Saat Rasul menjelang wafat, Kita lihat bagaimana detik-detik perpisahan Rasul bersama Alhusain, Rasul yang dikitari orang-orang yang sangat dicintainya, RAsul pandangi satu persatu dari mulai Fatimah, Ali, Hasan lalu pandangan Rasul saat melihat AlHusain, berhenti sejenak. Tatapan mata Rasul memperlihatkan kesedihan yang sangat mendalam, hingga Rasul memeluk AlHusain erat-erat, AlHusain saat itu masih kecil.dalam derita penyakit yang makin berat, nabi saw menahan jeritan pilu seraya berkata : biarkan aku berhadapan dengan Yazid. Semoga Allah tidak memberkahi Yazid, Ya Allah, aku serahkan Yazid kepada-Mu. Belum selesai nabi berbicara, ia tak sadarkan diri lagi. Nabi pingsan lama sekali, ketika siuman, ia merebut lagi tubuh Husain dan memeluknya erat-erat. Air matanya membasahi wajah Husain sambil berkata : Biarkan aku dan pembunuhmu berhadapan di hadapan Allah azza wa jalla. Ketika Hasan dan Husain merapatkan tubuh mereka yang kecil pada tubuh nabi yang agung, mereka tidak henti-hentinya menangis. AlHasan dan AlHusain merasakan dengan kedalaman hatinya yang sangat dalam bahwa mereka sebentar lagi akan berpisah dengan datuknya. Amirilmukminin melihat pemandangan seperti itu ingin memisahkan mereka supaya tidak mengganggu NAbi saw yang sedang sakit. Tapi dengarlah bibir suci nabi ini bergerak lagi : Biarkan mereka bersenang-senang denganku, dan aku bersenang-senang dengan mereka, karena keduanya nanti akan ditimpa bencana sepeninggalku.
Sekarang, mari kita lihat perpisahan AlHusain dengan kuburan datuknya di Madinah, sebelum AlHusain brangkat ke Karbala. AlHusain selalu habiskan malam-malam terakhir di kota datuknya itu untuk mendatangi dan berziarah serta mengadukan kepada Rasulullah saw permasalahan yang sedang beliau hadapi. Sehingga suatu malam ketika beliau berziarah ke kuburan datuknya, beliau melihat sinar yang memancar dari kuburan suci datuknya. Al-Husain mengucapkan salam :
Salam bagimu wahai Rasulullah, aku adalah al-Husain bin Fatimah putramu dan putra dari putrimu yang kau tinggalkan aku pada umatmu. Saksikanlah atas mereka wahai nabi Allah! Sesungguhnya mereka membiarkanku dan tidak menjagaku. Inilah pengaduanku kepadamu sehingga aku bertemu denganmu kelak.Kemudian al-Husain melaksanakan ruku dan sujud di atas pusara datuknya .Beliau juga mengadukannya kepada Allah Swt…
Ya Allah, sesungguhnya ini adalah kuburan Nabi-Mu Muhammad saww, dan aku adalah putra dari putrid Nabi-Mu, sungguh telah datang kepadaku sebuah kewajiban yang aku ketahui.Ya Allah, aku memohon kepda-Mu wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, dengan haq kuburan ini dan yang ada di dalamnya, agar Engkau memilihku apa-apa yang Engkau Ridloi dan Rasul-Mu meridloinya. Kemudian Al-Husain menangis, ketika menjelang subuh, al-Husain meletakkan kepala sucinya di atas pusara datuknya, kemudian tertidur. Dalam tidurnya, Al-Husain melihat Rasulullah saww yang dikitari oleh para malaikat, lalu didekapnya Al-Husain ke dada Rasulullah, kemudian Rasulullah menciumi kedua mata Al-Husain, sambil berkata :
Kasihku Ya Husain, seakan-akan aku melihatmu dari dekat berlumuran dengan darah,disembelih di bumi Karbala oleh kesukuan umatku, sedangkan engkau dalm keadaan haus, tidak ada seorangpun yang memberi minum. Lalu mereka berharap akan syafaatku?!Demi Allah, syafatku tidak akan sampai kepada mereka di hari kiamat nanti. Kasihku ya Husain, sesungguhnya ayahmu, ibumu dan saudaramu telah berkumpul bersamaku, mereka semua rindu kepadamu.
Kemudian al-Husain menangis dan berharap kepada datuknya agar ia membawanya ke dalam kubtr. Akan tetapi Rasulullah meninggalkannya sendirian dalam keadaan sedih, Rasul berkata : wahai Husain, engkau harus mendapatklan kesyadidan agar mendapatkan kedudukan yang agung di sisi Allah. Sesungguhnya engkau, pamanmu, dan paman ayahmu akan dikumpulkan di akhirat kelak dalam satu tempat sampai dimasukkan ke dalam surga. kemudian al-Husain terbangun dari tidurnya.
Itulah perpisahan AlHusain dengan pusara datuknya, beliau begitu berat meninggalkan kota yg di dalamnya terdapat kuburan manusia suci yang dicintainya. Yang pada akhirnya beliaupun berangkat dengan membawa kerabat-kerabatnya dan para sahabtanya yang setia. Beliau tempuh perjalanan berhari-hari bahkan berbulan-bulan mengarungi dusun dan kota yang begitu melelahkan, hingga tibalah al-Husain beserta rombongan di padang Karbala, kamis 2 Muharrom 61 H. Ketika beliau tiba di padang ini, kuda yang beliau tunggangi tiba-tiba berhenti. Kuda itu tetap bergeming dan memaku kendati beliau sudah menarik tali kekangnya kuat-kuat agar beranjak dari tempatnya berdiri. Beliau lalu mencoba menunggangi kuda lain, namun hasilnya tetap sama, kuda kedua itu juga tak menggerakkan kakinya. Karena itu, Imam Husain as nampak mulai curiga sehingga bertanya: “Apakah nama daerah ini?” Al-Ghadiriyyah. Jawab salah seorang sahabtnya. Ada nama lain? Tanyanya lagi. Nainawa. Mereka menjawab. Ada nama lain? Tanya al-Husain lagi, Nainawa, jawab mereka. Imam Husain tertegun sambil meneteskan air mata dan menatap sang surya yang terik panasnya menyengat setiap rombongannya yang telah kehausan, beliau berkata : kami berlindung kepada Allah dari duka dan nestapa, inilah tempat duka dan nestapa, turunlah kalian semua. Disinilah tempat pemberhentian kita, disinilah tempat tertumpahnya darah kita, dan disini pula tempat kuburan-kuburan kita. Inilah tempat yang diceritakan datukku Rasulullah saww, Karbun wa Bala (duka dan nestapa).
Sementara itu, Ubaidillah bin Ziyad sudah mendapatkan laporan, bahwa Imam Husain as beserta rombongannya sudah berada di Karbala. Dia mengirim surat kepada beliau berisikan desakan agar beliau membaiat Yazid. Ubaidillah mengancam Imam Husain as dengan kematian jika tetap menolak memberikan baiat.
Imam Husain as membaca surat itu kemudian melemparkannya jauh-jauh sambil berkata kepada kurir Ubaidillah, bahwa surat itu tidak akan dibalas oleh beliau. Ubaidillah murka setelah mendengar laporan sang kurir tentang sikap Imam Husain ini. Dipanggilnya Umar bin Sa’ad, orang yang sangat mendambakan jabatan sebagai gubernur di kota Rey agar membunuh AlHusain. Lasykar-lasykar Umar bin Sa’adpun mulai digerakkan dan mulai mengepung serta menghadang setiap penjuru, termasuk sungai Furat yang melintang di sekitar sahara Karbala.
Imam Husain as melihat situasi seperti itu, akhirnya beliau menyampaikan pesan kepada Umar bin Sa’ad bahwa beliau ingin bertemu dengannya. Umar setuju. Maka, diadakanlah sebuah pertemuan antara keduanya. Umar bin Sa’ad ditemani 20 orang dari pasukannya sebagaimana Imam Husainpun ditemani oleh 20 pengikutnya. Namun, di tengah pertemuan ini keduanya memerintahkan semua pengikutnya itu untuk keluar dari ruang pertemuan kecuali dua orang dari mereka masing-masing. Dari pihak Imam Husain yang dizinkan untuk terus terlibat dalam pertemuan adalah Abbas dan Ali Akbar as, sedangkan dari pihak Umar bin Sa’ad yang diperbolehkan tinggal adalah puteranya, Hafs, dan seorang budaknya.
Dalam pertemuan 6 orang ini, terjadilah dialog :
Imam Husain as: “Hai putera Sa’ad, adakah kamu tidak takut kepada Allah, Tuhan yang semua orang akan kembali kepada-Nya. Kamu berniat memerangiku walaupun kamu tahu aku adalah cucu Rasulullah, putera Fatimah Azzahra, dan Ali. Hai putera Sa’ad, tinggalkanlah mereka (Yazid dan pengikutnya) itu, dan kamu lebih baik bergabung denganku karena ini akan mendekatkanmu dengan Allah.”
Umar bin Sa’ad: “Aku takut mereka menghancurkan tempat tinggalku.”
Imam Husain as: “Aku akan membangunnya kalau mereka merusaknya.”
Umar bin Sa’ad: “Aku takut mereka merampas kebunku.”
Imam Husain as: “Kalau mereka merampasnya, aku akan menggantinya dengan yang lebih baik.”
Umar bin Sa’ad: “Aku punya keluarga dan sanak famili, aku takut mereka disakiti.”
Imam Husain as terdiam dan tak mau menyambung jawaban lagi. Sambil bangkit untuk keluar meninggalkan ruang pertemuan, beliau berucap: “Allah akan membinasakanmu di tempat tidurmu. Aku berharap kamu tidak akan dapat memakan gandum di Ray kecuali sedikit.”
Dengan nada mengejek, Umar bin Sa’ad menjawab: “Kalau aku tidak dapat menyantap gandumnya, barley-nya sudah cukup bagiku.” Imam Husain as kemudian pergi meninggalkan Umar bin Sa’ad tanpa membawa hasil apapun dari pertemuan tersebut. Umar bin Sa’ad memang dikenal sebagai pria pandir, pengkhianat, dan pendusta.
Hari keenam di sahara Karbala, lasykar demi lasykar terus dikerahkan oleh Ubaidillah bin Ziyad hingga jumlah seluruh pasukan yang terkumpul mencapai dua puluh ribu orang. Pasukan besar ini semakin mempersulit keadaan AlHusain hingga persediaan air minum beliau habis dan dahaga mulai mencekik leher beliau serta rombongan yang bersamanya. Terik mentari semakin panas, membakar setiap orang yang ada di dalam tenda. Suara tangis anak-anak dan bayi dari dalam tenda sudah mulai terdengar, detik-demi detik terus bergulir, hingga mentari masuk di ufuk barat, siang diganti malam, suasana malam dengan angin kencang yang membuat orang yang ada di dalam tenda kedinginan. Esok harinya,
hari ketujuh di sahara Karbala salah seorang sahabat AlHusain melihat keadaan terus seperti itu, tidak kuat untuk melihatnya. yang pada akhirnya ia yang bernama Nafi bin Hilal Al-Jamali meminta izin kepada sang Imam untuk mengambilkan air dari Furat, ia adalah pahlawan kesatria Karbala yang dikenal sebagai perawi hadist, qori dan sahabat dekat Imam Ali as. Kesetiaannya kepada Ahlil Bait telah ia tunjukkan dalam perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan di bawah panji Ali bin Abi Thalib. Ia pun meneruskan kesetiaannya kepada Ahlul Bait di padang Karbala bersama Al-Husain. Nafi bin Hilal al-Jamali mendatangi pasukan musuh yang sedang menjaga sungai Furat sambil membawa bendera. Ia dapat menembus benteng penjaga sungai Furat. Kemudian berteriaklah salah seorang dari pasukan musuh Allah bernama Umar bin Hajjad : siapa lelaki itu? Dijawabnya : kami datang untuk meminum air yang kalian larang kami meminumnya. Umar bin Hajjd berkata lagi : minumlah sekenyangmu, tetapi jangan kau berikan kepada Husain setetespun. Nafi berkata : tidak! Demi Allah, aku tidak akan meminumnya setetespun sedang al-Husain beserta keluarganya dan para sahabatnya kehausan. Akhirnya Nafi menerobos pasukan musuh dan berhasil mengisi kantung air dari sungai Furat, setelah pedangnya diayunkan ke kanan dan ke kiri. Ketika Nafi hendak meminumnya, tampaklah dalam diri Nafi wajah cucu Rasulullah yang kehausan, wajah wanita dan anak-anak yang tak berdosa.lalu ia mengurungkan niatnya dan melemparkan air yang ada di tangannya. Bergeraklah Nafi menuju kemah al-Husain sambil membawa kantung yang berisi air. Beberapa pasukan musuh dapat dirobohkan, kini tinggallah Nafi untuk keluar dari barisan pengepungan dengan membawa sekantung air, pedang musuh mengenai tangan kanan dan kirinya, dengan kudanya ia tekan kantung air sambil menggigit pelana kudanya. Tiba-tiba kantung air itu terkena anak panah, dan dibiarkan Nafi menuju ke kemah Al-Husain dalam keadaan tak berdaya dengan kantung yang lubang oleh anak panah. Dihadapan Imam Husain, Nafi yang tak berdaya berucap : Wahai imam, sudahkan kutunaikan tugasku?! Imam Husain menciuminya dan Nafi Syahid dipangkuan Imam. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un….berbahagialah engkau wahai Nafi, bisa syahid dipangkuan al-Husain…..
Hari Tasyu’a (kesembilan) Detik-detik masa di padang Karbala terus bergulir. Kamis 9 Muharram, Matahari semakin menyengat setiap orang-orang yang berada di dalam kemah pasukan Alhusain. Sementara itu, Umar bin Sa’ad mendatangi pasukannya dan berseru: “Wahai lasykar Allah, tunggangilah kuda-kuda kalian! Semoga surga membahagiakan kalian.”
Pasukan Umar segera mengendarai kuda dan bergerak ke arah daerah perkemahan Imam Husain as. Saat itu, Imam Husain as sedang duduk tertidur dalam posisi merebahkan kepala di atas lututnya. Beliau terjaga saat didatangi adindanya, Zainab Al-Kubra as yang panik mendengar suara ribut ringkik dan derap kaki kuda, berkata kepada abangnya:“Kakanda, adakah engkau tidak mendengar suara bising pasukan musuh yang sedang bergerak menuju kita?!”
Imam Husain as menjawab: “Adikku, aku baru saja bermimpi melihat kakekku Rasalullah, ayahku Ali, ibundaku Fatimah, dan kakakku Hasan. Mereka berkata kepadaku: ‘Hai Husain, sesungguhnya kamu akan menyusul kami.’[2] Rasulullah juga berkata kepadaku: ‘Hai puteraku, kamu adalah syahid keluarga Mustafa, dan semua penghuni langit bergembira menyambut kedatanganmu. Cepatlah datang kemari karena besok malam kamu harus berbuka puasa bersamaku, dan sekarang para malaikat turun dari langit untuk menyimpan darahmu dalam botol hijau ini.’”
Mendengar kata-kata Imam Husain ini, Zainab hanyut dalam suasana haru yang amat dalam. Suara rintih dan tangis keluar dari tenggorokannya yang kering. Kedua telapak tangannya menampar-nampar wajahnya. Imam Husain as mencoba menghibur adiknya.
“Tenanglah adikku, kamu tidak celaka. Rahmat Allah pasti bersamamu.” Ujar Imam Husain as.
Beliau kemtdian berkata kepada adik lelakinya, Abbas: “Datangilah kaum itu, dan tanyakan kepada mereka untuk apa mereka kemari?”
Abbaspun pergi ke arah musuh dan menyampaikan pertanyaan tersebut kepada mereka. Pihak musuh menjawab: “Sang Amir telah memerintahkan agar kalian patuh kepada perintahnya. Jika tidak, maka kami akan berperanf dengan kalian.”
Abbas kemudian bergegas lagi menghadap Imam Husain as dan menceritakan apa yang dikatakan musuh. Imam berkata lagi kepada Abbas: “Adikku, demi engkau aku rela berkorban, datangilah lagi pasukan musuh itu dan mintalah mereka supaya memberi kami waktu satu malam untuk kami penuhi dengan munajat, doa, dan istighfar. Dan Allah Maha Mengetahui bahwa aku sangat menyukai solat, membaca AlQuran, berdoa, dan beristighfar.”
Abbas kembali mendatangi pasukan musuh untuk menyampaikan pesan tersebut. Setelah mendengar permintaan itu, Umar bin Saad berunding dengan orang-orang dekatnya. Umar bin Sa’ad berpikir sejenak, kemudian memenuhi permintaan AlHusain.
Menjelang sore dihari kesembilan, ketika al-Husain melihat situasi yang semakin sulit, kemudian beliau mengumpulkan seluruh sahabatnya, dan berkata : Sungguh Rasululah telah menyampaikan berita kepadaku, bahwa aku akan digiring ke Iraq dan singgah di bumi yang dikatakan Karbala. Kini, telah kusaksikan dan dekat dengan janji-Nya. Ketahuilah!tidak ada hari lagi bagi kita setelah hari ini, aku telah memberi izin pada kalian untuk kembali dan tiada ikatan lagi atas kalian. Malam ini adalah kesempatan bagi kalian untuk pulang dan keluar, setiap laki-laki dari kalian, bawalah laki-laki dari kami Ahlil Bait, semoga Allah membalas untuk kalian semua, berpisahlah di tempat kalian. Sesungguhnya mereka menghendaki aku, dan bukan pada selainku..
Mendengar hal itu, saudara-saudara Al-Husain, anak-anaknya, kemenakannya serta anak-anak Abdullah bin Ja’far, Abbas bin Ali, berkata yang diikuti oleh bani Hasyim lainnya : kenapa kita harus demikian wahai Imam?kami akan tetap bersamamu.
Kemudian Al-Husain melihat kepada putra-putra Aqil bin Abi Thalib sambil berkata : cukup bagi kalian dengan terbunuhnya Muslim, pergilah kalian! aku telah izinkan kalian. Lalu mereka berkata : kalau begitu, apa yang akan dikatakan manusia dan apa yang harus kami katakan kepada mereka? kami telah meninggalkan pemimpn kami dan putra dari sebaik-baiknya paman, kami tidak menyertai mereka dalam perang… Demi Allah!tidak! kami tidak akan melakukan hal itu, kami akan korbankan padamu wahai Aba Abdillah dengan jiwa, harta dan keluarga kami. Kami akan berperang bersamamu.
Muslim bin Ausajah juga menunjukkan kesetiaannya,: demi Allah, aku tidak akan berpisah denganmu, sehinga aku melukai dada mereka dengan anak panahku serta pukulan pedangku. Jika sendainya aku tanpa senjata, maka aku akan bunuh mereka dengan lemparan batu hingga aku mati bersamamu.
Said bin Abdullah Al-Hanafi berkata : demi Allah!kami tidak akan melepaskanmu sehingga Allah mengeatahui bahwa kami telah menjaga keturunan Rasul-Nya, demi Allah! Seadainya aku terbunuh kemudian dihidupkan kembali, kemudian aku dibakar hingga 70 kali, aku tidak akan berpisah darimu wahai imam. Begitulah kesetiaan para keluarga dan sahabat al-Husain. Mendengar semua itu Al-Husain berkata kepada mereka : Sungguh tidak kudapati kesetiaan dan kebaikan lebih dari sahabat-sahabatku ini dan tidak kudapati keluarga yang lebih utama dan penyambung silaturahim lebih dari Ahlil Biatku, semoga Allah membalas kebaikan kalian atasku. Itulah kesetiaan keluarga dan pengikut AlHusain
Karena Imam Husain as dan rombongannya diberi waktu satu malam, maka pasukan dari masing-masing pihak kembali ke perkemahannya dengan tenang. Pada malam Asyura itu, adegan-adegan yang semakin memilukan terjadi. Malam itu AlHusain dan para sahabatnya larut dalam dengungan Rabbani, dengungan suara mereka tak ubahnya laksana suara kawanan lebah, mereka tenggelam dalam ruku, sujud, berdiri menghadap Kiblat dan duduk bermunajat. Rintih tangis, munajat, doa, pembicaraan yang berbau hikmah, dan puisi-puisi duka dan perjuangan Ahlul Bait mengiringi putaran detik-detik gulita malam sahara Karbala. Tentang ini, Imam Ali Zainal Abidin as putera Imam Husain as antara lain berkisah: Ayahku berkata :
“Demi Allah, setelah semua kejadian ini kita alami, masa akan terus berjalan hingga kita semua keluar (hidup lagi) bersama Al-Qaim kita untuk membalas kaum yang zalim. Kami dan kalian akan menyaksikan rantai, belenggu, dan siksaan-siksaan lain yang membantai musuh kita.”
Seseorang bertanya: “Siapakah AlQaim itu?”Imam Husain as menjawab:
“Dari kami (Ahlul Bait) terdapat dua belas orang Mahdi, dimana yang pertama adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah orang yang (merupakan generasi) kesembilan dari anak keturunanku dan dialah Imam Al-Qaim Bilhaq. Dengannyalah Allah akan menghidupkan bumi ini setelah kematiannya, dengannyalah Allah akan menjayakan agama kebenaran ini atas seluruh agama lain, walaupun orang-orang musyrik membencinya. Dia (AlQaim) akan mengalami masa kegaiban dimana sepanjang masa ini sebagian kaum ada yang murtad sementara yang lain tetap teguh pada agama dan mencintai (AlQaim), dan mereka akan ditanya: ‘Kapankah janji (kebangkitan) ini (akan terpenuhi) jika kalian memang orang-orang yang jujur?’ Akan tetapi orang yang sabar pada masa kegaibannya akan mengalami banyak gangguan dan didustakan. Kedudukan orang itu sama dengan pejuang yang mengangkat pedang bersama Rasulullah.”[3]
Ikhwan dan akhwat…
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di alam maknawi Allah SWT menampakkan dosa-dosa makhluk-Nya. Kemudian, untuk menghapus dosa-dosa ini, Allah bertanya kepada ruh para nabi dan wali-Nya: “Siapakah diantara kalian yang siap berkorban dengan jiwa, harta, dan keluarnya agar dosa-dosa ini terampuni?”Sang pahlawan terkemuka Karbala menjawab: “Aku siap berkorban dengan semua itu?”Allah berfirman: “Wahai Husain, apakah kamu siap untuk gugur sebagai syahid dalam keadaan haus dan lapar?”Imam Husain as menjawab: “Aku rela untuk itu?”Allah berfirman: “Kepalamu akan ditancapkan diujung tombak lalu dipertontonkan di kota-kota, di padang sahara, dan di dalam beberapa pertemuan.”Imam Husain as menjawab: “Aku rela.”Allah berfirman: “Jasadmu akan dicincang dan dicampakkan ke tanah tanpa pakaian.”Imam Husain menjawab: “Aku rela.”Allah berfirman: “Para sahabatmu juga harus terbunuh.”Imam Husain menjawab: “Aku pasrah.”Allah berfirman: “Hamba-hambaku (saat itu) adalah para pemuda, dan pemudamu yang berusia 18 tahun akan terbunuh di depan matamu.”Imam Husain tetap pasrah. Allah berfirman: “Di tengah mereka terdapat kaum wanita, dan keluargamu akan menjadi tawanan yang terbelenggu dan dipertontonkan dari kota ke kota, dari rumah ke rumah, dari lorong ke lorong.”Imam Husain pasrah. Allah berfirman: “Puteramu dalam keadaan sakit akan terbelenggu dan dipertontonkan di atas unta dalam keadaan tanpa baju dari lembah ke lembah, dari rumah ke rumah.”Imam Husain pasrah. Itulah perjanjian AlHusain dengan Allah Swt.
7. Perundingan Pertengahan Malam Asyura
Dikisahkan pula oleh adinda AlHusain, Sayyidah Zainab as: “Pertengahan malam Asyura aku mendatangi tenda adikku, Abu Fadhl Abbas. Aku menyaksikan para pemuda Bani Hasyim berkumpul mengelilinginya. Abu Fadhl berkata mereka:
‘Saudara-saudaraku sekalian, jika besok perang sudah dimulai, orang-orang yang pertama kali bergegas ke medan pertempuran adalah kalian sendiri, agar masyarakat tidak mengatakan bahwa Bani Hasyim telah meminta pertolongan orang lain, tetapi mereka (Bani Hasyim) ternyata lebih mementingkan kehidupan mereka sendiri ketimbang kematian orang lain….’
“Para pemuda Bani Hasyim itu menjawab: ‘Kami taat kepada perintahmu.’”
Sayyidah Zainab juga berkisah: “Dari kemah itu kemudian aku mendatangi tenda Habib bin Madhahir.[1] Aku mendapatinya sedang berunding dengan beberapa orang non-Bani Hasyim. Habib bin Madhahir berkata kepada mereka:
‘Besok, tatkala perang sudah dimulai, kalianlah yang harus terjun terlebih dahulu ke medan laga, dan jangan sampai kalian didahului oleh satupun orang dari Bani Hasyim, karena mereka adalah para pemuka dan junjungan kita semua…’ ”
“Para sahabat Habib bin Madhahir berkata: ‘Kata-katamu benar, dan kami akan setia mentaatinya.’ ”
Sementara itu di tenda-tenda yang lainnya, terdapat beberapa pahlawan yang dikenal sebagai orang yang sangat zuhud dan ahli ibadah, diantaranya bernama Burair bin Khudair. Warga Kufah amat menghormatinya dan menyebutnya sebagi guru besar Al-Quran. Ketinggian iman Burair nampak pada malam Asyuro. Burair yang biasanya jarang bercanda, malam itu bercanda dengan Abdurahman Al-Anshari salah seorang sahabat Imam Husain as. Kepada Burair Abdurahman berkata : Wahai Burair, malam ini tidak sewajarnya engkau bergurau,kenapa engkau tertawa?sekarang ini bukan waktunya untuk bercanda dan bermain!. Burair menjawab : Sahabatku, tahukah engkau bahwa sejak muda aku tidak gemar bercanda. Tapi malam ini aku sangat bahagia dan gembira sekali menyaksikan jalan yang kita lalui ini. Sebab jarak antara kita dengan surga hanya tinggal beberapa saat. Demi Allah, Kita hanya perlu sejenak menari-narikan pedang untuk menyambut pedang-pedang musuh yang akan mencabik-cabikkan tubuh kita, lalu kita akan segera jatuh ke dalam pelukan bidadari surga.
Malam Asyura, seakan diharapkan segera berlalu untuk menyongsong pagi dan siang yang akan mementaskan adegan keberanian para pahlawan Karbala yang bersenjatakan keperkasaan iman dan semangat pengorbanan yang besar, semangat Husainiyyah yang kelak terpahat dalam prasasti keabadian sejarah.Namun demikian, keberanian para pejuang Islam, tentu saja mempersembahkan adegan haru biru yang merenyuhkan simpati, dan hati nurani setiap insan sejati.
Imam Husain as dan para pengikutnya kemudian menghabiskan saat-saat malam Asyura itu dengan ibadah dan munajat kepada Allah Swt. Rintihan dan doa mereka terdengar seperti riuh rendah suara lebah. Masing-masing melarutkan diri dalam suasana kekhusu’an sujud, dan tengadah tangan doa di depan Allah SWT.
Malam Asyura adalah malam perpisahan keluarga suci Rasulullah saaw di alam fana. Saat itu adalah malam pembaharuan janji dan sumpah setia yang pernah dinyatakan di alam zarrah untuk kemudian dibuktikan pada hari Asyura.
Imam Husain as sendiri sangatl`h mendambakan terlaksananya janji itu. Malam itu Allah mengutus malaikat Jibril as untuk membawakan catatan ikrar yang pernah dinyatakan Imam Husain as agar cucu Rasul ini memperbaharui janjinya itu. Saat tiba di depan Imam Husain as, Jibril as berkata:
“Hai Husain, Allah SWT telah berfirman: ‘Jika kamu menyesali janjimu itu, maka boleh menggagalkannya, dan Aku akan memaafkanmu.’ “Imam Husain as menjawab: “Tidak, aku tidak menyesalinya.”
Malaikat Jibril as kemudian kembali ke langit, dan tatkala fajar menerangi cakrawala untuk menyongsong pagi, Imam Husain as dan rombongannya yang sudah kehabisan bekal air, terpaksa bertayammum untuk menunaikan solat Subuh berjamaah. Seusai tasyahud dan salam, Imam Husain as berdoa kepada Al-Khalik:
“Wahai Engkau Sang Maha Penolong orang-orang suci, Wahai Sang Maha Pengampun di hari pembalasan, sesungguhnya ini adalah hari yang telah Engkau janjikan, dan hari dimana kakekku, ayahku, ibuku, dan kakakku ikut menyaksikan.”"Tatkala peristiwa besar (hari kiamat) terjadi, tidak ada seorangpun yang dapat mendustakan kejadiannya.”[2]
Malaikat Jibril as berkata: “Hai Husain, hari ini engkau harus terjun ke medan laga, dengan jiwa yang penuh kerinduan sebagaimana kerinduan setiap orang kepada kekasihnya.”
Imam Husain as menjawab: “Hai Jibril, sekarang lihatlah! mereka yang terdiri dari orang-orang tua dan muda, kaya dan miskin, serta para wanita yang rambutnya sudah lusuh, para hamba sahaya, dan para anggota rumah tangga ini, telah aku bina sedemikian rupa, sehingga untuk menjadi tawananpun mereka siap. Mereka inilah Ali Akbar, Abbas, Qasim, ‘Aun, Fadhl, Ja’far, serta para pemuda yang sudah dewasa, dan inilah mereka sejumpulan kaum wanita dan anak-anak, mereka semua telah aku bawa, aku korbankan sebelum kemudian akupun akan menyerahkan nyawaku.”
Jibril as menjawab: “Hujjahmu sudah sempurna, maka sekarang bersiaplah untuk menyambut cobaan besaaar..”
Jibril as kemudian terbang ke langit sambil berseru: “Wahai para pasukan Allah, segeralah mengendarai kuda!”
Mendengar suara ini, segenap pasukan Imam Husain as bergegas mengendarai kuda, kemudian membentuk barisan kecil di depan barisan raksasa pasukan musuh.
Saat pasukan Umar bin Sa’ad juga sudah mengendarai kuda dan siap membantai Imam Husain as dan rombongannya, Imam Husain as memerintahkan Burair bin Khudair untuk mencoba memberikan nasihat lagi kepada musuh. Namun, apalah artinya kata-kata Burair untuk musuh yang sudah menutup pintu hati nurani mereka itu. Apapun yang dikatakan Burair sama sekali tidak menyentuh jiwa dan perasaan mereka.
Dalam keadaan sedemikian rupa, Imam Husain as bertahan untuk tidak memulai pertempuran. Sebaliknya, beliau masih membiarkan dirinya tenang manakala pasukan Umar bin Sa’ad sudah mulai berulah di sekeliling perkemahan Imam Husain as dengan menggali parit dan menyulut kobaran-kobaran api.
Saat suasana bertambah panas, Syimir bin Dzil Jausyan berteriak keras memanggil Imam Husain as.
“Hai Husain!” Pekik Shimir, “Adakah kamu tergesa-gesa untuk masuk ke dalam neraka sebelum hari kiamat nanti?!”
Begitu mengetahui suara itu berasal dari mulut Syimir, Imam Husain as membalas: “Hai anak pengembala sapi, kamulah yang pantas menghuni neraka.”
Melihat kebejatan Syimir kepada cucu Rasul itu, Muslim bin Ausajah mencoba melepaskan anak panahnya ke tubuh Syimir. Namun Imam Husain as mencegahnya.
“Jangan!” Seru Imam Husain as. “Sesungguhnya aku tidak ingin memulai peperangan
9. Istighotsah Imam Husain as dan Taubat Hur
Imam Husain as kemudian berdoa:
“Ya Allah, janganlah Engkau turunkan air hujan dari langit untuk kaum ini. Azablah mereka dengan kekeringan dan kelaparan seperti pada zaman nabi Yusuf. Kuasakan atas mereka nanti Astsaqafi, agar mereka merasakan kegetiran, karena mereka telah mendustakan kami, menisbatkan kebohongan kepada kami, dan menyia-nyiakan kami.Ilahi, kami bertawakkal kepada-Mu. Kepada-Mul-ah kami dan segala sesuatu pasti akan kembali.”[1]
Imam Husain as kemudian mendekati para pengikutnya dan berkata: “Bersabarlah, sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian untuk berperang hingga titik penghabisan. Sesungguhnya kalian semua akan terbunuh kecuali Ali bin Husain.
Kemudian AlHusain menghadap kepada musuh-musuh Allah sambil, berkata :
“Apakah masih ada lagi seseorang yang akan menolongku demi mendapatkan keridhaan Allah? Adakah lagi seseorang yang siap membela kehormatan Rasulullah?”
Tiba-tiba setelah ucapan AlHusain ini, dari barisan musuh melesat seekor kuda dengan penunggangnya menuju barisan AlHusain, yang tidak lain adalah AlHur Arriyahi. Begitu sampai di hadapan beliau, Hur meletakkan telapak tangan di kepalanya sambil berseru:“Ya Allah, aku kembali kepada-Mu. Ya allah, ampunilah aku yang telah membuat para pecinta dan putera-puteri rasul-Mu menderita dan ketakutan.”
Saat melihat Hur mendekati Imam Husain, sebagian orang menduganya akan memulai peperangan. Namun, mereka baru sadar dugaan itu salah, setelah melihat Hur membalikkan perisainya. Saat itu Hur datang menyapa Imam Husain as dimulai dengan ucapan salam takzim dan hormat, lalu menyusulnya dengan kata-kata:
“Hai putera Rasul, aku siap berkorban untukmu. Aku adalah orang yang beberapa waktu lalu telah mencegat perjalananmu, mencegahmu pulang, lalu menggiringmu ke tanah yang penuh dengan petaka ini, tanpa aku tahu sebelumnya bahwa orang-orang ini akan menolak kata-katamu dan memperlakukan dirimu sedemikian rupa. Demi Allah, seandainya aku tahu inilah yang akan terjadi, tidak mungkin akan berbuat seperti itu kepadamu. Sekarang aku menyesal, tetapi apakah mungkin Allah akan menerima taubatku?”
Imam Husain as menjawab: “Allah pasti akan menerima taubatmu.” Beliau meminta Hur supaya beristirahat, namun Hur malah meminta restu beliau untuk segera memulai perjuangan di depan musuh. Imam pun berkata: “Semoga Allah merahmatimu. Aku mengizinkanmu berjuang.”
Hur kemudian meminta diri dari Imam Husain as dan pergi mendekati pasukan Umar bin Sa’ad yang kini sudah menjadi musuhnya. Di depan mereka, Hur memberondongkan kata-kata pedas dan kutukan. Begitu kata-kata Hur tuntas, beberapa orang pasukan Ibnu Sa’ad membidikkan anak panah ke arah Hur. Hur bergegas pergi menghadap Imam Husain as untuk memohon instruksi penyerangan.
Serentak dengan ini, Umar bin Sa’ad berteriak kepada budaknya: “Hai Darid, cepat maju!” Umar mengambil sepucuk anak panah dan memasangnya ke tali busur sambil berteriak lagi: “Hai orang-orang, saksikanlah bahwa akulah orang pertama yang membidikkan anak panah ke arah pasukan Husain.” Anak panah itupun melesat.
Dengan melesatnya anak panah Umar bin Sa’ad, segera disusul dengan hujan panah dari anak buahnya ke arah pasukan Imam Husain as. Imam Husain pun menurunkan instruksi untuk melakukan perlawanan.
10. Dimulainya Perang Tak Seimbang
Genderang pertarunganpun antara kedua pasukan yang tak seimbang dimulai. Dari pihak Imam Husain as, nampak wajah-wajah cemerlang dan berbinar seakan tak sabar lagi untuk berjumpa dengan Yang Maha Kuasa. Mereka siap terbang bahu membahu dan berlomba menuju alam keabadian di sisi Al-Khalik, dengan kepakan sayap-sayap imannya yang lebar. Dengan jiwa yang membaja, para kesatrha Karbala siap mengarungi lautan darah, membela kehormatan dan cita-cita mulia bintang kejora dari keluarga suci Rasul. Jiwa mereka yang sudah terpatri dalam semangat Husainiyyah, telah siap menyongsong kematian yang suci.
Alhur mampu memporakporandakan pasukan musuh, dari pihak musuh bernama Sofwan menghunuskan pedang dan mengayunkannya ke arah tubuh Hur. Namun dengan tangkasnya Hur menangkis ayunan pedang jagoan Kufah itu. Belum sempat melancarkan serangan lagi, Sofwan tiba-tiba mengerang kesakitan begitu mendapat serangan balas dari Hur. Ketangkasannya ternyata tak sehebat Hur. Dada Sofwan tertembus tombak yang dihunjamkan Hur. Sofwan sang jagoan itu roboh bersimbah darah.
Di lain pihak, menyaksikan pasukannya kacau balau diterjang pendekar bernama Hur itu, Umar bin Sa’ad segera memekikkan suara: “Hujani dia dengan panah. Jangan biarkan dia lolos!”
Hujan panah pun menyerbu tubuh sang pendekar Alhur. Dia tak kuasa menghalau serangan selicik itu. Tubuhnya menjadi sarang beberapa anak panah beracun. Sebelum tubuhnya roboh, para sahabat Imam Husain as maju menerjang musuh dan sebagian lain membopong Hur yang dalam keadaan sekarat, membawanya ke hadapan Imam Husain as. Imam kemudian mengusap wajah Hur sambil berucap:
“Kini telah hur (bebas) sebagaimana nama yang diberikan ibumu untukmu. Kamu hur di dunia dan di akhirat.”[4] innalillahi……..
Dengan gugurnya al-Hur, berikutnya satu demi satu sahabat setia al-Husain menawarkan diri untuk maju ke medan pertempuran. Diantara para sahabat setia itu adalah Muslim bin Ausajah, pemuda gagah berani yang berhasil membinasakan sejumlah besar pasukan musuh. Sebelum menemui ajalnya, pemuda ini sempat mengucapkan kata-kata indah kepada junjungannya, Imam Husain as: “Wahai Putera Rasul!” Ucap Muslim. “Aku akan pergi untuk memberikan berita gembira kepada kakek dan ayahmu tentang ketibaanmu.” Ruh Muslim bin Ausajah terbang meninggalkan jasadnya yang fana setelah ucapan itu tuntas. Kematian Muslim itu kebetulan juga disaksikan anaknya. Darah sang anak mendidih menyaksikan kematian ayahnya dalam keadaan bersimbah darah. Dia segera menunggangi kuda untuk memacunya ke arah pasukan musuh dan melancarkan serangan. Namun, gerakan itu dicegah oleh Imam Husain as. “Hai pemuda!” Panggil beliau. “ Ayahmu telah gugur. Jika kamu juga gugur, siapakah nanti yang akan melindungi ibumu?”
Putera Muslim lantas bergerak mundur. Namun, tiba-tiba ibu putera Muslim itu mencegahnya sendiri. “Wahai anakku, Apakah kamu lebih mementingkan kehidupan di dunia ini daripada kebersamaan dengan Putera Rasul? Kalau begitu, aku tidak pernah rela kepadamu.”
Mendengar kata-kata itu, putera Muslim bin Ausajah segera menarik tali kendali dan memacu kudanya ke medan pertempuran. Gerakan itu diiringi suara ibunya dari belakang: “Bergembiralah anakku, tak lama lagi kamu akan meneguk air telaga Al-Kautsar!” Suara ibunya ini benar-benar menambah semangat putera Muslim, sehingga tarian-tarian pedangnya berhasil memanen nyawa tak kurang dari 30 tentara musuh. Pemuda itu kemudian tersungkur d`lam keadaan penuh luka. Kepalanya dipenggal dan dilempar ke dekat ibunya. Sang ibu segera mendekap dan menciumi kepala putranya sambil berkata : Wahai putraku, engkau sekarang telah memutihkan wajah ibumu.. Innalillahi……
Berikutnya adalah Habib bin Madhohir maju ke medan laga, ia hantamkan pedangnya ke arah beberapa pasukan musuh yang mengakibatkan sejumlah orang dari mereka tewas. Namun, saat Habib kecapaian dalam bertahan dan menyerang, hantaman pedang musuh lolos dari tangkisannya dan langsung mendarat di bagian kepalanya. Habib terjerembab dari atas kuda. Dalam keadaan lunglai, Habib mencoba bangkit bertahan. Namun, berdirinya Habib segera disusul dengan ayunan pedang Hisshin yang menghantam kepala Habib lagi. Sahabat setia Imam Husain as ini roboh dalam kondisi mengenaskan. Tak puas dengan itu, Hisshin datang lagi dan memenggal kepada Habib hingga terpisah dari jasadnya.
Kematian Habib bin Madhahir membuat Imam Husain as tak kuasa menahan haru. Wajah beliau tampak sangat berduka menyaksikan gugurnya pemegang tiang bendera sayap kiri pasukan beliau. Kepergian Habib ke alam baka diiring kata-kata beliau: “Wahai Habib, Pahala Allah untukmu, Engkau adalah manusia penuh keutamaan dimana dalam satu malam engkau mengkhatamkan AlQuran.”
Alhusain kembali melantunkan beberapa kalimat dari lisannya untuk para sahabatnya:
“Pintu-pintu surga telah terbuka, angkasanya cerah, buah-buahannya telah matang, istana-istananya sudah berhias, anak-anak dan para bidadarinya sudah berkumpul. Rasulullah dan para syuhada yang gugur bersamanya serta ayah dan ibuku sedang menantikan kedatangan kalian. Mereka mengucapkan selamat kepada kalian. Mereka merindukan kalian…..
Para sahabat Imam Husain as tak kuasa menahan gejolak, serta kobaran semangat sekaligus rasa haru mendengar kata-kata dari sang pemimpinnya. Mereka menangis tersedu-sedu, dan sebagian menjerit histeris….
Jhaun adalah salah satunya., lelaki berkulit hitam. Dia adalah budak Abu Dzar yang sudah dibebaskan. Dia adalah termasuk orang yang meminta sendiri kepada Imam untuk turut serta dalam rombongan beliau dengan resiko apapun, termasuk berjihad melawan musuh. Menjawab permintaan Jhaun, Imam Husain as berkata: “Dulu selagi sehat, kamu selalu bersama kami, dan sekarang terserah kamu kemanapun kamu hendak pergi.”
Jaun berkata: “Hai Putera Rasul, dulu aku bersamamu di saat keadaan sedang baik dan menggembirakan. Kini, apakah adil jika aku membiarkanmu sendirian dalam kesulitan?! Demi Allah, bau tubuhku tidak sedap, aku lahir dari keturunan yang hina, dan warna kulitku hitam. Namun, apakah engkau tidak rela jika aku menjadi penghuni surga sdhingga aroma tubuhku harum semerbak, jasmaniku tampak mulia, dan wajahku menjadi putih?! demi Allah, aku tidak ingin berpisah denganmu sampai darahku yang kelam ini melebur dengan darahmu.”
Dengan restu Imam Husain as di Karbala, Jhaun ikut berjuang melawan musuh. Seperti rekan-rekannya yang lain, dia juga berhasil merenggut nyawa beberapa orang dari balatentara musuh sebelum tubuhnya yang hitam itu akhirnya menjadi onggokan tanpa nyawa di tanah Karbala. Dia berhasil menggapai impiannya membela keluarga Rasul untuk kemudian bergabung dengan mereka sebagai para ‘bangsawan’ di alam surga.
Ditengah sengitnya pertarungan, ada seorang anak yang masih berumur 11 tahun bernama Amer bin Junadah, ayahnya baru saja syahid. Amer menghadap Imam sambil berkata : wahai imam, izinkan aku untuk membelamu agar dapat menyusul ayahku yang syahid. Imam menjawab : engkau masih teramat kecil wahai Amer, lalu bagaimana dengan ibumu nanti? Dengan tegas dia menjawab : wahai cucu Rasulullah, sungguh!! ibuku sendiri yang memakaikan baju perang ini kepadaku. Namun imam tetap melarangnya. Amer bin Junadah menangis merintih dan menemui ibunya sambil berkata pada ibunya : duhai ibu, imam melarangku mati syahid menyusul ayahku. Sang ibu yang baru kehilangan suaminya, mendatangi al-Husain dan berkata : Wahai Imam, izinkan putraku ini untuk syahid membelamu,agar wajahku kelak berseri-seri ketika berjumpa ibumu Fatimah Az-Zahra.
Imampun kemudian mengizinkannya. Dengan gesit Amr memasuki ke tengah-tengah pasukan musuh. Pembelaannya tak berlangsung lama, tubuh kecil itu terhempas, darah mengalir kesekujur tubuhnya, hingga syahid menyusul ayahnya. Innalillahi…….. (ya Allah, jadikan anak-anak kami seperti Amr bin Junadah, jadikan istri-istri kami seperti ……)
Berikutnya seorang yang paling tua diantara sahabat al-Husain, yang bernama Anas bin Harits Al-Kahili. Dia adalah salah seorang sahabat setia Rasul yang pernah ikut berperang dalam perang Badar dan Hunain. Dia datang kepada imam untuk meminta izin berperang. Imam menjawabnya : wahai Anas, engkau sudah tua renta,punggungmu sudah bungkuk, rambutmu sudah putih semua, sudah sepantasnya engkau mengurusi anak cucumu di rumahmu, ini bukan tempat untukmu. Anas hanya mampu mengeluarkan tetesan air mata, sambil berjalan ke belakang kemah, lalu ia buka sorban pengikat kepalanya dan ia ikatkan pada punggungnya supaya terlihat tegap. Kembali Anas menghadap imam dan berkata dengan tegasnya : Wahai putra Rasulullah, lihatlah punggungku sudah tidak bungkuk lagi, aku masih tegap.aku masih mampu menerjang musuh-musuh Allah, aku bersyukur di hari tuaku yang sudah bungkuk ini,dapat memberikan tubuh rentaku ini padamu, kapan lagi aku dapat kesempatan untuk berjuang membelamu. Berderailah air mata al-Husain mendengar kata-kata darinya. Imam berkat : Allah berterimakasih kepadamu wahai Anas. Imam pun mengizinkannya untuk berlaga di medan perang. Dengan tangkas Anas memainkan pedangnya hingga 18 pasukan musuh dapat dirobohkan, karena banyaknya musuh yang mengerubunginya, akhirnya tenaga Anaspun berkurang dan syahid membela Al-Husain. Innalillahi……
Demikianlah, para pahlawan pembela Islam dan Ahlul Bait suci itu berguguran satu persatu. Darahnya telah menyiramkan cahaya spiritual yang terang benderang di bumi Karbala (bumi duka nestapa). Jasad-jasad mereka yang fana memang sudah tergolek tanpa nyawa seperti yang diharapkan musuh. Namun, jejak-jejak spiritual mereka akan tetap abadi dan tidak akan pernah sirna untuk selamanya.
11. Banjir Darah Hari Asyura
Hari itu tanah Karbala sedang diguyur sengatan terik mentari yang mengeringkan tenggorokan para pahlawan Karbala. Hari itu, para pejuang Islam sejati, satu persatu bergelimpangan meninggalkan sanjungan sejatinya, Husain putera Fatimah binti Muhammad SAWW. Bintang kejora Ahlul Bait Rasul ini, manusia kelima ashhabulkisa, akhirnya menatap pemandangan sekelilingnya. Wajah-wajah setia pecinta keluarga suci Nabi itu sudah tiada. Dari para pejuang gagah berani itu, yang ada hanyalah onggokan jasad tanpa nyawa. Hari Asyura adalah hari pementasan duka nestapa Ahlul Bait Rasul, hari rintihan sunyi putera Fatimah, hari keterasingan putera Azzahra, hari kehausan dan jerit tangis anak keturunan Nabi.
“Adakah sang penolong yang akan menolong kami? Adakah sang pelindung yang akan melindungi kami? Adakah sang pembela yang akan menjaga kehormatan Rasulullah?” Pinta putera Ali bin Abi Thalib as itu kepada umat kakeknya, Muhammad saww[2]
Rintih pinta cucu Rasul itu tak dijawab kecuali oleh beberapa pemuda Bani Hasyim yang tidak lain mereka adalah keluarga dan kaum kerabatnya. Diantara mereka ada Ali Akbar, putera beliau sendiri. Ali Akbar, remaja yang rupawan, yang wajahnya mirip dengan wajah Rasululah, meminta izin sang ayah untuk maju melawan musuh. Sang ayah mendapati wajah anaknya itu dibinari cahaya spiritual yang amat cemerlang, mengingatkan beliau pada wajah Rasul. Wajah memohon itu direstui tatapan bisu sang ayah. Hanya linangan air mata dan tak sepatah katapun terucap sebagai kata perpisahan untuk pemuda ksatria itu di alam fana. Demi tujuan sebuah yang agung, Imam Husain as harus rela mengorbankan jiwa dan raga putera yang sangat dikasihinya.
Demikianlah, Imam Husain as akhirnya mempersembahkan putera tercintanya, Ali Akbar, sebagai pejuang pertama Bani Hasyim di Karbala. Dalam pertempurannya, Ali Akbar selalu diperhatikan dengan seksama dan penuh ketabahan oleh ayahnya. Dalam keadaan berlinang air mata, imam Husain as berucap:
“Ya Allah, saksikanlah seorang remaja yang paras, perangai, dan tutur katanya paling menyerupai rasul-Mu, kini telah tampil berjuang melawan kaum itu. Kepada wajah remaja inilah kami memandang jika kami sedang merindukan Rasul-Mu.”
Ali Akbar bin Husain as sudah ada di medan laga. Tanpa di duga pasukan musuh, mereka tercengang menyaksikan kepiawaian Ali Akbar dalam berperang. Gerakan dan ketangkasannya dalam bertempur mengingatkan mereka kepada Haidar Al-Karrar alias Ali bin Abi Thalib as yang tenar dengan julukan Singa Allah. Tak sedikit pasukan musuh yang mati menjadi mangsa sambaran pedang Ali Akbar. Namun, saat tenaganya sudah terkuras dan jumlah musuh seakan tak berkurang, Ali Akbar selpat mendatangi sang ayah dan berkata: “Ayah, aku tercekik kehausan sehingga (senjata) besipun kini memberatkanku…”[3]
Imam Husain as menjawab: “Tabahkan dirimu, hai puteraku tercinta. Sesungguhnya Rasulullah tak lama lagi akan memberimu minum yang akan membuatmu tidak akan pernah lagi merasa kehausan.”
Remaja berhati baja itu akhirnya kembali lagi ke medan laga. Namun, keadaannya yang sudah nyaris tanpa daya itu segera dimanfaatkan musuh untuk menghabisi riwayatnya. Maka dari itu, kedatangannya disambut dengan hantaman pedang tepat mengenai di bagian atas kepala Ali Akbar. Darahnya yang mengucur segera disusul dengan sambaran anak panah yang menusuk tubuhnya secara bertubi-tubi. Dalam kondisi fisik yang mengenaskan itu, bibir Ali Akbar mengucapkan kata-kata yang dimaksudkan kepada ayahnya:
“Sekarang aku sudah melihat kakekku yang sedang membawa cawan yang beliau persiapkan untukmu.”[4]
Ali Akbar lalu tergolek di atas kudanya yang berputar-putar ke sana kemari, setelah kehilangan kendali di tengah riuhnya suasana perang. Tubuhnya yang sudah mengenaskan itu, masih sempat dihantam senjata dan dipanah lagi saat kuda yang tak terkendali itu bergerak di sekitar pasukan musuh. Di saat-saat itulah, sambil memanfaatkan sisa-sisa tenaga dan nafasnya, Ali Akbar berucap lagi:
“salam atasmu wahai ayahku, sekarang aku sudah menyaksikan kakekku Rasulullah. Beliau menyampaikan salam kepadamu dan bersabda: ‘Cepatlah datang kepada kami!’”[5]
Kata-kata yang didengar Imam Husain as ini segera disambut dengan kata-kata lantang beliau: “Allah akan membinasakan kaum yang telah membunuhmu!”[6]“Hai orang-orang Kufah, aku berharap, mata kalian kelak akan dipedihkan oleh tangisan, dada kalian akan dibebani rintihan untuk selamanya, dan Allah tidak memberkati kalian, dan Dia akan mencerai beraikan kumpulan kalian.”
Setelah memekikkan kutukan ini, Imam Husain as maju sendiri ke medan perang, menerobos dan membubarkan barisan depan musuh. Beliau mendekati kuda Ali Akbar, dan menggiringnya ke tempat yang aman, lalu menurunkan tubuh penuh luka yang bermandikan darah puteranya itu dari kuda. Tubuh suci direbahkan dalam pelukan hangat beliau. Di situ dada Ali Akbar ternyata masih bergerak. Setelah kelopak matanya terbuka perlahan, bibirnya berucap:
“Ayahku yang mulia, aku sudah melihat pintu-pintu langit terbuka, para bidadari di surga sedang berkumpul sambil membawa cawan-cawan minuman dan memanggil-manggil diriku. Sekarang aku akan pergi ke sana dan membinarkan wajah mereka yang merindukan kedatanganku …”
Ruh Ali Akbar melayang, setelah jasadnya menghembuskan nafas terakhir. Kepergiannya ke alam keabadian, diantar ayahandanya yang mulia dengan kata-kata:
“Adalah sesuatu yang berat bagi kakekmu, pamanmu, dan ayahmu untuk tidak memenuhi permohonanmu.[7]
Imam Husain as membawa jasad putranya yang penuh luka dan menjadi sarang anak panah itu ke arah perkemahan. Sayyidah Zainab segera keluar dari dalam tenda, dan menyambut jasad itu dengan jerit tangis dan ratapan. Jasad itu dipeluknya dengan erat sambil meratap: “Oh kemenakanku. Oh putera kesayangku.” Imam Husain as mengantarkan adiknya itu ke dalam kemah para wanita, lalu kembali memeluk jasad Ali Akbar sambil berucap:
“Puteraku, engkau sudah beristirahat dari kegundahan dan kegetiran hidup di dunia. Kini tinggallah ayahmu seorang diri.” “Innaa lillaahi wa innaa ilahi raaji’uun.”
Musibah Qasim as
Setelah gugurnya Ali Alakbar, Qosim bin Hasan Almujtaba juga memperlihatkan kesetiaannya kepada sang paman, saat sudah mempersiapkan diri untuk berperang, Qasim pergi menghadap pamannya untuk mengajukan sebuah permohonan. “Paman, izinkan aku untuk ikut berperang.” Pintanya. Imam menjawab: “Kamu bagiku adalah cindera mata dari kakakku, bagaimana aku dapat merelakan kematianmu?”
Sikap Imam Husain as ini tidak memudarkan semangat Qasim. Dia tetap memohon lagi agar beliau mengizinkannya untuk bertempur melawan musuh. Namun Imam tetap menahan kepergian Qasim. Remaja tampan ini bersedih, lalu terduduk seorang diri sambil merenung penuh duka cita. Di saat itu, tiba-tiba dia teringat pada pesan ayahnya saat masih hidup, Imam Hasan as., kepada Qasim Imam Hasan pernah berpesan: “Jika nanti suatu penderitaan sedang menimpamu, maka bukalah catatan yang kamu ikatkan dilenganmu, lalu bacalah dan amalkanlah.”[3]
Qasim kemudian berpikir-pikir lagi tentang musibah sedemikian besar yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dari situ dia lantas merasa bahwa sekarang inilah saatnya dia membaca surat wasiat itu. Surat itu dibukanya dan disitu dia mendapatkan pesan ayahnya yang mengatakan:
“Wahai Qasim, aku berpesan kepadamu, jika kamu mendapati pamanmu Husain di Karbala dalam keadaan terasing dan dikerumuni oleh musuh, maka janganlah kamu tinggalkan jihad, janganlah sampai kamu enggan mengorbankan jiwamu demi pamanmu.”[4]
Qasim lalu membawa pesan tertulis itu kepada Imam Husain as. Sang paman terharu, kemudian menangis begitu menyaksikan ciri khas tulisan tangan kakak yang amat dicintainya itu, lalu berkata kepada Qasim:
“Jika ayahmu telah berwasiat demikian kepadamu, maka saudaraku Hasan juga pernah berwasiat satu hal kepadaku, sehingga akupun sekarang harus menikahkan puteriku Fatimah denganmu.” Imam meraih tangan Qasim dan membawanya ke dalam tenda. Beliau bertanya kepada semua orang dan para pemuda yang ada di sekitarnya: “Adakah pakaian bagus untuk aku kenakan kepada Qasim?” Semua orang menjawab tidak.
Lalu Imam meminta adiknya, Sayyidah Zainab, supaya mengambilkan beberapa potong pakaian peninggalan Imam Hasan as dari sebuah peti. Setelah pakaian diserahkan, beliau mengenakan serban dan gamis Imam Hasan itu kepada Qasim, lalu mengakadnikahkan Fatimah dengannya. Begitu selesai, Imam berujar kepada Qasim: “Hai puteraku, adakah sekarang kamu siap melangkah menuju kematian?”[5]
Qasim menjawab: “Entahlah paman, bagaimana aku harus pergi meninggalkanmu seorang diri tanpa pelindung dan kawan, diantara sekian banyak musuh. Yang pasti, jiwaku siap berkorban untuk jiwamu, diriku siap melindungi dirimu.[6]”
Setelah kembali mengajukan permohonan dengan amat sangat untuk berperang, Imam Husain as akhirnya rela melepaskan Qasim berperang melawan musuh. Beliau menyobek serbannya menjadi dua potong, satu untuk beliau pakai lagi untuk serban, selebihnya beliau kenakan dalam bentuk kain kafan. Setelah menyerahkan sebilah pedang kepada Qasim, Imampun melepaskan kepergiannya ke arah musuh yang tak sabar menanti korban-korban suci selanjutnya.
Meski usianya masih belia, Qasim akhirnya mementaskan kehebatan ilmu perang yang dikuasainya di atas gelanggang sejarah Karbala. Sejumlah musuh jatuh bergelimpangan setelah menikmati kerasnya sabetan pedang Qasim.
“Imam Husain bin Ali dari jauh mencoba memberinya semangat, sementara pasukan musuh terus mengerubungi sambil menganiayanya secara bertubi-tubi. Saat mereka hendak memenggal kepalanya, remaja belia itu merintih dan meminta diberi kesempatan untuk mengucapkan suatu wasiat kepada seseorang. Namun, saat dia tidak melihat siapapun di dekatnya kecuali kuda tunggangannya. Maka, ditujukan kepada kudanya dia berkata: “Katakanlah kepada puteri pamanku, sesungguhnya aku terbunuh dalam keadaan dahaga seorang diri. Maka, jika kamu meminum air, ingatlah aku dan ratapilah aku, dan jika (di sini) kamu hendak mewarnai kukumu dengan sesuatu, maka warnailah dengan darahku.”Innnalillahi……
Abul Fadl Abbas
Saat putera-putera ksatria Ali bin Abi Thalib as tidak tersisa lagi kecuali Imam Husain as dan Abu Fadl Abbas, tibalah giliran Abulfadl Abbas. Abbas sang pemegang panji Karbala ini datang menghampiri kakaknya, Imam Husain as dan berkata:”
“Terbunuhya para sahabat dan kerabatku, telah membuatku tak kuasa lagi menahan rasa sabar. Maka izinkan aku untuk membalas darah mereka.”
Abu Fadhl Abbas[1] as adalah pria yang berperawakan tinggi, tegap, dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya Fisik Abbas, sehingga adik Imam Husain as dari lain ibu ini tenar dengan julukan ‘Purnama Bani Hasyim’ (Qamar bani Hasyim).Keberaniann, kehebatan, dan kekuatannya saat itu tak tertandingi oleh siapapun. hingga Imam Ali Zainal Abidin Assajjad as berkata:
“Sesungguhnya Abbas di sisi Allah memiliki kedudukan (sedemikian tinggi) sehingga seluruh para syuhada cemburu menyaksikannya pada hari kiamat.”[2]
Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus pemimpinnya itu, kata-kata yang dia ucapkan kepada beliau adalah: “Kakakku, sudahkah engkau mengizinkan aku?” Pernyataan Sang Purnama ini membuat hati Sang Imam luluh sehingga menangis tersedu dan berkata: “Adikku, engkau adalah pengibar panjiju dan lambang pasukanku.” “Engkaulah pemegang panjiku, namun cobalah engkau carikan seteguk air untuk anak-anak itu.”[5]
Abbas kemudian meraih tombak dan memacu kudanya, sambil membawa girbah (kantung air dari kulit) menuju sungai Elfrat yang seluruh tepinya dijaga oleh sekitar empat ribu pasukan musuh. Begitu Abbas tiba di dekat sungai itu, pasukan musuh segera mengepungnya sambil memasang anak panah yang diarahkan kepada adik Imam Husain as tersebut. Pemandangan seperti itu tak membuatnya gentar. Begitu beberapa anak panah melesat, Abbas segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh. Sekali terjang, pedang Abbas berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemanapun kuda Abbas bergerak, gerombolan musuh bubar dan porak poranda. Akibatnya, penjagaan sungai ElFrat yang berlapis-lapis akhirnya jebol diterjang pendekar Abbas.
Sambil menahan letih dan rasa haus yang mencekiknya, Abbas turun ke sungai dengan kudanya. Mula-mula dia berusaha cepat mengisi girbahnya dengan air. Setelah itu dia meraih air dengan telapak tangannya untuk diminumnya. Namun, belum sempat air itu menyentuh bibirnya, Abbas teringat kepada Imam Husain as dan kerabatnya, yang sedang kehausan menantikan kedatangannya. Air di telapak tangannya langsung dia tumpahkan lagi sambil berucap:
“ Demi Allah! aku tidak akan meneguk air sementara junjunganku Husain sedang kehausan.”[7]
Abbas as kemudian berusaha kembali dengan menempuh jalur lain, melalui tanah yang ditumbuhi pepohonan kurma, agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke tangan Imam. Namun, perjalanan Abbas tetap dihadang musuh. Dia tidak diperkenankan membawa air itu. Kali ini pasukan Umar bin Sa’ad semakin garang. Abbas dikepung lagi. Pasukan yang menghadang di depannya adalah pasukan pemanah yang sudah siap melepaskan sekian banyak anak panah untuk mencabik-cabik tubuh Abbas. Namun, sebelum menjadi sarang benda-benda tajam beracun itu, dengan tangkasnya pedang Abbas menyambar setiap musuh di depannya. Sejurus kemudian kepungan musuh kembali porak-poranda diobrak-abrik Abbas.
Menyaksikan kehebatan Abbas yang tidak bisa dipatahkan dengan berhadapan langsung itu, beberapa pasukan yang handal dalam berkuda diperintahkan untuk bekerjasama menghabisi Abbas dengan cara menyelinap dan bersembunyi di balik pepohonan kurma. Saat Abbas lewat, dua pasukan musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang juga bersembunyi di balik pohon, segera muncul sambil menghantamkan pedangnya ke tangan Abbas. Tangan kanan Abbas putus dan terpisah dari tubuhnya. Tangan kirinya segera menyambar girbah air dan pedangnya. Dengan satu tangan dan sisa-sisa tenaga itu, Abbas masih bisa membalas beberapa orang pasukan hingga tewas. Abbas as tetap berusaha bertahan dan menyerang walaupun badannya sudah lemah akibat banyaknya keluar darah. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba muncul dari balik pohon sambil mengayunkan pedangnya ke arah bahu Abbas. Abbas tak sempat menghindar lagi. Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anak keturunan Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus. Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain ini mencoba meraihnya kantung air dengan menggigitnya. Akan tetapi, kebrutalan hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air itu pun mengucur habis seiring dengan habisnya harapan Abbas. Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satu lagi anak panah ke dada Abbas. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi sambil memukulkan besi ke ubun-ubun Abbas. Abbas pun terjatuh dari atas kuda sambil berteriak kesakitan yang ditujukan kepada kakaknya: “Wahai kakakku, temuilah aku!” Dengan penggalan nafas yang masih tersisa, Abbas berucap lagi untuk kakaknya: “Salam atasmu dariku, wahai Abu Abdillah.”[9]
Suara dan panggilan Abbas ini terdengar oleh Imam Husain as, sehingga beliaupun berangkat ke arah Abbas sambil berteriak-teriak: “Dimanakah engkau?” AlHusain tidak mendapatakan jawaban dari Abbas. AlHusain as tiba-tiba dapat jawaban dari kuda yang tadi ditunggangi Abu Fadhl Abbas yang diberi nama Dzul Janah itu. kuda Abbas berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak melihat ke tanah?”[10]
Imam lantas melihat ke tanah, tampaklah di depan mata beliau dua pasang tangan tergeletak di atas tanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari situ pula, Imam melihat tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan penuh luka bersimbah darah. Imam pun tak kuasa menahan duka. Beliaupun menangis tersedu-sedu.
“Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.” Ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abbas. Di tengah isak tangisnya, Imam juga berucap kepada Abbas: “Adikku Abbas, Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan,. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”[11]Jasad Abbas yang tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar, bersuara lirih: “Kakakku Husain, tolong! jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal memenuhi janjiku untuk membawakan air untuk anak-anak kecil itu, aku adalah pemegang panji sayap tengah. Jika orang-orang di perkemahan sana tahu, bahwa aku telah terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”Imam Husain as kembali mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersimbah darah itu. Air mata Abbas yang mengalir beliau usap. “Mengapa engkau menangis wahai Abbas?” Tanya Imam. “Wahai kakakku, wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan menangis, saat aku melihatmu mengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkanku dalam pangkuanmu, sementara tak lama lagi tidak akan ada seorangpun yang akan meraih dan mendekap kepalamu, tidak ada seorangpun yang akan membersihkan debu-debu dan tanah di wajahmu.” Kata-kata Abbas ini semakin meluluhkan hati Imam Husain as, sehingga beliau semakin terbawa derai isak dan tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik mentari yang membakar. Dengan hati yang pilu, Sang Imam mengucapkan salam perpisahan kepada tulang punggung pasukannya yang sudah tak berdaya itu, lalu beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat. Abbas pun gugur tergeletak bermandikan darah, beralaskan debu, dan di bawah guyuran cahaya panas mentari sahara
Begitu tiba di tenda tempat beliau tinggal, Imam yang masih tak kuasa membendung derai air mata duka, segera disambut dengan pertanyaan dari puterinya, Sukainah. “Ayah, bagaimanakah dengan nasib pamanku? Bukankah dia telah berjanji kepadaku untuk membawakan air ? bukankah pamanku tidak mungkin ingkar janji?”
Ali Ashgar
Setelah para pemuda dan para pengikutnya sudah terbunuh, Imam Husain as akhirnya mempersiapkan diri untuk mengorbankan jiwa dan raganya.Di saat-saat terakhir itu, Imam Husain as mendatangi tenda satu persatu. Beliau panggil anak-anak beliau. Beliau meminta mereka untuk tabah dan sabar. “Hai para pelipur hatiku sekalian, “Allah tidak akan berpisah dengan kalian di dunia dan akhirat. Ketahuilah! dunia ini tidaklah abadi. Akhiratlah tempat persinggahan yang abadi.” Imam Husain as kemudian menumpahkan segala rahasia kepemimpinan (imamah) kepada putera yang kelak mewarisi kepemimpinannya, Ali Zainal Abidin Assajjad as.
Imam Husain as antara lain berkata: “Pusaka-pusaka para nabi, washi, dan kitab suci, aku serahkan kepada Ummu Salamah, dan semuanya akan diserahkan (kepadamu) sepulangmu dari Karbala.”
Imam lalu mendekati adiknya, Zainab AlKubra as dan meminta supaya diambilkan gamisnya yang sudah lama dan usang. Dengan wajah yang dipenuhi penderitaan dan duka cita, Sayyidah Zainab mencarikannya kemudian menyerahkannya kepada Imam. Beliau mengenakannya setelah sebagian beliau sobek kemudian diikatkan kuat-kuat sebagai tali yang mengikat gamis itu dengan tubuhnya agar tak mudah lepas atau dibuka oleh orang lain. Gerakan Sang Imam yang diiringi oleh ratapan dan tangisan anggota kerabat yang ada di sekitarnya, seiring dengan jerit tangis bayi mungil Ali al-Asghar, putera beliau yang masih berusia enam bulan. Bayi itu menjerit-jerit menahan dahaga setelah sekian lama tidak mendapatkan tetesan air susu dari ibunya, yang juga sudah lama tercekik kehausan.Tak tega mendengar tangisan itu, Imam meminta puteranya yang masih bayi itu supaya diberikan kepada beliau. Bayi itu diserahkan kepada beliau oleh seorang wanita bernama Qandaqah. Beliau meraih bayi itu lalu menciuminya sambil berucap: “Alangkah celakanya kaum ini sejak mereka dimusuhi oleh kakekmu.” Bayi bernama Ali Asghar itu beliau bawa ke depan barisan pasukan musuh, dan memperlihatkannya kepada mereka untuk menguji, adakah diantara mereka yang masih menyisakan jiwa dan perasaan mereka sebagai manusia.: “Ya Allah, hanya inilah yang tertinggal dariku, dan jiwanyapun rela aku korbankan di jalan-Mu” Beliau lalu menatap wajah-wajah manusia durjana di depannya. Bayi itu beliau junjung ke atas sambil berseru:
“Hai para pengikut keluarga Abu Sufyan, jika kalian menganggapku sebagai pendosa, lantas dosa apakah yang diperbuat oleh bayi ini sehingga setetes airpun tidak kalian berikan untuknya yang sedang mengerang kehausan.”
Tidak seorangpun diantara manusia iblis itu yang tersentuh oleh kata-kata beliau. Yang terjadi justru keganasan yang tak mengenal sama sekali rasa kasih sayang. Seorang berhati srigala bernama Harmalah bin Kahil Al-Asadi, diam-diam mencantumkan pangkal anak panahnya ke tali busur, lalu menariknya kuat-kuat. Tanpa ada komando, benda yang ujungnya runcing melesat ke arah bayi Ali Asghar. Tidak sampai satu detik, kemudian bayi malang itu, menggelepar di atas telapak tangan Imam Husain as. Sang ayah yang tak menduga akan mendapat serangan sesadis itu, sehingga tak sempat berkelit atau melindunginya dengan cara apapun. Beliau tak dapat berbuat sesuatu hingga bayi itu diam tak berkutik. Ali Ashgar telah menemui ajalnya dalam kondisi yang mengenaskan. Darah segar mengucur dari lehernya hingga menggenangi telapak tangan ayahnya. Dengan demikian, lengkaplah penderitaan Imam Husain as.
Dengan hati yang tersayat-sayat, beliau melangkah kelbali ke arah perkemahan. Beliau menggali lubang kecil untuk tempat persemayaman jasad suci Ali Asghar. Dari langit beliau mendengar suara bergema: “Biarkanlah dia gugur, wahai Husain, sesungguhnya di surga sudah menanti orang yang akan menyusuinya.”[2]
15. Perpisahan Terakhir
Detik-detik terakhir kehidupan Imam Husain as telah semakin berdetak keras. kepada kaum wanita, keluarga dan kerabatnya, beliau yang siap menyongsong kesyahidan itu berkata:
“Kenakanlah gaun duka cita kalian. Bersiaplah menanggung bencana dan ujian. Namun, ketahuilah bahwa Allah adalah Penjaga dan Pelindung kalian. Dia akan menyelamatkan kalian dari keburukan musuh, mendatangkan kebaikan dari persoalan yang kalian hadapi, mengazab musuh dengan berbagai macam siksaan, dan akan mengganti bencana kalian dengan berbagai macam kenikmatan dan kemuliaan. Maka janganlah kalian mengeluh dengan rintihan dan kata-kata yang dapat mengurangi keagungan kalian.” [1]
Imam menatap wajah puterinya satu persatu sambil berkata: “Sukainah, Fatimah, Zainab, Ummu Kaltsum, salamku atas kalian. Inilah akhir pertemuan kita, dan akan segera tiba saatnya kalian dirundung nestapa.”[2]
Sang Imam kemudian bergerak untuk menjejakkan kakinya seorang diri menuju gerombolan musuh yang sudah haus akan darah beliau. Namun, gerakannya tertahan lagi oleh sisa-sisa jerit tangis anak-anak yang menahan dahaga. “Tak usah kalian menangis, demi kalian jiwaku akan aku korbankan.”
Kepada adiknya, Hazrat Zainab as, beliau berpesan:
“Aku titipkan anak-anak dan kaum wanita ini kepadamu. Jadikanlah kamu sebagai ibu mereka sepeninggalku, dan tak perlu engkau mengurai-uraikan rambutmu (sebagai luapan dukacita) atas kepergianku. Apabila anak-anak yatimku merindukan ayahnya, biarlah puteraku Ali yang akan tampil sebagai ayah mereka.”
AlHusai kemudian mengendarai Dzul Janah, kuda yang sebelumnya ditunggangi oleh Abul adhl Abbas as. Anak-anak kecil dan kaum wanita tetap tak kuasa menahan ratapan duka lara. Gerakan Imam diiringi raung tangis mereka. Sebagian tersimpuh sambil memeluk kaki kuda imam.sambil memanggi-manggil: “Ayah! Ayah!” Panggil puteri beliau yang masih berusia tiga tahun. “Aku haus, aku haus! Mau kemana engkau ayah? Lihatlah aku, ayah. Aku sedang kehausan.”
Hati Sang Imam kembali menjerit. Imam sempat tersedu menahan tangis, tetapi kemudian tetap menarik kendali kudanya menuju laskar iblis Bani Umayyah. terjadilah duel satu lawan satu.. Akibatnya, satu persatu lawan-lawan beliau dalam duel bergelimpangan menjadi korban hantaman pedang beliau. Umar bin Sa’ad lantas berteriak kepada pasukannya: “Tahukah kalian dengan siapakah kalian hendak bertarung?!”
Umar bin Sa’ad rupanya baru menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan bukan sembarang orang, termasuk untuk urusan ini. Dia adalah putera pendekar Islam, Imam Ali bin Abi Thalib as. Dia adalah putera ksatria yang dijuluki dengan Haidar Al-Karrar, Singa Yang Pantang Mundur. Dia adalah putera si pemilik pedang Dzulfikar yang telah banyak menghabisi benggolan-benggolan pendekar kaum kafir dan musyrik. Dia adalah putera yang mewarisi semua kehebatan ayahnya. Karenanya, tak mengherankan jika Imam Husain as tak tertandingi oleh siapapun dalam pertarungan secara ksatria. Oleh sebab itu, begitu beliau tidak bisa dirobohkan dengan cara-cara jantan, pasukan musuh akhirnya mengepung beliau yang sendirian dari segenap penjuru. Mereka sudah siap merenggut nyawa beliau dengan cara mengeroyok habis-habisan.
Hati musuh sama sekali sudah buta dan tak mengenal belas kasih. Dalam perlawanan sekuat tenaga itu, tubuh Imam Husain as terpaksa semakin bermandikan darah saat tombak-tombak dan panah musuh ikut mengambil daya pertahanan beliau.
Dari arah kemah para wanita, sayyidah Zainab tak kuasa menahan diri menyaksikan kakaknya menjadi sasaran pembantaian seganas itu. Wanita agung menjerit-jerit mengadukan penderitaan kepada kakek, ayah, dan pamannya yang sudah bersemayam di alam keabadian.
“Oh Muhammad! Oh Ayah! Oh Ali! Oh Jakfar!” Ratap Zainab tersedu-sedu. “Alangkah baiknya seandainya langit ini runtuh menimpa bumi! Alangkah baiknya seandainya gunung-gunung ini berhamburan menimpa sahara.”[6]
Puteri Fatimah Azzahra as mencoba mendekati ajang pembantaian kakaknya. Di saat yang sama, manusia biadab Umar bin Sa’ad dan gerombolannya bergerak menuju perkemahan keluarga dan rombongan Imam Husain as. Di saat tubuh Imam roboh dan nafasnya sudah tersengal-sengal menanti ajal, gerombolan manusia liar itu mengobrak-abrik perkemahan anak keturunan Rasul tersebut. Mereka melakukan aksi pembakaran, merampasi harta benda, dan menangkapi dan menggiring kaum wanita dan anak-anak kecil sebagai tawanan.
Sayyidah Zainab berteriak kepada Umar bin Sa’ad: “Hai Umar, apakah Abu Abdillah terbunuh dan kamu menyaksikannya sendiri?!” Entah mengapa, kata-kata wanita pemberani ini tiba-tiba menggedor perasaan putera Sa’ad itu sehingga tak berani menjawabnya dengan bentakan. Bagai binatang pandir, dia tak berani menjawab atau menatap wajah Zainab. Dia memaling muka.[7]
Zainab berteriak lagi: “Adakah seorang Muslim diantara kalian?!” Tak seorangpun menjawabnya. Saat gerombolan itu dibungkamkan oleh kata-kata Hazrat Zainab, tubuh Imam Husain as yang masih bernafas, tiba-tiba bangkit lalu menerjang beberapa pasukan yang ada di dekatnya sehingga mereka mundur.
Setelah berusaha melakukan perlawanan sekian lama di depan pesta pembantaian itu, Imam Husain as mencoba menjauh dari pasukan lawan untuk mengatur nafas. Namun, tiba-tiba sebuah batu melayang dari arah musuh dan mengena kepala beliau. Darahpun mengucur deras lagi. Belum selesai beliau mengusap darahnya yang suci itu, dada beliau diterjang sebuah anak panah bermata tiga. Tertembus panah beracun itu, beliau berucap: “Bismillahi wa billahi wa ‘ala millati rasulillah.”Beliau menatap langit dan berdesah lagi:” Ilahi, sesunggungnya Engkau mengetahui, mereka telah membunuh seseorang di muka bumi yang tak lain adalah putera Nabi.”[9]
Di saat beliau semakin kehabisan tenaga itu, beliau mencabut anak panah itu dari dadanya. Darah kembali menggenang. Sebagian beliau hamburkan ke atas dan sebagian yang lain beliau usapkan ke wajahnya sambil berucap: “Beginilah aku jadinya hingga aku bertemu dengan kakekku Rasulllah dalam keadaan berlumuran darah, lalu aku adukan kepada beliau: fulan, fulan telah membunuhku.”[10]
Setelah itu sempat terjadi keheningan beberapa saat. Untuk sementara waktu masih belum ada seorangpun yang berani tampil sebagai pembunuh utama cucu Rasul itu di depan Allah SWT kelak. Diriwayatkan, bahwa saat itu pula tiba-tiba Imam Husain as didatangi bayangan wajah kakek dan ayahnya. Wajah-wajah suci itu bertutur kepada beliau: “Cepatlah kemari, sesungguhnya kami sangat merindukanmu di surga.”[12]
Keheningan itu ternyata tak berlangsung lama. Umar bin Sa’ad kembali buas dan memerintahkan anak buahnya untuk segera menghabisi Imam Husain. Maka tampillah Shabats sebagai orang pertama yang berani mendaratkan mata pedangnya ke kepala Imam Husain as. Namun, saat mata Imam menatap tajam wajah Shabats, tubuh pria ini tiba-tiba gemetaran lalu menggigil keras sehingga pedang yang ditangannya terhempas ke tanah. Dengan wajah pucat pria itu berkata kepada Umar bin Sa’ad: “Hai Putera Sa’ad, kamu tidak mau membunuh sendiri Husain agar nanti akulah yang akan dibalas. Tidak. Aku tidak mau bertanggujawab atas darah Husain.”
Syabats segera ditegur oleh seseorang bernama Sannan bin Anas. “Kenapa kamu tidak jadi membunuhnya?!” Tanya Samnan ketus.
Syabats menjawab: “Dia menatap wajahku, Sannan! Kedua matanya menyerupai mata Rasulullah. Sungguh, aku segan membunuh seseorang yang mirip dengan Rasul.”
Sannan dengan congkaknya berkata: “Berikan kepadaku pedangmu itu, karena akulah yang lebih patut untuk membunuhnya.” Begitu pedang itu pindah ke tangannya, Sannan segera menenggerkannya di atas kepala beliau. Imam yang sudah tak berdaya itu kembali menatap wajah orang yang berniat menghabisinya itu. Seperti yang dialami, Syabats, tubuh Sannan yang kotor itu tiba-tiba juga menggigil ketakutan setelah ditatap Imam dengan tajam. Sannan mengambil langkah mundur sambil berucap: “Aku berlindung kepada Tuhannya Husain dari pertemuan dengan-Nya dalam keadaan berlumuran darah Husain.”
Kini tibalah giliran Syimir bin Dziljausan. Pria yang menutupi wajah, dan hanya menyisakan celah untuk matanya ini menghampiri Sannan sambil mengumpat. “Semoga ibumu meratapi kematianmu, kenapa urung membunuhnya!?” Maki Syimir.
Sambil menyeringai Syimir berseru: “Berikan pedang itu kepadaku. Demi Allah, tak ada seorangpun yang lebih layak dariku untuk membunuh Husain. Akulah yang akan menghabisinya, walaupun dia mirip Al-Mustafa ataupun Al-Murtadha.”
Syimir berpaling ke arah pasukannya lalu membentak: “Hai, tunggu apa lagi?! Cepat bunuh dia!!” Tanpa basa-basi lagi, satu anak panah melesat ke arah Imam Husain dari Hissin bin Numair. Sejurus kemudian yang lain ikut ramai-ramai menghajar Imam Husain sehingga tak ada anggota tubuh suci cucu Rasul itu yang luput dari hantaman benda tajam, dan benda tumpul. Batu-batupun bahkan ikut meremukkan tubuh beliau.
Syimir bersumbar lagi sambil tertawa terbahak-bahak : “tak ada orang yang lebih patut dariku untuk membunuh Husain”. Dia bergerak mendekati Imam Husain yang terbaring di tanah lalu menduduki dada Imam Husain as yang masih bergerak turun naik. Imam mencoba membuka kedua kelompak matanya dan menatap wajah Syimir yang menyeringai di depan wajah beliau, namun tatapan beliau kali ini tak meluluhkan hati Syimir yang sudah sangat membatu. Bukannya ketakutan, dari mulut Syimir yang tertutup kain itu malah keluar kata-kata:
“Aku bukanlah seperti mereka yang mengurungkan niat untuk membunuhmu. Demi Allah, akulah yang akan menceraikan kepalamu dari jasadmu, walaupun aku tahu kamu adalah orang yang paling mulia karena kakek, ayah, dan ibumu itu.”
“Hai siapa kamu sehingga berani menduduki tubuh yang sering diciumi oleh Rasul ini?”
“Aku Syimir bin Dzil Jausyan!”
“Apakah kamu tahu siapa aku?”
“Aku tahu persis. Ayahmu adalah Ali Al-Murtadha, ibumu Fatimah Azzahra, kakekmu Muhammad al-Mustafa, dan nenekmu Khadijah Al-Kubra.”
“Alangkah celakanya kamu. Kamu tahu siapa aku, tetapi mengapa akan membunuhku dengan cara seperti ini?”
“Supaya aku bisa mendapat imbalan besar dari Yazid bin Muawiah.”
“Kamu lebih menyukai imbalan dari Yazid daripada syafaat kakekku?”
“Yah, aku lebih menyukai imbalan Yazid.”
“Karena tidak ada pilihan lain bagimu kecuali membunuhku, maka berilah aku seteguk air.”
“Oh tidak! Itu tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa meneguknya sebelum kamu meneguk kematian.”
Syimir kemudian menyingkap dan melepas kain penutup muka yang hanya menyisakan celah untuk kedua matanya yang juling itu. Maka, nampaklah seluruh wajah Syhmir yang buruk, kasar, belang, dan ditumbuhi bulu-bulu keras itu. Mulutnya ditutup oleh penutup seperti penutup mulut anjing supaya tak menggigit. Melihat wajah Syimir, Imam Husain as segera berucap:
“Benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah.”
“Apa yang dikatakan kakekmu itu?!” Tanya Syimir angkuh. “Kakekku pernah berkata kepada ayahku, Ali: ‘Sesungguhnya puteramu ini akan dibunuh oleh seseorang yang berkulit belang, bermata juling, bertutup mulut seperti anjing, dan berambut keras seperti bulu babi.”
“Kakekmu telah menyamakanku dengan anjing?! Demi Allah, aku Pisahkan kepalamu dari lehermu.”
Syimir mencabut pedang dari sarungnya dan tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki bengis mengayunkan pedangnya kuat-kuat ke leher cucu Rasul dan putera Fatimah Azzahra itu. Sekali tebas, kepala manusia mulia terlepas dari badannya. Terpisahnya kepala manusia suci itu disusul dengan suara takbir tiga kali dari liang mulut balatentara Umar bin Sa’ad yang busuk itu. Kepala yang dulu sering diciumi oleh Rasulullah SAWW itu ditancapkan ke ujung tombak.
Langitpun kelabu. Bumi meratap pilu.
“Salam atas putera Nabi Putera Terakhir, salam atas putera pemuka para washi, salam atas putera Fatimah Azzahra, salam atas putera Khadijah Al-Kubra, salam atas putera Sidaratul Muntaha, salam atas putera surga Al-Ma’wa, salam atas putera Zamzam dan Safa, salam atas dia yang telah bermlumuran darah bercampur debu, salam atas dia yang kemahnya telah dihujani anak panah, salam atas orang kelima penghuni Al-Kisa’, salam atas dia, orang yang paling terasing, salam atas pemuka para syuhada, salam atas manusia yang ditangisi oleh para malaikat di langit, salam atas manusia yang selalu didatangi oleh orang-orang yang menderita. Salam atas bibir-bibir yang kekeringan, salam atas jasad-jasad yang terlucuti, salam atas kepala-kepala yang terpenggal, salam atas wanita-wanita yang tertawan, salam atas hujjah Allah.”
Salam kepad jasad yang berlumuran darah. Salam kepada jasad yang dihiasi anak panah. Salam kepada jasad tanpa kepala. Salm kepada jasad yang diinjak-injak ribuan kaki kuda. Salam kepada kepala yang membaca ayat-ayat-Nya. Salam kepada manusia ashhabulkisa. Salam kepada Aba Abdillah Al-Husain. Salam kepada Ali putra Al-Husain. Salam kepada putra-putra Al-Husain. Salam kepada sahabat-sahabat Al-Husain.
Sekarang, mari kita lihat perpisahan AlHusain dengan kuburan datuknya di Madinah, sebelum AlHusain brangkat ke Karbala. AlHusain selalu habiskan malam-malam terakhir di kota datuknya itu untuk mendatangi dan berziarah serta mengadukan kepada Rasulullah saw permasalahan yang sedang beliau hadapi. Sehingga suatu malam ketika beliau berziarah ke kuburan datuknya, beliau melihat sinar yang memancar dari kuburan suci datuknya. Al-Husain mengucapkan salam :
Salam bagimu wahai Rasulullah, aku adalah al-Husain bin Fatimah putramu dan putra dari putrimu yang kau tinggalkan aku pada umatmu. Saksikanlah atas mereka wahai nabi Allah! Sesungguhnya mereka membiarkanku dan tidak menjagaku. Inilah pengaduanku kepadamu sehingga aku bertemu denganmu kelak.Kemudian al-Husain melaksanakan ruku dan sujud di atas pusara datuknya .Beliau juga mengadukannya kepada Allah Swt…
Ya Allah, sesungguhnya ini adalah kuburan Nabi-Mu Muhammad saww, dan aku adalah putra dari putrid Nabi-Mu, sungguh telah datang kepadaku sebuah kewajiban yang aku ketahui.Ya Allah, aku memohon kepda-Mu wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, dengan haq kuburan ini dan yang ada di dalamnya, agar Engkau memilihku apa-apa yang Engkau Ridloi dan Rasul-Mu meridloinya. Kemudian Al-Husain menangis, ketika menjelang subuh, al-Husain meletakkan kepala sucinya di atas pusara datuknya, kemudian tertidur. Dalam tidurnya, Al-Husain melihat Rasulullah saww yang dikitari oleh para malaikat, lalu didekapnya Al-Husain ke dada Rasulullah, kemudian Rasulullah menciumi kedua mata Al-Husain, sambil berkata :
Kasihku Ya Husain, seakan-akan aku melihatmu dari dekat berlumuran dengan darah,disembelih di bumi Karbala oleh kesukuan umatku, sedangkan engkau dalm keadaan haus, tidak ada seorangpun yang memberi minum. Lalu mereka berharap akan syafaatku?!Demi Allah, syafatku tidak akan sampai kepada mereka di hari kiamat nanti. Kasihku ya Husain, sesungguhnya ayahmu, ibumu dan saudaramu telah berkumpul bersamaku, mereka semua rindu kepadamu.
Kemudian al-Husain menangis dan berharap kepada datuknya agar ia membawanya ke dalam kubtr. Akan tetapi Rasulullah meninggalkannya sendirian dalam keadaan sedih, Rasul berkata : wahai Husain, engkau harus mendapatklan kesyadidan agar mendapatkan kedudukan yang agung di sisi Allah. Sesungguhnya engkau, pamanmu, dan paman ayahmu akan dikumpulkan di akhirat kelak dalam satu tempat sampai dimasukkan ke dalam surga. kemudian al-Husain terbangun dari tidurnya.
Itulah perpisahan AlHusain dengan pusara datuknya, beliau begitu berat meninggalkan kota yg di dalamnya terdapat kuburan manusia suci yang dicintainya. Yang pada akhirnya beliaupun berangkat dengan membawa kerabat-kerabatnya dan para sahabtanya yang setia. Beliau tempuh perjalanan berhari-hari bahkan berbulan-bulan mengarungi dusun dan kota yang begitu melelahkan, hingga tibalah al-Husain beserta rombongan di padang Karbala, kamis 2 Muharrom 61 H. Ketika beliau tiba di padang ini, kuda yang beliau tunggangi tiba-tiba berhenti. Kuda itu tetap bergeming dan memaku kendati beliau sudah menarik tali kekangnya kuat-kuat agar beranjak dari tempatnya berdiri. Beliau lalu mencoba menunggangi kuda lain, namun hasilnya tetap sama, kuda kedua itu juga tak menggerakkan kakinya. Karena itu, Imam Husain as nampak mulai curiga sehingga bertanya: “Apakah nama daerah ini?” Al-Ghadiriyyah. Jawab salah seorang sahabtnya. Ada nama lain? Tanyanya lagi. Nainawa. Mereka menjawab. Ada nama lain? Tanya al-Husain lagi, Nainawa, jawab mereka. Imam Husain tertegun sambil meneteskan air mata dan menatap sang surya yang terik panasnya menyengat setiap rombongannya yang telah kehausan, beliau berkata : kami berlindung kepada Allah dari duka dan nestapa, inilah tempat duka dan nestapa, turunlah kalian semua. Disinilah tempat pemberhentian kita, disinilah tempat tertumpahnya darah kita, dan disini pula tempat kuburan-kuburan kita. Inilah tempat yang diceritakan datukku Rasulullah saww, Karbun wa Bala (duka dan nestapa).
Sementara itu, Ubaidillah bin Ziyad sudah mendapatkan laporan, bahwa Imam Husain as beserta rombongannya sudah berada di Karbala. Dia mengirim surat kepada beliau berisikan desakan agar beliau membaiat Yazid. Ubaidillah mengancam Imam Husain as dengan kematian jika tetap menolak memberikan baiat.
Imam Husain as membaca surat itu kemudian melemparkannya jauh-jauh sambil berkata kepada kurir Ubaidillah, bahwa surat itu tidak akan dibalas oleh beliau. Ubaidillah murka setelah mendengar laporan sang kurir tentang sikap Imam Husain ini. Dipanggilnya Umar bin Sa’ad, orang yang sangat mendambakan jabatan sebagai gubernur di kota Rey agar membunuh AlHusain. Lasykar-lasykar Umar bin Sa’adpun mulai digerakkan dan mulai mengepung serta menghadang setiap penjuru, termasuk sungai Furat yang melintang di sekitar sahara Karbala.
Imam Husain as melihat situasi seperti itu, akhirnya beliau menyampaikan pesan kepada Umar bin Sa’ad bahwa beliau ingin bertemu dengannya. Umar setuju. Maka, diadakanlah sebuah pertemuan antara keduanya. Umar bin Sa’ad ditemani 20 orang dari pasukannya sebagaimana Imam Husainpun ditemani oleh 20 pengikutnya. Namun, di tengah pertemuan ini keduanya memerintahkan semua pengikutnya itu untuk keluar dari ruang pertemuan kecuali dua orang dari mereka masing-masing. Dari pihak Imam Husain yang dizinkan untuk terus terlibat dalam pertemuan adalah Abbas dan Ali Akbar as, sedangkan dari pihak Umar bin Sa’ad yang diperbolehkan tinggal adalah puteranya, Hafs, dan seorang budaknya.
Dalam pertemuan 6 orang ini, terjadilah dialog :
Imam Husain as: “Hai putera Sa’ad, adakah kamu tidak takut kepada Allah, Tuhan yang semua orang akan kembali kepada-Nya. Kamu berniat memerangiku walaupun kamu tahu aku adalah cucu Rasulullah, putera Fatimah Azzahra, dan Ali. Hai putera Sa’ad, tinggalkanlah mereka (Yazid dan pengikutnya) itu, dan kamu lebih baik bergabung denganku karena ini akan mendekatkanmu dengan Allah.”
Umar bin Sa’ad: “Aku takut mereka menghancurkan tempat tinggalku.”
Imam Husain as: “Aku akan membangunnya kalau mereka merusaknya.”
Umar bin Sa’ad: “Aku takut mereka merampas kebunku.”
Imam Husain as: “Kalau mereka merampasnya, aku akan menggantinya dengan yang lebih baik.”
Umar bin Sa’ad: “Aku punya keluarga dan sanak famili, aku takut mereka disakiti.”
Imam Husain as terdiam dan tak mau menyambung jawaban lagi. Sambil bangkit untuk keluar meninggalkan ruang pertemuan, beliau berucap: “Allah akan membinasakanmu di tempat tidurmu. Aku berharap kamu tidak akan dapat memakan gandum di Ray kecuali sedikit.”
Dengan nada mengejek, Umar bin Sa’ad menjawab: “Kalau aku tidak dapat menyantap gandumnya, barley-nya sudah cukup bagiku.” Imam Husain as kemudian pergi meninggalkan Umar bin Sa’ad tanpa membawa hasil apapun dari pertemuan tersebut. Umar bin Sa’ad memang dikenal sebagai pria pandir, pengkhianat, dan pendusta.
Hari keenam di sahara Karbala, lasykar demi lasykar terus dikerahkan oleh Ubaidillah bin Ziyad hingga jumlah seluruh pasukan yang terkumpul mencapai dua puluh ribu orang. Pasukan besar ini semakin mempersulit keadaan AlHusain hingga persediaan air minum beliau habis dan dahaga mulai mencekik leher beliau serta rombongan yang bersamanya. Terik mentari semakin panas, membakar setiap orang yang ada di dalam tenda. Suara tangis anak-anak dan bayi dari dalam tenda sudah mulai terdengar, detik-demi detik terus bergulir, hingga mentari masuk di ufuk barat, siang diganti malam, suasana malam dengan angin kencang yang membuat orang yang ada di dalam tenda kedinginan. Esok harinya,
hari ketujuh di sahara Karbala salah seorang sahabat AlHusain melihat keadaan terus seperti itu, tidak kuat untuk melihatnya. yang pada akhirnya ia yang bernama Nafi bin Hilal Al-Jamali meminta izin kepada sang Imam untuk mengambilkan air dari Furat, ia adalah pahlawan kesatria Karbala yang dikenal sebagai perawi hadist, qori dan sahabat dekat Imam Ali as. Kesetiaannya kepada Ahlil Bait telah ia tunjukkan dalam perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan di bawah panji Ali bin Abi Thalib. Ia pun meneruskan kesetiaannya kepada Ahlul Bait di padang Karbala bersama Al-Husain. Nafi bin Hilal al-Jamali mendatangi pasukan musuh yang sedang menjaga sungai Furat sambil membawa bendera. Ia dapat menembus benteng penjaga sungai Furat. Kemudian berteriaklah salah seorang dari pasukan musuh Allah bernama Umar bin Hajjad : siapa lelaki itu? Dijawabnya : kami datang untuk meminum air yang kalian larang kami meminumnya. Umar bin Hajjd berkata lagi : minumlah sekenyangmu, tetapi jangan kau berikan kepada Husain setetespun. Nafi berkata : tidak! Demi Allah, aku tidak akan meminumnya setetespun sedang al-Husain beserta keluarganya dan para sahabatnya kehausan. Akhirnya Nafi menerobos pasukan musuh dan berhasil mengisi kantung air dari sungai Furat, setelah pedangnya diayunkan ke kanan dan ke kiri. Ketika Nafi hendak meminumnya, tampaklah dalam diri Nafi wajah cucu Rasulullah yang kehausan, wajah wanita dan anak-anak yang tak berdosa.lalu ia mengurungkan niatnya dan melemparkan air yang ada di tangannya. Bergeraklah Nafi menuju kemah al-Husain sambil membawa kantung yang berisi air. Beberapa pasukan musuh dapat dirobohkan, kini tinggallah Nafi untuk keluar dari barisan pengepungan dengan membawa sekantung air, pedang musuh mengenai tangan kanan dan kirinya, dengan kudanya ia tekan kantung air sambil menggigit pelana kudanya. Tiba-tiba kantung air itu terkena anak panah, dan dibiarkan Nafi menuju ke kemah Al-Husain dalam keadaan tak berdaya dengan kantung yang lubang oleh anak panah. Dihadapan Imam Husain, Nafi yang tak berdaya berucap : Wahai imam, sudahkan kutunaikan tugasku?! Imam Husain menciuminya dan Nafi Syahid dipangkuan Imam. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un….berbahagialah engkau wahai Nafi, bisa syahid dipangkuan al-Husain…..
Hari Tasyu’a (kesembilan) Detik-detik masa di padang Karbala terus bergulir. Kamis 9 Muharram, Matahari semakin menyengat setiap orang-orang yang berada di dalam kemah pasukan Alhusain. Sementara itu, Umar bin Sa’ad mendatangi pasukannya dan berseru: “Wahai lasykar Allah, tunggangilah kuda-kuda kalian! Semoga surga membahagiakan kalian.”
Pasukan Umar segera mengendarai kuda dan bergerak ke arah daerah perkemahan Imam Husain as. Saat itu, Imam Husain as sedang duduk tertidur dalam posisi merebahkan kepala di atas lututnya. Beliau terjaga saat didatangi adindanya, Zainab Al-Kubra as yang panik mendengar suara ribut ringkik dan derap kaki kuda, berkata kepada abangnya:“Kakanda, adakah engkau tidak mendengar suara bising pasukan musuh yang sedang bergerak menuju kita?!”
Imam Husain as menjawab: “Adikku, aku baru saja bermimpi melihat kakekku Rasalullah, ayahku Ali, ibundaku Fatimah, dan kakakku Hasan. Mereka berkata kepadaku: ‘Hai Husain, sesungguhnya kamu akan menyusul kami.’[2] Rasulullah juga berkata kepadaku: ‘Hai puteraku, kamu adalah syahid keluarga Mustafa, dan semua penghuni langit bergembira menyambut kedatanganmu. Cepatlah datang kemari karena besok malam kamu harus berbuka puasa bersamaku, dan sekarang para malaikat turun dari langit untuk menyimpan darahmu dalam botol hijau ini.’”
Mendengar kata-kata Imam Husain ini, Zainab hanyut dalam suasana haru yang amat dalam. Suara rintih dan tangis keluar dari tenggorokannya yang kering. Kedua telapak tangannya menampar-nampar wajahnya. Imam Husain as mencoba menghibur adiknya.
“Tenanglah adikku, kamu tidak celaka. Rahmat Allah pasti bersamamu.” Ujar Imam Husain as.
Beliau kemtdian berkata kepada adik lelakinya, Abbas: “Datangilah kaum itu, dan tanyakan kepada mereka untuk apa mereka kemari?”
Abbaspun pergi ke arah musuh dan menyampaikan pertanyaan tersebut kepada mereka. Pihak musuh menjawab: “Sang Amir telah memerintahkan agar kalian patuh kepada perintahnya. Jika tidak, maka kami akan berperanf dengan kalian.”
Abbas kemudian bergegas lagi menghadap Imam Husain as dan menceritakan apa yang dikatakan musuh. Imam berkata lagi kepada Abbas: “Adikku, demi engkau aku rela berkorban, datangilah lagi pasukan musuh itu dan mintalah mereka supaya memberi kami waktu satu malam untuk kami penuhi dengan munajat, doa, dan istighfar. Dan Allah Maha Mengetahui bahwa aku sangat menyukai solat, membaca AlQuran, berdoa, dan beristighfar.”
Abbas kembali mendatangi pasukan musuh untuk menyampaikan pesan tersebut. Setelah mendengar permintaan itu, Umar bin Saad berunding dengan orang-orang dekatnya. Umar bin Sa’ad berpikir sejenak, kemudian memenuhi permintaan AlHusain.
Menjelang sore dihari kesembilan, ketika al-Husain melihat situasi yang semakin sulit, kemudian beliau mengumpulkan seluruh sahabatnya, dan berkata : Sungguh Rasululah telah menyampaikan berita kepadaku, bahwa aku akan digiring ke Iraq dan singgah di bumi yang dikatakan Karbala. Kini, telah kusaksikan dan dekat dengan janji-Nya. Ketahuilah!tidak ada hari lagi bagi kita setelah hari ini, aku telah memberi izin pada kalian untuk kembali dan tiada ikatan lagi atas kalian. Malam ini adalah kesempatan bagi kalian untuk pulang dan keluar, setiap laki-laki dari kalian, bawalah laki-laki dari kami Ahlil Bait, semoga Allah membalas untuk kalian semua, berpisahlah di tempat kalian. Sesungguhnya mereka menghendaki aku, dan bukan pada selainku..
Mendengar hal itu, saudara-saudara Al-Husain, anak-anaknya, kemenakannya serta anak-anak Abdullah bin Ja’far, Abbas bin Ali, berkata yang diikuti oleh bani Hasyim lainnya : kenapa kita harus demikian wahai Imam?kami akan tetap bersamamu.
Kemudian Al-Husain melihat kepada putra-putra Aqil bin Abi Thalib sambil berkata : cukup bagi kalian dengan terbunuhnya Muslim, pergilah kalian! aku telah izinkan kalian. Lalu mereka berkata : kalau begitu, apa yang akan dikatakan manusia dan apa yang harus kami katakan kepada mereka? kami telah meninggalkan pemimpn kami dan putra dari sebaik-baiknya paman, kami tidak menyertai mereka dalam perang… Demi Allah!tidak! kami tidak akan melakukan hal itu, kami akan korbankan padamu wahai Aba Abdillah dengan jiwa, harta dan keluarga kami. Kami akan berperang bersamamu.
Muslim bin Ausajah juga menunjukkan kesetiaannya,: demi Allah, aku tidak akan berpisah denganmu, sehinga aku melukai dada mereka dengan anak panahku serta pukulan pedangku. Jika sendainya aku tanpa senjata, maka aku akan bunuh mereka dengan lemparan batu hingga aku mati bersamamu.
Said bin Abdullah Al-Hanafi berkata : demi Allah!kami tidak akan melepaskanmu sehingga Allah mengeatahui bahwa kami telah menjaga keturunan Rasul-Nya, demi Allah! Seadainya aku terbunuh kemudian dihidupkan kembali, kemudian aku dibakar hingga 70 kali, aku tidak akan berpisah darimu wahai imam. Begitulah kesetiaan para keluarga dan sahabat al-Husain. Mendengar semua itu Al-Husain berkata kepada mereka : Sungguh tidak kudapati kesetiaan dan kebaikan lebih dari sahabat-sahabatku ini dan tidak kudapati keluarga yang lebih utama dan penyambung silaturahim lebih dari Ahlil Biatku, semoga Allah membalas kebaikan kalian atasku. Itulah kesetiaan keluarga dan pengikut AlHusain
Karena Imam Husain as dan rombongannya diberi waktu satu malam, maka pasukan dari masing-masing pihak kembali ke perkemahannya dengan tenang. Pada malam Asyura itu, adegan-adegan yang semakin memilukan terjadi. Malam itu AlHusain dan para sahabatnya larut dalam dengungan Rabbani, dengungan suara mereka tak ubahnya laksana suara kawanan lebah, mereka tenggelam dalam ruku, sujud, berdiri menghadap Kiblat dan duduk bermunajat. Rintih tangis, munajat, doa, pembicaraan yang berbau hikmah, dan puisi-puisi duka dan perjuangan Ahlul Bait mengiringi putaran detik-detik gulita malam sahara Karbala. Tentang ini, Imam Ali Zainal Abidin as putera Imam Husain as antara lain berkisah: Ayahku berkata :
“Demi Allah, setelah semua kejadian ini kita alami, masa akan terus berjalan hingga kita semua keluar (hidup lagi) bersama Al-Qaim kita untuk membalas kaum yang zalim. Kami dan kalian akan menyaksikan rantai, belenggu, dan siksaan-siksaan lain yang membantai musuh kita.”
Seseorang bertanya: “Siapakah AlQaim itu?”Imam Husain as menjawab:
“Dari kami (Ahlul Bait) terdapat dua belas orang Mahdi, dimana yang pertama adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah orang yang (merupakan generasi) kesembilan dari anak keturunanku dan dialah Imam Al-Qaim Bilhaq. Dengannyalah Allah akan menghidupkan bumi ini setelah kematiannya, dengannyalah Allah akan menjayakan agama kebenaran ini atas seluruh agama lain, walaupun orang-orang musyrik membencinya. Dia (AlQaim) akan mengalami masa kegaiban dimana sepanjang masa ini sebagian kaum ada yang murtad sementara yang lain tetap teguh pada agama dan mencintai (AlQaim), dan mereka akan ditanya: ‘Kapankah janji (kebangkitan) ini (akan terpenuhi) jika kalian memang orang-orang yang jujur?’ Akan tetapi orang yang sabar pada masa kegaibannya akan mengalami banyak gangguan dan didustakan. Kedudukan orang itu sama dengan pejuang yang mengangkat pedang bersama Rasulullah.”[3]
Ikhwan dan akhwat…
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di alam maknawi Allah SWT menampakkan dosa-dosa makhluk-Nya. Kemudian, untuk menghapus dosa-dosa ini, Allah bertanya kepada ruh para nabi dan wali-Nya: “Siapakah diantara kalian yang siap berkorban dengan jiwa, harta, dan keluarnya agar dosa-dosa ini terampuni?”Sang pahlawan terkemuka Karbala menjawab: “Aku siap berkorban dengan semua itu?”Allah berfirman: “Wahai Husain, apakah kamu siap untuk gugur sebagai syahid dalam keadaan haus dan lapar?”Imam Husain as menjawab: “Aku rela untuk itu?”Allah berfirman: “Kepalamu akan ditancapkan diujung tombak lalu dipertontonkan di kota-kota, di padang sahara, dan di dalam beberapa pertemuan.”Imam Husain as menjawab: “Aku rela.”Allah berfirman: “Jasadmu akan dicincang dan dicampakkan ke tanah tanpa pakaian.”Imam Husain menjawab: “Aku rela.”Allah berfirman: “Para sahabatmu juga harus terbunuh.”Imam Husain menjawab: “Aku pasrah.”Allah berfirman: “Hamba-hambaku (saat itu) adalah para pemuda, dan pemudamu yang berusia 18 tahun akan terbunuh di depan matamu.”Imam Husain tetap pasrah. Allah berfirman: “Di tengah mereka terdapat kaum wanita, dan keluargamu akan menjadi tawanan yang terbelenggu dan dipertontonkan dari kota ke kota, dari rumah ke rumah, dari lorong ke lorong.”Imam Husain pasrah. Allah berfirman: “Puteramu dalam keadaan sakit akan terbelenggu dan dipertontonkan di atas unta dalam keadaan tanpa baju dari lembah ke lembah, dari rumah ke rumah.”Imam Husain pasrah. Itulah perjanjian AlHusain dengan Allah Swt.
7. Perundingan Pertengahan Malam Asyura
Dikisahkan pula oleh adinda AlHusain, Sayyidah Zainab as: “Pertengahan malam Asyura aku mendatangi tenda adikku, Abu Fadhl Abbas. Aku menyaksikan para pemuda Bani Hasyim berkumpul mengelilinginya. Abu Fadhl berkata mereka:
‘Saudara-saudaraku sekalian, jika besok perang sudah dimulai, orang-orang yang pertama kali bergegas ke medan pertempuran adalah kalian sendiri, agar masyarakat tidak mengatakan bahwa Bani Hasyim telah meminta pertolongan orang lain, tetapi mereka (Bani Hasyim) ternyata lebih mementingkan kehidupan mereka sendiri ketimbang kematian orang lain….’
“Para pemuda Bani Hasyim itu menjawab: ‘Kami taat kepada perintahmu.’”
Sayyidah Zainab juga berkisah: “Dari kemah itu kemudian aku mendatangi tenda Habib bin Madhahir.[1] Aku mendapatinya sedang berunding dengan beberapa orang non-Bani Hasyim. Habib bin Madhahir berkata kepada mereka:
‘Besok, tatkala perang sudah dimulai, kalianlah yang harus terjun terlebih dahulu ke medan laga, dan jangan sampai kalian didahului oleh satupun orang dari Bani Hasyim, karena mereka adalah para pemuka dan junjungan kita semua…’ ”
“Para sahabat Habib bin Madhahir berkata: ‘Kata-katamu benar, dan kami akan setia mentaatinya.’ ”
Sementara itu di tenda-tenda yang lainnya, terdapat beberapa pahlawan yang dikenal sebagai orang yang sangat zuhud dan ahli ibadah, diantaranya bernama Burair bin Khudair. Warga Kufah amat menghormatinya dan menyebutnya sebagi guru besar Al-Quran. Ketinggian iman Burair nampak pada malam Asyuro. Burair yang biasanya jarang bercanda, malam itu bercanda dengan Abdurahman Al-Anshari salah seorang sahabat Imam Husain as. Kepada Burair Abdurahman berkata : Wahai Burair, malam ini tidak sewajarnya engkau bergurau,kenapa engkau tertawa?sekarang ini bukan waktunya untuk bercanda dan bermain!. Burair menjawab : Sahabatku, tahukah engkau bahwa sejak muda aku tidak gemar bercanda. Tapi malam ini aku sangat bahagia dan gembira sekali menyaksikan jalan yang kita lalui ini. Sebab jarak antara kita dengan surga hanya tinggal beberapa saat. Demi Allah, Kita hanya perlu sejenak menari-narikan pedang untuk menyambut pedang-pedang musuh yang akan mencabik-cabikkan tubuh kita, lalu kita akan segera jatuh ke dalam pelukan bidadari surga.
Malam Asyura, seakan diharapkan segera berlalu untuk menyongsong pagi dan siang yang akan mementaskan adegan keberanian para pahlawan Karbala yang bersenjatakan keperkasaan iman dan semangat pengorbanan yang besar, semangat Husainiyyah yang kelak terpahat dalam prasasti keabadian sejarah.Namun demikian, keberanian para pejuang Islam, tentu saja mempersembahkan adegan haru biru yang merenyuhkan simpati, dan hati nurani setiap insan sejati.
Imam Husain as dan para pengikutnya kemudian menghabiskan saat-saat malam Asyura itu dengan ibadah dan munajat kepada Allah Swt. Rintihan dan doa mereka terdengar seperti riuh rendah suara lebah. Masing-masing melarutkan diri dalam suasana kekhusu’an sujud, dan tengadah tangan doa di depan Allah SWT.
Malam Asyura adalah malam perpisahan keluarga suci Rasulullah saaw di alam fana. Saat itu adalah malam pembaharuan janji dan sumpah setia yang pernah dinyatakan di alam zarrah untuk kemudian dibuktikan pada hari Asyura.
Imam Husain as sendiri sangatl`h mendambakan terlaksananya janji itu. Malam itu Allah mengutus malaikat Jibril as untuk membawakan catatan ikrar yang pernah dinyatakan Imam Husain as agar cucu Rasul ini memperbaharui janjinya itu. Saat tiba di depan Imam Husain as, Jibril as berkata:
“Hai Husain, Allah SWT telah berfirman: ‘Jika kamu menyesali janjimu itu, maka boleh menggagalkannya, dan Aku akan memaafkanmu.’ “Imam Husain as menjawab: “Tidak, aku tidak menyesalinya.”
Malaikat Jibril as kemudian kembali ke langit, dan tatkala fajar menerangi cakrawala untuk menyongsong pagi, Imam Husain as dan rombongannya yang sudah kehabisan bekal air, terpaksa bertayammum untuk menunaikan solat Subuh berjamaah. Seusai tasyahud dan salam, Imam Husain as berdoa kepada Al-Khalik:
“Wahai Engkau Sang Maha Penolong orang-orang suci, Wahai Sang Maha Pengampun di hari pembalasan, sesungguhnya ini adalah hari yang telah Engkau janjikan, dan hari dimana kakekku, ayahku, ibuku, dan kakakku ikut menyaksikan.”"Tatkala peristiwa besar (hari kiamat) terjadi, tidak ada seorangpun yang dapat mendustakan kejadiannya.”[2]
Malaikat Jibril as berkata: “Hai Husain, hari ini engkau harus terjun ke medan laga, dengan jiwa yang penuh kerinduan sebagaimana kerinduan setiap orang kepada kekasihnya.”
Imam Husain as menjawab: “Hai Jibril, sekarang lihatlah! mereka yang terdiri dari orang-orang tua dan muda, kaya dan miskin, serta para wanita yang rambutnya sudah lusuh, para hamba sahaya, dan para anggota rumah tangga ini, telah aku bina sedemikian rupa, sehingga untuk menjadi tawananpun mereka siap. Mereka inilah Ali Akbar, Abbas, Qasim, ‘Aun, Fadhl, Ja’far, serta para pemuda yang sudah dewasa, dan inilah mereka sejumpulan kaum wanita dan anak-anak, mereka semua telah aku bawa, aku korbankan sebelum kemudian akupun akan menyerahkan nyawaku.”
Jibril as menjawab: “Hujjahmu sudah sempurna, maka sekarang bersiaplah untuk menyambut cobaan besaaar..”
Jibril as kemudian terbang ke langit sambil berseru: “Wahai para pasukan Allah, segeralah mengendarai kuda!”
Mendengar suara ini, segenap pasukan Imam Husain as bergegas mengendarai kuda, kemudian membentuk barisan kecil di depan barisan raksasa pasukan musuh.
Saat pasukan Umar bin Sa’ad juga sudah mengendarai kuda dan siap membantai Imam Husain as dan rombongannya, Imam Husain as memerintahkan Burair bin Khudair untuk mencoba memberikan nasihat lagi kepada musuh. Namun, apalah artinya kata-kata Burair untuk musuh yang sudah menutup pintu hati nurani mereka itu. Apapun yang dikatakan Burair sama sekali tidak menyentuh jiwa dan perasaan mereka.
Dalam keadaan sedemikian rupa, Imam Husain as bertahan untuk tidak memulai pertempuran. Sebaliknya, beliau masih membiarkan dirinya tenang manakala pasukan Umar bin Sa’ad sudah mulai berulah di sekeliling perkemahan Imam Husain as dengan menggali parit dan menyulut kobaran-kobaran api.
Saat suasana bertambah panas, Syimir bin Dzil Jausyan berteriak keras memanggil Imam Husain as.
“Hai Husain!” Pekik Shimir, “Adakah kamu tergesa-gesa untuk masuk ke dalam neraka sebelum hari kiamat nanti?!”
Begitu mengetahui suara itu berasal dari mulut Syimir, Imam Husain as membalas: “Hai anak pengembala sapi, kamulah yang pantas menghuni neraka.”
Melihat kebejatan Syimir kepada cucu Rasul itu, Muslim bin Ausajah mencoba melepaskan anak panahnya ke tubuh Syimir. Namun Imam Husain as mencegahnya.
“Jangan!” Seru Imam Husain as. “Sesungguhnya aku tidak ingin memulai peperangan
9. Istighotsah Imam Husain as dan Taubat Hur
Imam Husain as kemudian berdoa:
“Ya Allah, janganlah Engkau turunkan air hujan dari langit untuk kaum ini. Azablah mereka dengan kekeringan dan kelaparan seperti pada zaman nabi Yusuf. Kuasakan atas mereka nanti Astsaqafi, agar mereka merasakan kegetiran, karena mereka telah mendustakan kami, menisbatkan kebohongan kepada kami, dan menyia-nyiakan kami.Ilahi, kami bertawakkal kepada-Mu. Kepada-Mul-ah kami dan segala sesuatu pasti akan kembali.”[1]
Imam Husain as kemudian mendekati para pengikutnya dan berkata: “Bersabarlah, sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian untuk berperang hingga titik penghabisan. Sesungguhnya kalian semua akan terbunuh kecuali Ali bin Husain.
Kemudian AlHusain menghadap kepada musuh-musuh Allah sambil, berkata :
“Apakah masih ada lagi seseorang yang akan menolongku demi mendapatkan keridhaan Allah? Adakah lagi seseorang yang siap membela kehormatan Rasulullah?”
Tiba-tiba setelah ucapan AlHusain ini, dari barisan musuh melesat seekor kuda dengan penunggangnya menuju barisan AlHusain, yang tidak lain adalah AlHur Arriyahi. Begitu sampai di hadapan beliau, Hur meletakkan telapak tangan di kepalanya sambil berseru:“Ya Allah, aku kembali kepada-Mu. Ya allah, ampunilah aku yang telah membuat para pecinta dan putera-puteri rasul-Mu menderita dan ketakutan.”
Saat melihat Hur mendekati Imam Husain, sebagian orang menduganya akan memulai peperangan. Namun, mereka baru sadar dugaan itu salah, setelah melihat Hur membalikkan perisainya. Saat itu Hur datang menyapa Imam Husain as dimulai dengan ucapan salam takzim dan hormat, lalu menyusulnya dengan kata-kata:
“Hai putera Rasul, aku siap berkorban untukmu. Aku adalah orang yang beberapa waktu lalu telah mencegat perjalananmu, mencegahmu pulang, lalu menggiringmu ke tanah yang penuh dengan petaka ini, tanpa aku tahu sebelumnya bahwa orang-orang ini akan menolak kata-katamu dan memperlakukan dirimu sedemikian rupa. Demi Allah, seandainya aku tahu inilah yang akan terjadi, tidak mungkin akan berbuat seperti itu kepadamu. Sekarang aku menyesal, tetapi apakah mungkin Allah akan menerima taubatku?”
Imam Husain as menjawab: “Allah pasti akan menerima taubatmu.” Beliau meminta Hur supaya beristirahat, namun Hur malah meminta restu beliau untuk segera memulai perjuangan di depan musuh. Imam pun berkata: “Semoga Allah merahmatimu. Aku mengizinkanmu berjuang.”
Hur kemudian meminta diri dari Imam Husain as dan pergi mendekati pasukan Umar bin Sa’ad yang kini sudah menjadi musuhnya. Di depan mereka, Hur memberondongkan kata-kata pedas dan kutukan. Begitu kata-kata Hur tuntas, beberapa orang pasukan Ibnu Sa’ad membidikkan anak panah ke arah Hur. Hur bergegas pergi menghadap Imam Husain as untuk memohon instruksi penyerangan.
Serentak dengan ini, Umar bin Sa’ad berteriak kepada budaknya: “Hai Darid, cepat maju!” Umar mengambil sepucuk anak panah dan memasangnya ke tali busur sambil berteriak lagi: “Hai orang-orang, saksikanlah bahwa akulah orang pertama yang membidikkan anak panah ke arah pasukan Husain.” Anak panah itupun melesat.
Dengan melesatnya anak panah Umar bin Sa’ad, segera disusul dengan hujan panah dari anak buahnya ke arah pasukan Imam Husain as. Imam Husain pun menurunkan instruksi untuk melakukan perlawanan.
10. Dimulainya Perang Tak Seimbang
Genderang pertarunganpun antara kedua pasukan yang tak seimbang dimulai. Dari pihak Imam Husain as, nampak wajah-wajah cemerlang dan berbinar seakan tak sabar lagi untuk berjumpa dengan Yang Maha Kuasa. Mereka siap terbang bahu membahu dan berlomba menuju alam keabadian di sisi Al-Khalik, dengan kepakan sayap-sayap imannya yang lebar. Dengan jiwa yang membaja, para kesatrha Karbala siap mengarungi lautan darah, membela kehormatan dan cita-cita mulia bintang kejora dari keluarga suci Rasul. Jiwa mereka yang sudah terpatri dalam semangat Husainiyyah, telah siap menyongsong kematian yang suci.
Alhur mampu memporakporandakan pasukan musuh, dari pihak musuh bernama Sofwan menghunuskan pedang dan mengayunkannya ke arah tubuh Hur. Namun dengan tangkasnya Hur menangkis ayunan pedang jagoan Kufah itu. Belum sempat melancarkan serangan lagi, Sofwan tiba-tiba mengerang kesakitan begitu mendapat serangan balas dari Hur. Ketangkasannya ternyata tak sehebat Hur. Dada Sofwan tertembus tombak yang dihunjamkan Hur. Sofwan sang jagoan itu roboh bersimbah darah.
Di lain pihak, menyaksikan pasukannya kacau balau diterjang pendekar bernama Hur itu, Umar bin Sa’ad segera memekikkan suara: “Hujani dia dengan panah. Jangan biarkan dia lolos!”
Hujan panah pun menyerbu tubuh sang pendekar Alhur. Dia tak kuasa menghalau serangan selicik itu. Tubuhnya menjadi sarang beberapa anak panah beracun. Sebelum tubuhnya roboh, para sahabat Imam Husain as maju menerjang musuh dan sebagian lain membopong Hur yang dalam keadaan sekarat, membawanya ke hadapan Imam Husain as. Imam kemudian mengusap wajah Hur sambil berucap:
“Kini telah hur (bebas) sebagaimana nama yang diberikan ibumu untukmu. Kamu hur di dunia dan di akhirat.”[4] innalillahi……..
Dengan gugurnya al-Hur, berikutnya satu demi satu sahabat setia al-Husain menawarkan diri untuk maju ke medan pertempuran. Diantara para sahabat setia itu adalah Muslim bin Ausajah, pemuda gagah berani yang berhasil membinasakan sejumlah besar pasukan musuh. Sebelum menemui ajalnya, pemuda ini sempat mengucapkan kata-kata indah kepada junjungannya, Imam Husain as: “Wahai Putera Rasul!” Ucap Muslim. “Aku akan pergi untuk memberikan berita gembira kepada kakek dan ayahmu tentang ketibaanmu.” Ruh Muslim bin Ausajah terbang meninggalkan jasadnya yang fana setelah ucapan itu tuntas. Kematian Muslim itu kebetulan juga disaksikan anaknya. Darah sang anak mendidih menyaksikan kematian ayahnya dalam keadaan bersimbah darah. Dia segera menunggangi kuda untuk memacunya ke arah pasukan musuh dan melancarkan serangan. Namun, gerakan itu dicegah oleh Imam Husain as. “Hai pemuda!” Panggil beliau. “ Ayahmu telah gugur. Jika kamu juga gugur, siapakah nanti yang akan melindungi ibumu?”
Putera Muslim lantas bergerak mundur. Namun, tiba-tiba ibu putera Muslim itu mencegahnya sendiri. “Wahai anakku, Apakah kamu lebih mementingkan kehidupan di dunia ini daripada kebersamaan dengan Putera Rasul? Kalau begitu, aku tidak pernah rela kepadamu.”
Mendengar kata-kata itu, putera Muslim bin Ausajah segera menarik tali kendali dan memacu kudanya ke medan pertempuran. Gerakan itu diiringi suara ibunya dari belakang: “Bergembiralah anakku, tak lama lagi kamu akan meneguk air telaga Al-Kautsar!” Suara ibunya ini benar-benar menambah semangat putera Muslim, sehingga tarian-tarian pedangnya berhasil memanen nyawa tak kurang dari 30 tentara musuh. Pemuda itu kemudian tersungkur d`lam keadaan penuh luka. Kepalanya dipenggal dan dilempar ke dekat ibunya. Sang ibu segera mendekap dan menciumi kepala putranya sambil berkata : Wahai putraku, engkau sekarang telah memutihkan wajah ibumu.. Innalillahi……
Berikutnya adalah Habib bin Madhohir maju ke medan laga, ia hantamkan pedangnya ke arah beberapa pasukan musuh yang mengakibatkan sejumlah orang dari mereka tewas. Namun, saat Habib kecapaian dalam bertahan dan menyerang, hantaman pedang musuh lolos dari tangkisannya dan langsung mendarat di bagian kepalanya. Habib terjerembab dari atas kuda. Dalam keadaan lunglai, Habib mencoba bangkit bertahan. Namun, berdirinya Habib segera disusul dengan ayunan pedang Hisshin yang menghantam kepala Habib lagi. Sahabat setia Imam Husain as ini roboh dalam kondisi mengenaskan. Tak puas dengan itu, Hisshin datang lagi dan memenggal kepada Habib hingga terpisah dari jasadnya.
Kematian Habib bin Madhahir membuat Imam Husain as tak kuasa menahan haru. Wajah beliau tampak sangat berduka menyaksikan gugurnya pemegang tiang bendera sayap kiri pasukan beliau. Kepergian Habib ke alam baka diiring kata-kata beliau: “Wahai Habib, Pahala Allah untukmu, Engkau adalah manusia penuh keutamaan dimana dalam satu malam engkau mengkhatamkan AlQuran.”
Alhusain kembali melantunkan beberapa kalimat dari lisannya untuk para sahabatnya:
“Pintu-pintu surga telah terbuka, angkasanya cerah, buah-buahannya telah matang, istana-istananya sudah berhias, anak-anak dan para bidadarinya sudah berkumpul. Rasulullah dan para syuhada yang gugur bersamanya serta ayah dan ibuku sedang menantikan kedatangan kalian. Mereka mengucapkan selamat kepada kalian. Mereka merindukan kalian…..
Para sahabat Imam Husain as tak kuasa menahan gejolak, serta kobaran semangat sekaligus rasa haru mendengar kata-kata dari sang pemimpinnya. Mereka menangis tersedu-sedu, dan sebagian menjerit histeris….
Jhaun adalah salah satunya., lelaki berkulit hitam. Dia adalah budak Abu Dzar yang sudah dibebaskan. Dia adalah termasuk orang yang meminta sendiri kepada Imam untuk turut serta dalam rombongan beliau dengan resiko apapun, termasuk berjihad melawan musuh. Menjawab permintaan Jhaun, Imam Husain as berkata: “Dulu selagi sehat, kamu selalu bersama kami, dan sekarang terserah kamu kemanapun kamu hendak pergi.”
Jaun berkata: “Hai Putera Rasul, dulu aku bersamamu di saat keadaan sedang baik dan menggembirakan. Kini, apakah adil jika aku membiarkanmu sendirian dalam kesulitan?! Demi Allah, bau tubuhku tidak sedap, aku lahir dari keturunan yang hina, dan warna kulitku hitam. Namun, apakah engkau tidak rela jika aku menjadi penghuni surga sdhingga aroma tubuhku harum semerbak, jasmaniku tampak mulia, dan wajahku menjadi putih?! demi Allah, aku tidak ingin berpisah denganmu sampai darahku yang kelam ini melebur dengan darahmu.”
Dengan restu Imam Husain as di Karbala, Jhaun ikut berjuang melawan musuh. Seperti rekan-rekannya yang lain, dia juga berhasil merenggut nyawa beberapa orang dari balatentara musuh sebelum tubuhnya yang hitam itu akhirnya menjadi onggokan tanpa nyawa di tanah Karbala. Dia berhasil menggapai impiannya membela keluarga Rasul untuk kemudian bergabung dengan mereka sebagai para ‘bangsawan’ di alam surga.
Ditengah sengitnya pertarungan, ada seorang anak yang masih berumur 11 tahun bernama Amer bin Junadah, ayahnya baru saja syahid. Amer menghadap Imam sambil berkata : wahai imam, izinkan aku untuk membelamu agar dapat menyusul ayahku yang syahid. Imam menjawab : engkau masih teramat kecil wahai Amer, lalu bagaimana dengan ibumu nanti? Dengan tegas dia menjawab : wahai cucu Rasulullah, sungguh!! ibuku sendiri yang memakaikan baju perang ini kepadaku. Namun imam tetap melarangnya. Amer bin Junadah menangis merintih dan menemui ibunya sambil berkata pada ibunya : duhai ibu, imam melarangku mati syahid menyusul ayahku. Sang ibu yang baru kehilangan suaminya, mendatangi al-Husain dan berkata : Wahai Imam, izinkan putraku ini untuk syahid membelamu,agar wajahku kelak berseri-seri ketika berjumpa ibumu Fatimah Az-Zahra.
Imampun kemudian mengizinkannya. Dengan gesit Amr memasuki ke tengah-tengah pasukan musuh. Pembelaannya tak berlangsung lama, tubuh kecil itu terhempas, darah mengalir kesekujur tubuhnya, hingga syahid menyusul ayahnya. Innalillahi…….. (ya Allah, jadikan anak-anak kami seperti Amr bin Junadah, jadikan istri-istri kami seperti ……)
Berikutnya seorang yang paling tua diantara sahabat al-Husain, yang bernama Anas bin Harits Al-Kahili. Dia adalah salah seorang sahabat setia Rasul yang pernah ikut berperang dalam perang Badar dan Hunain. Dia datang kepada imam untuk meminta izin berperang. Imam menjawabnya : wahai Anas, engkau sudah tua renta,punggungmu sudah bungkuk, rambutmu sudah putih semua, sudah sepantasnya engkau mengurusi anak cucumu di rumahmu, ini bukan tempat untukmu. Anas hanya mampu mengeluarkan tetesan air mata, sambil berjalan ke belakang kemah, lalu ia buka sorban pengikat kepalanya dan ia ikatkan pada punggungnya supaya terlihat tegap. Kembali Anas menghadap imam dan berkata dengan tegasnya : Wahai putra Rasulullah, lihatlah punggungku sudah tidak bungkuk lagi, aku masih tegap.aku masih mampu menerjang musuh-musuh Allah, aku bersyukur di hari tuaku yang sudah bungkuk ini,dapat memberikan tubuh rentaku ini padamu, kapan lagi aku dapat kesempatan untuk berjuang membelamu. Berderailah air mata al-Husain mendengar kata-kata darinya. Imam berkat : Allah berterimakasih kepadamu wahai Anas. Imam pun mengizinkannya untuk berlaga di medan perang. Dengan tangkas Anas memainkan pedangnya hingga 18 pasukan musuh dapat dirobohkan, karena banyaknya musuh yang mengerubunginya, akhirnya tenaga Anaspun berkurang dan syahid membela Al-Husain. Innalillahi……
Demikianlah, para pahlawan pembela Islam dan Ahlul Bait suci itu berguguran satu persatu. Darahnya telah menyiramkan cahaya spiritual yang terang benderang di bumi Karbala (bumi duka nestapa). Jasad-jasad mereka yang fana memang sudah tergolek tanpa nyawa seperti yang diharapkan musuh. Namun, jejak-jejak spiritual mereka akan tetap abadi dan tidak akan pernah sirna untuk selamanya.
11. Banjir Darah Hari Asyura
Hari itu tanah Karbala sedang diguyur sengatan terik mentari yang mengeringkan tenggorokan para pahlawan Karbala. Hari itu, para pejuang Islam sejati, satu persatu bergelimpangan meninggalkan sanjungan sejatinya, Husain putera Fatimah binti Muhammad SAWW. Bintang kejora Ahlul Bait Rasul ini, manusia kelima ashhabulkisa, akhirnya menatap pemandangan sekelilingnya. Wajah-wajah setia pecinta keluarga suci Nabi itu sudah tiada. Dari para pejuang gagah berani itu, yang ada hanyalah onggokan jasad tanpa nyawa. Hari Asyura adalah hari pementasan duka nestapa Ahlul Bait Rasul, hari rintihan sunyi putera Fatimah, hari keterasingan putera Azzahra, hari kehausan dan jerit tangis anak keturunan Nabi.
“Adakah sang penolong yang akan menolong kami? Adakah sang pelindung yang akan melindungi kami? Adakah sang pembela yang akan menjaga kehormatan Rasulullah?” Pinta putera Ali bin Abi Thalib as itu kepada umat kakeknya, Muhammad saww[2]
Rintih pinta cucu Rasul itu tak dijawab kecuali oleh beberapa pemuda Bani Hasyim yang tidak lain mereka adalah keluarga dan kaum kerabatnya. Diantara mereka ada Ali Akbar, putera beliau sendiri. Ali Akbar, remaja yang rupawan, yang wajahnya mirip dengan wajah Rasululah, meminta izin sang ayah untuk maju melawan musuh. Sang ayah mendapati wajah anaknya itu dibinari cahaya spiritual yang amat cemerlang, mengingatkan beliau pada wajah Rasul. Wajah memohon itu direstui tatapan bisu sang ayah. Hanya linangan air mata dan tak sepatah katapun terucap sebagai kata perpisahan untuk pemuda ksatria itu di alam fana. Demi tujuan sebuah yang agung, Imam Husain as harus rela mengorbankan jiwa dan raga putera yang sangat dikasihinya.
Demikianlah, Imam Husain as akhirnya mempersembahkan putera tercintanya, Ali Akbar, sebagai pejuang pertama Bani Hasyim di Karbala. Dalam pertempurannya, Ali Akbar selalu diperhatikan dengan seksama dan penuh ketabahan oleh ayahnya. Dalam keadaan berlinang air mata, imam Husain as berucap:
“Ya Allah, saksikanlah seorang remaja yang paras, perangai, dan tutur katanya paling menyerupai rasul-Mu, kini telah tampil berjuang melawan kaum itu. Kepada wajah remaja inilah kami memandang jika kami sedang merindukan Rasul-Mu.”
Ali Akbar bin Husain as sudah ada di medan laga. Tanpa di duga pasukan musuh, mereka tercengang menyaksikan kepiawaian Ali Akbar dalam berperang. Gerakan dan ketangkasannya dalam bertempur mengingatkan mereka kepada Haidar Al-Karrar alias Ali bin Abi Thalib as yang tenar dengan julukan Singa Allah. Tak sedikit pasukan musuh yang mati menjadi mangsa sambaran pedang Ali Akbar. Namun, saat tenaganya sudah terkuras dan jumlah musuh seakan tak berkurang, Ali Akbar selpat mendatangi sang ayah dan berkata: “Ayah, aku tercekik kehausan sehingga (senjata) besipun kini memberatkanku…”[3]
Imam Husain as menjawab: “Tabahkan dirimu, hai puteraku tercinta. Sesungguhnya Rasulullah tak lama lagi akan memberimu minum yang akan membuatmu tidak akan pernah lagi merasa kehausan.”
Remaja berhati baja itu akhirnya kembali lagi ke medan laga. Namun, keadaannya yang sudah nyaris tanpa daya itu segera dimanfaatkan musuh untuk menghabisi riwayatnya. Maka dari itu, kedatangannya disambut dengan hantaman pedang tepat mengenai di bagian atas kepala Ali Akbar. Darahnya yang mengucur segera disusul dengan sambaran anak panah yang menusuk tubuhnya secara bertubi-tubi. Dalam kondisi fisik yang mengenaskan itu, bibir Ali Akbar mengucapkan kata-kata yang dimaksudkan kepada ayahnya:
“Sekarang aku sudah melihat kakekku yang sedang membawa cawan yang beliau persiapkan untukmu.”[4]
Ali Akbar lalu tergolek di atas kudanya yang berputar-putar ke sana kemari, setelah kehilangan kendali di tengah riuhnya suasana perang. Tubuhnya yang sudah mengenaskan itu, masih sempat dihantam senjata dan dipanah lagi saat kuda yang tak terkendali itu bergerak di sekitar pasukan musuh. Di saat-saat itulah, sambil memanfaatkan sisa-sisa tenaga dan nafasnya, Ali Akbar berucap lagi:
“salam atasmu wahai ayahku, sekarang aku sudah menyaksikan kakekku Rasulullah. Beliau menyampaikan salam kepadamu dan bersabda: ‘Cepatlah datang kepada kami!’”[5]
Kata-kata yang didengar Imam Husain as ini segera disambut dengan kata-kata lantang beliau: “Allah akan membinasakan kaum yang telah membunuhmu!”[6]“Hai orang-orang Kufah, aku berharap, mata kalian kelak akan dipedihkan oleh tangisan, dada kalian akan dibebani rintihan untuk selamanya, dan Allah tidak memberkati kalian, dan Dia akan mencerai beraikan kumpulan kalian.”
Setelah memekikkan kutukan ini, Imam Husain as maju sendiri ke medan perang, menerobos dan membubarkan barisan depan musuh. Beliau mendekati kuda Ali Akbar, dan menggiringnya ke tempat yang aman, lalu menurunkan tubuh penuh luka yang bermandikan darah puteranya itu dari kuda. Tubuh suci direbahkan dalam pelukan hangat beliau. Di situ dada Ali Akbar ternyata masih bergerak. Setelah kelopak matanya terbuka perlahan, bibirnya berucap:
“Ayahku yang mulia, aku sudah melihat pintu-pintu langit terbuka, para bidadari di surga sedang berkumpul sambil membawa cawan-cawan minuman dan memanggil-manggil diriku. Sekarang aku akan pergi ke sana dan membinarkan wajah mereka yang merindukan kedatanganku …”
Ruh Ali Akbar melayang, setelah jasadnya menghembuskan nafas terakhir. Kepergiannya ke alam keabadian, diantar ayahandanya yang mulia dengan kata-kata:
“Adalah sesuatu yang berat bagi kakekmu, pamanmu, dan ayahmu untuk tidak memenuhi permohonanmu.[7]
Imam Husain as membawa jasad putranya yang penuh luka dan menjadi sarang anak panah itu ke arah perkemahan. Sayyidah Zainab segera keluar dari dalam tenda, dan menyambut jasad itu dengan jerit tangis dan ratapan. Jasad itu dipeluknya dengan erat sambil meratap: “Oh kemenakanku. Oh putera kesayangku.” Imam Husain as mengantarkan adiknya itu ke dalam kemah para wanita, lalu kembali memeluk jasad Ali Akbar sambil berucap:
“Puteraku, engkau sudah beristirahat dari kegundahan dan kegetiran hidup di dunia. Kini tinggallah ayahmu seorang diri.” “Innaa lillaahi wa innaa ilahi raaji’uun.”
Musibah Qasim as
Setelah gugurnya Ali Alakbar, Qosim bin Hasan Almujtaba juga memperlihatkan kesetiaannya kepada sang paman, saat sudah mempersiapkan diri untuk berperang, Qasim pergi menghadap pamannya untuk mengajukan sebuah permohonan. “Paman, izinkan aku untuk ikut berperang.” Pintanya. Imam menjawab: “Kamu bagiku adalah cindera mata dari kakakku, bagaimana aku dapat merelakan kematianmu?”
Sikap Imam Husain as ini tidak memudarkan semangat Qasim. Dia tetap memohon lagi agar beliau mengizinkannya untuk bertempur melawan musuh. Namun Imam tetap menahan kepergian Qasim. Remaja tampan ini bersedih, lalu terduduk seorang diri sambil merenung penuh duka cita. Di saat itu, tiba-tiba dia teringat pada pesan ayahnya saat masih hidup, Imam Hasan as., kepada Qasim Imam Hasan pernah berpesan: “Jika nanti suatu penderitaan sedang menimpamu, maka bukalah catatan yang kamu ikatkan dilenganmu, lalu bacalah dan amalkanlah.”[3]
Qasim kemudian berpikir-pikir lagi tentang musibah sedemikian besar yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dari situ dia lantas merasa bahwa sekarang inilah saatnya dia membaca surat wasiat itu. Surat itu dibukanya dan disitu dia mendapatkan pesan ayahnya yang mengatakan:
“Wahai Qasim, aku berpesan kepadamu, jika kamu mendapati pamanmu Husain di Karbala dalam keadaan terasing dan dikerumuni oleh musuh, maka janganlah kamu tinggalkan jihad, janganlah sampai kamu enggan mengorbankan jiwamu demi pamanmu.”[4]
Qasim lalu membawa pesan tertulis itu kepada Imam Husain as. Sang paman terharu, kemudian menangis begitu menyaksikan ciri khas tulisan tangan kakak yang amat dicintainya itu, lalu berkata kepada Qasim:
“Jika ayahmu telah berwasiat demikian kepadamu, maka saudaraku Hasan juga pernah berwasiat satu hal kepadaku, sehingga akupun sekarang harus menikahkan puteriku Fatimah denganmu.” Imam meraih tangan Qasim dan membawanya ke dalam tenda. Beliau bertanya kepada semua orang dan para pemuda yang ada di sekitarnya: “Adakah pakaian bagus untuk aku kenakan kepada Qasim?” Semua orang menjawab tidak.
Lalu Imam meminta adiknya, Sayyidah Zainab, supaya mengambilkan beberapa potong pakaian peninggalan Imam Hasan as dari sebuah peti. Setelah pakaian diserahkan, beliau mengenakan serban dan gamis Imam Hasan itu kepada Qasim, lalu mengakadnikahkan Fatimah dengannya. Begitu selesai, Imam berujar kepada Qasim: “Hai puteraku, adakah sekarang kamu siap melangkah menuju kematian?”[5]
Qasim menjawab: “Entahlah paman, bagaimana aku harus pergi meninggalkanmu seorang diri tanpa pelindung dan kawan, diantara sekian banyak musuh. Yang pasti, jiwaku siap berkorban untuk jiwamu, diriku siap melindungi dirimu.[6]”
Setelah kembali mengajukan permohonan dengan amat sangat untuk berperang, Imam Husain as akhirnya rela melepaskan Qasim berperang melawan musuh. Beliau menyobek serbannya menjadi dua potong, satu untuk beliau pakai lagi untuk serban, selebihnya beliau kenakan dalam bentuk kain kafan. Setelah menyerahkan sebilah pedang kepada Qasim, Imampun melepaskan kepergiannya ke arah musuh yang tak sabar menanti korban-korban suci selanjutnya.
Meski usianya masih belia, Qasim akhirnya mementaskan kehebatan ilmu perang yang dikuasainya di atas gelanggang sejarah Karbala. Sejumlah musuh jatuh bergelimpangan setelah menikmati kerasnya sabetan pedang Qasim.
“Imam Husain bin Ali dari jauh mencoba memberinya semangat, sementara pasukan musuh terus mengerubungi sambil menganiayanya secara bertubi-tubi. Saat mereka hendak memenggal kepalanya, remaja belia itu merintih dan meminta diberi kesempatan untuk mengucapkan suatu wasiat kepada seseorang. Namun, saat dia tidak melihat siapapun di dekatnya kecuali kuda tunggangannya. Maka, ditujukan kepada kudanya dia berkata: “Katakanlah kepada puteri pamanku, sesungguhnya aku terbunuh dalam keadaan dahaga seorang diri. Maka, jika kamu meminum air, ingatlah aku dan ratapilah aku, dan jika (di sini) kamu hendak mewarnai kukumu dengan sesuatu, maka warnailah dengan darahku.”Innnalillahi……
Abul Fadl Abbas
Saat putera-putera ksatria Ali bin Abi Thalib as tidak tersisa lagi kecuali Imam Husain as dan Abu Fadl Abbas, tibalah giliran Abulfadl Abbas. Abbas sang pemegang panji Karbala ini datang menghampiri kakaknya, Imam Husain as dan berkata:”
“Terbunuhya para sahabat dan kerabatku, telah membuatku tak kuasa lagi menahan rasa sabar. Maka izinkan aku untuk membalas darah mereka.”
Abu Fadhl Abbas[1] as adalah pria yang berperawakan tinggi, tegap, dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya Fisik Abbas, sehingga adik Imam Husain as dari lain ibu ini tenar dengan julukan ‘Purnama Bani Hasyim’ (Qamar bani Hasyim).Keberaniann, kehebatan, dan kekuatannya saat itu tak tertandingi oleh siapapun. hingga Imam Ali Zainal Abidin Assajjad as berkata:
“Sesungguhnya Abbas di sisi Allah memiliki kedudukan (sedemikian tinggi) sehingga seluruh para syuhada cemburu menyaksikannya pada hari kiamat.”[2]
Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus pemimpinnya itu, kata-kata yang dia ucapkan kepada beliau adalah: “Kakakku, sudahkah engkau mengizinkan aku?” Pernyataan Sang Purnama ini membuat hati Sang Imam luluh sehingga menangis tersedu dan berkata: “Adikku, engkau adalah pengibar panjiju dan lambang pasukanku.” “Engkaulah pemegang panjiku, namun cobalah engkau carikan seteguk air untuk anak-anak itu.”[5]
Abbas kemudian meraih tombak dan memacu kudanya, sambil membawa girbah (kantung air dari kulit) menuju sungai Elfrat yang seluruh tepinya dijaga oleh sekitar empat ribu pasukan musuh. Begitu Abbas tiba di dekat sungai itu, pasukan musuh segera mengepungnya sambil memasang anak panah yang diarahkan kepada adik Imam Husain as tersebut. Pemandangan seperti itu tak membuatnya gentar. Begitu beberapa anak panah melesat, Abbas segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh. Sekali terjang, pedang Abbas berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemanapun kuda Abbas bergerak, gerombolan musuh bubar dan porak poranda. Akibatnya, penjagaan sungai ElFrat yang berlapis-lapis akhirnya jebol diterjang pendekar Abbas.
Sambil menahan letih dan rasa haus yang mencekiknya, Abbas turun ke sungai dengan kudanya. Mula-mula dia berusaha cepat mengisi girbahnya dengan air. Setelah itu dia meraih air dengan telapak tangannya untuk diminumnya. Namun, belum sempat air itu menyentuh bibirnya, Abbas teringat kepada Imam Husain as dan kerabatnya, yang sedang kehausan menantikan kedatangannya. Air di telapak tangannya langsung dia tumpahkan lagi sambil berucap:
“ Demi Allah! aku tidak akan meneguk air sementara junjunganku Husain sedang kehausan.”[7]
Abbas as kemudian berusaha kembali dengan menempuh jalur lain, melalui tanah yang ditumbuhi pepohonan kurma, agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke tangan Imam. Namun, perjalanan Abbas tetap dihadang musuh. Dia tidak diperkenankan membawa air itu. Kali ini pasukan Umar bin Sa’ad semakin garang. Abbas dikepung lagi. Pasukan yang menghadang di depannya adalah pasukan pemanah yang sudah siap melepaskan sekian banyak anak panah untuk mencabik-cabik tubuh Abbas. Namun, sebelum menjadi sarang benda-benda tajam beracun itu, dengan tangkasnya pedang Abbas menyambar setiap musuh di depannya. Sejurus kemudian kepungan musuh kembali porak-poranda diobrak-abrik Abbas.
Menyaksikan kehebatan Abbas yang tidak bisa dipatahkan dengan berhadapan langsung itu, beberapa pasukan yang handal dalam berkuda diperintahkan untuk bekerjasama menghabisi Abbas dengan cara menyelinap dan bersembunyi di balik pepohonan kurma. Saat Abbas lewat, dua pasukan musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang juga bersembunyi di balik pohon, segera muncul sambil menghantamkan pedangnya ke tangan Abbas. Tangan kanan Abbas putus dan terpisah dari tubuhnya. Tangan kirinya segera menyambar girbah air dan pedangnya. Dengan satu tangan dan sisa-sisa tenaga itu, Abbas masih bisa membalas beberapa orang pasukan hingga tewas. Abbas as tetap berusaha bertahan dan menyerang walaupun badannya sudah lemah akibat banyaknya keluar darah. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba muncul dari balik pohon sambil mengayunkan pedangnya ke arah bahu Abbas. Abbas tak sempat menghindar lagi. Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anak keturunan Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus. Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain ini mencoba meraihnya kantung air dengan menggigitnya. Akan tetapi, kebrutalan hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air itu pun mengucur habis seiring dengan habisnya harapan Abbas. Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satu lagi anak panah ke dada Abbas. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi sambil memukulkan besi ke ubun-ubun Abbas. Abbas pun terjatuh dari atas kuda sambil berteriak kesakitan yang ditujukan kepada kakaknya: “Wahai kakakku, temuilah aku!” Dengan penggalan nafas yang masih tersisa, Abbas berucap lagi untuk kakaknya: “Salam atasmu dariku, wahai Abu Abdillah.”[9]
Suara dan panggilan Abbas ini terdengar oleh Imam Husain as, sehingga beliaupun berangkat ke arah Abbas sambil berteriak-teriak: “Dimanakah engkau?” AlHusain tidak mendapatakan jawaban dari Abbas. AlHusain as tiba-tiba dapat jawaban dari kuda yang tadi ditunggangi Abu Fadhl Abbas yang diberi nama Dzul Janah itu. kuda Abbas berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak melihat ke tanah?”[10]
Imam lantas melihat ke tanah, tampaklah di depan mata beliau dua pasang tangan tergeletak di atas tanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari situ pula, Imam melihat tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan penuh luka bersimbah darah. Imam pun tak kuasa menahan duka. Beliaupun menangis tersedu-sedu.
“Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.” Ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abbas. Di tengah isak tangisnya, Imam juga berucap kepada Abbas: “Adikku Abbas, Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan,. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”[11]Jasad Abbas yang tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar, bersuara lirih: “Kakakku Husain, tolong! jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal memenuhi janjiku untuk membawakan air untuk anak-anak kecil itu, aku adalah pemegang panji sayap tengah. Jika orang-orang di perkemahan sana tahu, bahwa aku telah terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”Imam Husain as kembali mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersimbah darah itu. Air mata Abbas yang mengalir beliau usap. “Mengapa engkau menangis wahai Abbas?” Tanya Imam. “Wahai kakakku, wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan menangis, saat aku melihatmu mengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkanku dalam pangkuanmu, sementara tak lama lagi tidak akan ada seorangpun yang akan meraih dan mendekap kepalamu, tidak ada seorangpun yang akan membersihkan debu-debu dan tanah di wajahmu.” Kata-kata Abbas ini semakin meluluhkan hati Imam Husain as, sehingga beliau semakin terbawa derai isak dan tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik mentari yang membakar. Dengan hati yang pilu, Sang Imam mengucapkan salam perpisahan kepada tulang punggung pasukannya yang sudah tak berdaya itu, lalu beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat. Abbas pun gugur tergeletak bermandikan darah, beralaskan debu, dan di bawah guyuran cahaya panas mentari sahara
Begitu tiba di tenda tempat beliau tinggal, Imam yang masih tak kuasa membendung derai air mata duka, segera disambut dengan pertanyaan dari puterinya, Sukainah. “Ayah, bagaimanakah dengan nasib pamanku? Bukankah dia telah berjanji kepadaku untuk membawakan air ? bukankah pamanku tidak mungkin ingkar janji?”
Ali Ashgar
Setelah para pemuda dan para pengikutnya sudah terbunuh, Imam Husain as akhirnya mempersiapkan diri untuk mengorbankan jiwa dan raganya.Di saat-saat terakhir itu, Imam Husain as mendatangi tenda satu persatu. Beliau panggil anak-anak beliau. Beliau meminta mereka untuk tabah dan sabar. “Hai para pelipur hatiku sekalian, “Allah tidak akan berpisah dengan kalian di dunia dan akhirat. Ketahuilah! dunia ini tidaklah abadi. Akhiratlah tempat persinggahan yang abadi.” Imam Husain as kemudian menumpahkan segala rahasia kepemimpinan (imamah) kepada putera yang kelak mewarisi kepemimpinannya, Ali Zainal Abidin Assajjad as.
Imam Husain as antara lain berkata: “Pusaka-pusaka para nabi, washi, dan kitab suci, aku serahkan kepada Ummu Salamah, dan semuanya akan diserahkan (kepadamu) sepulangmu dari Karbala.”
Imam lalu mendekati adiknya, Zainab AlKubra as dan meminta supaya diambilkan gamisnya yang sudah lama dan usang. Dengan wajah yang dipenuhi penderitaan dan duka cita, Sayyidah Zainab mencarikannya kemudian menyerahkannya kepada Imam. Beliau mengenakannya setelah sebagian beliau sobek kemudian diikatkan kuat-kuat sebagai tali yang mengikat gamis itu dengan tubuhnya agar tak mudah lepas atau dibuka oleh orang lain. Gerakan Sang Imam yang diiringi oleh ratapan dan tangisan anggota kerabat yang ada di sekitarnya, seiring dengan jerit tangis bayi mungil Ali al-Asghar, putera beliau yang masih berusia enam bulan. Bayi itu menjerit-jerit menahan dahaga setelah sekian lama tidak mendapatkan tetesan air susu dari ibunya, yang juga sudah lama tercekik kehausan.Tak tega mendengar tangisan itu, Imam meminta puteranya yang masih bayi itu supaya diberikan kepada beliau. Bayi itu diserahkan kepada beliau oleh seorang wanita bernama Qandaqah. Beliau meraih bayi itu lalu menciuminya sambil berucap: “Alangkah celakanya kaum ini sejak mereka dimusuhi oleh kakekmu.” Bayi bernama Ali Asghar itu beliau bawa ke depan barisan pasukan musuh, dan memperlihatkannya kepada mereka untuk menguji, adakah diantara mereka yang masih menyisakan jiwa dan perasaan mereka sebagai manusia.: “Ya Allah, hanya inilah yang tertinggal dariku, dan jiwanyapun rela aku korbankan di jalan-Mu” Beliau lalu menatap wajah-wajah manusia durjana di depannya. Bayi itu beliau junjung ke atas sambil berseru:
“Hai para pengikut keluarga Abu Sufyan, jika kalian menganggapku sebagai pendosa, lantas dosa apakah yang diperbuat oleh bayi ini sehingga setetes airpun tidak kalian berikan untuknya yang sedang mengerang kehausan.”
Tidak seorangpun diantara manusia iblis itu yang tersentuh oleh kata-kata beliau. Yang terjadi justru keganasan yang tak mengenal sama sekali rasa kasih sayang. Seorang berhati srigala bernama Harmalah bin Kahil Al-Asadi, diam-diam mencantumkan pangkal anak panahnya ke tali busur, lalu menariknya kuat-kuat. Tanpa ada komando, benda yang ujungnya runcing melesat ke arah bayi Ali Asghar. Tidak sampai satu detik, kemudian bayi malang itu, menggelepar di atas telapak tangan Imam Husain as. Sang ayah yang tak menduga akan mendapat serangan sesadis itu, sehingga tak sempat berkelit atau melindunginya dengan cara apapun. Beliau tak dapat berbuat sesuatu hingga bayi itu diam tak berkutik. Ali Ashgar telah menemui ajalnya dalam kondisi yang mengenaskan. Darah segar mengucur dari lehernya hingga menggenangi telapak tangan ayahnya. Dengan demikian, lengkaplah penderitaan Imam Husain as.
Dengan hati yang tersayat-sayat, beliau melangkah kelbali ke arah perkemahan. Beliau menggali lubang kecil untuk tempat persemayaman jasad suci Ali Asghar. Dari langit beliau mendengar suara bergema: “Biarkanlah dia gugur, wahai Husain, sesungguhnya di surga sudah menanti orang yang akan menyusuinya.”[2]
15. Perpisahan Terakhir
Detik-detik terakhir kehidupan Imam Husain as telah semakin berdetak keras. kepada kaum wanita, keluarga dan kerabatnya, beliau yang siap menyongsong kesyahidan itu berkata:
“Kenakanlah gaun duka cita kalian. Bersiaplah menanggung bencana dan ujian. Namun, ketahuilah bahwa Allah adalah Penjaga dan Pelindung kalian. Dia akan menyelamatkan kalian dari keburukan musuh, mendatangkan kebaikan dari persoalan yang kalian hadapi, mengazab musuh dengan berbagai macam siksaan, dan akan mengganti bencana kalian dengan berbagai macam kenikmatan dan kemuliaan. Maka janganlah kalian mengeluh dengan rintihan dan kata-kata yang dapat mengurangi keagungan kalian.” [1]
Imam menatap wajah puterinya satu persatu sambil berkata: “Sukainah, Fatimah, Zainab, Ummu Kaltsum, salamku atas kalian. Inilah akhir pertemuan kita, dan akan segera tiba saatnya kalian dirundung nestapa.”[2]
Sang Imam kemudian bergerak untuk menjejakkan kakinya seorang diri menuju gerombolan musuh yang sudah haus akan darah beliau. Namun, gerakannya tertahan lagi oleh sisa-sisa jerit tangis anak-anak yang menahan dahaga. “Tak usah kalian menangis, demi kalian jiwaku akan aku korbankan.”
Kepada adiknya, Hazrat Zainab as, beliau berpesan:
“Aku titipkan anak-anak dan kaum wanita ini kepadamu. Jadikanlah kamu sebagai ibu mereka sepeninggalku, dan tak perlu engkau mengurai-uraikan rambutmu (sebagai luapan dukacita) atas kepergianku. Apabila anak-anak yatimku merindukan ayahnya, biarlah puteraku Ali yang akan tampil sebagai ayah mereka.”
AlHusai kemudian mengendarai Dzul Janah, kuda yang sebelumnya ditunggangi oleh Abul adhl Abbas as. Anak-anak kecil dan kaum wanita tetap tak kuasa menahan ratapan duka lara. Gerakan Imam diiringi raung tangis mereka. Sebagian tersimpuh sambil memeluk kaki kuda imam.sambil memanggi-manggil: “Ayah! Ayah!” Panggil puteri beliau yang masih berusia tiga tahun. “Aku haus, aku haus! Mau kemana engkau ayah? Lihatlah aku, ayah. Aku sedang kehausan.”
Hati Sang Imam kembali menjerit. Imam sempat tersedu menahan tangis, tetapi kemudian tetap menarik kendali kudanya menuju laskar iblis Bani Umayyah. terjadilah duel satu lawan satu.. Akibatnya, satu persatu lawan-lawan beliau dalam duel bergelimpangan menjadi korban hantaman pedang beliau. Umar bin Sa’ad lantas berteriak kepada pasukannya: “Tahukah kalian dengan siapakah kalian hendak bertarung?!”
Umar bin Sa’ad rupanya baru menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan bukan sembarang orang, termasuk untuk urusan ini. Dia adalah putera pendekar Islam, Imam Ali bin Abi Thalib as. Dia adalah putera ksatria yang dijuluki dengan Haidar Al-Karrar, Singa Yang Pantang Mundur. Dia adalah putera si pemilik pedang Dzulfikar yang telah banyak menghabisi benggolan-benggolan pendekar kaum kafir dan musyrik. Dia adalah putera yang mewarisi semua kehebatan ayahnya. Karenanya, tak mengherankan jika Imam Husain as tak tertandingi oleh siapapun dalam pertarungan secara ksatria. Oleh sebab itu, begitu beliau tidak bisa dirobohkan dengan cara-cara jantan, pasukan musuh akhirnya mengepung beliau yang sendirian dari segenap penjuru. Mereka sudah siap merenggut nyawa beliau dengan cara mengeroyok habis-habisan.
Hati musuh sama sekali sudah buta dan tak mengenal belas kasih. Dalam perlawanan sekuat tenaga itu, tubuh Imam Husain as terpaksa semakin bermandikan darah saat tombak-tombak dan panah musuh ikut mengambil daya pertahanan beliau.
Dari arah kemah para wanita, sayyidah Zainab tak kuasa menahan diri menyaksikan kakaknya menjadi sasaran pembantaian seganas itu. Wanita agung menjerit-jerit mengadukan penderitaan kepada kakek, ayah, dan pamannya yang sudah bersemayam di alam keabadian.
“Oh Muhammad! Oh Ayah! Oh Ali! Oh Jakfar!” Ratap Zainab tersedu-sedu. “Alangkah baiknya seandainya langit ini runtuh menimpa bumi! Alangkah baiknya seandainya gunung-gunung ini berhamburan menimpa sahara.”[6]
Puteri Fatimah Azzahra as mencoba mendekati ajang pembantaian kakaknya. Di saat yang sama, manusia biadab Umar bin Sa’ad dan gerombolannya bergerak menuju perkemahan keluarga dan rombongan Imam Husain as. Di saat tubuh Imam roboh dan nafasnya sudah tersengal-sengal menanti ajal, gerombolan manusia liar itu mengobrak-abrik perkemahan anak keturunan Rasul tersebut. Mereka melakukan aksi pembakaran, merampasi harta benda, dan menangkapi dan menggiring kaum wanita dan anak-anak kecil sebagai tawanan.
Sayyidah Zainab berteriak kepada Umar bin Sa’ad: “Hai Umar, apakah Abu Abdillah terbunuh dan kamu menyaksikannya sendiri?!” Entah mengapa, kata-kata wanita pemberani ini tiba-tiba menggedor perasaan putera Sa’ad itu sehingga tak berani menjawabnya dengan bentakan. Bagai binatang pandir, dia tak berani menjawab atau menatap wajah Zainab. Dia memaling muka.[7]
Zainab berteriak lagi: “Adakah seorang Muslim diantara kalian?!” Tak seorangpun menjawabnya. Saat gerombolan itu dibungkamkan oleh kata-kata Hazrat Zainab, tubuh Imam Husain as yang masih bernafas, tiba-tiba bangkit lalu menerjang beberapa pasukan yang ada di dekatnya sehingga mereka mundur.
Setelah berusaha melakukan perlawanan sekian lama di depan pesta pembantaian itu, Imam Husain as mencoba menjauh dari pasukan lawan untuk mengatur nafas. Namun, tiba-tiba sebuah batu melayang dari arah musuh dan mengena kepala beliau. Darahpun mengucur deras lagi. Belum selesai beliau mengusap darahnya yang suci itu, dada beliau diterjang sebuah anak panah bermata tiga. Tertembus panah beracun itu, beliau berucap: “Bismillahi wa billahi wa ‘ala millati rasulillah.”Beliau menatap langit dan berdesah lagi:” Ilahi, sesunggungnya Engkau mengetahui, mereka telah membunuh seseorang di muka bumi yang tak lain adalah putera Nabi.”[9]
Di saat beliau semakin kehabisan tenaga itu, beliau mencabut anak panah itu dari dadanya. Darah kembali menggenang. Sebagian beliau hamburkan ke atas dan sebagian yang lain beliau usapkan ke wajahnya sambil berucap: “Beginilah aku jadinya hingga aku bertemu dengan kakekku Rasulllah dalam keadaan berlumuran darah, lalu aku adukan kepada beliau: fulan, fulan telah membunuhku.”[10]
Setelah itu sempat terjadi keheningan beberapa saat. Untuk sementara waktu masih belum ada seorangpun yang berani tampil sebagai pembunuh utama cucu Rasul itu di depan Allah SWT kelak. Diriwayatkan, bahwa saat itu pula tiba-tiba Imam Husain as didatangi bayangan wajah kakek dan ayahnya. Wajah-wajah suci itu bertutur kepada beliau: “Cepatlah kemari, sesungguhnya kami sangat merindukanmu di surga.”[12]
Keheningan itu ternyata tak berlangsung lama. Umar bin Sa’ad kembali buas dan memerintahkan anak buahnya untuk segera menghabisi Imam Husain. Maka tampillah Shabats sebagai orang pertama yang berani mendaratkan mata pedangnya ke kepala Imam Husain as. Namun, saat mata Imam menatap tajam wajah Shabats, tubuh pria ini tiba-tiba gemetaran lalu menggigil keras sehingga pedang yang ditangannya terhempas ke tanah. Dengan wajah pucat pria itu berkata kepada Umar bin Sa’ad: “Hai Putera Sa’ad, kamu tidak mau membunuh sendiri Husain agar nanti akulah yang akan dibalas. Tidak. Aku tidak mau bertanggujawab atas darah Husain.”
Syabats segera ditegur oleh seseorang bernama Sannan bin Anas. “Kenapa kamu tidak jadi membunuhnya?!” Tanya Samnan ketus.
Syabats menjawab: “Dia menatap wajahku, Sannan! Kedua matanya menyerupai mata Rasulullah. Sungguh, aku segan membunuh seseorang yang mirip dengan Rasul.”
Sannan dengan congkaknya berkata: “Berikan kepadaku pedangmu itu, karena akulah yang lebih patut untuk membunuhnya.” Begitu pedang itu pindah ke tangannya, Sannan segera menenggerkannya di atas kepala beliau. Imam yang sudah tak berdaya itu kembali menatap wajah orang yang berniat menghabisinya itu. Seperti yang dialami, Syabats, tubuh Sannan yang kotor itu tiba-tiba juga menggigil ketakutan setelah ditatap Imam dengan tajam. Sannan mengambil langkah mundur sambil berucap: “Aku berlindung kepada Tuhannya Husain dari pertemuan dengan-Nya dalam keadaan berlumuran darah Husain.”
Kini tibalah giliran Syimir bin Dziljausan. Pria yang menutupi wajah, dan hanya menyisakan celah untuk matanya ini menghampiri Sannan sambil mengumpat. “Semoga ibumu meratapi kematianmu, kenapa urung membunuhnya!?” Maki Syimir.
Sambil menyeringai Syimir berseru: “Berikan pedang itu kepadaku. Demi Allah, tak ada seorangpun yang lebih layak dariku untuk membunuh Husain. Akulah yang akan menghabisinya, walaupun dia mirip Al-Mustafa ataupun Al-Murtadha.”
Syimir berpaling ke arah pasukannya lalu membentak: “Hai, tunggu apa lagi?! Cepat bunuh dia!!” Tanpa basa-basi lagi, satu anak panah melesat ke arah Imam Husain dari Hissin bin Numair. Sejurus kemudian yang lain ikut ramai-ramai menghajar Imam Husain sehingga tak ada anggota tubuh suci cucu Rasul itu yang luput dari hantaman benda tajam, dan benda tumpul. Batu-batupun bahkan ikut meremukkan tubuh beliau.
Syimir bersumbar lagi sambil tertawa terbahak-bahak : “tak ada orang yang lebih patut dariku untuk membunuh Husain”. Dia bergerak mendekati Imam Husain yang terbaring di tanah lalu menduduki dada Imam Husain as yang masih bergerak turun naik. Imam mencoba membuka kedua kelompak matanya dan menatap wajah Syimir yang menyeringai di depan wajah beliau, namun tatapan beliau kali ini tak meluluhkan hati Syimir yang sudah sangat membatu. Bukannya ketakutan, dari mulut Syimir yang tertutup kain itu malah keluar kata-kata:
“Aku bukanlah seperti mereka yang mengurungkan niat untuk membunuhmu. Demi Allah, akulah yang akan menceraikan kepalamu dari jasadmu, walaupun aku tahu kamu adalah orang yang paling mulia karena kakek, ayah, dan ibumu itu.”
“Hai siapa kamu sehingga berani menduduki tubuh yang sering diciumi oleh Rasul ini?”
“Aku Syimir bin Dzil Jausyan!”
“Apakah kamu tahu siapa aku?”
“Aku tahu persis. Ayahmu adalah Ali Al-Murtadha, ibumu Fatimah Azzahra, kakekmu Muhammad al-Mustafa, dan nenekmu Khadijah Al-Kubra.”
“Alangkah celakanya kamu. Kamu tahu siapa aku, tetapi mengapa akan membunuhku dengan cara seperti ini?”
“Supaya aku bisa mendapat imbalan besar dari Yazid bin Muawiah.”
“Kamu lebih menyukai imbalan dari Yazid daripada syafaat kakekku?”
“Yah, aku lebih menyukai imbalan Yazid.”
“Karena tidak ada pilihan lain bagimu kecuali membunuhku, maka berilah aku seteguk air.”
“Oh tidak! Itu tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa meneguknya sebelum kamu meneguk kematian.”
Syimir kemudian menyingkap dan melepas kain penutup muka yang hanya menyisakan celah untuk kedua matanya yang juling itu. Maka, nampaklah seluruh wajah Syhmir yang buruk, kasar, belang, dan ditumbuhi bulu-bulu keras itu. Mulutnya ditutup oleh penutup seperti penutup mulut anjing supaya tak menggigit. Melihat wajah Syimir, Imam Husain as segera berucap:
“Benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah.”
“Apa yang dikatakan kakekmu itu?!” Tanya Syimir angkuh. “Kakekku pernah berkata kepada ayahku, Ali: ‘Sesungguhnya puteramu ini akan dibunuh oleh seseorang yang berkulit belang, bermata juling, bertutup mulut seperti anjing, dan berambut keras seperti bulu babi.”
“Kakekmu telah menyamakanku dengan anjing?! Demi Allah, aku Pisahkan kepalamu dari lehermu.”
Syimir mencabut pedang dari sarungnya dan tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki bengis mengayunkan pedangnya kuat-kuat ke leher cucu Rasul dan putera Fatimah Azzahra itu. Sekali tebas, kepala manusia mulia terlepas dari badannya. Terpisahnya kepala manusia suci itu disusul dengan suara takbir tiga kali dari liang mulut balatentara Umar bin Sa’ad yang busuk itu. Kepala yang dulu sering diciumi oleh Rasulullah SAWW itu ditancapkan ke ujung tombak.
Langitpun kelabu. Bumi meratap pilu.
“Salam atas putera Nabi Putera Terakhir, salam atas putera pemuka para washi, salam atas putera Fatimah Azzahra, salam atas putera Khadijah Al-Kubra, salam atas putera Sidaratul Muntaha, salam atas putera surga Al-Ma’wa, salam atas putera Zamzam dan Safa, salam atas dia yang telah bermlumuran darah bercampur debu, salam atas dia yang kemahnya telah dihujani anak panah, salam atas orang kelima penghuni Al-Kisa’, salam atas dia, orang yang paling terasing, salam atas pemuka para syuhada, salam atas manusia yang ditangisi oleh para malaikat di langit, salam atas manusia yang selalu didatangi oleh orang-orang yang menderita. Salam atas bibir-bibir yang kekeringan, salam atas jasad-jasad yang terlucuti, salam atas kepala-kepala yang terpenggal, salam atas wanita-wanita yang tertawan, salam atas hujjah Allah.”
Salam kepad jasad yang berlumuran darah. Salam kepada jasad yang dihiasi anak panah. Salam kepada jasad tanpa kepala. Salm kepada jasad yang diinjak-injak ribuan kaki kuda. Salam kepada kepala yang membaca ayat-ayat-Nya. Salam kepada manusia ashhabulkisa. Salam kepada Aba Abdillah Al-Husain. Salam kepada Ali putra Al-Husain. Salam kepada putra-putra Al-Husain. Salam kepada sahabat-sahabat Al-Husain.