CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

20 Des 2016

Membela Habaib dan NU



Oleh: KH. Muhajir Madad Salim

A. Membela Habaib
Di sebuah dusun kecil, serombongan habaib muda ('alaihimussalam) sowan kepada seorang kiai sepuh. Dengan nada penuh kegelisahan cucu-cucu Baginda Nabi Saw. yang dimuliakan Tuhan itu berkata, "Kiai, bagaimana NU ini? Semuanya pada berangkat ke jakarta NU malah menahan diri. Malah kabarnya akan kirim Banser untuk Demo tandingan?"

Sesudah menghela nafasnya yang dalam Kiai menjawab, "Yiiik...", begitu biasanya beliau memanggil mereka. 'Antum di dusun ini jangan sekali-kali merendahkan NU nggih? Karena di dusun ini hanya orang-orang NU saja yang mau bershalawat kepada Kanjeng Nabi beserta Ahli Baitnya. Kalau antum memusuhi mereka, saya takut di dusun ini tidak akan ada lagi ada ummat Islam yang bershalawat untuk antum para Ahlul Bait."

Sebuah jawaban tidak terduga, yang sontak membuat para saadah muda itu tertegun. Bahkan tertegun cukup lama .
Kiai meneruskan, "Orang-orang dusun sini, adalah orang-orang awam yang tidak mengerti membalas kebaikan para Ahlul Bait kecuali dengan cara bershalawat untuk mereka. Janganlah antum berbuat sesuatu yang menyebabkan mereka meninggalkan satu-satunya kebaikan yang mereka punya!"
Sebuah kisah nyata, dari sebuah perkampungan kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kita sekalian selama ini. Tetapi begitu mendengar kisah tersebut, saya berfikir ada banyak kata-kata yang mesti diungkapkan untuk dapat tetap "Mbelani NU" dan sekaligus tetap "Memuliakan Habaib".

Ketua Umum PBNU Kiai Said Aqil Siraj menyatakan bahwa memuliakan para habaib itu bagi kaum Nahdliyin adalah sebuah keyakinan agama mereka. Tetapi jauh sebelum Kiai Said berkata seperti itu, salah satu ulama kebanggaan kaum Nahdliyin yang merupakann mahaguru para kiai Jawa yang mayoritas kaum Nahdliyin banyak berhutang ilmu kepada beliau, yakni Syaikhul Haramain Syaikh Nawawi Banten, berkata dalam kitab kecil beliau Qami’ ath-Thughyan: “ …bahwa patut bagi setiap Muslim untuk berkeyakinan apa yang dilakukan oleh para Ahli Bait, Allah telah menganpuni mereka. Tidak boleh bagi kita merendahkan seseorang, terlebih merendahkan para Ahli Bait."

Mari berbicara tentang kemuliaan. Kemuliaan derajat seorang Muslim itu bisa disebabkan oleh banyak hal. Yang paling mudah menyebutkannya adalah kemuliaan karena "ketaqwaan". Jika seorang Muslim hidupnya penuh dengan ketaqwaan, maka dia akan mulia disisi Allah Ta’ala.

Selain ketaqwaan, ada juga sebab yang lainnya yaitu "kedekatan". Maksud kedekatan ini adalah kedekatan Muhammadiyyah. Seorang Muslim jika mempunyai kedekatan dengan Baginda Nabi Saw., maka dia akan mulia disisi Allah dibanding yang tidak.

Para sahabat Rasulullah Saw. memperoleh kemuliaan itu karena sebab ini. Mereka hidup sebagai sahabat Nabi, hidup bersama Nabi, ada dalam satu zaman dengan Nabi. Maka dikatakan: "Sebaik-baiknya tabi’in (setaqwa-taqwanya para tabi’in) tidak akan dapat mengungguli kemuliaan dari serendah-rendahnya seorang sahabat Nabi." Sebaik-baiknya tabi’in itu contohnya seperti Sayyidina Said bin Musayyib, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz, Sayyidina Hasan al-Bashri, Sayyidina Abi Hanifah dan masih banyak yang lain. Mereka semua tingkat ketaqwaannya sudah sebegitu tingginya setaraf “Dewa”. Tetapi di sisi Allah mereka tidak mampu mengungguli kemuliaan golongan terendah dari para sahabat seperti Sayyidina Wahsyi.

Sayyidina Wahsyi ini sahabat Nabi Saw. Tetapi beliau adalah shahabiy yang tingkat ketaqwaannya ada pada level terendahnya. Selain ada “bayang-bayang” kelam dirinya yang sebelum Islam telah membunuh Sayyidina Hamzah, seorang paman yang sangat dicintai Baginda Nabi, beliau Sayyidina Wahsyi ini selama hidupnya tenggelam dalam pengaruh buruk alkohol. Bahkan beliau meninggal dunia dalam keadaan dihukum cambuk karena kebiasaan buruknya itu.

Meskipun demikian, sebagai seorang sahabat sebagaimana sahabat-sahabat Nabi yang lainnya, beliau itu "maghfurun lahum", orang-orang yang dosa-dosanya diampuni oleh Allah Ta’ala.

Jika diukur dengan ketaqwaan, para Sayyidut Tabi’in itu jauh mengungguli Sayyidina Wahsyi. Tidak selevel. Namun di akhirat, kedudukan Sayyidina Wahsyi lebih tinggi disisi Allah dibanding mereka. Bukan karena ketaqwaan Wahsyi mendapatkan keunggulannya itu, tetapi beliau mendapatkan keutamaannya karena sebab kedekatan Muhammadiyyahnya (keshahabiyannya).

Mulia karena dekat dengan seorang yang mulia, yakni Baginda Nabi al-Mushthafa. Dalam hal-hal serupa ini para ulama menerangkannya dalam sebuah analog ini:
"Seorang pelayan yang memijit tubuh seorang Raja, dia dimuliakan sehingga berdiri di tempat yang lebih tinggi dibanding para Mentri. Mereka para mentri duduk di bawah, sementara pelayan tersebut tempatnya di atas di samping Raja. Bukan berarti pelayan dimuliakan karena kepandaiannya sebagaimana para mentri. Para mentri jauh lebih pandai dan jauh lebih memahami dan berkhidmat kepada urusan rakyat dibanding dirinya. Tetapi pelayan itu dimuliakan tempatnya karena kedekatannya dengan Raja saja."

Para pemerhati sejarah Islam akan dengan mudah menempatkan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sebagai slah satu tokoh protagonis. Lalu dalam banyak hal mereka akan mudah menempatkan Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai tokoh antagonisnya.

Tetapi mereka akan terkesima jika menyimak apa keyakinan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sendiri dalam hal ini. Suatu saat, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz ditanya seseorang, "Siapakah yang lebih mulia, diri Tuan ataukah Muawiyah?"

Dengan nada kesal beliau menjawab, "Sungguh, seonggok debu yang masuk di dalam rongga hidung kuda yang ditunggangi Muawiyyah saat dirinya berjihad di samping Rasulullah Saw. itu, jauh lebih mulia dibanding Umar bin Abdul Aziz!"

Kemuliaan Sayyidina Muawiyah tersebut bukan dari sebab ketaqwaannya, tetapi sebab kedekatan Muhammadiyyah yang dimilikinya. Sehingga seorang yang telah paripurna ketaqwaannya seperti Umar bin Abdul Aziz pun tidak dapat melampauinya.

Sampai di sini, sudah dapat ditarik natijah bahwa "ketaqwaan" itu tidak satu-satunya mizan/parameter kemuliaan seorang Muslim disisi Allah Ta’ala. Tetapi masih ada sebab yang lain yang dapat membuat seorang Muslim mulia disisi Allah, yaitu sebab "Anshoriyyah Nabawiyyah". Seseorang yang mempunyai unsur-unsur genetik Rasulullah, yang dalam dirinya mengalir darah dan daging Rasulullah Saw., yakni mereka adalah para anak-cucu Rasulullah. Mereka semua akan dimuliakan di sisi Allah Ta’ala karenanya. Kemuliaan yang Allah berikan melalui ayat Tath-hir (QS. al-Ahzab ayat 33):
ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Kemuliaan yang membuat semua anak cucu keturunan Nabi Saw. adalah "maghfurun lahum", orang-orang yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah Ta’ala persis kemuliaan serupa yang dimiliki oleh golongan shahabiy. Orang yang shaleh dari mereka ataupun orang yang thaleh (jahat) dari mereka, semuanya oleh Allah akan diampuni. Mereka diampuni bukan karena ketqwaan/amal mereka. Tetapi ampunan itu mereka dapatkan murni "pemberian" Allah belaka.

Berkata Syaikh an-Nabhaniy dalam sebuah kitabnya: "…Para Syarif itu termasuk juga sebagai anak cucu Sayyidah Fathimah, Radhiyallahu 'anhum, mereka semua sampai hari kiamat mendapatkan anugerah hukum ayat ini (yakni) mendapatkan ampunan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang disucikan (almuthahharun) yang khusus mereka terima dari Allah sebagai sebuah inayah untuk mereka dikarenakan (maziyyah) kemuliaan Baginda Nabi Muhammad Saw. Kekhususan ini juga merupakan inayah Allah untuk Baginda Nabi Muhammad Saw. pula."

Sampai di sini, natijah tersebut semakin menguat bahwa ketaqwaan bukan satu-satunya ukuran kemuliaan seseorang. Karena kedekatan zaman (seperti yang dimiliki oleh para Sahabat) dan kedekatan jasad (seperti yang dimiliki oleh para Ahlul Bait) juga dapat menjadi sebab sebuah kemuliaan disisi Tuhan.

Hal sedemikian ini yang mendasari pernyataan Kiai Said Aqil Siraj dan mahaguru para kiai Jawa, Syaikh Nawawi al-Bantani, tentang kedudukan Ahlul Bait di awal tulisan ini. Orang-orang NU yang mempunyai kecintaan kelas “Dewa” kepada para habaib ternyata bukan akal-akalan atau emosionalisme mereka belaka. Ternyata mereka mempunyai imam panutannya, dalam masalah ini yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani .

Sehingga tidak perlu terjadi sesungguhnya, beberapa pemuda Nahdliyin dengan gaya ala Koboy menantang-nantang duel ala carok dengan para habaib. Jika belum dapat menghormati para sayyid, semestinya mereka menghormati keyakinan kiai-kiai mereka atau syaikh-syaikh mereka seperti Syaikh Nawawi ini.

Hanya saja saya memaklumi perbuatannya itu, karena saya husnudzan mereka melakukannya atas dasar ketidaktahuan mereka akan Rutbah (kedudukan tinggi) para Sayyid. Namanya saja tidak tahu, maklumi saja. Jikalau mereka sudah mengetahui, mereka tidak mungkin melakukannya.
Atau bisa saja mereka mengenal Rutbah para Sayyid itu dengan bahasa, ajaran serta stigma-stigma yang salah yang diajarkan oleh orang-orang “terpelajar” di sekitar mereka. Sehingga keyakinan yang tertanam dalam diri mereka berbeda dengan keyakinan ala Qami’ ath-Thughyan-nya Syaikh Nawawi Banten 

Tulisan berikut adalah bagian tentang yang ketidaktahuan/kesalahtahuan tersebut. Karena di bagian ini harus menjelentrehkant entang kewajiban membela NU-nya. Dan pengetahuan yang komprehensif atas serba-serbi kemuliaan seperti di atas akan menjauhkan seseorang bersikap berlebihan dalam mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap perbuatan "oknum-oknum" dari para Sayyid yang dianggapnya keliru/jahat.

B. Membela NU
Sebagaimana membela Habaib itu diniati menjalankan perintah agama yaitu membela dan mencintai para Ahlul Bait Baginda Nabi, maka membela NU juga kudu diniati untuk membela para Ulama para pewaris Nabi. Ini perintah agama juga.

Ulama sebagai salah satu bentuk Sya’airillah (tanda-tanda kemuliaan Allah) di muka bumi, maka menghormatinya hukumnya wajib. Bahkan dihitung sebagai amal terbaik, ketaqwaan terbaik. Jika demikian, membela, memuliakan rumah-rumah para ahli ilmu ini seperti Nahdlatul Ulama, sama halnya memuliakan penghuninya yakni mereka para ulama. Tidak akan mengingkari hal-hal seperti ini kecuali orang-orang yang benar-benar tertutup mata hatinya.

Menghormati ulama bahkan tidak mesti melihat keshalehan atau tidaknya sang ulama itu sendiri. Disebabkan ilmu-ilmu yang ada dalam otak mereka, yang tersimpan di dalam dada mereka, adalah makhluk-makhluk Tuhan yang dzatiyahnya sudah mulia dan patut untuk dihormati .

Hal ini ditekankan betul oleh guru-guru kita, agar para pencari ilmu mesti memahami hakekat kemuliaan ilmu. Dia (ilmu itu sendiri) adalah mahluk yang mulia, dan manusia yang di dalam dirinya membawa ilmu-ilmu menjadi mulia karenanya. Jika manusia yang berilmu itu dapat mengamalkan ilmu-ilmunya, maka ini adalah "mulia di atas mulia".

Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiriy pernah berkata, "Seorang alim seyogyanya dihormati meskipun engkau lihat dia tidak mengamalkan sendiri ilmunya, atau meskipun engkau lihat dia kurang mengamalkannya. Penghormatan ini dilakukan untuk menghormati ilmunya, yang mana ilmu itu sendiri adalah sesuatu yang mulia. Dalam Nadzam Zubad dikatakan:

العلم اسنى سـائر الاعمال ÷ وهو دليل الخير والافضـال
"Dari sekalian amal, ilmu adalah yang terbaik. Dan ilmu itu pertanda sebuah kebaikan dan keutamaan." Seorang shalihin berkata:
انظر لعلمى ولا تنظر الى عملى ÷ ينفعك علمى ولا يضرّك تقصيرى 
ان العلوم كالاشجر على ثمر ÷ فشلّ الثمـار وخلّ العود للنار
"Lihatlah ilmuku, jangan lihat amalku. Niscaya ilmuku akan bermanfaat untukmu dan kekuranganku tidak akan merugikanmu. Sungguh ilmu-ilmu itu laksana pepohonan yang berbuah. Ambil buahnya dan biarkan kayunya terbakar di perapian." Sebuah syair dikatakan:
خذ العلوم ولا تنظر لقائلها ÷ حيث كانت فان العلم ممدوح
كمثل جوهرة وسط مزبلة ÷ اليت تأخذهـا والزبل مطروح ؟
"Ambil saja banyak ilmu bagaimanapun keadaannya, jangan perdulikan siapa yang menyampaikannya. Sesungguhnya ilmu itu sendiri sesuatu yang terpuji. Bagaikan mutiara yang terjatuh di kubangan kotoran. Bukankah engkau tetap ambil mutiaranya, sementara kotorannya engkau buang?" Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. bersabda:
الحكمة ضـالّة المؤمن يأخذهـا اينمـا وجدهـا
"Hikmah itu (laksana) harta yang hilang milik seorang mukmin, dimanapun ditemukan, diambillah ia."

Mutiara nasihat Habib Salim tersebut sudah cukup mewakili sebagai landasan untuk siapapun supaya tetap menghormati para ulama meskipun dalam beberapa hal mungkin tidak dalam satu pendapat yang sama atau dalam satu gerakan yang sama.

Tidak patut bagi seorang yang terpelajar, secara terbuka menyudutkan dan merendahkan seorang ulama. Meskipun di dalam pandangan matanya ulama tersebut ia anggap bukan ulama yang baik. Beberapa waktu lalu, sangat disayangkan terjadi seorang terpelajar memperolok Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) melalui medsos miliknya, dengan bahasa yang jauh dari sopan santun.

Bukankah beliau adalah seorang ulama, bahkan salah satu pimpinan yang disepuhkan dalam Nahdlatul Ulama? Jika tidak ingin menghormati dirinya Gus Mus, bukankah mesti menghormati keulamaannya? Bahkan menghormati institusi besar yang ada dibelakangnya?

Kesimpulan yang paling sederhana dari uraian-uraian ini adalah: "Menjadi seorang Muhibbin harus tetap dapat memuliakan Ulama, menghormati Nahdlatul Ulama. Menjadi Nahdliyyin harus selalu memuliakan dan menghormati para Habaib."

Apalagi NU itu mengikat secara emosional ke dalam jiwa banyak orang. Sejarah panjang hidupnya, hidup orangtua serta kakek-kakeknya bersinggungan langsung dengannya. NU sudah menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan. Sehingga jika dimuliakan, rasanya seperti kehidupan dirinya yang dimuliakan. Sebaliknya jika direndahkan, rasa-rasanya seperti dirinyalah yang direndahkan. Sebuah ikatan emosional dan sentimental.

Nahdlatul Ulama bagi banyak orang (termasuk saya) adalah bagaikan benda keramat warisan keluarga. Warisan orang-orang tua terdahulu. NU itu laksana kanz/gudang kemuliaan yang banyak orang seperti saya berhutang banyak dengan "harta-harta" yang tersimpan didalamnya.

Saya ingat nasihat yang selalu diulang-ulang oleh salah satu Syaikh saya, KH. Aniq Muhammadun, "Hendaklah kalian sepulangnya dari belajar di pesantren, saat sudah berkecimpung di tengah-tengah masyarakat agar ikut memikirkan Aswaja melalui wadah Nahdlatul Ulama. Jamiyyah ini didirikan dengan penuh ketulusan oleh Kiai-kiai terdahulu, dan sampai sekarang terhitung yang masih memegang teguh ajaran-ajaran ulama salafus shalih terdahulu..."

Pesan-pesan semacam itulah yang membuat NU bagi banyak kalangan, terutama bagi para santri pesantren, melebur menjadi bagian kehidupan mereka. Mereka senantiasa mengingat-ingat janji Hadhratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari: "Siapa yang mau ikut mengurusi NU, saya doakan ia masuk surga."
Soal perbedaan sikap antara NU dengan banyak kalangan habaib dalam kasus "Bela Agama" selama ini, menurut saya masuk di dalam tataran Ijtihadiyyah mereka masing-masing. Saya sangat yakin keduanya sama-sama membela agama, tetapi hasil ijtihad mereka membuat yang terlihat adalah sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang seperti tampak bertentangan di antara keduanya, dan sudah sedari dahulu perbedaan di antara ulama itu biasa.

Tetapi sikap NU yang berbeda itu jangan dijadikan jalan untuk merendahkan ulama dan institusinya. Perbedaan jika masih dalam satu koridor yang sama, aqidahnya masih sama, rujukan serta manhajnya masih sama, maka sikap yang diambil di dalam mengutarakan perbedaan tersebut adalah dalam bentuknya yang konstruktif dengan bahasa-bahasa yang santun serta tetap saling menta'dzimi antara satu dengan lainnya.

Jika diamati dengan rasa penuh inshaf (terbuka), dapat dilihat bahwa di sisi para habaib dan di sisi lain para kiai NU kedua-duanya masih; "Sama-sama Asy’ariyyin-Maturidiyyin. Sama-sama Syafi’iyyin. Sama-sama Shufiyyin Ghozaliyyin. Dan masih seabrek kesamaan-kesamaan yang lain".
Kalau benar begitu, mengapa harus ada rendah-merendahkan satu dengan yang lain? Tentu yang seperti ini tidak diharapkan terjadi.

Anak-anak muda Nahdliyin haram hukumnya merendahkan para jamaah yang berangkat berdemo menyertai habaib mereka. Sementara para Muhibbin tidak sepatutnya menyudutkan atau merendahkan kaum Nahdliyin yang menahan dirinya tidak turut berdemo ke jalan sebagaimana mereka. Bukankah masing-masing mengikuti "perintah" pemimpinnya?
Para Muhibbin bergerak dengan komando pemimpinnya, yakni para habaib. Para Nahdliyin menahan diri juga atas perintah pemimpin mereka, yakni para Kiai. Dan Habaib serta Kiai sama-sama wajib dihormati. Keduanya mempunyai landasan terhadap manhaj gerakan yang dipilih.

Boleh sekadar mengadu hujjah/dalil mereka, tetapi tidak sepatutnya saling merendahkan lawan hujjahnya. Syukur jika dapat ditarik satu kesimpulan yang sama, atau dicari solusi jalan tengahnya. Jika tidak dapat dijami’kan, maka tetap menghormati pilihannya masing-masing.

Ajaran Kebangsaan Maulana Habib Luthfi bin Yahya



Banyak sufi sepanjang beratus-ratus tahun sudah meninggalkan cerita mengenai kebijaksanaan mereka terkait dengan raja-raja serta penguasa. Cerita Imam al-Bashri dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, al-Junaid, al-Bisthami serta al-Karkhi dengan tokoh penguasa semasanya. Walau demikian, sekarang ini masihlah ada beberapa kiai yang mengambil posisi senantiasa berhadap-hadapan, mengritik petinggi dengan argumen itu yang diajarkan beberapa ulama kita dulu selalu untuk mengambil posisi berjarak dengan pemerintah. Lantaran argumen itu, masihlah ada penceramah yang menjamah kehormatan petinggi serta mencabik-cabik nama baiknya di hadapan khalayak, dengan argumen mengritik pejabat merupakan ajaran beberapa ulama dulu serta yang sudah mereka contohkan.

Habib Luthfi mengecam keras pandangan seperti itu. Menurut Habib Luthfi, para ulama dulu sebagian bersikap demikian lantaran sistem pemerintah waktu itu tidak sama dengan saat ini. Dulu berbentuk monarki serta rakyat sekalipun tidak bisa ikut serta dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sekarang ini kita hidup dalam alam demokrasi, dimana peran aktif orang-orang serta tokoh agama begitu perlu untuk memberikan pertimbangan pada beberapa petinggi pemerintah dalam memastikan kebijakan. Lantaran lewat masukan orang-orang serta beberapa input dari golongan cerdik pandai pemerintah dapat mengambil policy yang pas. Pendirian Habib Luthfi seperti ini pada masa Orde Baru pasti tak populis. Nyaris semuanya kiai mengambil posisi berhadap-hadapan atau sekurang-kurangnya acuh pada penguasa.

Seorang sufi besar, Ahmad bin Amad al-Barnasi al-Maghribi yang dikenal dengan Syaikh Zaruq (w. 899 H) menyampaikan: “...menjaga kestabilan itu hukumnya wajib. Serta memerhatikan kemaslahatan umum itu berbentuk pasti. Oleh karenanya beberapa ulama setuju kalau lakukan ‘makar’ pada pemimpin yang sah itu haram hukumnya, baik dalam perkataan ataupun perbuatan. Bahkan juga beberapa ulama setuju (ijma’; konsensus) sah shalat di belakang seseorang petinggi maupun orang umum yang baik ataupun yang dzalim sepanjang kefasikannya itu tak dikerjakan waktu shalat. Oleh karenanya Nabi Saw. bersabda, “Tidak mencemooh satu golongan orang-orang pada pemerintah mereka terkecuali mereka bakal terhambat dari kebaikan pemerintahnya itu.” Imam at-Tirmidzi meriwayatkan, “Tidak melakukan perjalanan satu golongan orang-orang menuju tempat pemerintah dengan maksud menjelek-jelekan pemerintah, terkecuali Allah bakal mengejekkan mereka".”

Habib Luthfi memanglah cuma menyampaikan kita mesti menghormati pemerintah. Mesti menghormati Presiden. Sebab Presiden itu lambang Negara. Serta beberapa lambang Negara punya sifat sakral. Di balik ajarannya itu, nyatanya ada landasan filosofis serta didasarkan atas sebagian alasan syariat. Seperti dijelaskan dalam keterangan Syaikh Ahmad Zaruq di muka kalau menghormati pemerintah tidak cuma menjadi keharusan yang berasaskan kearifan budaya tetapi ajaran Nabi Saw. Nabi mengingatkan barangsiapa yang mencemooh pemerintah, Allah bakal mengejekkannya. Bila petinggi itu dapat dibuktikan lakukan tindak pidana, menurut Habib Luthfi ada mekanisme serta cara perlakuannya. Walau demikian pada prinsipnya jangan pernah mengakibatkan kerusakan kesakralan beberapa lambang Negara.

Dalam pandangan Habib Luthfi menghormati pemerintah yaitu sisi yang tidak terpisahkan dari bentuk kecintaan pada Bangsa serta Negara. Jalinan baik Habib Luthfi dengan pemerintah dapat dilihat dari kehadiran Presiden RI pada perayaan Maulid Nabi Kanzus Shalawat pada tahun 2004 serta 2014. Gubernur serta Wakil Gubernur dari beragam provinsi, serta menteri-menteri dalam perayaan Maulid Nabi.

(Dikutip dari buku “Sejarah Maulid Nabi; Meneguhkan Semangat Keislaman serta Kebangsaan Mulai sejak Khaizuran 173 H sampai Habib Luthfi bin Yahya 1947 M-Sekarang)

Pesan Habib Lutfi Tentang Maulid SAW



“Membaca shalawat jangan malas-malas, bershalawat harus penuh dengan semangat,” begitu pesan yang pernah disampaikan Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Menurut beliau, sedikitnya ada tujuh keutamaan memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. yang tidak sekadar kegiatan rutinitas:
  1. Nabi Muhammad Saw. pada masa muda, sebelum masa kerasulan, telah mendapat gelar al-Amin oleh pemuka kaum Quraisy pada peristiwa peletakan Hajar Aswad di Mekkah.
  2. Nabi Muhammad Saw. merupakan satu-satunya nabi dan rasul yang kewilayahannya meliputi seluruh dunia, sedangkan nabi atau rasul lain hanya wilayah tertentu saja.
  3. Nabi Muhammad Saw. tidak pernah dipanggil hanya dengan namanya saja oleh Allah Swt. seperti nabi-nabi lain, melainkan beliau Saw. dipanggil dengan gelar-gelarnya diantaranya Thaha, Ya Muzammil, Ya Mudatsir, Yasin, dlsb.
  4. Nabi atau rasul lain hidup sejaman, semisal Nabi Daud dengan Nabi Sulaiman, Nabi Ibrahim dengan Nabi Ismail, sedangkan jaman Nabi Muhammad Saw. hanya beliau Saw. saja tidak ada rasul lainnya yang hidup sejaman.
  5. Yatimnya Nabi Muhammad Saw. mengisyaratkan bahwa tarbiyah (pendidikan) al-Quran langsung oleh Allah Swt. bila washithah (tanpa perantara), bukan seperti yatim orang pada umumnya.
  6. Allah Swt. Tuhan pencipta alam semesta dan para malaikatNya bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. (QS. al-Ahzab ayat 56). Dikuatkan dalam riwayat Ibnu Majah: “Bershalawatlah kamu kepadaku, karena shalawat itu menjadi zakat penghening jiwa dan pembersih dosa bagimu.”
Adanya al-Quran (nuzulul Quran), peristiwa Isra’ dam Mi’raj, dlsb. berawal dari lahirnya Baginda Nabi Muhammad Saw. sebagai kekasih Allah Swt.
Demikianlah jaminan malaikat kepada orang yang membawa shalawat. Untuk itu, semua umat Nabi Muhammad Saw. diharuskan memperbanyak membaca shalawat sebagai tanda bukti kecintaan umat terhadap beliau Saw. Malukah kita sebagai umatnya yang hanya manusia biasa tidak bershalawat kepada beliau Saw.?

Adapun inti dari peringatan dan pembacaan Maulid Nabi Saw. adalah syukur kita terhadap Allah Ta’ala karena Allah telah mengutus Nabi Muhammad Saw. dan kita termasuk ke dalam umat beliau Saw. Peringatan dan pembacaan maulid Nabi Saw. juga merupakan ungkapan rasa terimakasih kita kepada Nabi Saw. agar kita mencintai Rasul Saw. Kita iman dan Islam karena kita mengenal Nabi Muhammad Saw. Sehingga, oleh karena bersyukur itu diwajibkan, maka membaca maulid Nabi Saw. itu pun menjadi wajib.

Adapun dalil naqli dari Maulid Nabi Saw. ini sudah jelas terdapat dalam al-Quran. Di dalam al-Quran banyak terdapat maulid Nabi Musa As., Nabi Isa As., dan nabi-nabi lainnya. Bahkan di al-Quran Allah Ta’ala yang menciptakan seluruh makhluk termasuk menciptakan Nabi Muhammad Saw. pun menyaksikan dan menyebutkan sifat-sifat Nabi Muhammad Saw. Apakah hal tersebut bukan termasuk Maulid?

Walhasil, oleh karena pembacaan dan peringatan Maulid Nabi Saw. merupakan wujud syukur dan terimakasih kita kepada Allah Swt. dan Nabi Muhammad Saw., maka perlu untuk semakin gencar dan semangat dilestarikan. Karena apabila kepada Allah dan Rasul Saw. saja tidak mau berterimakasih, apalagi kepada makhlukNya yang lain.

Selain itu, pembacaan Maulid Nabi Saw. juga dilakukan dengan harapan turunnya berkah dan syafaat dari Baginda Nabi Saw. Sehingga kita, keluarga, dan lingkungan kita terhindar dari berbagai macam bala’ dan fitnah, dan tentu saja kita berharap bisa meneladani akhlak Nabi Saw. melalui pembacaan Maulid Nabi Saw.

Kisah Peci Bung Karno dan Surban Diponegoro Mbah Wahab



Mbah Wahab seorang ulama yang multitalenta. Selain menguasai ilmu agama beliau juga seorang politikus ulung, jago silat dan ahli wirid. Beliau menyatakan orang Islam bukan hanya berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena wiridnya. Salah satu peninggalan wirid Kiai Wahab yang terkenal dan biasa diamalkan terutama di kalangan Pesantren sampai sekarang adalah:
“Maulaya shalli wasallim da-iman abada # ‘Ala habibika khairil khalqi kullihimi
Huwal habibulladzi turja syafa’atuhu # Likulli haulin minal ahwali muqtahami.”

Di pentas politik nasional, Mbah Wahab memperoleh lawan tanding yang layak: Bung Karno. Konon pernah terjadi ketika seluruh peserta pertemuan sudah siap di ruangan ketika Presiden Soekarno datang. Berjalan menuju tempat duduknya, Bung Karno menyempatkan diri menghampiri Mbah Wahab dan menepuk bahunya, “Ikut pendapatku!” kata Bung Karno, kemudian berlalu.
Mbah Wahab tidak menjawab. Bukan karena taat atau tak punya kata-kata, tapi tubuhnya mendadak kaku, lidahnya kelu. Hampir sepuluh menit beliau terpatung seperti itu. “Astaghfirullahal ‘adzim,” batinnya, “kena aku...”

Mbah Wahab jelas bukan orang yang gampang menyerah. Bung Karno baru selesai menyapa orang-orang ketika Mbah Wahab berhasil membebaskan diri dari ‘jurus’ Bung Karno itu. Belum lagi Presiden mantap duduknya, Mbah Wahab bangkit, ganti menghampiri dan menepuk pundaknya. “Aku punya pendapat sendiri!” kata Kiai Wahab.

Setengah jam Bung Karno terhenyak tanpa bergerak, hingga hadirin bengong, tak tahu yang terjadi.
Bagi Bangsa Indonesia, peci hitam memiliki arti penting. Peci ini dipakai Presiden pertama RI keliling dunia. Tak ayal, para pemimpin negara sahabat pun akrab dengan peci tersebut. Di mana peci hitam tampak, di situlah orang Indonesia disebut. Peci hitam memang menjadi identitas kebangsaan kita. Dalam buku “Berangkat dari Pesantren”, Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri menceritakan tentang uniknya peci hitam.

Suatu ketika, di sela-sela sidang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada September 1959 muncul kisah menarik. Bung Karno, kata Kiai Saifuddin Zuhri, menyatakan bahwa dia sebenarnya kurang nyaman dengan segala pakaian dinas kebesaran. Akan tetapi, semuanya dipakai untuk menjaga kebesaran Bangsa Indonesia. “Seandainya saya adalah Idham Chalid yang ketua Partai NU atau seperti Suwiryo, ketua PNI, tentu saya cukup pakai kemeja dan berdasi, atau paling banter pakai jas,” ujar Bung Karno sambil melihat respon hadirin.

Dengan yakin dan percaya, proklamator itu menegaskan tidak akan melepas peci hitam saat acara resmi kenegaraan. “Tetapi soal Peci Hitam ini, tidak akan saya tinggalkan. Soalnya, kata orang, saya lebih gagah dengan mengenakan songkok hitam ini. Benar enggak, Kiai Wahab?” tanya Bung Karno pada Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang juga anggota DPA, KH. Abdul Wahab Hasbullah.

Dengan tangkas, Mbah Wahab pun segera menimpali lontaran Bung Karno itu. “Memang betul, saudara harus mempertahankan identitas itu. Dengan peci hitam itu, saudara tampak lebih gagah seperti para muballigh NU,” jawab sang kiai

Sontak, pernyataan kiai kharismatik ini langsung disambut gelak tawa seluruh anggota DPA. Suasana pun meriah oleh canda tawa dan tepuk tangan hadirin. “Dengan peci itu saudara telah mendapat banyak berkah. Karena itu, ketika berkunjung ke Timur Tengah, saudara mendapat tambahan nama Ahmad. Ya, Ahmad Soekarno,” seloroh Kiai Wahab yang lagi-lagi disambut gelak tawa hadirin.

Dalam buku saku yang diterbitkan Panitia Haul ke-43 KH. A. Wahab Chasbullah disebutkan, kiai perintis, pendiri, dan penggerak Nahdlatul Ulama itu hampir tak lepas dari sorban dalam segala situasi. Baik di rapat-rapat NU, sidang parlemen, resepsi, istana negara, atau perjalanan. Suatu ketika Kiai Wahab berbicara pada sidang parlemen. Sebelum berdiri, ia membetulkan letak sorbannya. Sekelompok anggota parlemen komentar, “Tanpa sorban, kenapa sih?”
“Sorban Diponegoro,” jawab Kiai Wahab.

Ketika berdiri di podium, Kiai Wahab mengatakan, bahwa Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Kiai Mojo, dan Teuku Umar juga mengenakan sorban. Penjelasannya itu membuat sebagian anggota parlemen tergelak, tapi kemudian terdiam.

Menurut sejarawan, silsilah keturunan Kiai Wahab jika dirunut ke atas maka akan sampai pada kisah heroik Kiai Abdus Salam. Kakek Kiai Wahab itu merupakan salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro di sektor timur (1825-1830). Kiai Abdus Salam merupakan putra Pangeran Sambo bin Pangeran Benowo bin Joko Tingkir (Mas Karebet) bin Kebo Kenongo bin Pangeran Handayaningrat bin Lembu Peteng bin Pangeran Brawijaya VI. Dari trah para pejuang ini wajar jika kemudian Kiai Wahab tampil sebagai ulama yang tak pernah berhenti berpikir dan bergerak untuk umat.

13 Des 2016

Kisah Teladan, Abu Yazid Al Busthami qs dan Seekor Anjing


\
"Siapakah Dirimu Yang Sebenarnya? "
Siapa yang tidak kenal Abu Yazid Al-Busthami Qadasallahu Sirrahu, termasuk pemimpin kaum sufi. Namun siapa sangka beliau pernah mendapat ilmu yang sangat berharga dari seekor anjing.
Seperti biasa, Abu Yazid suka berjalan sendiri di malam hari. Lalu dia melihat seekor anjing berjalan ke arahnya, anjing itu dengan begitu jalan tidak menghiraukan sang Syeikh, namun ketika sudah hampir dekat, Al-Busthami mengangkat jubahnya khuatir tersentuh anjing yang najis itu.
Spontan anjing itu berhenti dan memandangnya. Entah bagaimana Abu Yazid seperti mendengar anjing itu berkata padanya,

"Tubuhku kering tidak akan menyebabkan najis padamu, kalau pun engkau merasa terkena najis, engkau tinggal basuh 7x dgn air & tanah, maka najis di tubuhmu itu akan hilang. Namun jika engkau mengangkat jubahmu kerana menganggap dirimu yang berbaju, badan manusia lebih mulia, dan menganggap diriku yang berbadan anjing ini najis dan hina, maka najis yang menempel di hatimu itu tidak akan bersih walau kau basuh dengan 7 samudra lautan".

Abu Yazid tersentak dan minta maaf. Lalu sebagai permohonan maafnya dia mengajak anjing itu untuk bersahabat & jalan bersama. Tapi si anjing itu menolaknya.
"Engkau tidak patut berjalan denganku, mereka yang memuliakanmu akan mencegahmu dan melempari aku dengan batu. Aku tidak tahu mengapa mereka menganggapku begitu hina, padahal aku berserah diri pada sang Pencipta wujud ini, lihatlah aku juga tidak menyimpan dan membawa sebuah tulang pun, sedangkan engkau masih menyimpan sekarung gandum", lalu anjing itu pun berjalan meninggalkan Abu Yazid.

Abu Yazid masih terdiam, "Duhai Allah, untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaanMU saja aku tak layak, bagaimana aku merasa layak berjalan bersama denganMU, ampunilah aku dan sucikan hatiku dari najis "

Sejak itu Abu Yazid memuliakan dan mengasihi semua mahluk Tuhan tanpa syarat.
"Janganlah menganggap dirimu lebih suci dari yang lain, sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang paling suci di antara hamba-hamba-Nya" (Surah an-Najm).
Wallahualam

Allahuma sholi 'ala sayidina Muhammad nabiyil umiyi wa 'ala 'alihi wa shohbihi wa salim

dikutip dari FB Diah Listyani