Suatu hari ketika Sayidina Sayidina Ali sedang berada dalam pertempuran, pedang musuhnya patah dan orangnya terjatuh. Sayidina Ali berdiri di atas musuhnya itu, meletakkan pedangnya ke arah dada orang itu, dia berkata, “Jika pedangmu berada di tanganmu, maka aku akan lanjutkan pertempuran ini, tetapi kerana pedangmu patah, maka aku tidak boleh menyerangmu.”
“Kalau aku punya pedang saat ini, aku akan memutuskan tangan-tanganmu dan kaki-kakimu,” orang itu berteriak balik.
“Baiklah kalau begitu,” jawab Sayidina Ali, dan dia menyerahkan pedangnya ke tangan orang itu.
“Apa yang sedang kamu lakukan”, tanya orang itu kebingungan.
“Bukankah saya ini musuhmu?”
Sayidina Ali memandang tepat di matanya dan berkata, “Kamu bersumpah kalau memiliki sebuah pedang di tanganmu, maka kamu akan membunuhku. Sekarang kamu telah memiliki pedangku, kerana itu majulah dan seranglah aku”.
Tetapi orang itu tidak mampu. “Itulah kebodohanmu dan kesombongan berkata-kata,” jelas Sayidina Ali.
“Di dalam agama Allah tidak ada perkelahian atau permusuhan antara kamu dan aku. Kita bersaudara. Perang yang sebenarnya adalah antara kebenaran dan kekurangan kebijakanmu. Iaitu antara kebenaran dan dusta. Engkau dan aku sedang menyaksikan pertempuran itu. Engkau adalah saudaraku. Jika aku menyakitimu dalam keadaan seperti ini, maka aku harus mempertanggungjawabkannya pada hari kiamat. Allah akan mempertanyakan hal ini kepadaku.”
“Inikah cara Islam?” Orang itu bertanya.
“Ya,” jawab Sayidina Ali, “Ini adalah Firman Allah, yang Maha Kuasa, dan Maha Satu.”
Dengan segera, orang itu bersujud di kaki Sayidina Ali dan memohon, “Ajarkan aku syahadat.”
Dan Sayidina Ali pun mengajarkannya, “Tiada tuhan melainkan Allah. Tiada yang ada selain Engkau, ya Allah.”
Hal yang sama terjadi pada pertempuran berikutnya. Sayidina Ali menjatuhkan lawannya, meletakkan kakinya di atas dada orang itu dan menempelkan pedangnya ke leher orang itu. Tetapi dia tidak membunuh orang itu.
“Mengapa kamu tidak membunuh aku?” Orang itu berteriak dengan marah.
“Aku adalah musuhmu. Mengapa kamu hanya berdiri saja?” Dan dia meludahi muka Sayidina Ali.
Mulanya Sayidina Ali menjadi marah, tetapi kemudian dia mengangkat kakinya dari dada orang itu dan menarik pedangnya.
“Aku bukan musuhmu”, Sayidina Ali menjawab.
“Musuh yang sebenarnya adalah sifat-sifat buruk yang ada dalam diri kita. Engkau adalah saudaraku, tetapi engkau meludahi mukaku. Ketika engkau meludahi aku, aku menjadi marah dan keangkuhan datang kepadaku. Jika aku membunuhmu dalam keadaan seperti itu, maka aku akan menjadi seorang yang berdosa, seorang pembunuh. Aku akan menjadi seperti semua orang yang kulawan. Perbuatan buruk itu akan tercatit atas namaku. Itulah sebabnya aku tidak membunuhmu.”
“Kalau begitu tidak ada pertempuran antara kau dan aku?” orang itu bertanya.
“Tidak. Pertempuran adalah antara kearifan dan kesombongan. Antara kebenaran dan kepalsuan”. Sayidina Ali menjelaskan kepadanya. “Meskipun engkau telah meludahiku, dan mendesakku untuk
membunuhmu, aku tak boleh.”
“Dari mana datangnya ketentuan semacam itu?”
“Itulah ketentuan Allah. Itulah Islam.”
Dengan segera orang itu tersungkur di kaki Sayidina Ali dan dia juga diajarkan dua kalimah syahadat sebagai tanda keIslaman dan keimanannya.
Sumber: