CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

24 Nov 2016

Ajaran Toleransi Maulana Habib M. Luthfi bin Yahya



“Jika sulit mencari alasan untuk menghormati pemeluk agama lain, alasan bahwa dia adalah manusia ciptaan Allah Swt. saja sudah cukup.” (Maulana Habib M. Luthfi bin Yahya) 

Ketika kita telah menjelma kasih sayang di antara sesama kita pasti kedamaian itu akan semakin kokoh, semakin kuat dan semakin melejit. Dan cahaya kedamaian itu tidak dirasakan untuk Bangsa Indonesia saja, melainkan juga akan ditiru oleh bangsa lain.

Kita melihat tokoh-tokoh sesepuh kita, dari Budha, Hindu, Kristiani, Katolik, Protestan, dlsb. juga yang Muslim, kita melihat secara langsung ternyata semuanya koq Indonesia. Beda memang, ok, beda. Tapi saya kira tidak ada kalimat ‘Beda Indonesia’.

Rahmat Yang Maha Kuasa itu cepat turun karena kedamaian. Coba ribut terus, berkah dicabut, isinya hanya permusuhan, curiga, dan lain sebagainya. Ya ndak ada habisnya. Kalau orang selalu mencari kejelekan, saya jadi teringat nasihat guru saya, “Luth, Luth...”

“Ada apa Kiai?”

“Kamu kalau melihat orang lain, hidungmu itu dikasih minyak wangi, dioleskan. Nantinya mencium siapa pun akan wangi. Jika istrimu saat memasak maka akan berbau kompor, yang memakai kayu bakar maka berbau kayu, tapi tetap sedap karena di bawah hidungmu ada minyak wanginya. Secantik apapun jika di bawah hidungmu ada kotorannya maka jadi tak karuan. Sudah tampil cantik, mandinya sungguhan, ternyata bau kotoran. Dia tidak melihat, ternyata yang ada kotoran di bawah hidungnya adalah dirinya sendiri.”

Itulah kalau kita selalu memandang tidak baik, curiga terus, saya mengingat; ‘Eh di hidungku ada kotorannya tidak’. Nah ini suatu ajaran dari sesepuh-sesepuh kita. Dari sinilah kekuatan yang tanpa kita prediksi. 

Dengan doa bersama ini melambangkan dan menunjukkan suatu kekuatan Indonesia yang tidak main-main. Saya sedikit memperingatkan untuk kita semuanya, kalau Indonesia ini umpanya ditekan oleh oknum-oknum politik entah luar negeri atau siapapun, kita ndak mempan. Digoyahkan tentang faktor ekonomi, Indonesia masih tetap kuat. Ujungnya yang paling berbahaya adalah, ‘benturkan antar-umat beragama’. Itulah 

(Sumber: Fp IbjmArt.com)

22 Nov 2016

Tentang KHR. As'ad Syamsul Arifin



Saya belum pernah berjumpa dengan beliau, tapi saya merasa dekat dan sayang kepada beliau melalui cerita cerita indah nan hebat tentang beliau dari almarhum ayahanda
H. Nadhir Muhammad.

Di bulan dimana beliau dinobatkan sebagai pahlawan nasional,ingin saya mengenang beliau melalui cerita almarhum ayah;

1. "Kiai As'ad itu kiai sakti nak". kalimat dari ayah saya itu masih teringat jelas di ingatan.
bagaimana ketika almarhum ayah berkeinginan kuat melaksanakan haji namun belum memiliki bekal, maka kiai As'ad memakaikan kopiyah putih ke ayah saya sambil berucap "haji, haji". Dan Alhamdulillah setelah itu juga ayah saya mendapat beasiswa kuliah S2 ke baghdad dari kiai idham khalid, dan dari situ bisa menunaikan ibadah haji.

2. "Nak,ketika bapak ditahan tentara di kodim gara gara bapak menjadi ketua pemenangan pemilu PPP tahun 1982 dan Golkar kalah waktu itu, bapak ngamalkan wiridan dari kiai As'ad di penjara, dan alhamdulillah selesai wiridan, langsung ada telpon dari militer pusat supaya bapak dibebaskan". kalimat ini, lebih teringat lagi di benak saya. Mungkin karena waktu itu ibu saya "terpaksa" mengandung saya dalam keadaan almarhum ayah ditahan oleh rezim orde baru golkar. sebuah wirid yang ketika saya telusuri, berasal dari syaikh Bahauddin An-Naqsyabandi.

3. Yang terakhir walau masih teramat banyak kenangan yang lain, dan ini menurut saya yang paling penting. "Nak, ketika pak harto memberi kiai as'ad mobil sedan karena menerima asas tunggal pancasila, mobil itu tetap diterima supaya tetap menjaga hunungan baik dengan pak harto, tapi setelah itu mobilnya langsung diberikan ke orang lain". Bagaimana Ayah saya menggambarkan kiai As'ad sebagai kiai dan tokoh yang ikhlas berjuang untuk rakyat indonesia. beliau menerima pancasila dan menjaga hubungan baik dengan pemerintah bukan karena materi apalagi jabatan. beliau lakukan itu semua karena rasa sayang kepada rakyat indonesia. Ya, rasa sayang kepada sesama inilah karakter wajib yang harus dimiliki seorang wali Allah, dalam tingkatan apapun juga.

Kiai As'ad, gelar pahlawan nasional ini pasti bukanlah yang kiai As'ad cari, gelar ini tidak lain hanya busyra -kabar gembira- dari Allah, sebagaimana syaikh ibn Athoillah sakandari berhikmah, tanda amal diterima oleh Allah di akhirat adalah adanya "tanda gembira" di dunia.gelar ini hanya salah satu pengingat dari Allah untuk rakyat indonesia, bahwa kiai As'ad memang memiliki tempat yang teramat mulia di sisi Allah. Amin Ya Allah.

الى العارف بالله الشيخ أسعد شمس العارفين ،الفاتحة...

Ahmad Gholban Aunir Rahman
Talangsari Jember

Kisah Teladan, Sang Kyai Mencari Jodoh



Kisah Seorang Kyai Yang Mencari Jodoh

Syahdan, adalah seorang kiai dari suatu daerah. Kiai ini sudah hampir mendekati lima puluh tahun usianya, tetapi masih membujang. Keinginan untuk berkonsentrasi sebagai Kiai tanpa menghiraukan urusan dunia termasuk wanita, membuatnya menjadi bujang lapuk. Tapi soal kebutuhan penyaluran syahwat, tetap saja mengusik setiap hari. Apalagi kalau ia berfikir, siapa nanti yang meneruskan pesantrennya kalau ia tidak punya putra ?

Dengan segala kejengkelan pada diri sendiri dan gemuruh jiwanya, akhirnya Sang Kyai melakukan istikhoroh, mohon petunjuk kepada Allah, siapa sesungguhnya wanita yang menjadi jodohnya?
Petunjuk yang muncul dalam istikhoroh, adalah agar Sang Kyai mendatangi sebuah komplek pelacuran terkenal di daerahnya. “Disanalah jodoh anda nanti…” kata suara/tanda isyarat dalam istikhoroh itu.

Tentu saja Sang Kyai menangis tak habis-habisnya, setengah memprotes Tuhannya. Kenapa ia harus berjodoh dengan seorang pelacur ? Bagaimana kata para santri dan masyarakat sekitar nanti, kalau Ibu Nyainya justru seorang pelacur? “Ya Allah…! Apakah tidak ada perempuan lain di dunia ini ?”

Dengan tubuh yang gontai, layaknya seorang yang sedang mabuk, Sang Kyai nekad pergi ke komplek pelacuran itu. Peluhnya membasahi seluruh tubuhnya, dan jantungnya berdetak keras, ketika memasuki sebuah warung dari salah satu komplek itu. Dengan kecemasan luar biasa, ia memandang seluruh wajah pelacur di sana, sembari menduga-duga, siapa diantara mereka yang menjadi jodohnya.
Dalam keadaan tak menentu, tiba-tiba muncul seorang perempuan muda yang cantik, berjilbab, menenteng kopor besar, memasuki warung yang sama, dan duduk di dekat Sang Kyai. “Masya Allah, apa tidak salah perempuan cantik ini masuk ke warung ini?” kata benaknya.

“Mbak, maaf, Mbak. Mbak dari mana, kok datang kemari ? Apa Mbak tidak salah alamat ?” tanya Sang Kyai pada perempuan itu. Perempuan itu hanya menundukkan mukanya. Lama-lama butiran airmatanya mulai mengembang dan menggores pipinya. Sambil menatap dengan mata kosong, perempuan itu mulai mengisahkan perjalanannya, hingga ke tempat pelacuran ini. Singkat cerita, perempuan itu minggat dari rumah orang tuanya, memang sengaja ingin menjadi pelacur, gara-gara ia dijodohkan paksa dengan pria yang tidak dicintainya.

“Masya Allah…. Masya Allah… Mbak.. Begini saja Mbak, Mbak ikut saya saja .…” kata Sang Kyai, sambil mengisahkan dirinya sendiri, kenapa ia pun juga sampai ke tempat pelacuran itu. Dan tanpa mereka sadari, kedua makhluk itu akhirnya sepakat untuk berjodoh.
Kisah tentang Sang Kyai ini sesungguhnya merupakan refleksi dari rahasia Allah yang hanya bisa difahami lebih terbuka dari dunia Sufi.

Hal ini menggambarkan bagaimana dunia jiwa, dunia moral, dunia keindahan dan kebesaran Ilahi, harus direspon tanpa harus ditimbang oleh fakta-fakta normatif sosial yang terkadang malah menjebak moral seorang hamba Allah.

Sebab tidak jarang, seorang Kiai, sering mempertaruhkan harga dirinya di depan pendukungnya, ketimbang mempertaruhkan harga dirinya di depan Allah. Dan begitulah cara Allah menyindir para Kyai, dengan menampilkan Sang Kyai ini.


Sumber dengan beberapa edit

17 Nov 2016

Penyakit RASIS


Sayyidi al-Habib Umar bin Hafidz:

"Rasisme adalah penyakit dari orang-orang kafir! 
Ketika Abu Bakar RA menebus Bilal RA dari perbudakan dan kebebasannya dikabulkan, Abu Bakar dan Umar radhiallahu anhuma memanggil Sayyidina Bilal RA dengan sebutan Tuan karena derajatnya (ketakwaannya) yang tinggi, dekat dengan Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ.

Ketika Nabi ﷺ diutus, beliau membawa kesetaraan kedudukan dalam Islam, jika kalian masih memiliki penyakit ini (rasis), ketahuilah bahwa kalian memiliki penyakit yang sama dari orang-orang kafir atau non-Muslim".

Biografi Habib Ali Al-Jufri, Sang Da'i Fenomenal



Rusaknya moral umat manusia sudah bukan lagi berita baru. Semua orang yang merenung pasti menyadarinya. Semakin lama semakin banyak hal-hal tabu yang menjadi suatu hal yang biasa bahkan istimewa. Demikian pula perseteruan antar ideologi yang tak ada habisnya. Saling tuding, saling menuduh dan saling mengafirkan sudah jadi tontonan wajib. Parahnya, saling benci hanya karena berbeda ideologi itu sudah menjadi hal lazim, bahkan saling bunuh.

Kini kita nampak hidup di zaman jahiliah. Wanita sudah malu tuk berbusana. Maksiat pun biasa dilakukan dihadapan ribuan mata. Bahkan maksiat juga bisa bikin orang bangga. Saat ombak kemiskinan moral menggunung. Di tengah gejolak pemikiran yang memanas. Dan di masa modernitas jahiliah. Masih terdapat kebaikan di dalam tubuh umat Islam. Kita masih menemukan sosok-sosok manusia jaman dulu, yaitu para ulama yang mengamalkan ilmunya serta membawa manhaj nabawi serta menaburkannya di muka bumi.

Adalah Habib Ali al-Jufri salah satu ulama yang cukup berpengaruh dewasa ini. Sebelum terbitnya fajar Jum’at 20 Shafar 1931 yang bertepatan dengan 16 April 1971 ia meneriakkan tangisan pertamanya di Kota Jeddah, Arab Saudi. Ulama berwajah tampan ini bernama asli Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri dari keluarga Ba’alwi yang nasabnya bersambung sampai pada Rasulullah Saw.

Ayahnya adalah Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Alwi bin Ali bin Ahmad bin Alwi bin Abdurrahman Maula al-‘Ursah bin Muhammad bin Abdullah at-Turisi bin Ali al-Khawwash bin Abu Bakar al-Jufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Ubaidullah bin Ahmad bin al-Muhâjir ilallâh Ahmad bin Isa ar-Rumi bin Muhammad bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali Kw. bin Abu Thalib suami Siti Fathimah binti Rasulullah Saw.

Selain mewarisi garis keturunan dari Rasulullah Saw., ia juga mewarisi ilmu dan akhlaq beliau Saw. Tumbuh di lingkungan akademis nan agamis di sekeliling keluarganya, sejak kecil ia sudah dicekoki dengan wejangan-wejangan keagamaan bernuansa sufi ala tarekat Alawiyah.



Di masa kecilnya, ia sudah banyak menerima sentuhan-sentuhan energi rohani serta pelajaran agama dari bibinya yang juga merupakan seorang wanita salehah yaitu al-Ârifah billah Hababah Shafia binti Alwi al-Jufri.

Selanjutnya ia menjalani jalan setapak para penuntut ilmu agama dengan mengambil ilmu-ilmu agama dari guru-guru yang mempunyai sanad yang bersambung sampai pada Rasulullah Saw. Sejak umur 10 tahun ia mulai berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah. Dari Habib Abdul Qadir ini ia belajar banyak ilmu agama beserta sanadnya sampai pada umur yang ke-21.

Setelah itu ia belajar kepada beberapa ulama lain, seperti Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad, Habib Abu Bakar Alattas di Mekkah, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Habib Hamid bin Alwi al-Haddad, Habib Abu Bakar al-‘Adani, dan Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Basyekh.

Pada tahun 1991 ia bergabung di Fakultas Dirasat al-Islamiyah Universitas San’a Yaman sampai tahun 1993. Selama jenjang waktu tersebut, ia memanfaatkannya untuk berguru kepada Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar sampai sang guru itu menghembuskan nafas terakhirnya di Kota Baidha’ Yaman. Di sini beliau banyak mengambil pelajaran dari metode dakwah Habib Muhammad. Habib Muhammad senantiasa mengaplikasikan ilmu-ilmu yang dikuasainya di segala sisi kehidupannya. Dari sinilah titik tolak pandangan Habib Ali dalam penyelarasan ilmu teori dan praktik di medan dakwah.

Selanjutnya ia mengambil ilmu dari Habib Umar bin Hafidz dan menetap di kampung nenek moyangnya Tarim Hadhramaut, tepatnya di pondok Darul Musthafa milik Habib Umar dari sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2003.

Selain itu ia juga berkali-kali ke Mesir untuk berguru kepada ulama-ulama Negeri Musa seperti, Syaikh asy-Sya’rawi, Syaikh Isma’il Shadiq al-‘Adawiy Imam dan Khathib Masjid al-Azhar, dan juga berguru kepada asy-Syadzuli Kedua Syaikh Muhammad Zakiyuddin Ibrahim.

Ia juga telah melalang buana ke berbagai negara lainnya hanya untuk berguru. Di Syam beliau berguru dengan Syaikh Abdurrazaq al-Halabi, Syaikh Ahmad al-Khathib, dan Syaikh Husain ‘Usairan di Lebanon. Di India berguru dengan Syaikh Muhammad In’am Hasan. Dan di Maroko dengan Syaikh Idris al-‘Iraqi. Dari perjalanan panjangnya dalam menuntut ilmu ini, beliau meraih lebih dari 300 Ijazah di berbagai disiplin ilmu beserta sanadnya.

Di mata pengagumnya Habib Ali dikenal sebagai da’i yang membawa manhaj moderat dalam usaha mempersempit lingkaran perbedaan antar golongan-golongan yang ada dalam agama Islam. Salah satu usahanya ini dilakukan dengan menggabunggkan metode klasik dan modern dalam berdakwah dan sangat anti untuk mengafirkan golongan lain.

Gerakannya dalam bidang dakwah ini mendapat apresiasi dari banyak ulama di berbagai belahan dunia. Diantara para ulama yang menunjukkan apresiasinya kepada Habib Ali adalah, Salman ‘Audah dan Aidh al-Qarny dari Saudi, beberapa ulama Ja’fariyah dan Zaidiyah. Mayoritas ulama Syam dari Suriah maupun Lebanon seperti, Mufti Suriah Syaikh Ahmad Kiftaro, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bouty, Mufti Lebanon Muhammad Rasyid Qabbany. Demikian pula masyarakat Mesir pada umumnya, bahkan Mufti Mesir Syaikh Ali Jum’ah menganggap Habib Ali sebagai salah satu anggota kelompok kajian ilmiah dan dakwahnya. Habib Ali juga mempunyai pengagum setia di belahan dunia lain seperti di Indonesia, India, Afrika, Eropa dan Amerika.

Para pengamat tasawuf, khususnya para ulama Syam, Yaman, Mesir dan Maroko memandang Habib Ali sebagai tokoh sufi yang moderat, sesuai dengan yang dicontohkan oleh ulama salaf seperti Hasan al-Basri, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dan juga ulama khalaf seperti Ibnu Taimiyah. Di mata mereka Habib Ali bagaikan reinkarnasi ulama-ulama salaf. Meskipun demikian, tidak dapat diingkari bahwa masih ada beberapa yang menganggap Habib Ali sebagai sufi yang terlalu over dalam praktek tasawuf.

Selain aktif di berbagai kegiatan ilmiah dan dakwah di banyak seminar maupun muktamar internasional, ia juga aktif meramaikan dakwah melalui media masa yang ada. Ia seringkali tampil di channel-channel televisi, bahkan beberapa channel menyediakan program khusus secara bersambung yang khusus menampilkan Habib Ali seperti yang diadakan oleh channel Drama 2, Iqra’, Risalah, Mehwar, CBC dan lain-lain.

Objek dakwah Habib Ali tidak terbatas di Timur Tengah saja, disamping kesibukannya yang padat, ia masih menyempatkan dirinya untuk menyebarkan pesona Islam di negeri Paman Sam. Ia menjadi dosen tamu di beberapa universitas di Amerika Serikat seperti, Universitas St. Clara, Universitas San Diego, Universitas Miami, Universitas California Selatan di Los Angels. Sebagaimana ia juga menjadi dosen tamu di Universitas SOAS di Uni Emirat Arab.

Walaupun Habib Ali memiliki jasa yang sangat besar pada umat Islam, seringkali ia menerima kritikan pedas dari pembesar-pembesar golongan Salafi Wahabi. Hal itu wajar, karena Habib Ali berafiliasi kepada akidah Asy’ari dan berpegang teguh dengan ajaran-ajaran tasawuf.

Namun di tengah derasnya tuduhan dari golongan Salafi, ia juga mendapat dukungan keras dari banyak ulama Ahlusunnah. Syaikh Muhammad Abdul Ghaffar Sekjen Wakaf Kuwait mengatakan, “Orang-orang yang menyerukan untuk mewaspadai dakwah Dai’ Hebat (Habib Ali) ini kebanyakan hanyalah atas dasar kedengkian.” Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bouty mengatakan bahwa Habib Ali adalah salah satu dari ulama yang mengamalkan ilmunya dan termasuk orang saleh.

Demikianlah sekilas tentang sosok Habib Ali al-Jufri. Ia bak pemborong warisan Nabi Saw., dari nasab, ilmu sampai akhlaknya. Semoga Allah senantiasa menjaganya dan memanjangkan umurnya. Dan semoga kita mendapatkan barakah ilmunya dan mengikuti jejaknya. Amin. (*Diterbitkan di Majalah La Tansa IKPM Cab. Kairo via http://www.ikpmkairo.com).

Habib Luthfi bin Yahya: Bedanya Orang Thariqah dan Belum Berthariqah



Pertama, thariqah mengajak ruju’ ilallah (kembali menuju Allah), fafirru ilallah (berlari menuju Allah), kembali kepada ajaran Baginda Nabi Saw. Mengikuti ajaran, akhlak dan adabnya Rasulullah Saw.

Kedua, thariqah memiliki madad yang musalsal, yang tidak terputus (sanadnya/sambungannya) kepada guru-guru kita hingga ke Rasulullah Saw. Naqsyabadiyah, al-Ahrariyah, Khalidiyah, begitupula Qadiriyah, bukan semata-mata ciptaan ulama. 

Semisal penamaan Qadiriyah dari Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Itu tiada lain karena Syaikh Abdul Qadir adalah sebagai imamnya. Namun Syaikh Abdul Qadir al-Jilani bukanlah yang membuat thariqah tersebut. Tapi ada dasar-dasarnya. Dimana beliau mengambil dari gurunya, Syaikh Abu Sa’id Mubarok al-Makhzimi, dari Syaikh Abul Hasan Ali al-Hakkari, dari Syaikh Abul Faraj at-Tartusi, dari Syaikh Abul Fadhl Abdul Wahid at-Tamimi, dari Syaikh Abu Bakar asy-Syibli, dari Syaikh al-Imam Abul Qasim Junaidi al-Baghdadi, dari Syaikh Abul Hasan Sarri as-Saqati, dari Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, dari Syaikh al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa ar-Ridha, dari Syaikh al-Imam Musa al-Kadzim, dari Sayyidina al-Imam Ja’far ash-Shadiq, dari Sayyidina al-Imam Muhammad al-Baqir, dari Sayyidina al-Imam Ali Zainal Abidin, dari Sayyidina al-Imam Abu Abdullah al-Husain, dari Sayyidina al-Imam Ali bin Abi Thalib Ra., dari Sayyidina Muhammad Rasulullah Saw.

Kalau ditanya apa bedanya orang yang sudah berthariqah dan yang belum berthariqah? Jawabnya sama, tidak ada bedanya. Orang yang berthariqah membaca La ilaha illallah, orang yang belum berthariqah pun membaca La ilaha illallah.

Lha kalau begitu perbedaannya di mana? Bedanya hanya sedikit, tidak banyak. Saya contohkan supaya mudah. Saat para sahabat berkumpul di Masjidil Haram, Rasulullah Saw. mengajarkan sunnah minum air zamzam. Lalu para sahabat berebut meminumnya, berasal dari sumber yang sama. Yang diminum salah seorang sahabat air zamzam, dan yang diminum sahabat lainnya pun air zamzam. Yang diminum Rasulullah Saw. juga air zamzam.

Tapi sahabat yang minumnya di belakang Rasulullah Saw., mendapatkan gelasnya dari Rasulullah Saw. yang isinya air zamzam tadi. Setelah diminum Rasulullah Saw. lalu dioperkan ke barisan belakangnya. Yang satu tidak mendapatkan bekas (atsar) cangkirnya Rasulullah Saw., tapi yang satunya lagi mendapatkan cangkirnya Rasulullah Saw. Sampai kepada tabi’in, tabi’ut tabi’in, dst. yang disebut dengan madad min madadillah. Semoga kita termasuk di jajaran orang yang musalsal hingga ke Rasulullah Saw. Amin. 

(*IBJ. Ditranskrip dari video ceramah Maulana Habib M. Luthfi bin Yahya

Kisah Syaikh Muhammad Al-Ghazali dengan Wanita Tak Berhijab



Ulama sekaligus dai produktif asal Mesir yang wafat tahun 1996, Syaikh Muhammad al-Ghazali bercerita, “Seorang wanita berpakaian ‘tak pantas’ masuk ke kantorku. Aku sedikit risih saat melihat penampilannya pertama kali. Namun dari tatapan matanya ia tampak sedih dan kebingungan. Wanita ini patut dikasihani, pikirku. Aku pun duduk, mendengarkan keluh-kesah yang ia sampaikan kepadaku dengan seksama.

Dari sela-sela obrolan tersebut aku tahu bahwa wanita itu adalah pemudi Arab yang mengeyam pendidikan di Prancis, dan nyaris tak mengenal sedikitpun tentang Islam, agama yang ia peluk. Kepadanya, aku berusaha menerangkan hakikat Islam, menjawab sejumlah syubhat dan pertanyaan yang ia ajukan. Serta mengungkap berbagai kedustaan yang disampaikan para orientalis.
Tak lupa pula aku sampaikan terkait peradaban modern yang kerap memposisikan wanita sebagai ‘daging’ pemuas nafsu, yang tak mengenal keindahan, ketenangan, dan makna ‘iffah di dalam keluarga. “Izinkan aku suatu hari untuk kembali ke tempat ini menemuimu, Syaikh,” ujar sang wanita. Ia pun mohon pamit keluar.

Tak lama berselang seorang pemuda berpenampilan religius masuk membentakku, “Apa yang membuat wanita kotor seperti itu datang kemari!?”
Aku jawab, “Tugas seorang dokter adalah menyembuhkan orang yang sakit sebelum orang sehat.”
Ia menyela, “Kenapa kau tak menasehatinya memakai hijab!?”
Aku katakan, “Perkara yang dihadapi wanita tadi jauh lebih besar dari sekadar memakai atau melepas hijab. Ada proses yang harus dilalui, terkait esensi iman kepada Allah dan Hari Kiamat, menegaskan makna taat kepada wahyu yang tertuang dalam al-Quran dan as-Sunnah, serta pilar-pilar inti agama ini dalam aspek ibadah dan akhlak.”

Lagi-lagi ia memotong pembicaraanku. “Bukankah hal-hal tersebut sama sekali bukan halangan bagimu untuk menyuruhnya berhijab!?”
Dengan tenang aku berupaya menjelaskan, bahwa aku tak bisa berbahagia melihat wanita itu datang ke sini sedangkan hatinya sunyi dari keagungan Allah Tuhan yang Maha Esa, hidupnya tak mengenal yang namanya rukuk dan sujud. Sesungguhnya aku sedang berupaya menanam di hatinya sejumlah pondasi yang jika pondasi itu tertancap dengan kuat, dengan sendirinya membuat ia sadar pentingnya menutup aurat.

Saat pemuda tadi hendak memotong pembicaraanku untuk yang kesekian kalinya, aku berkata dengan tegas, “Aku tak mampu menarik orang kepada Islam melalui selembar kain sebagaimana yang kerap kalian lakukan. Namun aku berusaha menancapkan pondasi, lalu memulai membangun di atasnya, dan menyampaikan semuanya dengan penuh hikmah.”

Dua minggu kemudian wanita itu kembali mendatangiku dengan pakaian yang lebih baik dari sebelumnya. Ia menutup kepalanya dengan secarik kain tipis. Ia kembali bertanya tentang Islam, dan akupun kembali menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Lantas aku bertanya, “Mengapa kau tak pergi ke masjid terdekat dari rumahmu (untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini)?”
Meski akhirnya aku menyesal mananyakan hal ini, karena aku teringat bahwa wanita-wanita itu terlarang untuk pergi ke masjid. Namun pemudi itu menjawab, “Aku membenci para dai dan tak ingin mendengarkan ceramahnya.”
“Mengapa?” tanyaku penuh penasaran.

“Hati mereka keras, berwatak kasar. Mereka memperlakukanku dengan pandangan penuh kehinaan.”
Tiba-tiba aku teringat sosok Hindun bintu Utbah, istri Abu Sufyan Ra. Seorang wanita yang di masa kekufurannya membunuh secara sadis serta memakan jantung paman Nabi Sayyidana Hamzah Ra. Saat itu dia belum mengenal Rasulullah Saw. Namun setelah memeluk Islam dan mengenal Rasulullah Saw., ia mendekat dan mengucapkan sebuah kalimat yang menggetarkan hati:
يا رسول الله, والله ما كان على ظهر الأرض أهل خباء أحب أن يذلوا من أهل خبائك, وما أصبح اليوم على ظهر الأرض أهل خباء أحب إلي أن يعزوا من أهل خبائك
“Wahai Rasulullah, Demi Allah, dahulu tidak ada satu penghuni rumah pun di permukaan bumi ini yang aku ingin mereka terhina kecuali penghuni rumahmu. Namun sekarang tidak ada satu penghuni rumah pun di permukaan bumi ini yang aku ingin mereka mulia selain penghuni rumahmu.”

Sungguh cahaya cinta dan kasih sayang yang terpancar dari hati Rasulullah Saw. sanggup mengubah kondisi hati setiap orang yang melihatnya. Maka apakah para dai hari ini telah belajar dari sosok Nabinya, sehingga mereka menjadi dai yang menyatukan, bukan justru memecah-belah? Menjadi dai yang memberikan kabar gembira, bukan justru membuat orang-orang lari dari agama? 

(Disarikan dari kitab al-Haqq al-Murr (Kebenaran yang Pahit) hal. 23 karya Syaikh Muhammad al-Ghazali).