Mari bicara sebentar tentang katak; binatang yang bagi banyak orang mungkin menjijikan: berkaki empat, hidup di dua alam, dengan kulit yang agak berlendir.
Katak hidup di rawa, di sawah, atau mungkin di kebun. Pada setiap malam, katak akan setia dengan suaranya yang tak henti-henti. Dalam sunyi. Dalam sepi. Saking seringnya mendengar suara katak, kita sampai bosan dan tak tahu lagi itu suara apa. Kita membiarkan katak sendirian dalam kesetiaannya mengisi malam. Dan dalam keletihan malam, kita pun akan beranjak tidur meraih hangatnya selimut pembaringan. Dalam buaian mimpi, suara katak tenggelam oleh dengkur tidur nyenyak kita.
Barangkali benar katak adalah binatang yang menjijikan. Tapi ‘riwayat’ hidup katak sungguh kontras dengan citranya yang marjinal itu. Katak adalah simbol makhluk yang cinta terhadap makhluk yang dicintai Tuhan. Lewat wasilah ini, katak pun beroleh kemuliaan Tuhan.
Kisah makhluk lemah ini begitu dramatis. Apalagi berada dalam peta politik sebuah imperium yang tengah bergejolak di zaman Namruz (Nimrod); sang raja lalim yang menghendaki membakar Ibrahim, sang Nabi, alaihissalam.Titah bakar diputuskan setelah Ibrahim dianggap secara sah dan menyakinkan membuat makar. Tak tanggung-tanggung, makar Ibrahim bukanlah soal kekuasaan. Tapi lebih dari itu, Ibrahim mengusik kebenaran mutlak yang dimapankan kekuasaan: soal pencipta semesta raya.
Raja marah besar. Titah pun keluar. Tak bisa diganggu-gugat. Hukuman yang mungkin pertama dalam sejarah pun dilakukan: Ibrahim dibakar hidup-hidup!
Kayu bakar dikumpulkan, tinggi menggunung. Api dinyalakan dan Ibrahim dilesatkan ke episentrum kobaran api. Dalam panasnya api yang memanggang sang Nabi, tak satu pun makhluk yang berani menolong, kecuali seekor katak. Dia tertatih-tatih mendekati gunungan api yang berkobar-kobar. Di temboloknya, sang katak menyimpan air yang tak seberapa. Tujuannya memercikan air agar api menjadi padam, sehingga menjadi selamatlah sang Nabi.
Apalah daya seekor katak dengan beberapa tetes airnya itu. Alih-alih padam, api sang raja malah terus berkobar membakar sang Nabi. Keinginannya memadamkan api telah gagal. Mungkin kita memandang sia-sia upaya si katak.
Tapi tidak demikian dengan Tuhan. Dia justru menghargai sejumput cinta, jerih payah dan tak menyia-nyiakan niat baik yang muncul dalam sanubari setiap mahkluknya. Begitu pun dengan sang katak. Dengan rasa cinta dan keinginan membela pada sang Nabi, katak dimuliakan Tuhan. Sejak saat itulah muncul larangan membunuh katak.
Titah Tuhan itu terus diberlakukan hingga masa Rasulullah s.a.w. Dengan kata lain, pemberlakukan larangan membunuh katak berlaku hingga akhir zaman; perbuatan baik seekor katak membuat Tuhan memuliakan seluruh golongan katak.
Maka hingga kini kita saksikan katak akan terus ada dengan kemulian yang diberikan Tuhan padanya. Di rawa-rawa, di sawah, di kebun, pada malam yang dingin dan sepi, katak tak akan pernah berhenti berbunyi, menemani dengkur nyenyak tidur kita, sepanjang malam, hingga akhir zaman.
Lalu, apa yang disuarakan katak dalam mengisi malam? Adalah Dawud (David), sang Nabi, alaihissalam, suatu kali pernah bertanya kepada Tuhan, “Wahai Tuhan, adakah makhluk yang dzikirnya di waktu malam lebih panjang dibanding dzikirku kepadaMu?”. Dengan KemahalembutanNya, Tuhan menjawab, “Benar, wahai Dawud, ada makhlukku yang dzikirnya lebih panjang ketimbang dzikirmu kepadaKu,” kata Tuhan, seraya melanjutkan, “Katak, dzikir malamnya kepadaKu lebih panjang ketimbang dzikirmu kepadaKu, wahai Dawud”.
Sumber : http://sejarah.kompasiana.com/2011/09/09/katak-pembela-nabi-ibrahim/