CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

20 Sep 2013

Apakah Gus Dur Sengaja Mencari Cela??



Jakarta, NU Online
   Gus Dur tokoh yang kontraversial, banyak pendukung dan pemujanya, tetapi disisi lain, banyak orang yang mencaci dirinya. Toh ia santai saja atas sikap kelompok tersebut.

   Banyak perilakunya yang diluar standar normal. Yang paling terkenal diantaranya ketika ia menyebut “DPR seperti anak TK“ yang masih sering dikutip sampai sekarang, dan hanya memakai celana pendek ketika keluar dari istana saat digulingkan dari jabatannya sebagai presiden. Banyak orang memandangnya dengan sinis, “presiden kok begitu.“ 

   Jangan-jangan ia sengaja mencari celaan dan hinaan dari publik, agar hatinya selalu dekat dengan Allah? Dalam sufi, terdapat aliran Malamatiyah, yaitu kelompok sufi yang sengaja menghinakan dirinya. Ketika orang memuji dan mengkultuskannya, ia akan melakukan tindakan kontraversial agar dicaci publik untuk menghindari penyakit hati seperti riya’ (ingin dilihat baik), ujb (kagum dengan diri sendiri) dan nifaq (munafik/penampilan lahir lebih baik dari batin). Semua penyakit hati ini bisa menjauhkan hati seorang sufi kepada Allah.

   “Saya ngak mau kurang ajar untuk ngrasani Gus Dur. Banyak orang yang lebih nyeleneh daripada Gus Dur dalam kewalian,“ kata ulama Betawi KH Saifuddin Amsir.

   Orang seperti itu, kata rais syuriyah PBNU ini, mencari celaan dan orang lain dalam upaya melatih hati untuk meningkatkan kualitas hubungan dengan Allah. Pada titik tertentu, mereka sampai merasa, dirinya lebih hina daripada orang lain, bahkan binatang sekalipun. 

   Namun, aliran ini berbahaya jika salah memahaminya. Banyak orang yang ingin masuk kelompok ini dan melakukan maksiat yang berlebihan, tetapi terjebak disitu, tidak bisa membedakan antara mencari kemuliaan dan pemuja syahwat. 

“Jadi kata malamatiyah, yaitu orang yang menisbahkan diri kepada malamah, kehinaan, cercaan. Itu yang dia cari.”

   Di Jakarta, ia mengenal sosok seperti itu, dalam kehidupan sehari-hari, banyak perilakunya yang kelihatannya tidak pantas dilakukan oleh seorang tokoh agama, sehingga ia banyak diejek. Tetapi di sisi lain, sikapnya sangat baik kepada masyarakat.

   Suatu hari “sufi” tersebut dengan kasar meminta hampir semua uang yang dimiliki oleh pejabat yang dengan sangat terpaksa memberikan apa yang dimiliki, meskipun dalam hati menjerit, karena harta yang dikumpulkan dengan susah payah tersebut diminta, apalagi dengan cara kasar. 

   Begitu mendapat uang tersebut, ia pergi ke rumah janda-janda yang membutuhkan sampai semua uang tersebut habis. Pulang ke rumah, orang tersebut masih diomeli sama istrinya, “setan loe, pulang-pulang ngak bawa uang.”

   Disisi lain, pejabat yang dimintai uang tersebut mendapat ganti yang luar biasa besarnya. Peristiwa tersebut berulang kali terjadi pada orang tersebut, meminta uang kepada seseorang, kemudian ternyata tak lama kemudian, yang dimintai mendapat ganti yang lebih banyak. 

   “Pada puncak ia dihina habis, sampai merasa di bukan apa-apa, kayak debu di atas meja, baru ada keberhasilan dia sebagai orang yang menjalani malamatiyah, ini sangat berat. Ini menghindari rasa riya, sombong, dan sifat hati jelek lainnya. Semuanya dipangkas habis. Ini sifat dasar manusia.”

   Perilaku seperti ini tentu berbeda dengan kecenderungan manusia sekarang yang berusaha menampilkan kemegahan, citra semu agar dianggap kaya, keren atau berkuasa agar orang lain takut dan segan kepadanya. 

   Idiom yang sangat terkenal tentang kewalian adalah Laa yakriful wali illal wali yang artinya, tidak tahu seseorang itu wali kecuali juga wali. Ia menjelaskan, mereka merupakan sebuah komunitas khusus, yang saling kenal dan berkomunikasi karena memiliki kualitas yang sama. “Kalau anda kenal, berarti memiliki kualitas yang sama. Mereka tidak memiliki rasa takut dan sedih, semuanya diserahkan kepada Allah.”

   Kiai Saifuddin menuturkan, sufi merupakan orang yang menghargai semua makhluk hidup, termasuk binatang. Di Jakarta, tahun 1940-an, terdapat sufi yang dikenal dengan mana Guru Kholid Gondangdia. Ia berkawan dengan KH Hasyim Asy’ari. 

   Ia pernah mengembalikan seekor semut rang-rang ke Cilebut, daerah dekat Bogor, tempat ia mengajar ketika pulang lewat kebun rambutan, semut tersebut menempel di jubahnya. Ia balik lagi ke kebun tersebut dan menaruh kembali semur rang-rang di pohon rambutan.

“Kalau kita sekarang, buang saja, banyak pohon rambutan di Jakarta, kan selesai. Ini sikap Guru Kholid, akan kasih sayangnya pada binatang.”



Sumber:
Comments
0 Comments