CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

22 Jul 2013

Kisah Sunan Kalijaga



Raden Said mengembara tanpa tujuan yang pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi dan selama bertahun-tahun lamanya, Raden Said menjadi perampok yang budiman. Mengapa disebut budiman, karena hasil rampokan yang ia dapat tidak dimakannya, namun diberikan kepada fakir miskin.

Yang dirampoknya adalah hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata dan tidak mau membayar zakat.
Di hutan Jatiwangi, dia membuang nama aslinya, orang-orang menyebutnya sebagai Berandal Lokajaya.

Pada suatu hari, ada seseorang yang berjubah putih melewati hutan Jatiwangi. Dari kejauhan, Berandal Lokajaya ini sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus menerus diawasinya orangtua berjubah putih itu. Setelah dekat, dia menghadang langkahnya dan tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih.
Karena tongkat itu direbut dengan paksa, maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.

Dengan susah payah orang itu bangun, dan sepasang matanya mengeluarkan air walaupun tidak ada suara rintih tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipeganganya, dan  ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas. Hanya gagangnya saja yang terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari seperti emas. 

Raden Said heran meliat orang tua yang menangis itu. Segera saja diulurkannya kembali tongkatnya sambil berkata,
"Jangan menangis wahai orang tua, ini tongkatmu aku kembalikan."
'Bukan tongkat ini yang aku tangisi," jawab orang tua itu.
"Lalu apa yang membuatmu menangis?" tanya Berandal Lokajaya.
"Lihatlah, aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi," kata lelaki tua itu sambil menunjukkan beberapa batang rumput kepada Berandal Lokajaya.

"Hanya beberapa lembar rumput engkau merasa berdosa?" tanya Berandal Lokajaya.
"Ya, memang berdosa. Karena aku mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata aku cabut untuk makanan ternak, itu tak mengapa.Tapi kalau untuk kesia-siaan benar-benar suatu dosa," jawab lelaki tua itu.

Berandal Jayaloka Bergetar Hatinya.
Hati Berandal Jayaloka yang tampan itu tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
"Anak muda, sesungguhnya apa yang engkau cari di hutan ini?" tanya lelaki tua itu.
"Saya menginginkan harta," jawab Berandal Jayaloka.
"Untuk apa?" tanya lelaki tua itu selanjutnya.
"Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita," jawab Berandal Jayaloka.
"Hemmm...sungguh mulia hatimu, sayang...cara mendapatkannya keliru," ujar lelaki tua itu.



"Orang tua....apa maksudmu?" tanya Berandal Jayaloka.
"Boleh aku bertanya anak muda, jika engkau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?" tanya lelaki tua itu.
"Sungguh perbuatan bodoh, hanya akan menambah kotor dan bau pakaian saja," jawab Berandal Jayaloka.

Lelaki tua itu tersenyum.
"Demikian pula amal yang engkau lakukan. Engkau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing," jelas lelaki tua itu.
Berandal Jayaloka itu tersentak kaget, namun lelaki tua itu langsung melanjutkan perkataannya.
"Alah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal," tutur lelaki tua itu.

Raden Said makin tercengang setelah mendengar keterangan dari lelaki tua itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Di pandangnya lelaki berjubah putih itu dengan seksama. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai menyukai dan tertarik dengan lelaki tua itu.

Pohon Aren Berubah menjadi Emas.
Lelaki tua itu kemudian melanjutkan penuturannya.
"Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Engkau tidak bisa mengubahnya hanya dengan memberikan bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Engkau harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau mengubah caranya memerintah agar tidak sewenang-wenang. Engaku juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya," tutur lelaki berjubah putih itu.

Berandal Jayaloka, Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang selama ini didambakannya. Raden Said yang masih dalam keterpanaan, lelaki berjubah putih itu kembali berkata,
"Kalau engkau tak mau bekerja keras dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah, maka ambillah itu. Itu adalah barang yang halal, ambillah sesukamu," kata lelaki berjubah putih itu sambil menunjuk ke arah pohon aren.

Sepasang mata Raden Said terbelalak karena seketika itu juga pohon aren itu berubah menjadi emas seluruhnya. Raden Said adalah seorang pemuda yang sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dia kecapnya. Berbagai ilmu-ilmu aneh juga telah dia pelajarinya, dia mengira orang tua itu mempergunakan ilmu sihir. Dari itu dia mencoba menangkal sihir itu, namun ternyata setelah Raden Said mengerahkan seluruh ilmunya, tetap saja pohon aren itu menjadi emas.

Raden Said yakin bahwa orang tua itu tidak mempergunakan ilmu sihir, ia benar-benar merasa heran dan penasaran. Ilmu apakah yang telah dipergunakan orang tua itu sehingga mampu mengubah pohon aren menjadi sebuah pohon arena emas.

Selama beberapa saat, Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu, dan ternyata benar-benar berubah menjadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu, medadak buah aren itu rontok berjatuhan mengenai kepala Raden Said.
Pemuda itu akhirnya terjerembab ke tanah, roboh dan pingsan.

Ketika Raden Said tersadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti pohon aren-aren lainnya. Kemudian Raden Said bangkit berdiri untuk mencari orang tua berjubah putih itu. Tapi yang dicarinya sudah tidak ada di tempat.

Setelah menyaksikan betapa hebat karomah orang yang berjubah puith itu yang tak lain adalah Sunan Bonang, Putra dari Sunan Ampel yang bermukim di Surabaya.
Karomah Sunan Bonang yang mampu merubah buah aren menjadi emas seluruhnya merupakan keajaiban, dan bukan sembarang orang bisa melakukannya.

Ucapan-ucapan dari orang tua berjubah putih tersebut masih terngiang di telinganya, yaitu tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing, tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.

Raden Said memutuskan untuk mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat hingga akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan.
Sepertinya orang tua itu berjalan santai saja dalam melangkahkan kaki, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi. Demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis, dia baru sampai dibelakang lelaki berjubah putih itu.

Raden Said Meminta jadi Murid.
Lelaki berjubah putih itu berhenti bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan penyeberangan dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia akan menyeberang.
"Tunggu...," ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi untuk melewati sungai.
Dengan terengah-engah Raden Said berkata,
"Sudilah kiranya Tuan menerima saya sebagai murid...." pintanya dengan nafas turun naik dengan cepatnya.


"Menjadi muridku?" tanya lelaki itu sembari menoleh ke belakang.
"Mau belajar apa?" imbuhnya lebih lanjut.
"Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai murid," jawan Raden Said.
"Berat...berat sekali anak muda. Bersediakah engkau menerima syarat-syaratnya?" tanya lelaki berjubah putih.
"Saya bersedia," jawan Raden Said.

Lelaki tua itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali untuk menemui Raden Said.
Raden Said menerima syarat ujian itu.

Selanjutnya, lelaki berjubah putih itu menyeberangi sungai.
Sepasang mata Raden Said terbelalak karena heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan para wali.

Semedi Berakhir.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila. Dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al Qur'an yaitu Kisah Ashabul Kahfi. Maka ia pun segera berdoa kepada Allah SWT agar ditidurkan seperti para pemuda di Gua Kahfi ratusan tahun silam.
Doa Raden Said dikabulkan oleh Allah SWT. Raden Said tertidur dalam semedinya selama 3 tahun.

Akar dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah 3 tahun lamanya, lelaki berjubah putih itu datang untuk menemui Raden Said. Tapi Raden Said tidak bisa dibangunkan. 
Raden Said baru bisa dibangunkan setelah lelaki berjubah putih itu mengumandangkan Azan.

Kemudian tubuh Raden Said dibersihkan dan diberi pakaian baru yang bersih. Selanjutnya Raden Said dibawa ke Tuban.
Mengapa dibawa ke Tuban?
Ya karena lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang, salah seorang putra Sunan Ampel yang diberi tugas oleh ayahnya untuk berdakwah di sana.
Meski demikian, kehadiran Raden Said tidak diketahui oleh keluarganya.

Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya, yakni tingkat para Wali Allah, Waliullah. 
Di kemudian hari, Raden Said terkenal denagn sebutan Sunan Kalijaga.

Arti dari Tongkat dan Bisa mengambang di air.
Dalm kisah sebelumnya, Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat (agama) di tepi sungai.
Itu artinya bahwa Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak memiliki aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama, yaitu Hindu dan Budha.

Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai, bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air sungai itu.
Itu artinya bahwa Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri, yaitu agam Islam.

Demikianlah, Sunang Bonang mampu memperlihatkan banyak makna dari kegiatan yang dilakukan. Raden Said hingga terpana, padahal Raden Said masih bingung mencerna arti semua itu.

Kerinduan Seorang Ibu.
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, ibunda Raden Said, istri dari Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban berhasil menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban. 

Hati ibu Raden Said seketika terguncang.
Bagaimana tidak, kebetulan sekali saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala perampok itu mengenakan pakaian dan topeng sama persis dengan yang dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu, tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.

Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya.
Dia benar-benar telah menyesal telah mengusir anak yang disayanginya itu. Sang ibu tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban.
Hanya saja, Raden Said tidak langsung ke Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.

Lantunan Al Qur'an yang Hebat.
Untuk mengobati kerinduan sang ibu, tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi, yaitu membaca Al Qur'an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan istrinya. Namun meski begitu, Raden Said belum menampakkan dirinya.

Raden Said masih memiliki tugas yang harus dia kerjakan, yaitu menemukan adiknya yang telah pergi dari Kadipaten Tuban. Dia ingin mengajak adik kesayangannya itu untuk kembali ke dalam pelukan orang tua mereka.
Pada akhirnya, Raden Said berhasil menemukan adiknya yang bernama Dewi Rasawulan dan kemudian mereka menuju ke istana Kadipaten Tuban bersama-sama.

Melepas Rindu.
Tak terikirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan istrinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat mereka cintai itu.
Setelah agak lama melepas rindu, tiba saatnya Adipati Tuban bercakap-cakap dengan Raden Said.
"Wahai anakku, apakah engkau yang telah menggetarkan dinding-dinding istana kadipaten Tuban ini?" tanya sang ayah.
"Benar ayahanda," jawab Raden Said.
"Dengan apa engkau menggetarkan dinding istana ini," tanya sang ayah lagi.
"Dengan bacaan Al Qur'an ayahanda, alhamdulillah aku mampu menggetarkan dinding istana kadipaten Tuban, semua berkata Allah SWT.. Hingga pada akhirnya saya berani kembali kemari sesuai dengan permintaan ayah dan ibu," jawab Raden Said.
"Wahai anakku, sungguh tinggi ilmu agamamu, semoga dapat engkau gunakan untuk kebaikan di tanah Jawa ini," ujar sang ayah.

Karena usia Adipati sudah tua, maka tampuk pimpinan akan diserahkan kepada anaknya, Raden Said. Namun, dengan halus Raden Said menolaknya.
Karena Raden Said tak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya, akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri, yaitu putra dari Dewi Rasawulan dan Empu Supa.

Raden Said meneruskan pengembarannya, berdakwah atau menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah hingga ke Jawa Barat.
Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga mudah diterima dan dianggap sebagai Guru se tanah Jawa dari petani, pejabat, pedagang, bangsawan dan raja-raja.

Dalam usia lanjut,beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.
Semoga amal perjuangannya diterima di sisi Allah SWT.
Amiin..

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: