Habib Muhammad bin Ahmad Al-Ahdal menceritakan bahwa setelah Imam Muhammad bin Daud selesai menulis kitab Ajjurumiyah yang ditulisnya di depan Ka'bah, beliau kemudian pergi ke sebuah sungai sambil berkata dalam hati, "Ya Allah, jika karyaku ini tidak bermanfaat, maka bawalah ia bersama air." Beliau lalu meletakan kitabnya di atas air yang mengalir sambil berucap, "Jurru Miyyah (mengalirlah wahai air)." Air tersebut tetap mengalir, namun tanpa membawa serta kitabnya, bahkan tidak basah sedikitpun.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi menceritakan bahwa tiada satu Hadits dalam kitab Ihya Ulumuddin kecuali Imam Ghazali akan shalat dua rakaat dan mencium tulisan Hadits tersebut. Jika Hadits itu berbau wangi maka beliau akan memasukannya ke dalam Ihya. Jika tidak, maka ditinggalkan.
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menceritakan bahwa ketika Imam Ibnu Arabi selesai menyusun kitab Futuhat Makiyyah, beliau meletakan kitabnya tersebut di atas Ka'bah selama setahun. Beliau meminta kepada Allah agar menghancurkan kitabnya itu jika tidak bermanfaat bagi umat. Namun setelah setahun berlalu, kitab tersebut masih utuh, padahal tahun itu Makkah sempat diguyur hujan dan badai pasir.
Demikian contoh Mawahib (karamah dalam suatu karya) pada ulama-ulama terdahulu sehingga karyanya tersebut masih lestari dan bermanfaat bagi umat hingga kini. Maka hati-hati dengan lidah dan hati kita, jangan seperti Tetangga sebelah yang baru hafal satu-dua ayat telah berani mendhaifkan bahkan menuduh sesat kitab-kitab ulama terdahulu.
Ket. Foto; KH. Lukman Hakim, pengurus Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang menunjukan kitab tulisan tangan Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari yang ditulis puluhan tahun lalu. Tetap utuh tanpa ada satu huruf pun yang buram, dan tak ada satupun kertasnya yang lapuk. Ada sekitar 20 kitab karya beliau yang hingga kini masih utuh.