CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

31 Jan 2017

Kisah Jinten dan Karomah Guru Ibnu Arabi



Gurunya ini berasal dari kabupaten al-Jarafe di kota Sevilla. Di luar kota Sevilla tidak banyak yang mengenal karomah sang guru, bukan saja karena sang guru menempuh laku spiritual yang keras, seperti 40 tahun tinggal di rumah tanpa lampu dan perapian, tapi juga karena sang guru termasuk sufi yang menyembunyikan kedudukannya.

Suatu hari Syekh al-Syarafi berjalan ke pasar dan menemui seorang anak kecil yang mengangkat keranjang berisi Adas/Jinten. Anak itu berkisah bahwa ia seorang yatim. Ibunya harus mengasuh sejumlah anaknya yang masih kecil. Sejak pagi mereka belum makan. Ibunya menyuruhnya menjual biji jinten ini ke pasar. Jika uangnya cukup ibunya berharap bisa membeli makanan untuk mereka.

Syekh al-Syarafi meneteskan air mata menyimak kisah si bocah. Akan tetapi, alih-alih membeli jinten itu, Syekh al-Syarafi memasukkan tangannya ke keranjang, menggenggam sejumlah biji jinten. "Ini jinten yang bagus," begitu komentar sang syekh. Kemudian Syekh al-Syarafi berkata pada bocah yatim itu:

"Beritahu ibumu bahwa paman al-Syarafi dari al-Jarafe mengambil beberapa biji jinten ini dan meminta ibumu menghalalkannya."

Sampai di sini, tindakan Syekh al-Syarafi ini di luar nalar. Bocah yang keluarganya sedang kesusahan dan hendak menjual biji jinten yang mereka punya, malah sebagian diambil oleh Syekh al-Syarafi. Bahkan tidak membayar dan malah minta ikhlas dihalalkan saja untuk dia.

Namun karomah beliau muncul pada titik ini. Saat ia angkat tangannya menggenggam biji jinten, hatinya berdoa kepada Allah maka luluh hati mereka yang berada di sekitar itu. Tiba-tiba ada yang berkata: "Biji jinten yang telah disentuh oleh seorang Syekh pasti barokah." Orang yang berkerumun berebut membeli biji jinten itu. Walhasil, anak itu pulang membawa 70 dinar emas ke rumah ibunya. Subhanallah!

Ibnu Arabi bercerita bagaimana di depan matanya sendiri ia menyaksikan karomah sang guru menolong anak kecil itu dengan cara yang di luar nalar.

Kawan, seringkali di saat kesusahan kita malah mengalami kerugian. Kata orang, ini ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Namun yakinlah dengan kekuatan doa dan keikhlasan hati. Apa yang sudah direnggut oleh tangan-Nya tidaklah tersisa kecuali barokah. Bi yadikal khair. Di tangan-Nya semua kebajikan. 

Di balik kesulitan, ada kemudahan

Sungguh di balik kesulitan, ada kemudahan

Begitu Al-Qur'an merekam janji Allah SWT. Masihkah kita tidak mempercayainya?

Para kekasih Allah itu bekerja menurut apa yang Allah skenariokan. Apa yang terlihat sebuah kerugian di mata manusia boleh jadi merupakan sarana datangnya keberkahan. 

Untukmu kawan yang tengah dirundung berbagai kesulitan hidup, berdoalah agar hati kita seperti biji jinten yang disentuh oleh tangan kekasih-Nya. Ikhlaskanlah apa yang telah terambil, nanti Allah ganti semuanya dengan caraNya. Berkah... berkah… berkah.


Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
Kisah Jinten dan Karomah Guru Ibnu Arabi
Dalam kitabnya Ibnu Arabi bercerita mengenai seorang gurunya yang bernama Abu Abdillah Muhammad al-Syarafi. Gurunya ini berasal dari kabupaten al-Jarafe di kota Sevilla. Di luar kota Sevilla tidak banyak yang mengenal karomah sang guru, bukan saja karena sang guru menempuh laku spiritual yang keras, seperti 40 tahun tinggal di rumah tanpa lampu dan perapian, tapi juga karena sang guru termasuk sufi yang menyembunyikan kedudukannya.

Suatu hari Syekh al-Syarafi berjalan ke pasar dan menemui seorang anak kecil yang mengangkat keranjang berisi Adas/Jinten. Anak itu berkisah bahwa ia seorang yatim. Ibunya harus mengasuh sejumlah anaknya yang masih kecil. Sejak pagi mereka belum makan. Ibunya menyuruhnya menjual biji jinten ini ke pasar. Jika uangnya cukup ibunya berharap bisa membeli makanan untuk mereka.

Syekh al-Syarafi meneteskan air mata menyimak kisah si bocah. Akan tetapi, alih-alih membeli jinten itu, Syekh al-Syarafi memasukkan tangannya ke keranjang, menggenggam sejumlah biji jinten. "Ini jinten yang bagus," begitu komentar sang syekh. Kemudian Syekh al-Syarafi berkata pada bocah yatim itu:

"Beritahu ibumu bahwa paman al-Syarafi dari al-Jarafe mengambil beberapa biji jinten ini dan meminta ibumu menghalalkannya."

Sampai di sini, tindakan Syekh al-Syarafi ini di luar nalar. Bocah yang keluarganya sedang kesusahan dan hendak menjual biji jinten yang mereka punya, malah sebagian diambil oleh Syekh al-Syarafi. Bahkan tidak membayar dan malah minta ikhlas dihalalkan saja untuk dia.

Namun karomah beliau muncul pada titik ini. Saat ia angkat tangannya menggenggam biji jinten, hatinya berdoa kepada Allah maka luluh hati mereka yang berada di sekitar itu. Tiba-tiba ada yang berkata: "Biji jinten yang telah disentuh oleh seorang Syekh pasti barokah." Orang yang berkerumun berebut membeli biji jinten itu. Walhasil, anak itu pulang membawa 70 dinar emas ke rumah ibunya. Subhanallah!

Ibnu Arabi bercerita bagaimana di depan matanya sendiri ia menyaksikan karomah sang guru menolong anak kecil itu dengan cara yang di luar nalar.

Kawan, seringkali di saat kesusahan kita malah mengalami kerugian. Kata orang, ini ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Namun yakinlah dengan kekuatan doa dan keikhlasan hati. Apa yang sudah direnggut oleh tangan-Nya tidaklah tersisa kecuali barokah. Bi yadikal khair. Di tangan-Nya semua kebajikan. 

Di balik kesulitan, ada kemudahan

Sungguh di balik kesulitan, ada kemudahan

Begitu Al-Qur'an merekam janji Allah SWT. Masihkah kita tidak mempercayainya?

Para kekasih Allah itu bekerja menurut apa yang Allah skenariokan. Apa yang terlihat sebuah kerugian di mata manusia boleh jadi merupakan sarana datangnya keberkahan. 

Untukmu kawan yang tengah dirundung berbagai kesulitan hidup, berdoalah agar hati kita seperti biji jinten yang disentuh oleh tangan kekasih-Nya. Ikhlaskanlah apa yang telah terambil, nanti Allah ganti semuanya dengan caraNya. Berkah... berkah… berkah.


Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Yang Dilakukan Imam Syafi’i saat Ziarahi Makam Abu Hanifah



Beliau bisa dikatakan sebagai perintis ilmu fiqih yang madzhabnya diikuti jutaan umat Islam hingga kini. Ulama yang juga kerap disapa Imam Hanafi ini menginspirasi banyak ulama sesudahnya, tak terkecuali Muhammad bin Idris atau Imam Syafi’i yang juga amat berpengaruh dalam tradisi keilmuan hukum Islam sampai sekarang.

Keduanya, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i, adalah ulama fiqih generasi awal. Meski alim di bidang yang sama, gagasan kedua ulama Ahlussunnah wal Jama’ah ini tak selalu sejalan. Perbedaan pendapat terjadi dalam banyak hal furu’ (cabang), seperti qunut, rukun shalat, wudhu, dan sejenisnya. Ajaran masing-masing pun di kemudian hari menjadi madzhab tersendiri: produk pemikiran Abu Hanifah disebut madzhab hanafi sementara produk pemikiran Imam Syafi’i disebut madzhab syafi’i.

Imam Hanafi wafat lebih dulu daripada Imam Syafi’I dan saat itulah cerita mengesankan tentang kebesaran pribadi ulama dimulai. Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam karyanya, kitab at-Tibyân, mengisahkan, suatu kali Imam Syafi’i berziarah ke kuburan Abu Hanifah. Tak seperti peziarah pada umumnya, Imam Syafi’i rela menginap di area makam hingga tujuh hari.

Selama tinggal di area makam tersebut, Imam Syafi’i tak henti-hentinya membaca Al-Qur’an. Tiap kali khatam, ia selalu menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an itu kepada Imam Abu Hanifah. Yang unik tentu saja adalah tata cara shalat Imam Syafi’i yang lain dari biasanya. Pengarang kitab induk usul fiqh ar-Risâlah ini tak membaca qunut tiap sembahnyang shubuh selama mukim di qubbah makam Abu Hanifah. Padahal dalam madzhab syafi’i, qunut hukumnya sunnah ab’adl (kalau lupa/tertinggal disunatkan sujud sahwi). Hal ini didasarkan pada hadits “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan qunut shubuh sampai beliau berpisah dari dunia (wafat)” (HR. Ahmad dan Abd Raziq). Mengapa?

Jawab Imam Syafi’i:

لأن الإمام أبا حنيفة لا يقول بندب القنوت في صلاة الصبح، فتركته تأدبا معه

“Karena Imam Abu Hanifah menolak kesunahan membaca qunut dalam shalat subuh. Saya tak membaca qunut sebagai bentuk penghormatan terhadap beliau.”

Menurut Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari, kenyataan tersebut menunjukkan keluhuran budi para ulama salaf dalam menyikapi perbedaan (ikhtilâf). Kenyataan serupa juga terjadi pada generasi sahabat Nabi, perbedaan pemikiran tak menjadikan mereka saling mencaci dan saling bermusuhan. (Mahbib)

Yang Dilakukan Imam Syafi’i saat Ziarahi Makam Abu HanifahIlustrasi (muslimvillage.com)
Perkembangan dunia fiqih tak bisa dilepaskan dari Abu Hanifah atau yang bernama lengkap Nu’man bin Tsabit. Ia bisa dikatakan sebagai perintis ilmu fiqih yang madzhabnya diikuti jutaan umat Islam hingga kini. Ulama yang juga kerap disapa Imam Hanafi ini menginspirasi banyak ulama sesudahnya, tak terkecuali Muhammad bin Idris atau Imam Syafi’i yang juga amat berpengaruh dalam tradisi keilmuan hukum Islam sampai sekarang.

Keduanya, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i, adalah ulama fiqih generasi awal. Meski alim di bidang yang sama, gagasan kedua ulama Ahlussunnah wal Jama’ah ini tak selalu sejalan. Perbedaan pendapat terjadi dalam banyak hal furu’ (cabang), seperti qunut, rukun shalat, wudhu, dan sejenisnya. Ajaran masing-masing pun di kemudian hari menjadi madzhab tersendiri: produk pemikiran Abu Hanifah disebut madzhab hanafi sementara produk pemikiran Imam Syafi’i disebut madzhab syafi’i.

Imam Hanafi wafat lebih dulu daripada Imam Syafi’I dan saat itulah cerita mengesankan tentang kebesaran pribadi ulama dimulai. Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam karyanya, kitab at-Tibyân, mengisahkan, suatu kali Imam Syafi’i berziarah ke kuburan Abu Hanifah. Tak seperti peziarah pada umumnya, Imam Syafi’i rela menginap di area makam hingga tujuh hari.

Selama tinggal di area makam tersebut, Imam Syafi’i tak henti-hentinya membaca Al-Qur’an. Tiap kali khatam, ia selalu menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an itu kepada Imam Abu Hanifah. Yang unik tentu saja adalah tata cara shalat Imam Syafi’i yang lain dari biasanya. Pengarang kitab induk usul fiqh ar-Risâlah ini tak membaca qunut tiap sembahnyang shubuh selama mukim di qubbah makam Abu Hanifah. Padahal dalam madzhab syafi’i, qunut hukumnya sunnah ab’adl (kalau lupa/tertinggal disunatkan sujud sahwi). Hal ini didasarkan pada hadits “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan qunut shubuh sampai beliau berpisah dari dunia (wafat)” (HR. Ahmad dan Abd Raziq). Mengapa?

Jawab Imam Syafi’i:

لأن الإمام أبا حنيفة لا يقول بندب القنوت في صلاة الصبح، فتركته تأدبا معه

“Karena Imam Abu Hanifah menolak kesunahan membaca qunut dalam shalat subuh. Saya tak membaca qunut sebagai bentuk penghormatan terhadap beliau.”

Menurut Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari, kenyataan tersebut menunjukkan keluhuran budi para ulama salaf dalam menyikapi perbedaan (ikhtilâf). Kenyataan serupa juga terjadi pada generasi sahabat Nabi, perbedaan pemikiran tak menjadikan mereka saling mencaci dan saling bermusuhan.

Ketika Anak Khalifah Umar bin Khattab Menangis



Keluarga Khalifah Umar bin Khattab memiliki pola hidup sederhana. Saking sederhananya, konon kendati menjabat sebagai khalifah di Mekah, pakaian yang dikenakannya memiliki empat belas tambalan. Salah satunya ditambal dengan kulit kayu.

Suatu ketika usai pulang sekolah, Abdullah bin Umar menangis di hadapan ayahnya, Umar bin Khattab. Umar pun bertanya, “Kenapa engkau menangis, anakku?”

"Teman-teman di sekolah mengejek dan mengolok-olokku karena bajuku penuh dengan tambalan. Di antara mereka mengatakan, ‘Hai Kawan-kawan, perhatikan berapa jumlah tambalan putra Amirul Mukminin itu’," ungkap Ibnu Umar dengan nada sedih.

Setelah mendengar curhatan putranya, Amirul Mukminin langsung bergegas menuju baitul mal (kas negara) dengan maksud akan meminjam beberapa dinar untuk membelikan baju anaknya. Karena tidak bertemu dengan pejabat bagian kas negara, ia pun menitipkan surat kepada penjaga kas negara tersebut yang isinya sebagai berikut:

"Dengan surat ini, perkenankanlah aku meminjam uang kas negara sebanyak 4 dinar sampai akhir bulan, pada awal bulan nanti, gajiku langsung dibayarkan untuk melunasi utangku.”

(Baca juga: Gaya Hidup Putri Rasulullah)

Setelah pejabat kas negara membaca surat pengajuan utang itu, dikirimlah surat balasan: 

”Dengan segala hormat, surat balasan kepada junjungan khalifah Umar Bin Khatab. Wahai Amirul Mukminin mantapkah keyakinanmu untuk hidup sebulan lagi, untuk melunasi utangmu, agar kamu tidak ragu meminjamkan uang kepadamu. Apa yang Khalifah lakukan terhadap uang kas negara, seandainya meninggal sebelum melunasinya?

Selesai membaca surat balasan dari pejabat kas negara, Khalifah pun langsung menangis, dan berseru kepada anaknya: 

“Hai anakku sungguh aku tidak mampu membelikan baju baru untukmu dan berangkatlah sekolah seperti biasanya, sebab aku tidak bisa meyakinkan akan pertambahan usiaku sekalipun hanya sesaat.” Anak itu pun menangis mendengar ujar ayahnya. (Ahmad Rosyidi)

(Disarikan dari Kitab Durrtun Nashihin fil Wa'dhi wal Irsyad karya Utsman bin Hasan al-Khubawi)

17 Jan 2017

Kisah Kyai Bisri Mustofa dan Kyai Abdul Hamid



Memasuki halaman kediaman Mbah Kyai Abdul Hamid Pasuruan rahimahullah pada suatu sore, Kyai Bisri Mustofa Rembang(Allah yarham) mendapati seorang santri sedang menyirami halaman itu dengan air dari selang untuk menekan debu agar tak berterbangan.
“Sungguh sayang”, gumam Mbah Bisri, “sráná kok dibuang-buang…”
Pintu rumah Mbah Hamid tertutup. Sejumlah orang yang punya hajat hendak sowan, menunggu dengan khusyuk di sekitarnya.
Tanpa sungkan-sungkan, Mbah Bisri meneriakkan salam,
“Assalaamu’alaikum!”

Tak ada jawaban. Orang-orang ngeri melihat kekurangajaran Mbah Bisri, tapi ragu-ragu untuk menegur. Mungkin mereka pikir, kalau usaha Mbah Bisri ada hasilnya, mereka akan ikut untung juga…

“Assalaamu’alaikooom!” teriakan Mbah Bisri lebih keras lagi. Tetap tak dijawab.
Santri yang menyirami halamanlah yang kemudian menegur,
“Maaf, Pak”, katanya, “Mbah Yai sedang istirahat!”
Tak menanggapi teguran si santri, Mbah Bisri malah semakin meninggikan suaranya dengan nada yang nelangsa,
“Yaa Allah Gustiiii….!” ratapnya, “beginilah nasib manusia kotor macam aku ini… mau sowan wali saja kok nggak ditemuiii…!”
Suara berdehem dari dalam, disusul Mbah Hamid membuka pintu.
“Jangan begitu lah, Nda…,” tegur beliau, “sampeyan ini kok mêsthi yang ênggak- ênggak saja…”
”Nda” adalah sapaan akrab antar teman. Beliau berdua memang sama-sama santrinya Mbah Kyai Kholil Harun rahimahullah di Kasingan, Rembang.
Orang-orang —yang sejak lama menunggu— berebut menciumi tangan Mbah Hamid dengan riang-gembira, dan mereka semua dipersilahkan masuk. Tak ada yang ingat untuk mengucapkan terimakasih atas “jasa” Mbah Bisri.

Di ruang tamu, Mbah Bisri pun menyampaikan hajatnya.
“Begini, Nda”, katanya, “sampeyan ‘kan ngerti, aku ini muballigh…”
“Hm…”
“Lha… aku ini belum punya mobil”, Mbah Bisri melanjutkan, “kalau terus-terusan kesana-kemari naik bis umum ‘kan bisa jatuh wibawaku…!”
Mbah Hamid manggut-manggut.
“Terus… maksudmu gimana?” beliau bertanya.
“Yaah… sampeyan yang dekat dengan Pêngéran (maksudnya Allah SWT, pen), mbok sampeyan mintakan mobil buat aku!”
Mbah Hamid tersenyum.
“Ya sudah… ayo…”, beliau mengajak semua orang, “’alaa niyyati Kyai Bisri… al faatihah!” Kemudian menadahkan tangan membacakan doa, diamini yang lainnya.
Begitu doa selesai dibaca, Mbah Bisri langsung menyerobot,
“Mereknya apa, Nda?

Jawab Mbah Hamid atas pertanyaan Mbah Bisri: “Kalau ’ndak Fiat ya Holden”.
Tak lama sesudah didoakan Mbah Hamid, Mbah Bisri memperoleh uang min ĥaitsu laa yaĥtasib yang cukup untuk membeli mobil. Gus Mus, yang diperintah mencari mobil untuk dibeli, mengubek dari Jakarta sampai Surabaya, dan tidak menemukan mobil ditawarkan orang kecuali merek Fiat atau Holden. Akhirnya diperoleh mobil sedan Holden keluaran 1968.

By Yai Yahya Cholil Staquf
dari sumber

“Kakekku dan Kakekkmu Mempunyai Ta’aluq Bathin”

Ada sebuah kisah menarik. Diceritakan ketika zaman Alhabib Ali bin Muhammad bin Husain Al Habsyi Seiwun (pengarang Maulid Simthuddurar). Ada seorang Auliya Allah bernama Al habib Abdul Qadir bin Quthban Assegaf. Habib Abdul Qadir bin Quthban adalah seorang ‘alim yang sangat gemar bersilaturrahim kepada para ‘alim ulama’ para waliyullah yang masih hidup di zaman tersebut. Kegemaran Beliau bersilaturrahim bukan hanya terbatas di wilayah Hadramaut Yaman saja. Tapi juga sampai ke pulau Jawa Indonesia.


Bahkan juga sampai ke kediaman Hadratussyaikh KH. Mohammad Hasan Sepuh Genggong Probolinggo. Ketika tiba dikediaman Kiai Hasan Sepuh Genggong, Habib Abdul Qadir disambut dengan ramah. Beliau berdua pun berbincang bincang. Tentunya dengan bahasa arab.
Sampai pada akhirnya kiai Hasan sepuh bertanya, yang kalau diterjemahkan :
“Habib, bagaimana kabarnya Habib Ali Habsyi Seiwun (pengarang Simtudhurar)??”.
Ditanya seperti itu, Habib Abdul Qadir terkejut dan terheran-heran. Bagaimana bisa Kiai Hasan Sepuh Genggong mengenali Habib Ali Habsyi Seiwun. Sedangkan Kiai Hasan secara dzahir tidak pernah ke Hadramaut Yaman, dan Habib Ali Habsyi Seiwun juga tidak pernah ke Indonesia.
Seolah mengetahui apa yg ada dihati Habib Abdul Qadir, Kiai Hasan kembali berkata :
“Habib Ali Al Habsyi Seiwun itu kulitnya seperti ini … (menyebutkan), wajahnya begini… (menyebutkan), kalau duduk seperti ini… (disebutkan), jalannya seperti ini… (disebutkan), di kediaman Habib Ali rumahnya seperti ini… (menyebutkan), di depannya ada masjid bernama Masjid Riyadh dan tiangnya ada… (menyebutkan)”.

Dan bertambah kagumlah Habib Abdul Qadir bin Quthban. Takjub oleh Kiai Hasan Sepuh Genggong yang menyebutkan secara detail seolah-olah beliau sangat akrab dengan Habib Ali Habsyi dan mengetahui keadaan rumahnya di kota Seiwun Hadramaut Yaman. Padahal Kiai Hasan tidak pernah sampai ke sana. Lalu setelah cukup berbincang-bincang, tak lama kemudian, Habib Abdul Qadir bin Qithban pun berpamitan pulang.

Ketika sekembalinya dari tanah Jawa ke Yaman. Habib Abdul Qadir bin Quthban mengunjungi kota Seiwun, untuk bertemu dengan Al Imam Al ‘Arifbillah Al Habib Ali Al Habsyi Seiwun.
Ketika sudah sampai di kediaman Habib Ali Habsyi dan berhadapan dengan beliau, ditengah-tengah perbincangan, Habib Ali Al Habsyi bertanya :
“Wahai Sayyid Abdul Qadir, apakah di Jawa engkau bertemu dengan seorang syekh bernama Hasan Jawi (Jawa maksudnya)”.


Habib Abdul qadir teringat pertemuannya dengan Kiai Hasan Sepuh Genggong. Beliau mengangguk meng-iyakan. Lalu Habib Ali Al Habsyi berkata :
“Syekh Hasan itu kulitnya seperti ini… (menyebutkan), wajahnya seperti ini… (menyebutkan), duduknya begini… (mencontohkan), jalannya seperti ini… (menceritakan), dan di rumahnya begini… (menjelaskan)”.
Hingga Habib Abdul Qadir takjub dengan detailnya penjelasan Habib Ali Seiwun tentang Kiai Hasan seolah keduanya adalah sahabat karib yang akrab. Padahal Habib Ali Seiwun tidak pernah ke indonesia. Subhanallah.

Nah, begitulah jika seseorang telah diangkat derajatnya oleh Allah. Maka dunia tidak lebih hanyalah barang mainan saja. Meski dahulu tidak ada alat komunikasi seperti handphone ataupun TV,
namun berkat karomah dari Allah, beliau berdua telah saling mengenal dalam dunia bathiniyah.
Ketika haul Al ‘Arifbillah Al Habib Ali Habsyi Seiwun Shahib Simutuddurar di kota Solo, salah satu dari cucu Kiai Hasan Sepuh Genggong sowan ke Habib Anis bin Alwi bin Al Imam Ali Al Habsyi Seiwun. Cucu dari Habib Ali Simtudhurar.

Saat Habib Anis tahu bahwa yang sowan adalah cucu Kiai Hasan Genggong. Habib Anis tersenyum sambil berkata “Kakekku dan kakekkmu mempunyai ta’aluq bathin”.
Semoga kita yang penuh dengan dosa ini diampuni oleh Allah. Dan dengan rahmat Allah semoga kita dilayakkan untuk dimasukkan kedalam rombongan beliau para guru-guru kita auliya’ washalihin. Aamiin.
Al-Faatihah

Kuatnya Nur Nabi Muhammad Shollahu 'alaihi Wasallam



Cerita ini dari Abuya Assayyid Muhammad Alawi Almaliki, beliau mendengar dari ayahnya Assayid Alawi Bin Abbas Alamliki, yang beliau padukan dengan apa yang beliau ambil dari kitab NUZHATUN NADHIRIN.Pernah ada seekor hewan melewati atas makam RASULULLAH, burung terbang/ kucing melewati atasnya.

Lalu hewan tersebut jatuh dan mati ditempat. Kemudian lama kelamaan terciumlah bau tak sedap, hal yang menyebabkan rasa "Takdhim" mereka pada makam assyarif terpanggil untuk mensucikannya.
Lalu dipilihlah dari penjaga masjid yang paling saleh untuk mensucikan makam RASULULLAH.
Maka terpilihlah salah satu dari mereka yang paling saleh, dan langsung dia melakukan "tirakat, riyadhoh" demi membersihkan jiwa, menghadapi hal hal yang akan terjadi pada makam RASULULLAH.

Setelah berpuasa, memperbanyak ibadah, sedekah selama 40 hari 40 malam, mulailah penjaga makam tersebut mengambil tangga untuk melewati dinding pembatas.
Sebenarnya hal ini adalah dilema antara keinginan mensucikan makam dan antara perasaan kurang takdhim memanjat dinding makam, namun karena terpanggil untuk kesucian, maka hal itu harus dilalui.Dan setelah orang tersebut berhasil memasuki makam dan berhasil mengambil bangkai binatang tersebut dan keluar, tiba tiba dia mendadak buta, bisu. Dan stelah beberapa hari dia meninggal dunia.Hal ini karena dia tidak kuat memandang NUR MUHAMMAD yang ada dalam makam, dan tidak bisa berbicara karena konsentrasi lahiriyahnya belum bisa menyatu dengan dunianya, sebab seperti cerita beliau yang lain bahwa didalam masjid NABAWI bila malam hari ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kalimat.
Apalagi makam RASULULLAH. Alangkah agung derajat nabi Muhammad dan derajat SUHBAH para sahabat, sehingga mereka sendiripun tak ada yang mampu melihat cahaya ketampanannya. SOLLU ALAIH
wallahua'lam

Kisah ini diceritakan langsung dari Guru Mulia Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syaikh Abubakar bin Salim tatkala di Wisma DPR RI Bogor pada hari Kamis,24 Muharram1435 / 28 Nov 2013.Dikatakan oleh Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya'roni:"Seseorang akan bisa mendengar ucapan Rasulullah SAW secara langsung tentulah ia telah mencapai 79 ribu maqam dan berhasil menghilangkan 247 ribu hijab dalam hatinya."Guru Mulia Al-Musnid Al-HabibUmar bin Hafidz menceritakan sosok gurunya, Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf,Jeddah. Suatu ketika ada seorang muhibbin datang kepada Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf seraya berkata: "Wahai Habib, sudah bertahun-tahun aku ikut ta'lim denganmu. Dan sudah lama pula aku rindu ingin bertemu Rasulullah SAW.

Namun hingga saat ini keinginanku tersebut belum dikabulkan Allah SWT. Aku ingin engkau berkenan menjadi wasilahku bertemu dengan Rasulullah SAW. "Mendengar permohonan si muhibbin tadi, Al- Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf mengajaknya ziarah ke makam Rasulullah SAW. Tatkala sudah tiba di makam Sang Rasul SAW, beliau membaca salam dan beberapa aurod. Tak berapa lama Rasulullah SAW menjawab salam dari Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf. Bahkan Rasulullah SAW nampak keluardari pusaranya yang mulia tersebut.Mendengar jawaban salam dan melihat RasulullahSAW, si muhibbin gemetar seakan tak bisamengendalikan dirinya, serasa tubuhnya akanluluh lantak menatap keindahan wajah Rasul SAW. Akhirnya Al-Habib Abdul
Qadir bin Ahmad Assegaf memegangnya sehingga ia mampu mengendalikan dirinya..Subhanallah..
Semoga Allah membuka segala macam hijab danmemperkenankan kita untuk memandang keindahan wajah mulia Rasulullah saw baik di dunia maupun di akherat..

ﺁﻣﻴﻦ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺁﻣﻴﻦ ﻳﺎﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ
Baarakallah fiikum..
wallahu'a lam bishowab.

Oleh : Al Habib Umar Bin Sholeh AlHamid
dari page SUMBER

10 Jan 2017

Dan Rasulullah SAW pun Menangis



Suatu ketika Rasulullah SAW. pulang dalam keadaan sangat letih dari medan dakwah. Ketika hendak masuk rumah, Khadijah biasanya menyambut beliau berdiri di depan pintu. Ketika Khadijah hendak berdiri menyambut Suami tercinta, Rasulullah berkata: “Wahai Khadijah tetaplah di tempatmu.” Saat itu Khadijah sedang menyusui anaknya Fatimah yang masih bayi. Rasulullah faham dengan kesetiaan Khadijah, Rasulullah TAKJUB dengan pengorbanan Khadijah. Meskipun dalam keadaan LELAH menjaga rumah tangganya. Mekipun dalam keadaan LETIH dalam memelihara anaknya, Khadijah masih sempat menunjukkan KESETIANNYA kepada sang Suami walau dengan hal yang SEDERHANA. Bahkan seluruh harta bendanya diberikan kepada Nabi demi perjuangan Islam dan bahkan lebih dari itu, jiwa dan raganya diperuntukkan untuk Islam.

Tidak jarang Khadijah menahan lapar sambil menyusui anaknya Fatimah ra. Sehingga yang keluar bukan air susu lagi tapi DARAH yang keluar yang MASUK ke dalam MULUT Fatimah. Melihat Khadijah letih menyusui anaknya, Rasulullah mengambil Fatimah dan diletakkan di tempat tidurnya. Gantilah Rasulullah berbaring dipangkuan sang Istri. Karena Rasulullah begitu lelah dan letih dari mendakwahkan islam kepada umatnya yang menolak seruannya, beliaupun tertidur dipangkuan sang istri. Katika itulah khadijah dengan belaian kasih sayang membelai rambut Beliau. Tak terasa AIR MATA Khadijah al-Kubra menetes mengenai pipi Rasulullah SAW. Nabipun terjaga “Wahai Khadijah kenapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad? 

Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan, tetapi hari ini engkau telah dihina orang, semua orang telah menjauh darimu, seluruh harta bendamu habis. Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad?” Khadijah al-Kubra berkata, “Wahai suamiku, wahai Nabi Allah, bukan itu yang aku tangiskan. Dulu aku memiliki kemuliaan, kemuliaan itu aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku memiliki kebangsawanan, kebangsawanan itupun aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan, seluruh harta kekayaan itu aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Wahai Rasulullah, sekarang ini aku tidak memiliki apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini.”

 “Wahai Rasulullah, sandainya aku telah MATI sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, kemudian engkau hendak menyebrangi sebuah lautan, ..engkau hendak menyebrangi sebuah sungai dan engkau tidak menemukan satu perahu pun ataupun jambatan, maka engkau gali lubang kuburku, engkau gali kuburku, kemudian ambillah TULANG BELULANGKU, engkau jadikan jembatan sebagai jalan menyeberangi sungai itu untuk menemui umatmu.
"INGATKAN MEREKA AKAN KEBESARAN ALLAH.
INGATKAN MEREKA PERKARA YANG HAQ.
AJARKAN MEREKA SYARI'AT ISLAM WAHAI...RASULULLAH.”
______________________________
______
DAN RASULULLAH PUN MENANGIS.

Dikutip dari FB Habib Agil Alattas