CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

20 Mei 2016

Mbah Sabilan, Dzurriyah Rasul ke-29 yang Berjuang Semasa Untung Suropati



Berawal dari keinginan warga Demaan, Jepara Kota, agar panitia menelusuri silsilah Mbah Sabilan, Habib Abu Bakar Assegaf, juru kunci makam, berniat melakukan sesuatu. Tapi apa yang harus diperbuat, ia tidak tahu. Menelusuri nasab bagi Bang Abu, sapaan akrabnya, bukan perkara mudah. Yang selama dipercaya masyarakat bisa menemukan nasab dan bahkan makam tua para wali adalah Habib Luthfi bin Yahya, Pekalongan. Tapi untuk langsung menghadirkan Habib Luthfi bukan perkara gampang.

Buntu menemukan jalan tercepat menjawab keinginan warga yang ingin mengetahui nasab leluhurnya itu, Bang Abu datang sedirian ke makam Mbah Sabilan. Siang itu tidak ada orang ziarah. Juru kunci makam tersebut di sana bukan membaca tahlil dan wirid. Yang dilakukan justru meluapkan emosinya. Pintu makam digedor sekuat tenaga. Batu nisan makam Mbah Sabilan diokak-okak.

“Kamu ini siapa sih mbah kok bikin tugas berat menelusuri nasab. Saya tidak sanggup. Tapi kok ditunjuk juru makam, kenapa? Ini tugas berat yang bikin saya pusing, mbah!” katanya di makam.

Pulang ke rumah, ia merasa ringan. Hanya berharap semoga kelak dapat jawaban. Bagi Bang Abu, wali itu sangat welas asih kepada warga. Kemarahan yang kemarin dilakukan tidak akan dibalas kemarahan yang sama oleh Mbah Sabilan. “Wali itu memiliki mata kasih,” ujarnya kepada Duta Islam, Kamis (13/04/2016), di rumahnya, Jl. Pesajen, Demaan, Jepara.   

Sebelum membakar ikan, Bang Abu kirim Fatihah khusus kepada Mbah Sabilan. Kamis (17/03/2016) pagi itu, bau ikan laut yang dibakar menyengat hidung kemana-mana. Hendak disajikan bersama keluarga, seorang pengurus NU Jepara menelpon jika posisi Habib Luthfi sedang ada di makam Mbah Daeng, Krapyak, Jepara, sedang ziarah.

Seketika langsung menuju posisi Habib Luthfi yang kebetulan memang hanya berjarak 5 kilo dari tempat tinggal Bang Abu. Kepada angota Banser yang nderekke Habib Luthfi, ia tanya agenda habib setelah ziarah Mbah Daeng. Sedikit kecewa karena Habib Luthfi ternyata tidak ada rencana ziarah ke makam Mbah Sabilan.

Sebelum niat ketemu Habib Luthfi, Bang Abu sudah ziarah ke makam Mbah Sabilan. Kali ini tidak marah-marah di makam, tetapi tawassulan dan kirim doa. Saking semangatnya, Bang Abu ingin langsung menemui Habib Luthfi yang sedang di makam Mbah Daeng. Namun, sebelum keluar dari kompleks makam, seekor belalang menclok ke bahu kanan, lalu terbang lari ke arah makam Abah-nya yang bersebelahan dengan Makam Mbah Daeng, Krapyak. “Ya, Allah, saya ziarah ke Mbah Sabilan tapi belum ziarah maqbarah orang tua,” ungkapnya dalam hati.

Baginya, belalang adalah tanda agar sebelum ketemu Habib Luthfi, harus ziarah dulu kepada orang tua sebagai bentuk birrul walidain. Kebetulan hari Kamis memang sudah biasa ziarah orang tua. Beberapa saat ziarah dilakukan ke pusara Habib Sagaf, abah Bang Abu.

“Kalau Habib Luthfi memang kassyaf, dia pasti tahu krentek saya habis marah-marah di makam Mbah Sabilan kemarin karena harus menemukan nasabnya,” tutur Bang Abu menjelaskan maksud tawassul-nya tadi.


Sementara itu, keterangan yang didapat, sekeluarnya Habib Luthfi dari makam Mbah Daeng, ternyata tidak langsung jalan ke sebuah makam di Mlonggo sebagaimana agenda rombongan yang nderekaken. Kata Bang Abu, Habib Luthfi justru ingin ziarah ke makam Sayyid Abdurrahman. Rombongan banyak yang bertanya: “Dimana itu, Bib?”

Bang Abu yang sudah di kompleks makam Mbah Daeng langsung mendekat, menyalami Habib Luthfi dan bersiap mengantarkan ke Makam Mbah Daeng ketika itu juga. “Alhamdulillah, Habib Luthfi kasyyaf, tahu keinginan saya. Mungkin Mbah Sabilan bilang langsung ke Abah Luthfi kalau saya habis marah-marah tidak karuan di makamnya kemarin,” tuturnya.

Dalam ziarah pertama Habib Luthfi ke makam Mbah Sabilan itu, apa yang selama ini digelisahkan Bang Abu terjawab dengan mudah. Tanpa tirakat panjang, nasab itu diserahkan terbuka kepada Bang Abu dari Habib Luhti, dicatat Kyai Masduki, Sowan, Kedung, Jepara.

Nama asli Mbah Sabilan adalah Habib Abdurrahman Basyaiban. Sabilan adalah nama samaran yang digunakan untuk menghindari tekanan politik Belanda, yang berarti jalan. Ketika itu, keturunan Arab dianggap penjajah sebagai orang yang suka “meracuni” umat Islam. Penamaan tersebut terkait tentang apa, belum diketahui jelas. Yang pasti, Mbah Sabilan hidup 350 tahun lalu ketika Pahlawan Nasional yang legendaries bernama Untung Suropati masih hidup (1660-1706 M).

Silsilah lengkapnya: Abdurrahman bin Abdurrahim bin Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar, yang dikenal sebagai datuk marga Basyaiban. Habib Abu Bakar Basyaiban ini adalah putra dari Muhammad As’adillah bin Hasan Atturabi bin Ali bin Muhammad al-faqih Muqaddam bin Ali bin Muhammad Sahib Murbad bin Ali Khala’ Ghasam bin Alwi bin Muhammad bin Ali Alawiyyin bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Arrumi bin Muhammad An-Nagieb bin Ali Uraidli bin Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Imam Husain bin Fatimah Zahra (zaujah Ali bin Abi thalib) binti Muhammad Rasulullah shallahu alaihi wa sallam. 

Watu Bobot
Jika diruntut, Mbah Sabilan adalah keturunan ke 29 dari Rasulullah. Menurut Habib Luthfi, Mbah Sabilan berasal dari Cirebon. Karena itulah, Bang Abu mengaku belum mengetahui makam ayahanda beliau, yakni Habib Abdurrahim Basyaiban. “Saya belum klarifikasi ke Rabithah (organisasi penashih jalur keturunan Rasulullah). Namun keturunannya ada banyak yang mukim di Magelang, Jawa Tengah,” kata Bang Abu.

Cerita yang beredar, dulu di makam Mbah Sabilan ada batu keramat yang disebut watu bobot. Yakni dua batu dengan berat yang sulit diangkat oleh perorangan jika ia tidak punya hajat. Panjanganya sekitar 40 cm dengan lebar 50 cm dan tinggi 60 cm. Dua batu itu, masing-masing disebut wadah kitab dan wadah gaman.

Bagi pezirah yang ingin tawassul agar pendidikannya lancar, ia bisa mengangkat wadah kitab. Jika kuat mengangakat, maka itu isyarah bahwa keinginnannya akan dikabulkan oleh Allah di kemudian hari. Jika tidak kuat mengangkat, maka tanda harus lebih bekerja keras lagi agar mendapatkan rejeki banyak. Ini untuk watu bobot wadah gaman.

Kini, batu itu sudah tidak ditemukan di kawasan makam. Bukan raib, tapi dicuri orang. Menurut Bang Abu, watu bobot itu ada di sebuah museum di Semarang. Walaupun begitu, Mbah Sabilan tetap masih diingat warga sebagai waliyullah penyebar agama Islam tiap minggu akhir bulan Rajab. Pada tahun ini, jatuh pada 1 Mei 2016. 




16 Mei 2016

Panas dan Kerinduan Cinta kepada Rasulullah SAW

Sayyidī’l-Habīb Muhammad bin 'Abd al Rahmān al Saqqāf:


Di Hari Wafatnya Rasulullah ﷺ Seluruh kota MADINAH terguncang. 
Orang orang gemetar. 
Pikiran mereka seperti hilang. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. 
Ada yang menjadi buta. 
Ada lainnya menjadi lumpuh. Ada yang bingung dan menjelajahi masjid dengan pedang terhunus.
Dan Kemudian AsSiddiq radhiallahu anhu masuk. Beliau datang dengan pemahaman yang mendalam dan mengerti apa yang terjadi. Beliau menyingkapkan penutup dahi Rasulullah ﷺ yang terbaring di ruang Sayyidah A'isyah radhiallahu anha dan mencium diantara kedua matanya. Beliau mengatakan, "Wahai Rasulullah! Betapa manis dan indahnya keberadaanmu di kehidupan dunia ini dan begitu pula di kehidupan akhirat"[Artinya:]! Aku tetap teguh dalam kesaksian ku, kearifan dan persepsiku. Engkau senantiasa indah di setiap keadaan ! Dan beliau melanjutkan, "ingatlah selalu pada kami, Sebutkan nama kami kepada Tuhanmu, wahai Rasulullah!".
[Al Siddiq] adalah pemilik keyaqinan dan kemuliaan. Beliau tahu keadaan ini (wafat) hanyalah perpindahan dari satu tempat tinggal ketempat yang lain dan bahwa ia cepat atau lambat juga akan bersatu dengan kekasihnya, 'Manusia Pilihan'. Namun, api kerinduannya tidak memungkinkan lagi ada kedamaian bagi pemilik cinta bahkan sesaat. Karena sang kekasih tidak tahan berpisah dari kekasihnya. Meskipun ia telah memiliki janji pertemuan kembali, tapi api kerinduan dalam hati tidak dapat dipadamkan kecuali dengan air [yang sebenarnya] pertemuan. 

Dengan demikian, pada hari-hari pertama setelah perpisahan dengan Rasulullah ﷺ, AsSiddiq menanggung beban dgn menyibukkan diri dari kekhalifahan dan pimpinan Negara Islam, Orang orang disekitarnya tetap akan mencium bau hati yang terbakar dalam setiap tarikan napasnya. Pernahkah Anda mendengar tentang seseorang yang bagian dalam tubuhnya dibakar oleh api cinta? 
Karena sering dan kuatnya, panas dalam jiwa ini diwujudkan dalam pembakaran fisik hatinya. Panas dari kerinduan dan cinta! Jika setetes cinta milik AsSiddiq untuk Rasulullah ﷺ ini hadir melalui sehelai rambut dari beliau dan dibagikan di antara kita, kita semua dipastikan akan menjadi gila dengan kerinduan. Jadi bagaimana beliau Radhiallahu Anhu mampu menanggung panas yang segitu besar di dalam hatinya? 

Inilah sebabnya mengapa ulama mengatakan syahid pertama dari cinta adalah Sayyidah Fatimah al Zahrā`. Dan mereka mengatakan nilai tertinggi dari sebuah kesyahidan adalah syahid oleh cinta yaitu orang yang dibunuh oleh pedang cinta dan kerinduan. 

Sayyidah al Zahrā` 'alayha Salam adalah orang yang pertama dari mereka yang tidak tahan akibat perpisahan dan ibaratnya bahwa beliau terbunuh oleh pedang kerinduan. Demikian pula, AsSiddiq mengikutinya pada jalur luhur ini. Karena kasih dan kerinduan untuk Rasulullah ﷺ, bau hati yang terpanggang keluar melalui mulutnya...

Jadi apakah ada di hati kita, Duhai saudara saudaraku, panas dari kerinduan yang telah membuat air mata kira jatuh atau membuat kita tak bisa tidur meskipun sekali saja? Atau kita hanya terus menerus menceritakan kisah kisah ini seolah-olah mereka adalah dari serial TV? 
Ini [cerita] adalah fakta dan NYATA. rahasia kisah ini akan terus mengalir dari Sang Pencipta kepada dunia ini sampai hari terakhir. 

Selamat kepada orang orang yang menemukan sesuatu yang panas ini di dalam hatinya. Karena sesungguhnya api ini membakar dosa dan menghalau kegelapan di dalam hati. Ini api cinta dan kerinduan untuk Rasulullah, sholawat dan salam besertanya dan keluarganya".

Allahumma sholli alaa Sayyidina Muhammad wa alaa aali Sayyidina Muhammad..

11 Mei 2016

Imam Sya'rani dan Timbangan yang Besar

Tulisan dari Prof. Nadirsyah Hosen

Mungkinkah seorang ahli fiqh juga menekuni dunia ke-sufi-an tanpa meninggalkan kealimannya dalam bidang fiqh? Kita hanya perlu menengok pada sosok yang satu ini: Abdul Wahab bin Ahmad Sya'rani (1493–1565). Seoorang ulama dari Mesir yang bermazhab Syafi'i namun juga dikenal sebagai seorang sufi. Kabarnya ia hafal Qur'an saat berusia tujuh tahun. Sewaktu kecil sudah terlihat tanda-tanda karamahnya ketika ia terjatuh di sungai Nil namun ia diselamatkan oleh seekor buaya,
Beliau belajar fiqh, hadis dan disiplin ilmu keislaman lainnya dari para masyayikh terkemuka pada masanya. Beliau bercerita sendiri bagaimana susah payah menempa dirinya ketika menempuh suluk. Beliau bahkan mengaku belajar langsung kepada Nabi Khidr. Walhasil banyak kisah unik seputar beliau ini, termasuk beliau saat shalat bisa mendengar binatang, bebatuan dan dinding serta pilar masjid bertasbih mengagungkan Allah. Subhanallah!

Di tangan beliau, fiqh dan tasawuf bisa berjalan beriringan. Di tangan beliau, perbedaan mazhab bisa terlihat indah. Bahkan beliau memberikan penilaian mana pendapat fiqh yang berat (tasydid) dan mana yang ringan (takhfif). Yang berat untuk para ulama, dan pendapat yang ringan dipilihkannya untuk orang awam. Inilah "timbangan besar" (al-mizan al-kubra) yang beliau berikan kepada kita; untuk menimbang-nimbang pendapat fiqh yang ada.

Dalam kitab al-Mizan al-Kubra karya Imam Sya'rani dijelaskan bahwa mazhab-mazhab dalam fiqh itu ada di bawah sorotan cahaya syari'at yang suci (al-syari'ah al-muthahharah). Tidak ada satu pendapat pun dari pendapat-pendapat mereka yang keluar dari tuntunan ilahi. Itu sebabnya tidak cukup hanya dengan menjelaskan lewat rangkaian kata-kata, Imam Sya'rani menjelaskan pula lewat berbagai gambar dan bagan utk memudahkan pembaca memahami penjelasan beliau, seperti bisa dilihat di foto-foto yang saya cantumkan.




Dalam halaman2 selanjutnya Imam Sya'rani yg bermazhab Syafi'i ini dengan gigih membela Imam Abu Hanifah dari serangan tajam para kritikus. Terlihat jelas bagaimana Imam Sya'rani jauh dari sifat kefanatikan. Ilmu fiqh dan tasawufnya sudah taraf mumpuni, maka tidak heran ada yang menganggap beliau salah satu waliyullah. Wa Allahu a'lam bis shawab.

Menurut Imam Sya'rani keempat mazhab itu benar dan para pengikutnya akan melewati jembatan shiratal mustaqim dengan mulus karena semua 'sanad' dari 4 mazhab itu menyambung kepada Allah dan RasulNya. Imam Sya'rani lahir tahun 1493 dan wafat tahun 1565. Berarti kitabnya ini sudah berusia lebih dari 400 tahun!

Andaikata kita mau membaca kembali khazanah pemikiran islam yang begitu dahsyatnya, kita akan terpesona, sekaligus kita akan tertunduk malu merasa diri hebat, alim, suci dan paling benar sendiri....sayang banyak diantara kita yang sudah tidak berilmu dan tidak pula punya rasa malu. Yang tersisa cuma emosi dan keangkuhan....Semoga Allah menghindari kita dari hal yang demikian. Amin Ya Rabb

Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia-New Zealand

Ketika Rasulullah SAW mendekatiNya lewat Sujud



Tulisan dari Prof. Nadirsyah Hosen,

Nabi Muhammad SAW pernah berdoa saat sujud:
للَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَأَعُوذُ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Ya Allah, sungguh aku berlindung dengan keridhaanMu dari murka-Mu, dan aku berlindung dengan pemaafan-Mu daripada hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari Engkau. Dan aku belum memuji-Mu sebagaimana Engkau selayaknya dipuji" (HR Abu Dawud, al-Nasa'i, Ibn Majah, Ahmad)
Dalam kitab Ihya, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menjelaskan kandungan spiritual doa di atas:
Kalimat pertama dalam doa Rasul: "Ya Allah, sungguh aku berlindung dengan keridhaanMu dari murka-Mu", ini berdasarkan pandangan Nabi Muhammad terhadap tindakan Allah. Seolah saat sujud itu Nabi hanya melihat Dia dan tindakan-Nya semata --tidak yang lain, sehingga Nabi pun berlindung kepada Allah dalam tindakan-Nya (keridhaan) dari tindakan-Nya (kermukaan).

Kemudian Nabi lebih mendekat lagi, dan kini Nabi tidak lagi melihat tindakan-Nya, yang Nabi saksikan adalah sumber dari tindakan-Nya, yaitu sifat Allah semata. Itulah sebabnya pada kalimat kedua Nabi merintih mesra dalam doanya: "dan aku berlindung dengan pemaafan-Mu daripada hukuman-Mu". Inilah dua sifat Allah yang dirujuk oleh sang nabi: al-'afuw dan al-mu'aqib.

Nabi menyadari kemudian bahwa vision (pandangan) beliau ini belum sempurna. Karena itu Nabi lebih mendekat lagi kepada Allah dalam sujudnya dan bergeser dari sifat ke dzat. Tidak ada tindakan atau sifat-Nya yang Nabi kini saksikan. Cuma ada Nabi dan Dia. Maka Nabi pun berbisik mesra pada Sang Kekasih: "Dan aku berlindung kepada-Mu dari Engkau" (a'udzu bika minka). Inilah kondisi yang melesat dari Dia menuju Dia tanpa perantara sifat dan tindakan-Nya.

Lebih dekat lagi, dan Nabi melihat dirinya sudah lenyap. Inilah batasan seorang hamba. Dalam batas ketidakmampuan hamba yang tenggelam dalam keterpesonaan "menyaksikan"-Nya saat sujud, Nabi pun berucap lirih: "Dan aku belum memuji-Mu sebagaimana Engkau selayaknya dipuji". Hanya Dia dan Dia yang mampu memuji dzat-Nya seperti yang Dia pantas dan layak untuk dipuji. Insan kamil sekalipun tidak sanggup mengekspresikan pujian dan terima kasih kepada-Nya sesempurna dzat-Nya.
Semua pujian berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya. Selain itu, lenyap sudah.

Demikianlah kawan, semakin dekat kita pada-Nya semakin kita sadar betapa kita belum berterima kasih pada-Nya dengan layak. Maka saat kita angkat kepala kita dari sujud setelah membaca doa itu: apa yang kita lihat? Kemanapun kita edarkan pandangan mata kita, yang kita lihat adalah anugerah dan kasih sayang-Nya, baik terwujud dalam tindakan dan sifat-Nya maupun dalam penciptaan-Nya.
Mendekati-Nya dengan berterima kasih pada-Nya. Sesederhana seperti angin yang berhembus, tapi kandungannya lebih dalam dari samudera. Terima kasih Ya Allah..... ‪#‎kembalibersujud‬

Tabik,
Nadirsyah Hosen
Monash Law School

Perempuan Suci dari Sevilla



Tulisan dari Prof Nadirsyah Hosen..

Kawan, pernah ku ceritakan padamu mengenai seorang perempuan suci dari Mesir, Sayyidah Nafisah, guru dari Imam Syafi'i. Kali ini, perkenankan aku, masih dalam keadaan berwudhu, untuk bercerita tentang seorang perempuan suci dari Sevilla (sebuah kota di Spanyol), yang merupakan guru dari al-Syekh al-Akbar Ibn Arabi (1165-1240). Ini kisah lebih dari 750 tahun yang lalu.

Namanya Nunah. Atau lengkapnya Syaikhah Nunah Fatimah binti Ibn al-Mutsanna. Lahir di Cordoba Spanyol, namun kemudian beliau pindah ke Sevilla, dan bertemu dengan Ibn Arabi yang masih remaja saat itu. Syaikhah Nunah sudah berusia 90-an tahun, namun saat Ibn Arabi menatap wajahnya, Ibn Arabi melihat pancaran sinarnya yang begitu menakjubkan. Begitulah dunia spiritual itu, yang tua sinarnya bisa menyilaukan seperti terlihat masih muda, dan yang muda aura-nya bisa terlihat seperti orang tua penuh wibawa.

Syaikhah Nunah selalu ceria meskipun ia hidup dalam kondisi serba papa. Dan ketika muridnya bertanya, gurunya menjelaskan, "Aku merasa sangat senang karena Allah swt selalu memperhatikanku. Terlebih karena Dia telah menjadikanku sebagai salah satu kekasihNya. Siapalah aku ini sampai Allah memilihku. Aku heran dengan mereka yang mengaku mencintai Allah tapi tak bisa merasa gembira dengan apapun yang Allah berikan padaNya [baik suka maupun duka]." Rasa bahagia berdekatan dengan Allah telah mengalahkan segala duka dan nestapanya.
Pada titik ini, saya teringat ungkapan sufi yang lain: "bahkan jika Allah menyodorkan racun pahit untuk aku minum, akan aku terima dengan bahagia bagaikan meminum anggur termahal". Ah....jauhhh...masih jauhhh diri ini mengikuti para kekasihNya.

Syaikhah Nunah mengingatkan muridnya bahwa Sang Kekasih itu sangat pencemburu. "Sesaat saja aku berpaling dariNya dan tak menyadari kehadiranNya maka aku akan mendapat cobaan yang sebanding dengan kelengahanku." Inilah makna dzikir yang sesungguhnya: selalu mengingat Allah dalam setiap langkah kita, dan sebagai ganjarannya Allah akan selalu menemani langkah kita. Jangan coba-coba berpaling apalagi berkhianat pada Sang Kekasih. Inilah "kontrak" mereka dengan Sang Kekasih.

Ibn Arabi menuturkan bahwa dalam munajatnya, Syaikhah Nunah mendapat penawaran dari Allah berupa kerajaanNya namun ia menjawab, "Aku hanya inginkan Engkau oh Gustiku. Hanya Engkau. Segala sesuatu selainMu hanyalah kehampaan."
Sebagai gantinya, Allah memberinya hadiah berupa surat al-Fatihah yang senantiasa melayani kebutuhannya. Kata Ibn Arabi, guruku itu "orang yang sangat penyayang terhadap semesta". Mereka yang sudah mampu mengikuti langkah Nabi Muhammad sebagai rahmat semesta alam tentu sangat layak mendapat 'hadiah' langsung dari Allah.

Ibn Arabi menyaksikan sendiri manakala seorang perempuan mengadu kepada Syaikhah Nunah bahwa ia telah ditinggalkan suaminya yang pergi ke kota lain, maka untuk menolong perempuan yang menderita itu, Syaikhah Nunah membaca surat al-Fatihah. Lalu datanglah surat al-Fatihah menjelma dan berjasad dalam bentuk seperti awan. Maka Sang Syaikhah meminta Surat al-Fatihah untuk membawa suami perempuan itu kembali ke Sevilla. Setelah peristiwa itu terdengar kabar bahwa suami perempuan itu sudah berkumpul kembali bersama keluarganya dalam waktu tiga hari. Sewaktu ditanya, suami itu kebingungan dan tidak mengerti bagaimana hatinya berubah dan kemudian memutuskan kembali ke rumahnya. Inilah salah satu karamah Syaikhah Nunah.

Pernah pula Sang Guru kehabisan minyak untuk pelita tendanya. Lalu Syaikhah Nunah menyuruh Ibn Arabi mengambil bejana berisi air. Dicelupkanlah tangan Syaikhah Nunah ke dalamnya, dan dengan ijin Allah, air pun berubah menjadi minyak.
Kawan, dari kisah ini kita bisa belajar bahwa baik lelaki maupun perempuan punya hak yang sama untuk mendekati Allah swt.

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar: itu adalah keberuntungan yang besar. (QS al- Taubah:72)

Para perempuan pun ada yang derajatnya begitu dekat dengan Allah. Dan para lelaki yang paham tidak akan segan-segan belajar dari para perempuan. Ibn Arabi mendapat ilmu, pelajaran dan barakah dengan berguru dan berkhidmat pada Syaikah Nunah, seperti yang diceritakan sendiri oleh Ibn Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyyah dan Ruh al-Quds.
Untuk para perempuan suci yang menjadi kekasih Allah di Timur dan di Barat...al-fatihah....

Tabik,
Nadirsyah Hosen
Monash Law School

Puisi Sufi KH. Mustofa Bisri, CINTAMU


CINTAMU

bukankah aku sudah mengatakan kepadamu kemarilah
rengkuh aku dengan sepenuh jiwamu
datanglah aku akan berlari menyambutmu
tapi kau terus sibuk dengan dirimu

kalaupun datang kau hanya menciumi pintu rumahku
tanpa meski sekedar melongokku
kau hanya membayangkan dan menggambarkan diriku
lalu kau rayu aku dari kejauhan

kau merayu dan memujaku
bukan untuk mendapatkan cintaku
tapi sekedar memuaskan egomu
kau memarahi mereka

yang berusaha mendekatiku
seolah olah aku sudah menjadi kekasihmu
apakah karena kau cemburu buta
atau takut mereka lebih tulus mencintaiku

pulanglah ke dirimu
aku tak kemana mana

2005
A. Mustofa Bisri

Titik dan Koma dalam Kitab Suci?



Tulisan Prof. Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand

Mushaf al-Qur'an yang kita baca saat ini sebenarnya merupakan hasil inovasi (baca: "bid'ah") yang dilakukan sepeninggal Nabi. Tidak ada pengumpulan al-Qur'an pada masa Nabi dalam satu susunan mushaf. Selain dihafal, ayat al-Qur'an itu dicatat secara sporadis dalam potongan kulit atau tulang atau lainnya. Baru kemudian berturut-turut pada masa tiga khalifah pertama al-Qur'an dikodifikasi dan --singkat cerita-- jadilah Mushaf Utsmani.

Tapi bentuk penulisannya masih belum ada tanda baca. Ini menyulitkan buat orang-orang non Arab, padahal Islam sudah tersebar keluar jazirah Arab. Maka muncullah "bid'ah" berikutnya:
Khalifah Muawiyah menugaskan Abu al-Aswad Ad-du'ali untuk meletakkan tanda baca pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca. Kemudian pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ditugaskan Al Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf ba dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Baru kemudian, pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memudahkan umat Islam dalam membaca Al-Qur'an.

Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya "ber-inovasi" untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa isymam dan mad. Sebagaimana mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat.
Sampai di sini pengkodifikasian dan penulisan tanda baca al-Qur'an sudah melampaui apa yang ada di masa Nabi. Tidak ada contohnya dari Nabi. Untunglah "bid'ah" semacam ini diterima oleh semua umat Islam. Kata Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta Saudi Arabia, meski tidak ada dalil khusus yang memberi perintah seperti itu, namun pengkodifikasian dan pemberian tanda baca itu masuk dalam dalil umum untuk menjaga al-Qur'an. Oke deh syekh bro...ini masuk kategori bid'ah yang hasanah kali yah :)

Tapi persoalan belum selesai, karena gara-gara perbedaan tanda waqaf, bisa timbul perbedaan penafsiran yang bahkan dalam sejarah Islam berujung pada kafir mengkafirkan.
Contohnya ayat di bawah ini:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya : Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu. Diantara (isi) nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah ummul Qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal (Q.S. Al Imran : 7)

Kelompok salaf berhenti sejenak membaca potongan ayat ini 
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ
"tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah"
sedangkan lafazh berikutnya dianggap merupakan permulaan kalimat baru. Sehingga menurut golongan ini, ayat mutasyabihat diserahkan saja maksudnya kepada Allah Ta’ala, tanpa ditakwil maknanya.
Sedangkan ulama Khalaf meneruskan membacanya 
dengan lafazh selanjutnya:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
“Tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”.
Gara-gara bahasa Arab klasik tidak mengenal titik dan koma, maka tidak jelas penggalan ayat di atas dibacanya sampai mana. Maka persoalan boleh tidak kita menakwil ayat mutasyabihat menjadi persoalan klasik yang tak pernah usai.

Saya membayangkan kalau sekarang ada yang berani mengusulkan untuk menambah titik, koma, tanda seru atau tanda tanya dalam al-Qur'an pasti langsung dianggap ahlul bid'ah, kafir, JIL, syi'ah, sekuler, dan lain sebagainya, padahal tanda baca yang sekarang di jaman Nabi juga gak ada kan 
Yo wis...gak usah usul macem-macem, kita ngaji aja deh..daripada benjol kena fentung.

tambahan penjelasan:
karena ada beberapa komentator yang gagal paham, disangkanya saya yang berpendapat sendiri soal perdebatan cara membaca QS 3:7 di atas, maka ini saya tampilkan rujukan dari tiga kitab tafsir yang menerangkan bahwa ini semua perdebatan klasik dimana para sahabat Nabi pun berbeda pandangan soal ini. Jadi jangan disangka saya yang motong-motong sendiri cara baca ayatnya smile emotikon
Tafsir al-Baghawi
قوله تعالى: { وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ ٱللَّهُ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلْعِلْمِ } اختلف العلماء في نظم هذه الآية فقال قوم: الواو في قوله والراسخون واو العطف يعني: أن تأويل المتشابه يعلمه الله ويعلمه الراسخون في العلم وهم مع علمهم { يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ } وهذا قول مجاهد والربيع، وعلى هذا يكون قوله: «يقولون» حالا معناه: والراسخون في العلم قائلين آمنا به، هذا كقوله تعالى:
{ مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَى }
[الحشر: 7] ثم قال:
{ لِلْفُقَرَآءِ الْمُهَـٰجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُواْ مِن دِيَـٰرِهِمْ }
[الحشر: 8] إلى أن قال:
{ وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُوا ٱلدَّارَ وَٱلإِيمَـٰنَ مِن قَبْلِهِمْ }
[الحشر: 9] ثم قال:
{ وَٱلَّذِينَ جَآءُوا مِن بَعْدِهِمْ }
[الحشر: 10] وهذا عطف على ما سبق، ثم قال:
{ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا }
[الحشر: 10] يعني هم مع استحقاقهم الفيء يقولون ربنا اغفر لنا، أي قائلين على الحال. وروي عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه كان يقول في هذه الآية: أنا من الراسخين في العلم، وروي عن مجاهد: أنا ممن يعلم تأويله. وذهب الأكثرون إلى أن الواو في قوله «والراسخون» واو الاستئناف، وتم الكلام عند قوله: { وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ ٱللَّهُ } وهو قول أبي بن كعب وعائشة وعروة بن الزبير رضي الله عنهم ورواية طاووس عن ابن عباس رضي الله عنهما، وبه قال الحسن وأكثر التابعين واختاره الكسائي والفراء والأخفش،
Tafsir al Manar
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ إِنَّ قَوْلَهُ: وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ كَلَامٌ مُسْتَأْنِفٌ، وَبَعْضُهُمْ: أَنَّهُ مَعْطُوفٌ عَلَى لَفْظِ الْجَلَالَةِ.
قَالَ الْأُسْتَاذُ الْإِمَامُ: اسْتَدَلَّ الَّذِينَ قَالُوا بِالْوَقْفِ عِنْدَ لَفْظِ الْجَلَالَةِ وَبِكَوْنِ مَا بَعْدَهُ اسْتِئْنَافًا بِأَدِلَّةٍ (مِنْهَا) أَنَّ اللهَ - تَعَالَى - ذَمَّ الدِّينِ يَتَّبِعُونَ تَأْوِيلَهُ وَ (مِنْهَا) قَوْلُهُ: يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا فَإِنَّ ظَاهِرَ الْآيَةِ التَّسْلِيمُ الْمَحْضُ لِلَّهِ تَعَالَى، وَمَنْ عَرَفَ الشَّيْءَ وَفَهِمَهُ لَا يُعَبِّرُ عَنْهُ بِمَا يَدُلُّ عَلَى التَّسْلِيمِ الْمَحْضِ وَهَذَا رَأْيُ كَثِيرٍ مِنَ الصَّحَابَةِ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ - كَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَعَائِشَةَ، وَذَهَبَ ابْنُ
عَبَّاسٍ وَجُمْهُورٌ مِنَ الصَّحَابَةِ إِلَى الْقَوْلِ الثَّانِي. كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ: " أَنَا مِنَ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ أَنَا أَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ "
Tafsir al-Maraghi
(وَما يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ، وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنا) للعلماء في تفسير هذه الآية رأيان:
(١) رأى بعض السلف وهو الوقوف على لفظ الجلالة، وجعل قوله: والراسخون فى العلم كلام مستأنف، وعلى هذا فالمتشابه لا يعلم تأويله إلا الله، واستدلوا على ذلك بأمور منها:
(ا) أن الله ذم الذين يتبعون تأويله.
(ب) أن قوله (يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنا) ظاهر في التسليم المحض لله تعالى ومن عرف الشيء وفهمه لا يعبر عنه بما يدل على التسليم المحض.
وهذا رأى كثير من الصحابة رضوان الله عليهم كأبىّ بن كعب وعائشة.
(٢) ويرى بعض آخرون الوقف على لفظ (العلم) ويجعل قوله: (يَقُولُونَ آمَنَّا) كلام مستأنف، وعلى هذا فالمتشابه يعلمه الراسخون- وإلى ذلك ذهب ابن عباس وجمهرة من الصحابة، وكان ابن عباس يقول: أنا من الراسخين في العلم، أنا أعلم تأويله.
وردّوا على أدلة الأولين بأن الله تعالى إنما ذم الذين يبتغون التأويل بذهابهم فيه إلى ما يخالف المحكمات يبتغون بذلك الفتنة، والراسخون في العلم ليسوا كذلك فإنهم أهل اليقين الثابت الذي لا اضطراب فيه، فالله يفيض عليهم فهم المتشابه بما ينفق مع فهم المحكم، وبأن قولهم (آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنا) لا ينافى العلم، فإنهم لرسوخهم فى العلم ووقوفهم على حق اليقين لا يضطربون، بل يؤمنون بهذا وذاك لأن كلا منهما من عند الله وليس في هذا من عجب، فإن الجاهل في اضطراب دائم، والراسخ في العلم ثابت العقيدة لا تشتبه عليه المسالك

Tafsir QS al-Nisa ayat 64: Bertawasul Kepada Nabi

Tulisan dari Kyai Prof. Nadirsyah Hosen - Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand...



“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

Ayat di atas telah dijadikan dasar bagi ulama ahlus sunnah wal jama’ah untuk bertawasul di makam Nabi Muhammad SAW. Para pendosa yang berziarah ke makam Nabi mengaplikasikan potongan ayat di atas sebagai bagian dari keyakinan mereka akan kebenaran wahyu ilahi dan ketaatan mereka kepada Nabi. Kalau dulu Nabi masih hidup, para sahabat mendatangi Nabi, maka kini para penziarah mendatangi makam beliau SAW. Doa Nabi itu makbul, maka sesiapa yang didoakan Nabi pasti manjur. Maka kalau Rasul memintakan ampunan Allah untuk kita, maka yakinlah Allah akan mengampuni kita seperti bunyi ayat di atas.
Berikut penjelasan yang saya sarikan dari berbagai kitab.
Tafsir Ibn Katsir:
وقد ذكر جماعة منهم: الشيخ أبو نصر بن الصباغ في كتابه "الشامل" الحكاية المشهورة عن
العُتْبي، قال: كنت جالسا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم، فجاء أعرابي فقال: السلام عليك يا رسول الله، سمعت الله يقول: { وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا } وقد جئتك مستغفرا لذنبي مستشفعا بك إلى ربي ثم أنشأ يقول:
يا خيرَ من دُفنَت بالقاع أعظُمُه ... فطاب منْ طيبهنّ القاعُ والأكَمُ ...
نَفْسي الفداءُ لقبرٍ أنت ساكنُه ... فيه العفافُ وفيه الجودُ والكرمُ ...
ثم انصرف الأعرابي فغلبتني عيني، فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم في النوم فقال: يا عُتْبى، الحقْ الأعرابيّ فبشره أن الله قد غفر له
Disebukan oleh banyak orang, diantaranya Syekh Abu Nasr al-Sabagh dalam kitabnya al-Syamil, sebuah kisah yang masyhur berikut ini: Syekh Uthbi sedang berada di sisi makam Rasulullah SAW, tiba-tiba datanglah Arab Badui dan berkata: ”Assalaamualaika ya Rasulallah, aku telah mendengar ayat allah (lalu dibacakan QS al-Nisa: 64 di atas), maka sekarang aku datang ke hadapanmu berharap agar dosaku diampuni, aku mohon syafaatmu ke hadirat Tuhanku.

Kemudian Arab Badui ini mengucapkan syair: “Wahai sebaik-baik orang yg dimakamkan di lembah ini lagi paling agung, telah menjadi harum semua lembah dan pegunungan ini berkat keharumanmu, ingin aku tebus diriku dihadapan qubur yang didalamnya penuh kebaikan, kedermawanan, dan kemurahan ini.” Setelah itu berlalulah orang tersebut.

Berikutnya, saat aku (Syekh Uthbi) tidur, tiba-tiba aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, dan beliau bersabda: “Hai Uthbi, orang tadi itu betul, beritahulah dia, bahwa Allah SWT telah mengampuninya.”
Kisah di atas juga disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kedua kitab beliau yaitu al-Majmu’ (Juz 8, halaman 217) dan al-Idhah (halaman 498). Imam al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir (juz 4 hal 214-215) mencantumkan kisah yang sama. Begitu pula dengan Imam al-Qarafi dalam al-Dzakhirah (juz 3 hal 275-276).

Imam Ibn Qudamah juga mencatumkan riwayat ini dalam kitab al-Mughni. Bahkan beliau mengajarkan tata cara memohon ampunan kepada Allah saat berziarah ke makam Nabi sesuai QS al-Nisa ayat 64. Setelah membaca shalawat, maka kita dianjurkan membaca:
اللَّهُمَّ إنَّك قُلْت وَقَوْلُك الْحَقُّ : { وَلَوْ أَنَّهُمْ إذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا } .
وَقَدْ أَتَيْتُك مُسْتَغْفِرًا مِنْ ذُنُوبِي ، مُسْتَشْفِعًا بِك إلَى رَبِّي ، فَأَسْأَلُك يَا رَبِّ أَنْ تُوجِبَ لِي الْمَغْفِرَةَ ، كَمَا أَوْجَبْتهَا لِمَنْ أَتَاهُ فِي
حَيَاتِهِ ، اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ أَوَّلَ الشَّافِعِينَ ، وَأَنْجَحَ السَّائِلِينَ ، وَأَكْرَمَ الْآخَرِينَ وَالْأَوَّلِينَ ، بِرَحْمَتِك يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ .
(al-Mughni juz 7, hal 420)

Ulama modern yang mengutip riwayat dari Ibn Katsir itu diantaranya Sayyid Thantawi dalam kitab Tafsirnya (juz 1, hal 985). Semasa hidupnya beliau adalah Grand Syekh al-Azhar.
Ada riwayat yang senada yang dicantumkan oleh Tafsir al-Qurtubi (juz 5 hal 266) ketika menjelaskan QS al-Nisa ayat 64:
رَوَى أَبُو صَادِقٍ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: قَدِمَ علينا أعرابي بعد ما دَفَنَّا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، فَرَمَى بِنَفْسِهِ عَلَى قَبْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَثَا عَلَى رَأْسِهِ مِنْ تُرَابِهِ، فَقَالَ: قُلْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَمِعْنَا قَوْلَكَ، وَوَعَيْتَ عَنِ اللَّهِ فَوَعَيْنَا عَنْكَ، وَكَانَ فِيمَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ) الْآيَةَ، وَقَدْ ظَلَمْتُ نفسي وجئتك تَسْتَغْفِرُ لِي. فَنُودِيَ مِنَ الْقَبْرِ إِنَّهُ قَدْ غُفِرَ لَكَ
Abu Shadiq meriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib: Setelah tiga hari dimakamkannya Rasulullah SAW, datanglah seorang Arab Badui. Dia menjatuhkan dirinya ke makam sambil menyiramkan debunya ke kepalanya. Kemudian dia berucap: “Engkau telah katakan kepada kami, Ya Rasulallah, dan kami mendengarkan ucapkanmu itu, engkau telah mendapat penjelasan dari Allah SWT, dan kami mendapatkannya darimu, bahwa ada ayat Allah kepadamu yang berbunyi --Badui ini kemudian membacakan QS al-Nisa ayat 64, lantas mengucapkan: “Sungguh aku mengakui telah berbuat zalim kepada diriku sendiri, dan sekarang aku datang kepadamu agar engkau berkenan memintakan ampunan Allah untukku. Tiba-tiba dari makam terdengar suara: “sesungguhnya kau telah diampuni.”
Kisah di atas juga tercantum dalam Tafsir al-Nasafi (Juz 1 hal 236) dan Tafsir al-Bahr al-Muhit karya Abu Hayyan Al-Andalusi (juz 4 hal 180). Sanad yang lebih lengkap dicantumkan dalam Kanzul Umal (Juz 2 hal 386 dan Juz 4 hal 259).

Berdasarkan sejumlah rujukan di atas itulah kita mengetahui Habib Abdullah al-Haddad (shahibur ratib) menuliskan syair yang begitu menyentuh dan sampai sekarang dilantunkan oleh para santri di seluruh dunia:
“Ya sayyidi ya Rasulallah. Ya man lahul jaah indallah. Innal musii’ina qad jauk. lidz dzanbi yastaghfirunallah,”
(Wahai pemimpinku Wahai utusan Allah. Wahai orang yang punya kedudukan khusus di sisi Allah. Sungguh orang yang berdosa ini telah datang kepadamu. Berharap kepada Allah SWT agar diampuni dosanya).

Syekh ‘Uthbi, Ibn Katsir, Imam Nawawi, Imam al-Mawardi, Ibn Qudamah, Imam al-Qurtubi, Imam al-Qarafi, Sayyid Thantawi, Imam al-Nasafi, Abu Hayyan, Habib al-Haddad dan masih banyak lagi ulama ahlus Sunnah wal jama’ah yang percaya bahwa baik masih hidup ataupun saat beliau SAW sudah wafat, kalau kita datang menemui beliau dan meminta tolong agar beliau SAW memohonkan ampunan kepada kita, maka Allah sesuai dengan janjiNya pada surat al-Nisa ayat 64 akan mengampuni kita.

Kalau anda pernah berkesempatan belajar di pondok, madrasah atau perguruan tinggi Islam, anda pasti tahu kualitas para ulama yang saya sebutkan di atas lengkap dengan judul kitab dan halamannya. Mereka jelas bukan orang sembarangan. Tidak mungkin mereka mau melanggar Qur'an dan Hadis atau mencantumkan cerita dusta soal ini. Kalau kita mau lihat latar belakang mazhab para ulama di atas juga komplit: Imam Nawawi dari mazhab Syafi'i, Imam al-Qarafi dari mazhab Maliki, Imam Ibn Qudamah dari mazhab Hanbali, Imam al-Nasafi dari mazhab Hanafi dan Abu Hayyan dari mazhab Zhahiri. Semuanya berpendapat yang sama. Hanya ada satu aliran yang tidak sepakat. Apa alirannya?

Ya, seperti yang sudah bisa ditebak, lantas datanglah Syekh al-Albani yang menolak semua riwayat di atas. Beliau menganggap sanadnya dhaif dan perawinya tidak dikenal, serta kandungan kisahnya bertentangan dengan aqidah Wahabi sehingga yang melakukannya masuk ke dalam perbuatan syirik. Maka dimata tokoh Wahabi ini, para ulama yang sudah disebutkan di atas dianggap salah semua. Masak percaya dengan kisah yang tidak jelas? Masak percaya dengan mimpi? Rasul sudah wafat dan sudah tidak bisa memberikan manfaat apapun. Begitu sanggahan Wahabi.

Ya enggak apa-apa…kita masing-masing menempuh jalan yang berbeda saja. Cinta kepada Rasul ini termasuk perkara yang ajaib dan ghaib. Saya meyakini bahwa andaikan saja para ulama kekasih Allah diijinkan menuliskan apa yang mereka alami saat berziarah ke makam Rasul, kita akan tahu bahwa cinta kepada Rasul telah menembus batas-batas riwayat.

Saya tutup catatan ini dengan mengutip syair burdah yang begitu menggetarkan hati:
Ya Rabbi bil Mushtafa balligh maqasidana, waghfirlana ma madha, Ya Wasi’a Karami.

Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia – New Zealand

Nabi Muhammad SAW Bagaikan Batu Bata Terakhir



Nabi Muhammad mengajarkan kita akhlak yang mulia, salah satunya berupa kerendahan hati.  Dalam Shahih Bukhari (Hadis Nomor 3271) diriwayatkan Nabi bersabda:

"Perumpamaanku dan para Nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah (tempat lubang batu bata yang tertinggal belum diselesaikan) yang berada di dinding samping rumah tersebut, lalu manusia mengelilinginya dan mereka terkagum-kagum sambil berkata; 'Duh seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di tempatnya ini". Beliau bersabda: "Maka akulah labinah itu dan aku adalah penutup para Nabi".

(catatan: dalam redaksi Shahih Muslim, Hadis Nomor 4240 "Maka akulah yang meletakkan atau memasang bata itu, aku datang sebagai Nabi terakhir.") 

Sebagian ulama menjadikan Hadis ini sebagai dalil bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir. Saya menyetujuinya. Namun saya memahami ilustrasi yang Nabi berikan lebih dalam lagi. Sebagai Sayyidul Anbiya wal Mursalin, Nabi tidak menepuk dada dan menganggap dirinya lebih mulia dari para Nabi sebelum beliau. Beliau menganggap diri beliau tak ubahnya sebagai batu bata terakhir dalam sebuah rumah. Indah nian metafor yang Nabi gunakan.

Pertama, beliau tidak bilang bahwa beliaulah pondasi atau atap rumah itu untuk mengggambarkan pentingnya peranan beliau. Beliau hanya bagian kecil dari rumah yang sudah jadi. Tanpa ada batu bata terakhir rumah tetap berfungsi hanya saja kurang sempurna. Kehadiran beliau tidak lain menyempurnakan bangunan rumah yang sudah ada.

Kedua,  beliau SAW tidak membuat rumah baru. Lewat metafor tersebut seolah hendak menegaskan ajaran yang beliau terima bukan untuk menegasikan ajaran Nabi sebelumnya; tapi justru membuat 'rumah' terasa lebih indah. 

Ketiga, batu bata tidak ada artinya tanpa tumpukan batu bata sebelumnya. Para Nabi yang lain telah memberikan sumbangsih luar biasa bagi peradaban umat manusia. Nabi Muhammad hadir untuk melengkapi sumbangsih tersebut.

Keempat, Nabi Muhammad dan para Nabi sebelumnya seakan hidup bersama dalam rumah tersebut. Begitu juga umat pengikut para Nabi. Kita semua berada dalam rumah bersama. Untuk apa para Nabi membangun rumah kalau tidak untuk kita diami bersama-sama? Para Nabi tidak membangun rumah sendiri-sendiri. Ada pesan kerukunan yang kuat di sini. 

Meskipun Nabi Muhammad telah meng-imami para Rasul dalam peristiwa Isra Mi'raj di bulan Rajab ini namun beliau tidak pernah mau dianggap lebih dari para Nabi sebelumnya. Inilah akhlak manusia teragung. 

Dalam riwayat lain (Shahih Bukhari Hadis Nomor 3156) ada seorang Muslim yang bertengkar dengan Yahudi dimana masing-masing membanggakan Nabinya. Maka Rasul bersabda:

"Janganlah kamu lebihkan aku terhadap Musa karena nanti saat seluruh manusia dimatikan dan akulah orang yang pertama kali dibangkitkan (dihidupkan) namun saat itu aku melihat Musa sedang berpegangan sangat kuat di sisi 'Arsy. Aku tidak tahu apakah dia termasuk orang yang dimatikan lalu bangkit lebih dahulu daripadaku, atau dia termasuk diantara orang-orang yang dikecualikan (tidak dimatikan)".

Meski Rasulullah telah Allah lebihkan dari para Nabi yang lain, namun sikap rendah hati beliau tidak mau dianggap lebih dari para Nabi yang lain. 

Kawan,
Mari kita jaga dan rawat rumah bersama yang telah dibangun dan dibina oleh para Nabi. Mari kita tempatkan diri kita seperti batu bata terakhir, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Shallu 'alan Nabi...  

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia - New Zealand

Tuhan pun Mau diajak Bernegosiasi: Hikmah Isra Mi'raj



Dua sifat Allah yang saling berkaitan erat: jamaliyah dan jalaliyah. Allah yang Maha Pengampun dan Penyayang serta Maha Lemah Lembut adalah cerminan sifat Jamaliyah; sedangkan Allah yang Maha Besar, Maka Kuat, Maha Kuasa merupakan contoh sifat Jalaliyah. 

Melalui sifat Jamaliyah ini Allah berkenan berdialog bahkan bernegosiasi dengan makhluk ciptaanNya. Jadi kalau ada hambaNya yang keras kepala, tidak mau kompromi dan tidak bisa diajak bernegosiasi sedikitpun maka orang tersebut perlu belajar melembutkan hatinya dengan menyimak kisah Isra-Mi'raj.

Dalam peristiwa Mi'raj, Anas bin Malik menyebutkan, "Nabi SAW bersabda: "Kemudian Allah 'azza wajalla mewajibkan kepada ummatku shalat sebanyak lima puluh kali. Maka aku pergi membawa perintah itu hingga aku berjumpa dengan Musa, lalu ia bertanya, 'Apa yang Allah perintahkan buat umatmu? 'Aku jawab: 'Shalat lima puluh kali.' Lalu dia berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu, karena umatmu tidak akan sanggup! ' Maka aku kembali dan Allah mengurangi setengahnya. Aku kemudian kembali menemui Musa dan aku katakan bahwa Allah telah mengurangi setengahnya. 

Tapi Musa berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu karena umatmu tidak akan sanggup.' Aku lalu kembali menemui Allah dan Allah kemudian mengurangi setengahnya lagi.' Kemudian aku kembali menemui Musa, ia lalu berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu, karena umatmu tetap tidak akan sanggup.' Maka aku kembali menemui Allah Ta'ala, Allah lalu berfirman: 'Lima ini adalah sebagai pengganti dari lima puluh. Tidak ada lagi perubahan keputusan di sisi-Ku! ' Maka aku kembali menemui Musa dan ia kembali berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu!' Aku katakan, 'Aku malu kepada Rabbku'.

(Shahih Bukhari, Hadis Nomor 336 dan 3094; Shahih Muslim, Hadis Nomor 237)

Para ulama terpesona membaca kisah di atas: bagaimana mungkin sebuah perintah Allah, belum dilaksanakan pun, sudah bisa dinegosiasi? Ini semua tidak mungkin terjadi kalau Allah tidak menampakkan belas-kasihanNya kepada umat Muhammad SAW. Nabi Musa, berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya, terus meminta Nabi Muhammad kembali menghadap Allah untuk bernegosiasi, sampai Nabi sendiri akhirnya merasa malu untuk kembali. 

Bercermin dari sikap Nabi, ya begitulah salah satu adab para salik: Allah terus menawarkan rahmatNya sampai para salik sendiri menjadi malu dan merasa cukup. Ya Rabb, rahmatMu terus mengalir ke bumi, padahal dosa-dosa kami terus naik ke langit. Engkaulah Rabb yang kasih sayangMu melebihi murkaMu. Astaghfirullah...

Kalau kisah di atas belum juga mampu meruntuhkan tembok ego diri kita yang ngeyel dan ngotot untuk tidak mau berkompromi soal pelaksanaan Syariat, maka tengoklah kisah Nabi Ayub yang kelepasan bersumpah mencambuk istrinya seratus kali. Nabi Ayub kemudian menyesal seraya teringat kembali bakti sang istri. Beliau kebingungan karena sumpah harus dilaksanakan.  

Tafsir Ibn Katsir menceritakan bagaimana Allah memberikan petunjuk melalui wahyu-Nya yang menganjurkan kepada Nabi Ayub  untuk mengambil lidi sebanyak seratus buah yang semuanya diikat dijadikan satu, lalu dipukulkan 100 lidi kepada istrinya sekali pukul. Dengan demikian, berarti Ayub telah memenuhi sumpahnya dan tidak melanggarnya serta menunaikan nazarnya itu. 

Hal ini adalah merupa­kan jalan keluar yang Allah berikan: ketimbang seratus kali mendera, maka cukup seratus lidi digabung jadi satu dan dipukulkan sekali. Luar biasa, bukan? Allah 'mengajari' Nabi Ayub untuk 'mengakali' sumpahnya tanpa harus melanggar esensi sumpah. Allah mengajari Nabi Ayub akan maqashid al-syari'ah.

(Catatan: sebelum ada yang kebakaran jenggot dan menuduh Ibn Katsir dan saya sebagai liberal atau syi'ah, saya persilakan untuk membaca kisah Nabi Ayub di atas dalam QS Shad:44). 

Begitulah....Allah pun begitu lentur, fleksibel, dan negotiable terhadap aturanNya. Syariat sebagai cerminan sifat Jalaliyah Allah, memang harus digandeng dengan Tasawuf sebagai perwujudan sifat Jamaliyah Allah. Kalau Allah saja mau berkompromi dan bernegosiasi, masihkah hati anda keras seperti batu? Lantas bagaimana kita mau mi'raj kalau terus kita bawa kekerasan hati ini? 

Ya Lathif, Ulthuf bina....

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia-New Zealand

Ketika Ibnu Arabi ditegur Nabi Khidr AS



Ibn Arabi yang dijuluki syekh terbesar dalam dunia tasawuf mengaku tiga kali ditemui oleh Nabi Khidr. Ijinkan saya untuk menceritakan ulang pertemuan pertama Ibn Arabi, yang digelari Doctor Maximus (Doktor terhebat) di Eropa pada abad pertengahan, dengan Nabi Khidr, yang dalam al-Qur'an dikisahkan menjadi gurunya Nabi Musa.

Ibn Arabi saat itu masih nyantri pada gurunya Syekh 'Uryabi di Sevilla, Spanyol. Syekh 'Uryabi menceritakan kepada Ibn Arabi bahwa ia bertemu Rasul dalam mimpi. Rasul kemudian mengungkapkan rahasia mengenai satu tokoh yang memiliki kedudukan yang tinggi. Ibn Arabi sebenarnya tidak mengenal langsung tokoh yang dianggap tinggi maqamnya tersebut, namun ia mengenal salah satu saudara tokoh itu. 

Ibn Arabi menyatakan ketidakpercayaannya dengan cerita Syekh 'Uryabi. Berdasarkan penglihatannya terhadap saudara tokoh tersebut, Ibn Arabi merasa heran dan kemudian tidak percaya kalau Rasul menyatakan kedudukan tokoh itu. Bantahan Ibn Arabi melukai hati sang guru. 

Bagaimanapun ini peristiwa ghaib dimana Rasul sendiri yang membuka rahasia kedudukan tokoh itu. Ibn Arabi tidak patut membantah info spiritual itu hanya berdasarkan apa yang dia ketahui terhadap saudara tokoh itu, bukan kenal dengan tokoh itu langsung. Mungkin saat itu sebagai santri terbersit di hati Ibn Arabi bahwa tokoh itu tidak layak mendapatkan kedudukan timggi di sisi Allah, tapi siapa sebenarnya yang berhak menilai hal itu? Hanya Allah dan RasulNya yang tahu. Membantah info spiritual semacam itu tentu kurang elok hanya berdasarkan prasangka dan dugaan. Lagipula apa ruginya kita sih kalau si A atau B dan C ternyata memiliki maqam yang lebih tinggi.

Syekh 'Uryabi yang terluka hatinya dibantah oleh santrinya memilih untuk tidak berdebat. Beliau hanya berkata lirih, "baiklah, jika itu pandanganmu tentang orang yang disebutkan Rasul itu". Suasana menjadi tidak enak. Ibn Arabi menyesal telah lancang membantah sang guru yang sebenarnya telah menaruh kepercayaan padanya dengan bersedia menceritakan mimpi yang spesial itu. Apalagi mimpi itu bukan tentang sang guru tapi tentang orang lain, dan gurunya sama sekali tidak diuntungkan apapun dengan mimpi yang diceritakan itu. 

Ibn Arabi kemudian pamit karena sudah tidak enak hati melihat perubahan di wajah gurunya. Ibn Arabi meninggalkan kediaman gurunya, tiba-tiba di jalan beliau disapa seseorang yang tidak dikenal. Dengan tersenyum lembut, orang tersebut berkata: "Terimalah apa yang diucapkan gurumu, jangan membantahnya, karena apa yang disampaikannya itu benar".  Ibn Arabi kaget mendengar ucapan orang yang tidak dikenal itu. Bagaimana orang itu bisa tahu kejadian yang baru terjadi antara Ibn Arabi dan Syekh 'Uryabi padahal itu hanya dialog mereka berdua. 

Mendengar ucapan orang tidak dikenal itu, Ibn Arabi segera balik badan kembali ke kediaman gurunya dan ingin meminta maaf pada gurunya karena sebetulnya hatinya memang sudah tidak enak dengan peristiwa sebelumnya. Begitu ia membuka pintu kediaman gurunya, Syekh 'Uryabi langsung berkata pada Ibn Arabi: "Haruskah setiap engkau membantahku aku meminta Nabi Khidr datang menegurmu untuk kemudian engkau baru percaya dengan apa yang aku sampaikan?"

Ibn Arabi terkejut. Bagaimana mungkin gurunya tahu bahwa ia kembali karena telah ditegur seseorang. Dan benarkah yang menegurnya itu Nabi Khidr? Dengan tercekat Ibn Arabi bertanya pelan: "jadi orang di luar tadi itu Nabi Khidr?" Gurunya mengangguk. Dan Ibn Arabi pun luluh lantak di depan sang guru seraya meminta maaf.

Ya Rahman, irham dha'fana
Oh Yang Maha Pengasih, kasihilah kelemahan kami 

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia - New Zealand

Sumber FP Nadiryah Hosen, admin tidak bisa link karena sepertinya di privacy

Rahasia Allah SWT Mengirimkan Waliyullah Nylenneh (Madjdzub)



Habib Ahmad bin Hasan al-Athas berkisah dalam sebuah kitab, bahwa semua habib terkemuka di Yaman saat ini pasti murid dari muridnya Habib Ahmad bin Hasan, termasuk Habib Umar bin Hafidz, Habib Abu Bakar al-Adni, Habib Salim asy-Syathiri.

Alkisah, ada seorang wali madjdzub (nyeleneh) yang mempunyai rental kendaraan (keledai) khusus perempuan. Anehnya setiap penumpang perempuannya sampai tujuan ia menciumnya. Konon semua perempuan yang pernah diciumnya kelak tidak pernah berzina seumur hidupnya.
Singkat cerita ada seorang ulama (baca; wali syariat) yang mengingkarinya. Ia menarik wali majdzub ke masjid, menghajarnya habis-habisan. Tiba-tiba ilmu wali syariat itu hilang. Keduanya lalu melapor pada Syaikh Ali al-Khawas. Syaikh Ali al-Khawas kemudian yang memintakan maaf pada wali majdzub, dan kembalilah ilmu sang wali syariat.

Jika Anda sangsi dengan kisah ini mari kita buka kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam al-Quran. Nabi Musa menghadapi kaum yang nakal, bayangkan saat Nabi Musa mandi pakaiannya mereka curi. Barangkali karena itu syariat Nabi Musa salah satu syariat paling tegas. Anda tahu hukuman penyembah patung sapi Musa Samiri? Dihukum dengan saling membunuh satu sama lain. Ketegasan hukum Nabi Musa bisa dijumpai dalam Perjanjian Lama: 10 perintah Tuhan (10 of God's Commandment).

Allah mempertemukan Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Selama kebersamaan keduanya, Nabi Khidir melanggar 3 dari 10 perintah Tuhan itu; membunuh anak kecil, merusak perahu dan meruntuhkan dinding milik orang lain (membangun dinding tanpa imbalan padahal sangat butuh, red.). Melalui Khidir Allah memperlihatkan pada Nabi Musa bahwa ada dimensi lain dalam syariatNya selain hukum.

Mahaguru al-Habib M. Luthfi bin Yahya mengatakan, bahwa wali majdzub, Nabi Khidir, -selanjutnya kita mungkin bisa menyebut Gus Mik dll. yang ada dalam setiap generasi- untuk menjaga keseimbangan agar syariat tidak berubah menjadi hukum yang rigid dan mengekang. Ketika Islam diaplikasi hanya sebagai fikih, maka Allah mengutus wali-waliNya yang kadang nyeleneh untuk menjaga keseimbangan antara Islam dan Ihsan.

Saat ini makin banyak orang yang berambisi memformalkan syariat, bahkan atas nama amar ma'ruf nahi munkar, menjadi hakim antara satu dan lainnya di masyarakat. Mereka mendistorsi banyak unsur dari Islam, menafikan bahkan mengingkari, seolah-olah Islam (al-Quran dan as-Sunnah) melulu soal jilbab, jenggot, celana dengan segala rigiditas yang miskin dan kering pengalaman spiritual. 

(Oleh: Ust. Ahmad Tsauri via fanspage IlmuTasawuf.com).