Dalam sebuah perjalanan, Syaikh Abu Yazid al-Busthami menyempatkan diri menemui seorang guru sufi yang sangat tekun di kota Basrah. Sehingga terjadilah sebuah dialog.
”Apa yang kau inginkan, wahai Abu Yazid?” tanya seorang sufi.
“Aku hanya mampir sejenak, karena aku ingin menunaikan ibadah haji ke Makkah,” Abu Yazid menjelaskan.
”Apakah bekalmu cukup untuk perjalanan ini?”
”Cukup.”
”Ada berapa?”
”200 dirham.”
Tiba-tiba sang sufi berkata, “Serahkan saja uang itu kepadaku, dan bertawaflah di sekeliling hatiku sebanyak tujuh kali.”
Dengan tawaduk, Abu Yazid mematuhi permintaan sang sufi. Bekal 200 dirham pun akhirnya diberikan.
“Wahai Abu Yazid, hatiku adalah rumah Allah, dan ka’bah juga rumah Allah. Bedanya, Allah tidak pernah memasuki ka’bah sejak didirikannya, sedangkan Ia tidak pernah keluar dari hatiku sejak dibangun oleh-Nya,” jelas sang sufi kemudian.
Kepala Abu Yazid masih merunduk. Sang sufi lantas mengembalikan uang itu sembari berujar, “Sudahlah, lanjutkan saja perjalanan muliamu menuju ka’bah.”
Abu Yazid paham, ibadah yang terpusat pada simbol, kebanggaan prestasi dan gelar ibadah hanya berujung kesia-siaan. Penghambaan sejati sangat tergantung pada situasi hati.
"Bumi-Ku dan langit-Ku tak sanggup memuat-Ku. Namun hati hamba-Ku yang mukmin sanggup memuat-Ku,” demikian firman Allah dalam sebuah hadits Qudsi.
Syaikh Abu Yazid pun melanjutkan perjalanan
Sumber: