Disamping presiden yang hebat, terdapat ibu negara yang hebat pula. Bung Karno berada di kekuatan puncaknya saat beristri Ibu Inggit Garnasih. Sebaliknya, ketika beristri seorang geisha asli Jepang, Bung Karno menjadi lupa diri dan mudah sekali marah.
Pak Harto pun demikian. Pak Harto mulai terlihat sangat "kasar" dalam upaya-upaya mempertahankan kekuasaan, ketika Ibu Tien sudah meninggal. Bagi kalangan yang tidak paham ilmu psikologi, biasanya hanya akan mengkaitkan lengsernya Pak Harto dengan peristiwa meninggalnya Ibu Tien dari kacamata mistik, misalnya tusuk konde.
Terkait dunia spiritual mempengaruhi dunia kasat mata, ada teman yang berkelakar, "Saya baru percaya hal-hal seperti itu, kalau ada gelandangan kolong jembatan bisa menikahi artis Dian Sastro Wardoyo, hanya berbekal ilmu pelet!"
Istri itu luar biasa penting bagi seorang laki-laki. Sehebat-hebatnya Bung Karno dan sedingin-dinginnya Pak Harto, pengaruh istri tetaplah sangat signifikan. Tak terkecuali bagi Gus Dur.
Bagi Gus Dur, Ibu Shinta adalah segalanya. Yang terkasih, yang tersayang, dan yang tercinta... Shinta Nuriyah adalah kesejatian bagi seorang Abdurrahman Wahid. Satu-satunya wanita sejati di dalam hati beliau.
Secara kuantitas, Gus Dur kalah jauh dari Bung Karno dan Pak Harto. Gus Dur tidak sampai 2 tahun menjabat. Tapi, secara kualitas, Gus Dur melebihi keduanya, bahkan seluruh presiden di dunia. Tidak ada presiden yang dilengserkan di tengah jalan tanpa menimbulkan korban jiwa, selain Gus Dur.
Satu kematian pun tidak. Tidak ada rakyat yang tewas saat Gus Dur dijatuhkan secara paksa. Silakan Anda sekalian cek sendiri buku-buku sejarah dunia. Tidak ada presiden manapun di dunia ini yang dijatuhkan di tengah jalan tanpa ada pertumpahan darah, kecuali beliau.
"Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian," kata Gus Dur pada waktu itu. Gus Dur berbuat demikian, karena beliau mencintai Indonesia. Pasalnya, pada suasana genting tersebut, lebih dari dua juta pasukan santri siap membumi-hanguskan Ibokota Jakarta.
Seperti kesaksian Gus Mus, di tiap-tiap kantong NU, ada puluhan ribu santri siap membela Gus Dur. Padahal, seperti kita tahu kantong NU bukan hanya Jawa Timur, dan itu artinya Ibukota Jakarta mustahil bisa bertahan. Harap diingat satu-satunya daerah yang tidak bisa dihancurkan koalisi tentara Sekutu zaman dahulu adalah kota Surabaya.
Lantas, apa hubungannya? Kota Surabaya menjadi satu-satunya daerah yang tidak bisa dikuasai koalisi militer negara-negara pemenang Perang Dunia II adalah karena kota itu dilindungi laskar santri NU. Mbah Hasyim Asy'ari (kakeknya Gus Dur) sendiri yang turun tangan. Maka dari itu, meski digempur berminggu-minggu, kota Surabaya tidak pernah menyatakan "menyerah" ke pihak Sekutu.
Berbeda dengan kekuatan Jakarta. Digempur beberapa hari saja, Jakarta sudah jatuh. Hingga membuat Bung Karno dan Bung Hatta mengungsi ke Yogyakarta, pagi-pagi buta naik kereta api. Bisa dibayangkan bila Gus Dur mengizinkan para santri menyerbu Jakarta?
Inggris bisa dilinggis, Amerika bisa disetrika, apalagi cuma untuk menguasai Ibukota Jakarta. Mudah sekali bagi Gus Dur untuk mempertahankan diri. Tapi, bagi beliau, bangsa Indonesia lebih penting daripada kursi kepresidenan. Ada keluarga yang menanti para tentara Indonesia pulang kerja.
Beliau tidak tega ribuan keluarga nantinya menangis kehilangan hanya karena urusan politik. Mbah Yai Abdurrahman Wahid masih memikirkan keluarga para tentara, meski moncong tank-tank militer Indonesia mengarah ke istana kepresidenan. Mbah Yai Abdurrahman Wahid juga tidak rela jutaan santri sampai meninggal hanya karena dirinya. Janganlah kita tanya sebesar apa cinta beliau pada NU.
Gus Dur memilih lebih baik hancur sendirian daripada harus melihat perang saudara. Jangankan melihat para santrinya gugur, melihat para tentara yang mengepungnya terluka saja tidak tega. Semua bagi Gus Dur adalah sama; rakyat.
Karena beliau adalah presiden rakyat,
beliaupun rela "mempermalukan" dirinya sendiri demi rakyat. Sengaja pakai baju tidur dan celana pendek, beliau keluar dari istana. Menyapa para pendukungnya. Suasana yang sudah sangat panas mendadak cair. Semua santri dan tentara yang sudah saling berhadapan siap perang mendadak tertawa bersama.
Sebuah hal yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang presiden yang mementingkan pencitraan. Meski disaksikan banyak orang dan diliput media massa dari seluruh dunia, Gus Dur tidak peduli.
Dulu Pak Harto memang menang perang tanding atas Bung Karno, tapi efeknya ada jutaan rakyat Indonesia tewas terbunuh. Semua presiden lain di seluruh dunia yang lengser di tengah jalan pun demikian. Pasti di atas banjir darah.
Tetapi, fenomena itu pernah tidak terjadi satu kali, dan hanya terjadi di Indonesia. Gus Dur pilih mengalah, agar tidak ada satu pun rakyat Indonesia yang tewas. Diiringi shalawatan dan istri tercinta, Sultan Abdurrahman Wahid rela diusir dari istananya sendiri.
Ciri-ciri seorang ksatria sejati adalah tidak mau menang jikalau kemenangan perang tersebut bisa berakibat kehancuran-kehancuran. KH. Abdurrahman Wahid adalah orang yang agung. Seorang zahid. Dunia tidak dicintainya, apalagi sampai dikejar-kejar.
Para pembaca sekalian, kondisi Indonesia sehancur sekarang adalah karena banyak sekali orang sangat keduniawian. Uang tidak dimasukkan ke dompet, tapi dimasukkan ke hati. Uang tidak terletak di genggaman tangan, tapi ditaruh di atas kepala.
Uang tidak dijadikan alat mempertahankan hidup, tapi sudah dijadikan tujuan hidup dan kehormatan diri. Banyak orang ingin jadi seorang pemimpin adalah karena ingin menumpuk kekayaan lebih banyak. Dengan menjadi seorang pejabat, diharapkan bisnis perusahaannya semakin berkembang. Hal itulah alasan kenapa Indonesia tidak kunjung membaik.
Satu-satunya hal di dunia ini yang pernah dikejar Gus Dur adalah Ibu Shinta Nuriyah. Meski jalan cinta tersebut berat, Gus Dur tidak gentar. Beliau tetap berjuang. Hingga sepucuk surat dari Ibu Shinta berisi balasan cinta tiba.
Pernah suatu ketika Gus Dur muda akan dijodohkan oleh seorang kiyai yang dihormatinya dengan santriwati lain, beliau pilih melarikan diri. Pura-pura pamit ke dapur, lalu memanjat jendela, dan melompat keluar. Sebab hati beliau ada satu, dan hanya untuk mencintai Ibu Shinta. Sebab jantung beliau ada satu, dan hanya bisa ditulisi sebuah nama; Shinta Nuriyah.
Di samping presiden yang hebat, ada ibu negara yang hebat pula. Sangat wajar Gus Dur mampu mengungguli semua presiden di dunia ini, karena disamping beliau ada sesosok wanita keibuan yang memiliki ketulusan hati.
Lahul_fatihah...
---------------------------------------
Muslimedianews ~
Di akhir tahun 1998 Gus Dur rawuh (datang) di Wonoi orang Wonosobo. Saat itu sedang ramainya era reformasi, beberapa bulan setelah Pak Harto jatuh. Dan ini terjadi beberapa bulan sebelum Gus Dur menjadi orang nomer satu di Negeri ini. Beliau masih menjabat sebagai Ketua PBNU.
Bertempat di Gedung PCNU Wonosobo, Gus Dur mengadakan pertemuan dengan pengurus NU dari Wonosobo, Banjarnegara, Pubalingga, Kebumen, Temanggung dan Magelang.Tentu saja semua kiai ingin tahu pendapat Gus Dur tentang situasi politik terbaru. Penulis hadir di situ walaupun bukan kiai, dan duduk persis di depan Gus Dur. Penulis lah yang menuntun Gus Dur menaiki Lantai 2 PCNU Wonosobo.
“Pripun Gus situasi politik terbaru?” tanya seorang kiai.
“Orde Baru tumbang, tapi Negeri ini sakit keras.” kata Gus Dur.
“Kok bisa Gus?”
“Ya bisa, wong yang menumbangkan Orde Baru pakainya emosi dan ambisi tanpa perencanaan yang jelas. Setelah tumbang mereka bingung mau apa, sehingga arah reformasi gak genah. Bahkan Negeri ini di ambang kehancuran, di ambang perang saudara. Arah politik Negeri ini sedang menggiring Negeri ini ke pinggir jurang kehancuran dan separatisme. Lihat saja, baru berapa bulan Orde Reformasi berjalan, kita sudah kehilangan propinsi ke-27 kita, yaitu Timor Timur.” kata Gus Dur.
Kiai tersebut sebagaimana biasa, kalau belum mulai bicara. Pak Habibi, kita semua akan merasa kasihan dengan sikap Gus Dur yang datar dan seperti capek sekali dan seperti aras-arasen bicara. Tapi kalau sudah mulai, luar biasa memikat dan ruangan jadi sepi kayak kuburan, tak ada bunyi apapun selain pangendikan Gus Dur.
Seorang kiai penasaran dengan calon presiden devinitif pengganti Pak Habibi yang hanya menjabat sementara sampai sidang MPR. Ia bertanya: “Gus, terus siapa yang paling pas jadi Presiden nanti Gus?”
“Ya saya, hehehe…” kata Gus Dur datar.
Semua orang kaget dan menyangka Gus Dur guyon seperti biasanya yang memang suka guyon.
“Yang bisa jadi presiden di masa seperti ini ya hanya saya kalau Indonesia gak pingin hancur. Dan saya sudah dikabari kalau-kalau saya mau jadi presidan walau sebentar hehehe...” kata Gus Dur mantab.
“Siapa yang ngabari dan yang nyuruh Gus?” tanya seorang kiai.
“Gak usah tahu. Orang NU tugasnya yakin saja bahwa nanti presidennya pasti dari NU,” kata Gus Dur masih datar seperti guyon.
Orang yang hadir di ruangan itu bingung antara yakin dan tidak yakin mengingat kondisi fisik Gus Dur yang demikian. Ditambah lagi masih ada stok orang yang secara fisik lebih sehat dan berambisi jadi presiden, yaitu Amin Rais dan Megawati. Tapi tidak ada yang berani mengejar pertanyaan tentang presiden RI.
Kemudian Gus Dur menyambung: “Indonesia dalam masa menuju kehancuran. Separatisme sangat membahayakan. Bukan separatismenya yang membahayakan, tapi yang memback up di belakangnya. Negara-negara Barat ingin Indonesia hancur menjadi Indonesia Serikat, maka mereka melatih para pemberontak, membiayai untuk kemudian meminta merdeka seperti Timor Timur yang dimotori Australia.”
Sejenak sang Kiai tertegun. Dan sambil membenarkan letak kacamatanya ia melanjutkan: “Tidak ada orang kita yang sadar bahaya ini. Mereka hanya pada ingin menguasai Negeri ini saja tanpa perduli apakah Negeri ini cerai-berai atau tidak. Maka saya harus jadi presiden, agar bisa memutus mata rantai konspirasi pecah-belah Indonesia. Saya tahu betul mata rantai konspirasi itu. RMS dibantu berapa Negara, Irian Barat siapa yang back up, GAM siapa yang ngojok-ojoki, dan saya dengar beberapa propinsi sudah siap mengajukan memorandum. Ini sangat berbahaya.”
Kemudiaan ia menarik nafas panjang dan melanjutkan: “Saya mau jadi presiden. Tetapi peran saya bukan sebagai pemadam api. Saya akan jadi pencegah kebakaran dan bukan pemadam kebakaran. Kalau saya jadi pemadam setelah api membakar Negeri ini, maka pasti sudah banyak korban. Akan makin sulit. Tapi kalau jadi pencegah kebakaran, hampir pasti gak akan ada orang yang menghargainya. Maka, mungkin kalaupun jadi presiden saya gak akan lama, karena mereka akan salah memahami langakah saya.”
Seakan mengerti raut wajah bingung para kiai yang menyimak, Gus Dur pun kembali selorohkan pemikirannya. “Jelasnya begini, tak kasih gambaran,” kata Gus Dur menegaskan setelah melihat semua hadirin tidak mudeng dan agak bingung dengan tamsil Gus Dur.
“Begini, suara langit mengatakan bahwa sebuah rumah akan terbakar. Ada dua pilihan, kalau mau jadi pahlawan maka biarkan rumah ini terbakar dulu lalu datang membawa pemadam. Maka semua orang akan menganggap kita pahlawan. Tapi sayang sudah terlanjur gosong dan mungkin banyak yang mati, juga rumahnya sudah jadi jelek. Kita jadi pahlawan pemyelamat yang dielu-elukan.”
Kemudian lanjutnya: “Kedua, preventif. Suara langit sama, rumah itu mau terbakar. Penyebabnya tentu saja api. Ndilalah jam sekian akan ada orang naruh jerigen bensin di sebuah tempat. Ndilalah angin membawa sampah dan ranggas ke tempat itu. Ndilallah pada jam tertentu akan ada orang lewat situ. Ndilalah dia rokoknya habis pas dekat rumah itu. Ndilalalah dia tangan kanannya yang lega. Terus membuang puntung rokok ke arah kanan dimana ada tumpukan sampah kering.”
Lalu ia sedikit memajukan duduknya, sambil menukas: “Lalu ceritanya kalau dirangkai jadi begini; ada orang lewat dekat rumah, lalu membuang puntung rokok, puntung rokok kena angin sehingga menyalakan sampah kering, api di sampah kering membesar lalu menyambar jerigen bensin yang baru tadi ditaruh di situ dan terbakarlah rumah itu.”
“Suara langit ini hampir bisa dibilang pasti, tapi semua ada sebab-musabab. Kalau sebab di cegah maka musabab tidak akan terjadi. Kalau seseorang melihat rumah terbakar lalu ambil ember dan air lalu disiram sehingga tidak meluas maka dia akan jadi pahlawan. Tapi kalau seorang yang waskito, yang tahu akan sebab-musabab, dia akan menghadang orang yang mau menaruh jerigen bensin, atau menghadang orang yang merokok agar tidak lewat situ, atau gak buang puntung rokok di situ sehingga sababun kebakaran tidak terjadi.”
Sejenak semua jamaah mangguk-mangguk. Kemudian Gus Dur melanjutkan: “Tapi nanti yang terjadi adalah, orang yang membawa jerigen akan marah ketika kita cegah dia naruh jerigen bensin di situ: “Apa urusan kamu, ini rumahku, bebas dong aku naruh di mana?” Pasti itu yang akan dikatakan orang itu.”
“Lalu misal ia memilih menghadang orang yang mau buang puntung rokok agar gak usah lewat situ, Kita bilang: “Mas, tolong jangan lewat sini dan jangan merokok. Karena nanti Panjenengan akan menjadi penyebab kebakaran rumah itu.” Apa kata dia: “Dasar orang gila, apa hubungannya aku merokok dengan rumah terbakar? Lagian mana rumah terbakar?! Ada-ada saja orang gila ini. Minggir! saya mau lewat.”
Kini makin jelas arah pembicaraannya dan semua yang hadir makin khusyuk menyimak. “Nah, ini peran yang harus diambil NU saat ini. Suara langit sudah jelas, Negeri ini atau rumah ini akan terbakar dan harus dicegah penyebabnya. Tapi resikonya kita tidak akan popular, tapi rumah itu selamat. Tak ada selain NU yang berpikir ke sana. Mereka lebih memilih: “Biar saja rumah terbakar asal aku jadi penguasanya, biar rumah besar itu tinggal sedikit asal nanti aku jadi pahlawan maka masyarakat akan memilihku jadi presiden.”
“Poro Kiai ingkang kinormatan.” kata Gus Dur kemudian. “Kita yang akan jadi presiden, itu kata suara langit. Kita gak usah mikir bagaimana caranya. Percaya saja, titik. Dan tugas kita adalah mencegah orang buang puntung rokok dan mencegah orang yang kan menaruh bensin. Padahal itu banyak sekali dan ada di banyak negara. Dan pekerjaan itu secara dzahir sangat tidak popular, seperti ndingini kerso. Tapi harus kita ambil. Waktu yang singkat dalam masa itu nanti, kita gak akan ngurusi dalam Negeri.”
“Kita harus memutus mata rantai pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka di Swiss, kita harus temui Hasan Tiro. Tak cukup Hasan Tiro, presiden dan pimpinan-pimpinan negara yang simpati padanya harus didekati. Butuh waktu lama,” lanjut Gus Dur.
“Belum lagi separatis RMS (Republik Maluku Sarani) yang bermarkas di Belanda, harus ada loby ke negara itu agar tak mendukung RMS. Juga negara lain yang punya kepentingan di Maluku,” kata Gus Dur kemudian.
“Juga separatis Irian Barat Papua Merdeka, yang saya tahu binaan Amerika. Saya tahu anggota senat yang jadi penyokong Papua Merdeka, mereka membiayai gerakan separatis itu. Asal tahu saja, yang menyerang warga Amerika dan Australia di sana adalah desain mereka sendiri.”
Kemudian Gus Dur menarik nafas berat, sebelum melanjutkan perkataan berikutnya. “Ini yang paling sulit, karena pusatnya di Israel. Maka, selain Amerika saya harus masuk Israel juga. Padahal waktu saya sangat singkat. Jadi mohon para kiai dan santri banyak istighatsah nanti agar tugas kita ini bisa tercapai. Jangan tangisi apapun yang terjadi nanti, karena kita memilih jadi pencegah yang tidak populer. Yang dalam Negeri akan diantemi sana-sini.”
Sekonyong beliau berdiri, lalu menegaskan perkataan terakhirnya: “NKRI bagi NU adalah Harga Mati!”
“Saya harus pamit karena saya ditunggu pertemuan dengan para pendeta di Jakarta, untuk membicarakan masa depan negara ini. Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” tutup Gus Dur.
Tanpa memperpanjang dialog, Gus Dur langsung pamit. Kita bubar dengan benak yang campur-aduk, antara percaya dan tidak percaya dengan visi Gus Dur. Antara realitas dan idealitas, bahwa Gus Dur dengan sangat tegas di hadapan banyak kiai bahwa dialah yang akan jadi presiden. Terngiang-ngiang di telinga kami dengan seribu tanda tanya.
Menghitung peta politik, rasanya gak mungkin. Yang terkuat saat itu adalah PDIP yang punya calon mencorong Megawati putri presiden pertama RI yang menemukan momentnya. Kedua, masih ada Partai Golkar yang juga Akbar Tanjung siap jadi presiden. Di kelompok Islam modern ada Amien Rais yang juga layak jadi presiden, dan dia dianggap sebagian orang sebagai pelopor Reformasi.
Maka kami hanya berpikir bahwa, rasional gak rasional, percoyo gak percoyo ya percoyo aja apa yang disampaikan Gus Dur tadi. Juga tentang tamsil rumah tebakar tadi. Sebagian besar hadirin agak bingung walau mantuk-mantuk karena gak melihat korelasinya NU dengan jaringan luar negeri.
Sekitar 3 bulan kemudian, Subhanallah… safari ke luar ternyata Gus Dur benar-benar jadi Presiden. Dan Gus Dur juga benar-benar bersafari ke luar negeri seakan maniak plesiran. Semua negara yang disebutkan di PCNU Wonosobo itu benar-benar dikunjungi. Dan reaksi dalam negeri juga persis dugaan Gus Dur saat itu bahwa Gus Dur dianggap foya-foya, menghamburkan duit negara untuk plesiran. Yang dalam jangka waktu beberapa bulan sampai 170 kali lawatan. Luar biasa dengan fisik yang (maaf) begitu, demi untuk sebuah keutuhan NKRI.
Pernah suatu ketika Gus Dur lawatan ke Paris (kalau kami tahu maksudnya kenapa ke Paris). Dalam negeri, para pengamat politik dan politikus mengatakan kalau Gus Dur memakai aji mumpung. Mumpung jadi presiden pelesiran menikmati tempat-tempat indah dunia dengan fasilitas negara.
Apa jawab Gus Dur: “Biar saja, wong namanya wong ora mudeng atau ora seneng. Bagaimana bisa dibilang plesiran wong di Paris dan di Jakarta sama saja, gelap gak lihat apa-apa, koq dibilang plesiran. Biar saja, gitu aja koq repot!”
Masih sangat teringat bahwa pengamat politik yang paling miring mengomentrai lawatan Gus Dur sampai masa Gus Dur lengser adalah Alfian Andi Malarangeng, Menpora yang sekarang kena kasus. Tentu warga NU gak akan lupa sakit hatinya mendengar ulasan dia. Sekarang terimalah balasan dari Tuhan.
Satu-satunya pengamat politik yang fair melihat sikap Gus Dur, ini sekaligus sebagai apresiasi kami warga NU, adalah Hermawan Sulistyo, atau sering dipanggil Mas Kiki. terimakasih Mas Kiki.
Kembali ke topik. Ternyata orang yang paling mengenal sepak terjang Gus Dur adalah justru dari luar Islam sendiri. Kristen, Tionghoa, Hindu, Budha dll. mereka tahu apa yang akan dilakukan Gus Dur untuk NKRI ini. Negeri ini tetap utuh minus Timor Timur karena jasa Gus Dur. Beliau tanpa memikirkan kesehatan diri, tanpa memikirkan popularitas, berkejaran dengan sang waktu untuk mencegah kebakaran rumah besar Indonesia.
Dengan resiko dimusuhi dalam negeri, dihujat oleh separatis Islam dan golongan Islam lainnya, Gus Dur tidak perduli apapun demi NKRI tetap utuh. Diturunkan dari kursi presiden juga gak masalah bagi beliau walau dengan tuduhan yang dibuat-buat. Silakan dikroscek data ini. Lihat kembali keadaan beberapa tahun silam era reformasi baru berjalan, beliau sama sekali gak butuh gelar “Pahlawan”. Karena bagi seluruh warga NU “Beliau adalah Pahlawan yang sesungguhnya.”
Disadur dan diedit ulang dari tulisan Gus Theler Cuek