berupaya menjelaskan, bahwa aku tak bisa berbahagia melihat wanita itu datang ke sini sedangkan hatinya sunyi dari keagungan Allah Tuhan yang Maha Esa, hidupnya tak mengenal yang namanya rukuk dan sujud. Sesungguhnya aku sedang berupaya menanam di hatinya sejumlah pondasi yang jika pondasi itu tertancap dengan kuat, dengan sendirinya membuat ia sadar pentingnya menutup aurat.

Saat pemuda tadi hendak memotong pembicaraanku untuk yang kesekian kalinya, aku berkata dengan tegas, “Aku tak mampu menarik orang kepada Islam melalui selembar kain sebagaimana yang kerap kalian lakukan. Namun aku berusaha menancapkan pondasi, lalu memulai membangun di atasnya, dan menyampaikan semuanya dengan penuh hikmah.”

Dua minggu kemudian wanita itu kembali mendatangiku dengan pakaian yang lebih baik dari sebelumnya. Ia menutup kepalanya dengan secarik kain tipis. Ia kembali bertanya tentang Islam, dan akupun kembali menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Lantas aku bertanya, “Mengapa kau tak pergi ke masjid terdekat dari rumahmu (untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini)?”
Meski akhirnya aku menyesal mananyakan hal ini, karena aku teringat bahwa wanita-wanita itu terlarang untuk pergi ke masjid. Namun pemudi itu menjawab, “Aku membenci para dai dan tak ingin mendengarkan ceramahnya.”
“Mengapa?” tanyaku penuh penasaran.

“Hati mereka keras, berwatak kasar. Mereka memperlakukanku dengan pandangan penuh kehinaan.”
Tiba-tiba aku teringat sosok Hindun bintu Utbah, istri Abu Sufyan Ra. Seorang wanita yang di masa kekufurannya membunuh secara sadis serta memakan jantung paman Nabi Sayyidana Hamzah Ra. Saat itu dia belum mengenal Rasulullah Saw. Namun setelah memeluk Islam dan mengenal Rasulullah Saw., ia mendekat dan mengucapkan sebuah kalimat yang menggetarkan hati:
يا رسول الله, والله ما كان على ظهر الأرض أهل خباء أحب أن يذلوا من أهل خبائك, وما أصبح اليوم على ظهر الأرض أهل خباء أحب إلي أن يعزوا من أهل خبائك
“Wahai Rasulullah, Demi Allah, dahulu tidak ada satu penghuni rumah pun di permukaan bumi ini yang aku ingin mereka terhina kecuali penghuni rumahmu. Namun sekarang tidak ada satu penghuni rumah pun di permukaan bumi ini yang aku ingin mereka mulia selain penghuni rumahmu.”

Sungguh cahaya cinta dan kasih sayang yang terpancar dari hati Rasulullah Saw. sanggup mengubah kondisi hati setiap orang yang melihatnya. Maka apakah para dai hari ini telah belajar dari sosok Nabinya, sehingga mereka menjadi dai yang menyatukan, bukan justru memecah-belah? Menjadi dai yang memberikan kabar gembira, bukan justru membuat orang-orang lari dari agama? 

(Disarikan dari kitab al-Haqq al-Murr (Kebenaran yang Pahit) hal. 23 karya Syaikh Muhammad al-Ghazali).

28 Okt 2016

Karomah Karya Ulama Jaman Dahulu

Habib Muhammad bin Ahmad Al-Ahdal menceritakan bahwa setelah Imam Muhammad bin Daud selesai menulis kitab Ajjurumiyah yang ditulisnya di depan Ka'bah, beliau kemudian pergi ke sebuah sungai sambil berkata dalam hati, "Ya Allah, jika karyaku ini tidak bermanfaat, maka bawalah ia bersama air." Beliau lalu meletakan kitabnya di atas air yang mengalir sambil berucap, "Jurru Miyyah (mengalirlah wahai air)." Air tersebut tetap mengalir, namun tanpa membawa serta kitabnya, bahkan tidak basah sedikitpun.

Imam Jalaluddin As-Suyuthi menceritakan bahwa tiada satu Hadits dalam kitab Ihya Ulumuddin kecuali Imam Ghazali akan shalat dua rakaat dan mencium tulisan Hadits tersebut. Jika Hadits itu berbau wangi maka beliau akan memasukannya ke dalam Ihya. Jika tidak, maka ditinggalkan.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menceritakan bahwa ketika Imam Ibnu Arabi selesai menyusun kitab Futuhat Makiyyah, beliau meletakan kitabnya tersebut di atas Ka'bah selama setahun. Beliau meminta kepada Allah agar menghancurkan kitabnya itu jika tidak bermanfaat bagi umat. Namun setelah setahun berlalu, kitab tersebut masih utuh, padahal tahun itu Makkah sempat diguyur hujan dan badai pasir.

Demikian contoh Mawahib (karamah dalam suatu karya) pada ulama-ulama terdahulu sehingga karyanya tersebut masih lestari dan bermanfaat bagi umat hingga kini. Maka hati-hati dengan lidah dan hati kita, jangan seperti Tetangga sebelah yang baru hafal satu-dua ayat telah berani mendhaifkan bahkan menuduh sesat kitab-kitab ulama terdahulu.




Ket. Foto; KH. Lukman Hakim, pengurus Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang menunjukan kitab tulisan tangan Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari yang ditulis puluhan tahun lalu. Tetap utuh tanpa ada satu huruf pun yang buram, dan tak ada satupun kertasnya yang lapuk. Ada sekitar 20 kitab karya beliau yang hingga kini masih utuh.

30 Sep 2016

Sidik Jari dalam Al Qur'an


Sebuah mukjizat dari Al-Qur'an telah lama hadir meski belum banyak diketahui oleh orang, yaitu sidik jari sebagai Indentitas individu.

Sumber artikel berasal dari Bapak Harun Yahya yang sangat terkenal akan situsnya dengan berbagai macam bahasa. Sidik jari ini biasanya digunakan oleh aparat kepolisian untuk mengenali identitas seseorang. Meski tubuhnya hancur, selama masih ada sisik jari, maka orang itu akan dikenali.

Setiap orang, termasuk mereka yang lahir kembar, memiliki pola cap jari yang khas dan berbeda di antara satu sama lain. Itulah sebabnya, cap jadi menjadi tanda pengenal manusia untuk membedakan seseorang dengan orang lain.

Menurut Harun Yahya, sistem pengkodean ini dapat disamakan dengan sistem kode garis (barcode) sebagaimana yang digunakan sekarang ini. Penekanan pada cap jari mempunyai makna sangat khusus.

Mengapa? Menurut Harun Yahya, hal itu disebabkan cap jari setiap orang adalah khas bagi dirinya sendiri. Setiap orang yang hidup atau pernah hidup di dunia ini memiliki seri atau tanda cap jari yang unik dan berbeda dari orang lain.
Itulah sebabnya mengapa cap jari digunakan sebagai kode identitas yang sangat penting bagi pemiliknya dan digunakan di seluruh dunia. Keunikan cap jari ini baru ditemui pada akhir abad ke-19 M.
Sebelumnya, orang menghargai cap jari sebagai lengkungan-lengkungan biasa tanpa makna khusus. Namun dalam Al-Quran, Allah merujuk kepada cap jari, yang sedikitpun tak menarik perhatian orang waktu itu, dan mengarahkan perhatian kita pada arti penting cap jari, yang baru mampu dipahami di zaman sekarang.

Pada abad ke-7 M, Al-Quran telah menyebutkan bahwa cap jari menjadi tanda pengenal manusia. Dalam Al-Quran disebutkan mudah bagi Allah untuk menghidupkan manusia setelah kematiannya, pernyataan tentang cap jari manusia secara khusus ditekankan dalam sebuah ayat.


Al Qur'an

Pernyataan tentang sidik jari manusia secara khusus ditekankan dalam Al-Qur'an.
Allah SWT berfirman,

أَيَحْسَبُ الإنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ ٣
بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ ٤

artinya:
3. Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?
4. bukan demikian, sebenarnya Kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.

(Q.S, Al-Qiyamah 75:3-4).

Kisah Penghapal Al Qur'an Mati Keadaan Tidak Baik



Kembali lagi dengan kisah kematian di Blog Ashgar sebagaiamana dikutip dari Kisah Teladan Islami. Bagaimana bisa ya seorang yang telah hafiz Al Qur'an namun meninggal dalam keadaan tidak baik.

Kisah ini sudah ada sejak zaman dahulu, yang memang oleh Allah SWT agar dijadikan renungan dan pembelajaran umat manusia di muka bumi ini.

Pada masa tabi'in dahulu, ada seseorang yang gagah berani menjadi mujahid dalam perang melaewan Romawi. Dia disebut-sebut sebagai seorang yang memiliki hafalan Al Qur'an bagus.

Siapakah dia?
Dia bernama Abdah bin Abdurrahim.

Kenapa bisa sampai terjadi hal yang buruk pada pemuda ini. Dia meninggal dunia dengan tidak membawa iman islamnya seperes pun. Berikut kisahnya.

Petaka ini terjadi bermula dari saat ia menjadi tentara, dimana ia dan tentara lainnya sedang mengepung kampung romawi. Ketika itu, mata Abdah tertuju kepada seorang wanita Romawi yang ada di dalam benteng.
Kecantikan dan pesona wanita berambut pirang itu begitu dahsyat hingga meluluhkan hatinya. Tanpa buang waktu lagi, Abdah segera menulis surat cinta ditujukan kepada wanita tersebut.
Isi suratnya adalah sebagai berikut,
"Adinda, bagaimana caranya agar aku bisa sampai kepangkuanmu?" begitu sebagian kalimat yang tertulis.
"Kakanda, masuklah agama Nasrani, lalu kamu naiklah menemuiku, maka aku jadi milikmu," tulis wanita cantik itu.

Karena setan dan nafsu yang lebih kuat, seakan sudah tak terbendung lagi yang masuk memenuhi relung hati Abdah, hingga ia lupa diri, imannya dia tinggalkan dan naik menemui wanita itu.
Hatinya telah benar-benar mati dari cahaya Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 7,
"Allah telah mengunci mati hati dan pendegaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat."

Astaghfirullah....
Ternyata pesona dari wanita tersebut telah mengubur keimanan Abdah. Demi bisa memiliki tubuh cantik itu, ia rela meninggalkan yang sudah benar yaitu Islam.
Sudah sepatutnya sebagai sesama umat Islam saling mengingatkan. Begitu juga kawan-kawannya sesama tentara. Mereka mengingatkan agar tidak keluar dari Islam.
Beberapa kawan dekatnya mencoba untuk membujuknya agar segera bertobat. Mereka menemui Abdah dan berkata,
"Di manakah Al Qur'anmu yang dulu? Apa yang telah dikerjakan oleh ilmumu terhadapmu? Apakag yang dikerjakan puasamu terhadapmu? Apa yang dikerjakan jihadmu terhadapmu? Dan apa yang telah diperbuat salatmu terhadapmu?"

Astaghfirullah...
Allah SWT benar-benar meengunci mati hatinya. Dengan congkak ia mengatakan,
"Aku telah lupa semua isi Al Qur'an, kecuali hanya dua ayat saja."

Lalu Abdah membaca dua ayat Al Qur'an tersebut yaitu Surat Al Hijr ayat 2 samapi 3. Seolah-olah ayat ini adalah hujah, kutukan sekaligus peringatan Allah SWT yang terakhir kalinya. Namun hal tersebut tidak digubrisnya sama sekali.

Dalam kehidupan ini, seolah bisa bahagia dengan harta berlimpah serta bersama keturunan Nasrani. Akhirnya Abdah meninggal pada tahun 278 Hijriyah.

Celakanya lagi, saat nyawanya dicabut Malaikat Izrail, Abdah belum mau bertobat dan berakhir dengan Su'ul Khatimah (akhir hidup yang jelek).

Semoga kita dilindungi dari hal yang demikian dan dimatikan dalam keadaan yang baik atau Khusnul Khatimah. Amiiin...

Ketika Cahaya Cinta Nabi ﷺ dalam Hati


Sayyidi Habib Ali al-Jufri:
Ketika cahaya cinta pada Nabi ﷺ teguh tertanam dalam hati seseorang, tidak akan ada tempat lain dihatinya untuk bersikap keras atau ekstrim atau radikal..

karena ketika cinta teguh tertanam di dalam hati seseorang dan ia menjadi tergila-gila dengan Kekasihnya, ia akan mementingkan Kekasihnya terlebih dahulu di depannya dalam segala sesuatu yang dia lakukan dan dia menyadari betul makna hubungannya dengan Sang Kekasih ﷺ‎ dalam setiap ucapan dan perbuatannya.

hubungannya dengan segala sesuatu dalam hidup ini kemudian menjadi urusan hubungan dengan Sang Kekasih. Bahkan ketika ia berbicara kepada orang lain ia sebenarnya sedang berbicara kepada Sang Kekasih melalui mereka. Dalam berurusan dengan orang-orang, secara lahiriah ia berinteraksi dengan mereka tetapi dalam kenyataannya ia berinteraksi dengan Kekasih nya. Semuanya yang terhubung ke Kekasih nya menjadi hal hal yang tercinta baginya.

Allahumma sholli alaa Sayyidina Muhammad wa alaa aalihi wasohbihi wabarik wasallim