Bismillahir Rahmanir Rahim
"Sayyidina Ahmad ar-Rifa` i (Imam dari Tariqat Sufi Rifa'i) diberikan penglihatan berada di Surga Keempat dan melihat Samudera yang demikian besar, dan dia pikir itu adalah air, tetapi ketika dia mendekatinya ternyata samudera pasir, bukan air. Ia tidak bisa melihat batas awal, atau akhirnya.
Semakin dia mendekat hingga sampai kesetiap partikel pasir, ia menemukan bahwa setiap butir pasir itu sendiri adalah seluruh alam semesta! Dan di sana ia mendengar suara adzan memanggilnya, dan Nabinya adalah Sayyidina Muhammad (saw). "Dia mendengar azan seperti azan kami, dan mengatakan ini adalah dunia yang bukan fotocopy dari dunia ini atau sama satu sama lainnya, dan Nabi (saw) adalah Nabi untuk setiap dunia ini, yaitu dunia dalam diri mereka. Inilah pengetahuan rahasia yang dicapai oleh Sayyidina Ahmad ar-Rifa `i (q). Akbar al-akbar!"
Sayyid Mawlana Syekh Nazim Adil Al-Haqqani qs
© Sufilive.com
*dari Syaikh Arief Hamdani
Kisah Beliau,
Syaikh Ahmad Al-Rifa'i, tokoh sufi di mana Tarikat Rifa'iyyah dibangsakan, yang lahir dengan nama Ahmad bin Shalih, diketahui memiliki sejumlah nama seperti Ahmad bin Abi'l Hasan Al-Rifa'i, Ahmad bin Ali Abul Abbas, Syaikh Ahmad kabir Rifa'i, atau nama lengkapnya Sidi Ahmad bin Yahya bin Huzain bin Rifa'ah. Ia dilahirkan pada bulan Muharram tahun 500 Hijriah/ September 1106 Masehi tetapi ada juga yang menyatakan kelahirannya pada bulan Rajab tahun 512 H/ Oktober-November 1118 Masehi. Sebagian sumber menyebut Syaikh Ahmad Rifa'i lahir di Marokko, tetapi sumber yang kuat menyatakan ia lahir di Qaryah Hassan, dekat Basrah di Irak. Menurut satu cerita, nama Rifa'i berkaitan dengan nama Suku Rifa'i yang tinggal di Makkah sejak tahun 217 H tetapi pindah ke Sevilla di Spanyol. Pada masa kakek Syaikh Ahmad Rifa'i pada tahun 450 H, datanglah keluarga Rifa'i ke Basrah. Oleh karena datang dari barat, maka kakek Syaikh Ahmad Rifa'i memakai nama Al-Maghribi. Sebagian meriwayatkan, ayah dari Syaikh Ahmad Rifa'i yang pindah dari Maghrib ke Irak, tinggal di kota Ummu ‘Ubaidah di Batha'ih.
Menurut riwayat, ketika berusia 7 tahun ayahanda Syaikh Ahmad Rifa'i wafat di Baghdad. Ia kemudian diasuh oleh pamannya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, yang tinggal di Basrah. Asy-Sya'rani dalam kitab Lawaqihul Anwar menuturkan bahwa Syaikh Mansyur Al-Batha'ih adalah seorang syaikh thariqah. Dalam sejarah hidup Syaikh Ahmad, ia pertama kali belajar Ilmu Fiqih Mazhab Syafi'i dengan mempelajari Kitab Al-Tanbih dari Syaikh Abul Fadl Al-Wasithi, akan tetapi belakangan ia lebih cenderung kepada ilmu tasawuf. Kecenderungan kepada tasawuf itu kemungkinan disebabkan oleh lingkungan keluarganya yang menganut gerakan sufisme dan bahkan paman yang mengasuhnya adalah guru besar (syaikh) tarikat. Bahkan di bawah bimbingan sang paman, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, Syaikh Ahmad Rifa'i memasuki dunia tasawuf secara mendalam sampai ia menggantikan kedudukan sang paman sebagai syaikh.
Syaikh Sholah ‘Azham, penulis masalah-masalah tasawuf asal Mesir, menuturkan kisah pemilihan syaikh yang patut menggantikan kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih yang sudah tua dan sakit-sakitan. Syaikh Mansyur Al-Batha'ih ingin memilih khalifah penggantinya. Para murid dan pengikut yang berjumlah ribuan memohon kepada Syaikh Mansyur Al-Batha'ih agar secepatnya memilih putera Syaikh Mansyur Al-Batha'ih sendiri yang bernama Ahmad untuk menggantikan kedudukan syaikh. Namun Syaikh Mansyur Al-Batha'ih malah memilih Ahmad bin Shalih, keponakannya yang sejak kecil telah diasuhnya. Para murid dan pengikut sangat kecewa dengan pilihan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih. Mereka diam-diam menghadap isteri Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, memohon agar bersedia membujuk suaminya untuk membatalkan pilihannya pada Ahmad bin Shalih dan memilih Ahmad bin Mansyur sebagai pengganti.
Faham dengan keinginan murid-murid dan pengikutnya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih berencana mengadakan sayembara model sufi. Satu hari dipanggilnya sepuluh orang murid senior, termasuk puteranya, Ahmad bin Mansyur, dan keponakannya, Ahmad bin Shalih. Masing-masing mereka diberi seekor burung merpati dan sebilah pisau disertai perintah untuk berlomba menyembelih burung tersebut, dengan syarat dilakukan di tempat tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapa pun. Lalu para peserta sayembara itu berhamburan ke berbagai arah untuk menjalankan tugas masing-masing.
Dalam waktu tidak lama, berdatanganlah para murid senior membawa burung-burung merpati yang telah tersembelih. Setelah itu, puteranya, Ahmad bin Mansyur datang pula dengan burung merpati yang telah tersembelih. Hanya Ahmad bin Shalih yang datang paling akhir dengan burung merpati masih hidup dan belum disembelih.
Di hadapan murid-murid senior dan puteranya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih bertanya kepada Ahmad bin Shalih,"Wahai Ahmad, kenapa engkau datang terlambat? Dan kenapa pula burungmu belum kau sembelih?"
Dengan takzim Ahmad bin Shalih menjawab,"Maafkanlah saya paman, saya tidak dapat melaksanakan perintahmu. Sebab saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri. Saya tidak menemukan tempat seperti yang paman maksudkan. Saya tidak menemukan tempat yang bebas dari pengawasan. Setiap tempat yang saya datangi senantiasa saya rasakan Allah selalu hadir dan mengawasinya."
Mendengar jawaban Ahmad bin Shalih, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih dan para murid serta puteranya terpukau. Sebab yang disampaikan Ahmad bin Shalih itu menunjukkan betapa tinggi tingkat muraqabah Ahmad bin Shalih. Untuk itu, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih menetapkan pilihan dengan berkata,"Turiiduna li mahbubikum, wa Allahu yuuridu li mahbubih" (kalian menghendaki orang yang kalian sukai, tetapi Allah lebih menghendaki orang yang Dia sukai). Demikianlah, Ahmad bin Shalih Al-Rifa'i terpilih secara mutlak sebagai pengganti Syaikh Mansyur Al-Batha'ih. Sekali pun mengganti kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, namun ajaran yang dikembangkan Syaikh Ahmad Rifa'i tidak sama persis dengan yang diajarkan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, karena Syaikh Ahmad Rifa'i juga memperoleh ijazah dari guru sufi yang lain, yaitu Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi.
Ketika Syaikh Ahmad Rifa'i bertemu dengan seorang wali bernama Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi, ia diberinya pelajaran berupa sindiran: "Orang yang berpaling dia tiada sampai. Orang yang ragu-ragu tidak mendapat kemenangan. Barangsiapa tidak mengetahui waktunya kurang, maka semua waktunya telah kurang." Sindiran itu sangat berkesan bagi Syaikh Ahmad Al Rifa'i. Setahun lamanya Syaikh Ahmad Rifa'i mengulang-ulang perkataan ini.
Setelah setahun Al-Rifa'i datang kembali menemui Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi dan meminta wasiat lagi. Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi kemudian berkata, "Sangatlah keji kejahilan bagi orang-orang yang mempunyai Akal. Sangatlah keji penyakit pada sisi semua dokter. Sangatlah keji sekalian kekasih yang meninggalkan Wushul." Syaikh Ahmad Al-Rifa'i kembali mengulang-ulang perkataan itu selama setahun dan ia banyak mendapat manfaat dari perkataan itu karena perkataan itu diresapi, dihayati dan diamalkan.
Syaikh Ahmad Rifa'i dikenal sebagai rujukan ilmu thariqah di jamannya, karena ia dianggap memiliki ilmu haqiqat yang tinggi dan sebagai wali qutub yang agung dan masyhur sesudah jaman Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany. Ke mana pun ia pergi, para pengikutnya selalu mengikutinya. Itu sebanya, para pengikutnya dikenal dengan sebutan "Al-Thoifah Al-Rifa'iyah".
Dijuluki dengan Muhiyyudin dan Sayyid al- ‘arifin (penghulu para ‘arif). Berasal dari Maghribi dan terlahir di Bathaih yang kemudian menjadi tempat tinggalnya.
Kualitas, kemasyhuran dan tingkatan spiritualnya sulit untuk dilukiaskan dengan kata-kata. Beliau adalah salah seorang dari empat orang yang dianugerahi kemampuan menyembuhkan lepra, kebutaan, menghidupkan orang mati, dengan izin Allah.
Beliau termasuk salah satu orang termasyhur di dunia. Muridnya berasal dari berbagai makhluk dan berbagai negara. Banyaknya tidak terhitung. Tidak ada satu negara muslimpun yang tidak memiliki zawiyahnya.
Beliau adalah orang yang sering bermujahadah, beliau juga termasuk salah satu orang yang menguasai berbagai kondisi spiritual dan rahasia-rahasianya. Kepada beliaulah kepakaran ilmu ini dinisbathkan. Beliau terangkan berbagai kondisi spiritual dan memberikan solusi atas berbagai permasalahan dalam posisi mereka. Berbagai pernyataan berkualitas tinggi dalam tasawuf dinisbathkan kepada beliau.
Beliau termasuk orang tawadhu’ dan melepaskan dirinya dari dunia, tidak pernah menyimpan apapun. Ketika ada yang bertanya kepadanya tentang pernyataannya, “Sendiri lebih baik dari pada teman jelek”. Beliau menjawab, “di Zaman sekarang ini orang saleh lebih baik dari pada teman duduk. Karena memandangnya adalah obat dan tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali tauhid”.
Berkenaan dengan pemutusan hubungan kepada selain Allah lari dari segala sesuatu kepada Allah dan menninggalkan apapun selain Allah, beliau menyitir sebuah sya’ir:
Bagaimana kalian bisa bergembira sedangkan hidup adalah kesedihan
Bagaimana kalian bisa ridha sedangkan Al-Anaam (sang pencipta murka).
Wahai yang menjadikan antara aku dan kehidupan
Dan menjadikan antara aku dan alam kehancuran
Jika Engkau meneriakkan cinta, maka semua menjadi hancur
Dan semua yang ada di atas tanah menjadi debu.
Syaikh Syamsudin Abu Mudzafar Yusuf Sabt ibn Jauzi dalam kitab tarikh karangannya menyatakan salah seorang syaikh kami berkisah, “Pada suatu malam di pertengahan bulan sya’ban, aku mendatangi Syaikh Ahmad Rifa’i dan mendapati sekitar 100 ribu orang sedang berkumpul. ‘Ini adalah kumpulan yang sangat besar kataku kepadanya. Beliau balik berkata, ‘Engkau akan mendapat kerugian sebaimana yang didapat Hamman jika terbetik dalam hatimu bahwa akulah pemimpin kumpulan ini’”.
Syaikh Abu Farj AbduRrahman bin Ali Ar-Rifa’i keponakan dari saudara perempuannya berkisah, “pada suatu hari aku duduk di tempat yang membuatku dapat mendengar perkataan dan melihat beliau dengan jelas. Saat itu beliau duduk seorang diri, tidak didampingi oleh siapapun. Tiba-tiba seseorang turun dari langit dan duduk di hadapannya. Beliau berkata, ‘ Selamat datang utusan dari timur.’
‘Dua puluh hari sudah aku tidak makan dan minum. Aku ingin engkau memberi makan keinginanku’, ujar orang tersebut.
‘Apa keinginanmu ?’ tanya beliau.
Orang itu memandang ke lima ekor angsa yang sedang terbang dan berkata, ‘ Aku ingin salah satu dari angsa tesebut, panggang. Dua potong roti dan secangkir beasar air dingin’.
‘Akan aku berikan semua yang engkau minta’. Jawab sang Syaikh. Kemudian beliau memandang ke arah angsa-angsa tersebut sambil berkata, ‘penuhi permintaan orang ini’. Tak lama kemudain salah seekor dari mereka turun dalam keadaan terpanggang. Setelah itu Syaikh mengulurakn tangannya mengambil dua buah batu yang ada di sampingnya yang kemudian berubah menjadi dua potong roti hangat. Kemudian beliau mengulurkan tangannya ke udara dan saat turun tangan tersebut telah menggenggam cawan besar merah berisi air. Orang tersebut makan dan minum lalu kembali terbang kearah datangnya tadi.
Seiring dengan perginya orang tersebut, Syaikh bangkit dan memungut tulang-tulang angsa tadi, meletakkannya di tangan kiri dan mengusapnya dengan tangan kanannya seraya berkata, “hai tulang belulang yang berserakan, dengan perintah Allah terbanglah engkau. BismiallahiRrahmaanirrahiim. Seketika itu pula angsa tersebut terbang ke udara menghilang dari pandangan kami. “
Syaikh Jalaludin Abdurrahman As-Suyuti berkata dalam kitabnya At-tanwir bab imkan rukyatinNabiyyi SAW (Dimungkinkannya melihat RasuluLlah SAW), “Syaikh Ahmad Rifa’i berdiri di depan makam RasuluLlah SAW kemudian beliau bersya’ir
Ketika jauh, rohku yang kukirim sebagai wakilku untuk menciumi tanah kuburmu.
Sekarang yang diwakilkan telah hadir, sekarang ulurkanlah tangan kananmu agar beruntung kedua bibirku.
Seketika itu pula keluarlah tangan RasuluLlah SAW dari kuburnya.
Diriwayatkan salah seorang sahabatnya sering melihat beliau duduk di kursi As-Shidq dalam mimpimya, namun ia tidak pernah mengabarkan hal tersebut kepada beliau. Dan sang syaikh diriwayatkan memiliki seorang isteri yang berlidah tajam dan berperangai kasar.
"Suatu hari orang tadi menghadap beliau dan mendapati isteri tersebut sedang memukulkan penyulut lampu ke punggungnya hingga hitam bajunya tanpa sedikitpun dilawan oleh sang syaikh. Sahabat tersebut keluar dan menemui para sahabat yang lain kemudian berkata, “Wahai saudara-saudara, sang syaikh mendapat perlakuan demikian dan demikian….. namun kalian dam saja.”. Salah seorang berkata, “Maharnya limaratus dinar dan beliau adalah orang yang miskin”. Sahabat tadi berlalu dan mengumpulkan 500 dinar kemudian pergi menghadap sang Syaikh dan meletakkan uang tersebut di hadapannya.
Apa ini ?“ tanya sang syaikh kepada sahabatnya tersebut.
“Ini mahar perempuan yang telah berbuat ini dan itu kepada engkau” jawabnya.
“Tahukah engkau” ujar sang syaikh, “Jika bukan karena kesabaranku atas pukulan dan mulutnya, engkau tidak akan melihatku duduk di kursi Ash-Shidq. “
Syaikh Syamsudin Sabth Ibn Jauzi dalam kitab tarikh berkata, “Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Abu Abas bin Rifa’i adalah syaikh orang-orang Bathaih, beliau tinggal di Umm Ubaidah dan dianugerahi berbagai karamah dan maqam. Diantara para sahabatnya ada yang menunggangi hewan buas dan bermain dengan ular. Ada pula yang memanjat dan melemparkan dirinyan dari pohon kurma tertinggi tanpa cedera sedikitpun. Mereka semua berkumpul satu kali dalam semusim.”
Ketua para Qadhi Mujiruddin AbruRrahman Al-Amiri Al-‘Alimi Al-Hanbali Al-Maqdisi dalam kitabnya Al-Mu’tabar fi abna min ‘abar meriwayatkan, “ Beliau adalah Abu Abbas Ahmad bin Abi Al-Hasan Ali bin Abi Abas Ahmad yang dikenal dengan sebutan bin Rifa’i beliau bermadzhab Syafi’i , berasal dari barat dan tinggal di Umm Ubaidah sebuah desa di Bathaih. Sebuah syair darinya :
Bila gelap tiba, bergolak kalbuku mengingat-Mu
Tangisku bak cicitan burung merpati.
AL-Alamah Syamsudin bin Nashirudin Ad-Dimasyqi berkata, “Kami belum pernah mendengar bahwa guru kami Syaikh Abu Abas Ahmad bin Rifa’i merupakan keturunan salah seorang dari para Imam sebagaimana yang dinyatakan oleh beberapa imam, atau nasab yang shalih dari Ali bin Abi Thalib atau kepada keturunan beiau yang mulia. Yang sampai kepada kami, yang dihafal oleh para Hufadz dan yang kami anggap kuat, beliau adalah Abu Abas Ahmad bin Syaikh Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad bin Yahya bin Hazim bin Ali bin Rafa’af Al-Maghribi. Berasal dari Iraq dan kata Rifa’i dinisbathkan kepada kakek buyutnya.
Adalah ayahnya syaikh Abi Al-Hasan Ali yang datang dari Maghrib dan menetap di Bathaih. Beliau mengawini saudara perempuan Syaikh Manshur ahli zuhud ,dan dari perkawinan tersebut lahirlah Syaikh Ahmad Rifa’i. Ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih dalam kandungan dan beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 500 H. Beliau diasuh oleh paman dari ibunya sejak saat itu.
Beliau belajar kepada pamannya, kepada Abi Al Hasan Ali Al-Qaari Az-Zahid dan lainnya. Kemudian beliau menjadi pemimpin kaum ‘aarif dan salah seorang wali terbesar dalam sejarah. Beliau wafat 17 tahun setelah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilli, pada bulan Jumadil Ula 587 H”.
Sedangkan Ketua Qadhi Jamaluddin Abu Mahasin Yusuf At-Tadafi mengatakan, “Beliau adalah Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Yahya bin Hazim bin Ali bin Tsabit bin Ali bin Al-Husain Al-Asghar bin Al-Mahdi bin Muhammad bin Qasim bin Musa bin AbdurRahim bin Saleh bin Yahya bin Muhammad bin Ibrahim bin Musa bin Kadzim bin Ja’far As’Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.”
Ajaran Syaikh Ahmad Rifa'i
Ajaran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa'i banyak diriwayatkan oleh ‘Abdul Wahhab Al-Sya'rani dalam buku At-Thabaqat al-Kubra. Ajaran zuhud, misal, menurut Syaikh Ahmad Rifa'i adalah landasan keadaan yang diridlai dan tingkatan-tingkatan yang disunnahkan. Langkah pertama salik menuju Allah adalah mengarahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Siapa yang belum menguasai landasan kezuhudan, maka langkah-langkah selanjutnya akan sulit menemukan yang benar. Sedang ma'rifat, menurut Syaikh Ahmad Rifa'i, adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yaqin sehingga tersingkaplah hakikat realitas-realitas yang benar-benar meyakinkan. Dalam riwayat lain, dikisahkan Syaikh Ahmad Rifa'i berkata,"Cinta mengantar pada rindu dendam, sementara ma'rifat mengantar pada kefanaan - ketiadaan diri."
Ajaran Syaikh Ahmad Rifa'i tidak lepas dari rebana sebagai pengiring dzikir dan shalawat. Menurut riwayat, suatu saat Syaikh Ahmad Rifa'i berdzikir dalam keadaan fanaa. Tubuhnya terangkat ke atas dan dalam keadaan tidak sadar ia menepuk-nepuk dadanya. Allah memerintahkan kepada malaikat untuk memberinya rebana di dadanya. Tetapi Syaikh Ahmad Rifa'i tidak ingat apa-apa akibat terlalu khusyuknya. Sejak saat itu, rebana menjadi bagian dari ajaran tarikat Ar-Rifa'iyyah.
Untuk menuju kepada Tuhan, Al-Rifa'i mengajarkan dzikir yang diformulasi dengan irama dan intonasi suara yang lantang dengan tujuan supaya yang tidur bangun dan yang alpa menjadi ingat. Oleh karena cara berdzikir yang berirama itu, dunia Barat menyebut dzikir Tarikat Rifa'iyyah dengan sebutan Darwis Menangis, terutama karena suara-suara ganjil yang dihasilkan pada dzikir berjama'ah Tarikat Rifa'iyyah. Ada pula yang menyebut dzikir Rifa'iyyah dengan sebutan Dzikir Arra, yaitu "dzikir menggergaji" terutama yang dijalankan Tarikat Rifa'iyyah di Asia Tengah dan Turki. Sebagian penganut Tarikat Rifa'iyyah menyatakan tidak tahu pasti apakah Dzikir dengan suara lantang itu diajarkan oleh Syaikh Ahmad Rifa'i sendiri atau ada pengaruh dari Tarikat Yasawiyyah yang dibangsakan kepada Syaikh Ahmad Yasawi, di mana Syaikh Ahmad Yasawi dikenal sebagai pelopor dzikir lantang karena ia seorang sastrawan sufi.
Dalam kitab at-Thabaqat al-Kubra diterangkan, pada saat mengajar Syaikh Ahmad Rifa'i suaranya terdengar oleh orang-orang yang tinggal jauh dari tempatnya seolah semua bisa mendengar apa yang disampaikan sama seperti orang yang dekat dengan tempatnya mengajar. Saat Syaikh Ahmad Rifa'i mengajar, penduduk di sekitar Ummi Abidah beramai-ramai keluar dari rumahnya untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad Rifa'i. Konon, orang yang tuli pun jika hadir mengaji, akan dibukakan pendengarannya oleh Allah sehingga bisa mendengar apa yang disampaikan Syaikh Ahmad Rifa'i. Para guru tarikat banyak yang hadir untuk mendengarkan wejangan Syaikh Ahmad Al-Rifa'i. Mereka biasanya menggelar sajadah sebagai tempat duduk. Setelah Syaikh Ahmad Al-Rifa ‘i selesai memberi pelajaran, mereka pulang sambil menempelkan sajadah ke dada mereka masing-masing. Setelah sampai di rumah, mereka dengan lancar bisa menjelaskan semua yang telah mereka dengar kepada para muridnya.
Dari berbagai ajaran Al-Rifa'i yang paling menonjol dan terkenal adalah Dabus, suatu didikan yang luar biasa ganjil.Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam (1975) menganggap Tarikat Rifa'iyyah sebagai tarikat ganjil karena melatih murid-muridnya untuk tahan api, melukai diri sendiri dengan benda-benda tajam, berjalan di atas pecahan kaca, mematukkan diri dengan ular berbisa, memakan kaca, ditusuk benda-benda runcing (dabus), dengan anggapan murid-murid yang mencapai tahap fana tidak lagi memiliki rasa sakit karena sangat dzikir kepada Allah.
Asy-Sya'rani mengomentari kedudukan Al-Rifa'i dalam kedudukan tasawuf dengan ungkapan,"Dia adalah seorang tokoh dalam tasawuf, mengenal berbagai keadaan kaum sufi, dan banyak menuingkap masalah-masalah posisi mereka. Setiap kali ia keluar, ia selalu diikuti orang banyak. Dia memiliki murid."
Keanehan dalam berbagai hal, tidak hanya dimiliki Al-Rifa'i, banyak hal aneh yang juga sering terjadi pada diri murid Syaikh Ahmad Rifa'i seperti mampu masuk ke dalam api yang sedang menyala, menjinakkan binatang buas seperti harimau, membuat hewan buas patuh dan menuruti apa yang mereka katakana, sehingga singa pun dapat dijadikan kendaraan oleh mereka. Di Mesir banyak cerita tentang bagaimana murid-murid Tarikat Rifa'iyyah menolong orang-orang yang dipatuk ular cobra. Pendek kata, berbagai keajaiban ditunjukkan oleh murid-murid Tarikat Rifa'iyyah.
Keteladanan Hidup Syaikh Ahmad Rifa'i
Salah satu dari sekian banyak budi pekerti yang diteladankan Syaikh Ahmad Rifa'i adalah seringnya ia mengunjungi tempat orang-orang berpenyakit kusta. Ia tidak sekedar mengunjungi, tetapi mencuci bersih pakaian orang-orang berpenyakit kusta yang sangat menjijikkan menurut pandangan umum itu. Dipeliharanya orang-orang yang sedang sakit itu dengan mengantarkan makanan untuk mereka dan ia juga turut makan bersama-sama mereka tanpa merasa jijik.
Ketika Syaikh Ahmad Al Rifa'i datang dari perjalanan dan telah dekat dengan kampungnya, maka dipungutnya kayu bakar. Setelah itu dibagi-bagikannya kayu bakar itu kepada orang-orang sakit, orang buta, orang-orang tua dan orang yang membutuhkannya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Mendatangi orang-orang yang semacam itu adalah wajib bagi kita dan bukan sekedar sunnah. Nabi Saw bersabda : "Barang siapa yang memuliakan orang tua muslim, maka Allah akan meluluhkan orang untuk memuliakannya jika ia sudah tua".
Setiap berada dijalan, Syaikh Ahmad Rifa'i selalu menunggu lewatnya orang buta, di mana saat ada orang buta lewat lalu dipegang dan dituntun serta diantar sampai ke tujuan. Syaikh Ahmad Rifa'i memiliki kasih sayang bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada binatang. Dikisahkan satu saat ada seekor anjing menderita penyakit kusta. Kemana saja anjing itu pergi, ia selalu diusir orang. Anjing itu kemudian dipelihara oleh Syaikh Ahmad Al-Rifa'i. Anjing itu dimandikan dengan air panas, lalu diberi obat dan makanan, sampai anjing itu sembuh dari penyakit yang dideritanya. Kalau ada orang yang bertanya tentang apa yang telah diperbuatnya Syaikh Ahmad Rifa'i selalu berkata , "Aku selalu membiasakan pekerjaan yang baik."
Syaikh Ahmad Rifa'i kalau kebetulan dihinggapi nyamuk akan membiarkannya. Ia tidak mengijinkan orang lain untuk mengusirnya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Biarkanlah dia meminum darah yang dibagikan Allah kepadanya."
Pada suatu hari ada seekor kucing sedang nyenyak tidur di atas lengan bajunya. Waktu shalat telah masuk. Syaikh Ahmad Rifa'i lalu menggunting lengan bajunya itu karena ia tidak sampai hati mengejutkan kucing yang sedang lelap tidur itu. Seusai shalat, lengan bajunya itu diambil dan dijahit lagi.
Pada suatu hari ada seekor kucing sedang nyenyak tidur di atas lengan bajunya. Waktu shalat telah masuk. Syaikh Ahmad Rifa'i lalu menggunting lengan bajunya itu karena ia tidak sampai hati mengejutkan kucing yang sedang lelap tidur itu. Seusai shalat, lengan bajunya itu diambil dan dijahit lagi.
Jika ada orang minta dituliskan wafak/azhimah kepadanya, maka Syaikh Ahmad Rifa'i akan mengambil kertas lalu ditulis tanpa pena. Anehnya, sewaktu ada orang memberikan kertas yang pernah ditulisnya tanpa pena setahun sebelumnya, ia menolak untuk menulis ulang di atas kertas itu sambil menjelaskan bahwa kertas itu sudah pernah ditulisinya.
Budi pekerti mulia lain yang ditunjukkan Syaikh Ahmad Rifa'i ialah ia tidak mau membalas kejahatan dengan kejahatan. Apabila ia dimaki orang, ia hanya menundukkan kepala dan bersujud mencium bumi dan menangis serta meminta maaf kepada orang yang memakinya. Syaikh Ahmad Rifa'i pernah dikirimi surat oleh Syeikh Ibrahim al-Basity yang isi suratnya merendahkan martabatnya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata kepada orang yang menyampaikan surat itu, "Coba bacalah surat itu!"
Ternyata isi surat itu adalah "Hai orang yang buta sebelah, hai Dajjal, hai orang yang membikin bid'ah, dan berbagai macam caci-maki yang menyakitkan hati." Setelah pembawa surat itu selesai membaca surat, maka surat itu diterimakan kepada Syaikh Ahmad Rifa'i, dan setelah membaca Syaikh Ahmad Rifa'i berkata : "Ini semua benar, semoga Allah membalas kebaikan kepadanya." Lalu Syaikh Ahmad Rifa'i berkata dengan bersyair, "Maka tidaklah aku peduli kepada orang yang meragukan aku yang penting menurut Allah, aku bukanlah orang yang meragukan." Sebentar kemudian Syaikh Ahmad Rifa'i berkata : "Tulislah sekarang jawaban balasanku yang berbunyi "Dari orang rendah kepada Tuanku Syaikh Ibrahim. Mengenai tulisan Tuan seperti yang tertera dalam surat, memang Allah telah menjadikan aku menurut apa yang dikehendaki-Nya dan aku mengharapkanmu hendaknya sudi bersedekah kepadaku dengan mendo'akan dan memaafkanku."
Setelah surat balasan ini sampai pada Syaikh Ibrahim al-Basity dan dibaca isinya, kemudian Syaikh Ibrahim pergi. Menurut cerita, tidak ada seorang pun yang tahu ke mana syaikh itu pergi.
Kisah menggemparkan yang pernah dialami Syaikh Ahmad Rifa'i adalah sewaktu ia melakukan ibadah Haji dan ketika berziarah ke Makam Nabi Muhammad Saw. Saat itu terlihat tangan menjulur dari dalam kubur Nabi Saw bersalaman dengan beliau dan beliau pun terus mencium tangan Nabi Saw tersebut. Kejadian itu disaksikan oleh banyak orang yang berziarah ke Makam Nabi Saw tersebut. Semua orang takjub dan terheran-heran dengan peristiwa anehitu.
Setelah menyaksikan keajaiban gurunya, salah seorang murid Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Qutub!". Syaikh Ahmad Rifa'i menjawab, "Sucikan syak wasangkamu daripada Qutubiyah". Lalu murid itu berkata lagi, "Tuan Guru adalah Ghauts!". Syaikh Ahmad Rifa'i menjawab lagi, "Sucikan syak wasangkamu daripada Ghautsiyah"
Setelah menyaksikan keajaiban gurunya, salah seorang murid Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Qutub!". Syaikh Ahmad Rifa'i menjawab, "Sucikan syak wasangkamu daripada Qutubiyah". Lalu murid itu berkata lagi, "Tuan Guru adalah Ghauts!". Syaikh Ahmad Rifa'i menjawab lagi, "Sucikan syak wasangkamu daripada Ghautsiyah"
Menurut Al-Imam Asy-Sya'rani, jawaban-jawaban Syaikh Ahmad Rifa'i atas simpulan muridnya adalah dalil bahwa Syaikh Ahmad Al-Rifa'i sejatinya telah melampaui "Maqaamat" dan "Athwar", karena ketinggian derajatnya , kualitas maqam-nya, dan dekatnya dengan Allah sehingga tidak diketahuinya maqam, meski terdapat beberapa maqam.
Sebelum wafat beliau telah menceritakan kapan waktunya akan meninggal dan sifat-sifat hal ihwalnya beliau. Beliau akan menjalani sakit yang sangat parah untuk menangung bilahinya para makhluk. Sabdanya, “Aku telah di janji oleh Allah, agar nyawaku tidak melewati semua dagingku (daging harus musnah terlebih dahulu). Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i sakit yang mengakibatkan kewafatannya, beliau berkata, “Sisa umurku akan kugunakan untuk menanggung bilahi agungnya para makhluk. Kemudian beliau menggosok-ngosokkan wajah dan uban rambut beliau dengan debu sambil menangis dan beristighfar . Yang dideritai oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i ialah sakit “Muntah Berak”. Setiap hari tak terhitung banyaknya kotoran yang keluar dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya selama sebulan. Hingga ada yang tanya, “Kok, bisa sampai begitu banyaknya yang keluar, dari mana yaa kanjeng syeikh. Padahal sudah dua puluh hari tuan tidak makan dan minum. Beliau menjawab, “Karena ini semua dagingku telah habis, tinggal otakku, dan pada hari ini nanti juga akan keluar dan besok aku akan menghadap Sang Maha Kuasa. Setelah itu ketika wafatnya, keluarlah benda yang putih kira-kira dua tiga kali terus berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari perutnya. Demikian mulia dan besarnya pengorbanan Aulia Allah ini sehingga sanggup menderita sakit menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain.
Tentang waktu wafatnya Syaikh Ahmad Rifa'i tidak terdapat keseragaman. Sebagian menyatakan Syaikh Ahmad Rifa'i wafat tahun 578 H di al-Batha'ih, yang lain menyatakan Syaikh Ahmad Rifa'i wafat di Umm Ubaidah pada 22 Jumadilawwal 578 H atau 23 September 1183 M. Namun ada pula yang menyatakan Syaikh Ahmad Rifa'i wafat pada hari Kamis, waktu Dhuhur, tanggal 12 Rabbiul awwal 570 H dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Ada juga riwayat Beliau wafat pada hari Kamis 12 Jumadil Ula 580 H, di Umm Ubaidah di usia 90 tahun. Kata Rifa’i dinisbathkan kepada orang yang mempunyai kedudukan tinggi di Maghrib.