Rusaknya moral umat manusia sudah bukan lagi berita baru. Semua orang yang merenung pasti menyadarinya. Semakin lama semakin banyak hal-hal tabu yang menjadi suatu hal yang biasa bahkan istimewa. Demikian pula perseteruan antar ideologi yang tak ada habisnya. Saling tuding, saling menuduh dan saling mengafirkan sudah jadi tontonan wajib. Parahnya, saling benci hanya karena berbeda ideologi itu sudah menjadi hal lazim, bahkan saling bunuh.
Kini kita nampak hidup di zaman jahiliah. Wanita sudah malu tuk berbusana. Maksiat pun biasa dilakukan dihadapan ribuan mata. Bahkan maksiat juga bisa bikin orang bangga. Saat ombak kemiskinan moral menggunung. Di tengah gejolak pemikiran yang memanas. Dan di masa modernitas jahiliah. Masih terdapat kebaikan di dalam tubuh umat Islam. Kita masih menemukan sosok-sosok manusia jaman dulu, yaitu para ulama yang mengamalkan ilmunya serta membawa manhaj nabawi serta menaburkannya di muka bumi.
Adalah Habib Ali al-Jufri salah satu ulama yang cukup berpengaruh dewasa ini. Sebelum terbitnya fajar Jum’at 20 Shafar 1931 yang bertepatan dengan 16 April 1971 ia meneriakkan tangisan pertamanya di Kota Jeddah, Arab Saudi. Ulama berwajah tampan ini bernama asli Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri dari keluarga Ba’alwi yang nasabnya bersambung sampai pada Rasulullah Saw.
Ayahnya adalah Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Alwi bin Ali bin Ahmad bin Alwi bin Abdurrahman Maula al-‘Ursah bin Muhammad bin Abdullah at-Turisi bin Ali al-Khawwash bin Abu Bakar al-Jufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Ubaidullah bin Ahmad bin al-Muhâjir ilallâh Ahmad bin Isa ar-Rumi bin Muhammad bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali Kw. bin Abu Thalib suami Siti Fathimah binti Rasulullah Saw.
Selain mewarisi garis keturunan dari Rasulullah Saw., ia juga mewarisi ilmu dan akhlaq beliau Saw. Tumbuh di lingkungan akademis nan agamis di sekeliling keluarganya, sejak kecil ia sudah dicekoki dengan wejangan-wejangan keagamaan bernuansa sufi ala tarekat Alawiyah.
Di masa kecilnya, ia sudah banyak menerima sentuhan-sentuhan energi rohani serta pelajaran agama dari bibinya yang juga merupakan seorang wanita salehah yaitu al-Ârifah billah Hababah Shafia binti Alwi al-Jufri.
Selanjutnya ia menjalani jalan setapak para penuntut ilmu agama dengan mengambil ilmu-ilmu agama dari guru-guru yang mempunyai sanad yang bersambung sampai pada Rasulullah Saw. Sejak umur 10 tahun ia mulai berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah. Dari Habib Abdul Qadir ini ia belajar banyak ilmu agama beserta sanadnya sampai pada umur yang ke-21.
Setelah itu ia belajar kepada beberapa ulama lain, seperti Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad, Habib Abu Bakar Alattas di Mekkah, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Habib Hamid bin Alwi al-Haddad, Habib Abu Bakar al-‘Adani, dan Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Basyekh.
Pada tahun 1991 ia bergabung di Fakultas Dirasat al-Islamiyah Universitas San’a Yaman sampai tahun 1993. Selama jenjang waktu tersebut, ia memanfaatkannya untuk berguru kepada Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar sampai sang guru itu menghembuskan nafas terakhirnya di Kota Baidha’ Yaman. Di sini beliau banyak mengambil pelajaran dari metode dakwah Habib Muhammad. Habib Muhammad senantiasa mengaplikasikan ilmu-ilmu yang dikuasainya di segala sisi kehidupannya. Dari sinilah titik tolak pandangan Habib Ali dalam penyelarasan ilmu teori dan praktik di medan dakwah.
Selanjutnya ia mengambil ilmu dari Habib Umar bin Hafidz dan menetap di kampung nenek moyangnya Tarim Hadhramaut, tepatnya di pondok Darul Musthafa milik Habib Umar dari sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2003.
Selain itu ia juga berkali-kali ke Mesir untuk berguru kepada ulama-ulama Negeri Musa seperti, Syaikh asy-Sya’rawi, Syaikh Isma’il Shadiq al-‘Adawiy Imam dan Khathib Masjid al-Azhar, dan juga berguru kepada asy-Syadzuli Kedua Syaikh Muhammad Zakiyuddin Ibrahim.
Ia juga telah melalang buana ke berbagai negara lainnya hanya untuk berguru. Di Syam beliau berguru dengan Syaikh Abdurrazaq al-Halabi, Syaikh Ahmad al-Khathib, dan Syaikh Husain ‘Usairan di Lebanon. Di India berguru dengan Syaikh Muhammad In’am Hasan. Dan di Maroko dengan Syaikh Idris al-‘Iraqi. Dari perjalanan panjangnya dalam menuntut ilmu ini, beliau meraih lebih dari 300 Ijazah di berbagai disiplin ilmu beserta sanadnya.
Di mata pengagumnya Habib Ali dikenal sebagai da’i yang membawa manhaj moderat dalam usaha mempersempit lingkaran perbedaan antar golongan-golongan yang ada dalam agama Islam. Salah satu usahanya ini dilakukan dengan menggabunggkan metode klasik dan modern dalam berdakwah dan sangat anti untuk mengafirkan golongan lain.
Gerakannya dalam bidang dakwah ini mendapat apresiasi dari banyak ulama di berbagai belahan dunia. Diantara para ulama yang menunjukkan apresiasinya kepada Habib Ali adalah, Salman ‘Audah dan Aidh al-Qarny dari Saudi, beberapa ulama Ja’fariyah dan Zaidiyah. Mayoritas ulama Syam dari Suriah maupun Lebanon seperti, Mufti Suriah Syaikh Ahmad Kiftaro, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bouty, Mufti Lebanon Muhammad Rasyid Qabbany. Demikian pula masyarakat Mesir pada umumnya, bahkan Mufti Mesir Syaikh Ali Jum’ah menganggap Habib Ali sebagai salah satu anggota kelompok kajian ilmiah dan dakwahnya. Habib Ali juga mempunyai pengagum setia di belahan dunia lain seperti di Indonesia, India, Afrika, Eropa dan Amerika.
Para pengamat tasawuf, khususnya para ulama Syam, Yaman, Mesir dan Maroko memandang Habib Ali sebagai tokoh sufi yang moderat, sesuai dengan yang dicontohkan oleh ulama salaf seperti Hasan al-Basri, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dan juga ulama khalaf seperti Ibnu Taimiyah. Di mata mereka Habib Ali bagaikan reinkarnasi ulama-ulama salaf. Meskipun demikian, tidak dapat diingkari bahwa masih ada beberapa yang menganggap Habib Ali sebagai sufi yang terlalu over dalam praktek tasawuf.
Selain aktif di berbagai kegiatan ilmiah dan dakwah di banyak seminar maupun muktamar internasional, ia juga aktif meramaikan dakwah melalui media masa yang ada. Ia seringkali tampil di channel-channel televisi, bahkan beberapa channel menyediakan program khusus secara bersambung yang khusus menampilkan Habib Ali seperti yang diadakan oleh channel Drama 2, Iqra’, Risalah, Mehwar, CBC dan lain-lain.
Objek dakwah Habib Ali tidak terbatas di Timur Tengah saja, disamping kesibukannya yang padat, ia masih menyempatkan dirinya untuk menyebarkan pesona Islam di negeri Paman Sam. Ia menjadi dosen tamu di beberapa universitas di Amerika Serikat seperti, Universitas St. Clara, Universitas San Diego, Universitas Miami, Universitas California Selatan di Los Angels. Sebagaimana ia juga menjadi dosen tamu di Universitas SOAS di Uni Emirat Arab.
Walaupun Habib Ali memiliki jasa yang sangat besar pada umat Islam, seringkali ia menerima kritikan pedas dari pembesar-pembesar golongan Salafi Wahabi. Hal itu wajar, karena Habib Ali berafiliasi kepada akidah Asy’ari dan berpegang teguh dengan ajaran-ajaran tasawuf.
Namun di tengah derasnya tuduhan dari golongan Salafi, ia juga mendapat dukungan keras dari banyak ulama Ahlusunnah. Syaikh Muhammad Abdul Ghaffar Sekjen Wakaf Kuwait mengatakan, “Orang-orang yang menyerukan untuk mewaspadai dakwah Dai’ Hebat (Habib Ali) ini kebanyakan hanyalah atas dasar kedengkian.” Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bouty mengatakan bahwa Habib Ali adalah salah satu dari ulama yang mengamalkan ilmunya dan termasuk orang saleh.
Demikianlah sekilas tentang sosok Habib Ali al-Jufri. Ia bak pemborong warisan Nabi Saw., dari nasab, ilmu sampai akhlaknya. Semoga Allah senantiasa menjaganya dan memanjangkan umurnya. Dan semoga kita mendapatkan barakah ilmunya dan mengikuti jejaknya. Amin. (*Diterbitkan di Majalah La Tansa IKPM Cab. Kairo via http://www.ikpmkairo.com).