Mbah Wahab seorang ulama yang multitalenta. Selain menguasai ilmu agama beliau juga seorang politikus ulung, jago silat dan ahli wirid. Beliau menyatakan orang Islam bukan hanya berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena wiridnya. Salah satu peninggalan wirid Kiai Wahab yang terkenal dan biasa diamalkan terutama di kalangan Pesantren sampai sekarang adalah:
“Maulaya shalli wasallim da-iman abada # ‘Ala habibika khairil khalqi kullihimi
Huwal habibulladzi turja syafa’atuhu # Likulli haulin minal ahwali muqtahami.”
Di pentas politik nasional, Mbah Wahab memperoleh lawan tanding yang layak: Bung Karno. Konon pernah terjadi ketika seluruh peserta pertemuan sudah siap di ruangan ketika Presiden Soekarno datang. Berjalan menuju tempat duduknya, Bung Karno menyempatkan diri menghampiri Mbah Wahab dan menepuk bahunya, “Ikut pendapatku!” kata Bung Karno, kemudian berlalu.
Mbah Wahab tidak menjawab. Bukan karena taat atau tak punya kata-kata, tapi tubuhnya mendadak kaku, lidahnya kelu. Hampir sepuluh menit beliau terpatung seperti itu. “Astaghfirullahal ‘adzim,” batinnya, “kena aku...”
Mbah Wahab jelas bukan orang yang gampang menyerah. Bung Karno baru selesai menyapa orang-orang ketika Mbah Wahab berhasil membebaskan diri dari ‘jurus’ Bung Karno itu. Belum lagi Presiden mantap duduknya, Mbah Wahab bangkit, ganti menghampiri dan menepuk pundaknya. “Aku punya pendapat sendiri!” kata Kiai Wahab.
Setengah jam Bung Karno terhenyak tanpa bergerak, hingga hadirin bengong, tak tahu yang terjadi.
Bagi Bangsa Indonesia, peci hitam memiliki arti penting. Peci ini dipakai Presiden pertama RI keliling dunia. Tak ayal, para pemimpin negara sahabat pun akrab dengan peci tersebut. Di mana peci hitam tampak, di situlah orang Indonesia disebut. Peci hitam memang menjadi identitas kebangsaan kita. Dalam buku “Berangkat dari Pesantren”, Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri menceritakan tentang uniknya peci hitam.
Suatu ketika, di sela-sela sidang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada September 1959 muncul kisah menarik. Bung Karno, kata Kiai Saifuddin Zuhri, menyatakan bahwa dia sebenarnya kurang nyaman dengan segala pakaian dinas kebesaran. Akan tetapi, semuanya dipakai untuk menjaga kebesaran Bangsa Indonesia. “Seandainya saya adalah Idham Chalid yang ketua Partai NU atau seperti Suwiryo, ketua PNI, tentu saya cukup pakai kemeja dan berdasi, atau paling banter pakai jas,” ujar Bung Karno sambil melihat respon hadirin.
Dengan yakin dan percaya, proklamator itu menegaskan tidak akan melepas peci hitam saat acara resmi kenegaraan. “Tetapi soal Peci Hitam ini, tidak akan saya tinggalkan. Soalnya, kata orang, saya lebih gagah dengan mengenakan songkok hitam ini. Benar enggak, Kiai Wahab?” tanya Bung Karno pada Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang juga anggota DPA, KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Dengan tangkas, Mbah Wahab pun segera menimpali lontaran Bung Karno itu. “Memang betul, saudara harus mempertahankan identitas itu. Dengan peci hitam itu, saudara tampak lebih gagah seperti para muballigh NU,” jawab sang kiai
Sontak, pernyataan kiai kharismatik ini langsung disambut gelak tawa seluruh anggota DPA. Suasana pun meriah oleh canda tawa dan tepuk tangan hadirin. “Dengan peci itu saudara telah mendapat banyak berkah. Karena itu, ketika berkunjung ke Timur Tengah, saudara mendapat tambahan nama Ahmad. Ya, Ahmad Soekarno,” seloroh Kiai Wahab yang lagi-lagi disambut gelak tawa hadirin.
Dalam buku saku yang diterbitkan Panitia Haul ke-43 KH. A. Wahab Chasbullah disebutkan, kiai perintis, pendiri, dan penggerak Nahdlatul Ulama itu hampir tak lepas dari sorban dalam segala situasi. Baik di rapat-rapat NU, sidang parlemen, resepsi, istana negara, atau perjalanan. Suatu ketika Kiai Wahab berbicara pada sidang parlemen. Sebelum berdiri, ia membetulkan letak sorbannya. Sekelompok anggota parlemen komentar, “Tanpa sorban, kenapa sih?”
“Sorban Diponegoro,” jawab Kiai Wahab.
Ketika berdiri di podium, Kiai Wahab mengatakan, bahwa Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Kiai Mojo, dan Teuku Umar juga mengenakan sorban. Penjelasannya itu membuat sebagian anggota parlemen tergelak, tapi kemudian terdiam.
Menurut sejarawan, silsilah keturunan Kiai Wahab jika dirunut ke atas maka akan sampai pada kisah heroik Kiai Abdus Salam. Kakek Kiai Wahab itu merupakan salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro di sektor timur (1825-1830). Kiai Abdus Salam merupakan putra Pangeran Sambo bin Pangeran Benowo bin Joko Tingkir (Mas Karebet) bin Kebo Kenongo bin Pangeran Handayaningrat bin Lembu Peteng bin Pangeran Brawijaya VI. Dari trah para pejuang ini wajar jika kemudian Kiai Wahab tampil sebagai ulama yang tak pernah berhenti berpikir dan bergerak untuk umat.