CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

1 Feb 2014

Mencintai Ulama dan Auliya Secara Utuh




Sebagian diantara kita suka mendekati atau mencintai kiai atau ulama karena mengukur kealiman dan karomah yang dimiliki kiai tersebut. Artinya masih membanding-bandingkan antara satu kiai atau ulama dengan kiai lainnya. Padahal jika kita mendekati ulama atau auliya’ kemudian mempertanyakan seberapa alimnya ulama tersebut, seberapa hebat karomah auliya’ tersebut, itu merupakan tindakan yang bodoh.

Oleh karena itu, kalau kita mendekati ulama atau auliya’ jangan mengukur dari kealiman dan karomah beliau-beliau. Karena kealiman bukan ukuran. Banyak yang kealimannya tidak seberapa tetapi pangkat kewaliannya tinggi.

Contoh dari hal tersebut adalah kisah Imam Syafi’i dengan Sayyidah Nafisah binti Zaid bin Hasan Sibthi. Kita semua tahu bahwa Imam Syafi’i merupakan orang yang sangat ‘alim dan beliau merupakan salah satu imam mazhab. Namun, Imam Syafi’i sering mencari Sayyidah Nafisah untuk minta barokah doa ke beliau. Bahkan ketika beliau sakit perut (sakit maag, sakit maag ini lah yang menjadi sebab kewafatan Imam Syafi’i), beliau sering datang ke Sayyidah Nafisah minta doa agar diberi kesembuhan. Bukan hanya itu, Sayyidah Nafisah lah yang memberi tahu  Imam Syafi’i kapan ajal Imam Syafi’i akan datang.

Adapun para wali itu tidak bergantung pada karamah. Beliau-beliau sekalipun tidak diberi karamah tetap taat pada Allah Ta’ala. Sedangkan karamah itu bukan untuk dipamer-pamerkan. Para wali mengeluarkan karamah dengan dua alasan, pertama darurat, yang kedua kewajiban untuk menunjukkan karamah tersebut. Diantara contoh karamah yang darurat (lid dlaruriy) adalah karamahnya Habib Muhammad binThahir Al-Haddad yang biasa dihauli di Tegal.

Ketika beliau berada di India (Hiderabad), daerah tersebut kering tidak ada air. Setiap menggali sumur, tidak ada air yang keluar. Sedalam apapun digali, tetap tidak keluar air. Kemudian Raja Hiderabad datang ke Habib Muhammad minta agar didoakan supaya keluar air. Habib Muhammad berkata,”kalau kamu semua mau beriman, nanti saya doakan”. Raja pun berjanji akan beriman. Kemudian Habib Muhammad membawa secawan air dan memasukkannya ke dalam sumur yang kering.

Tidak berapa lama sumur itu penuh air dan sampai sekarang pun masih ada. Lalu raja itu masuk islam dan masyarakat Hiderabad pun banyak yang muslim.

Sedangkan contoh karamah karena wajib adalah karamahnya Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) ketika beliau di Keling (sebagian mengatakan Keling adalah Srilanka, sebagian berpendapat Keling adalah Campa). Adat di Keling, orang yang mati mayatnya ditenggelamkan di sungai pakai rakit yang dibanduli batu. Kalau sudah tinggal tulang baru dikubur.

Ketika Syaikh Syarif Hidayatullah datang, istri raja yang sangat cantik dan sangat dicintai oleh Raja baru saja meninggal dunia. Ketika menghadap raja, Syaikh Syarif diminta untuk menghidupkan permaisuri. Jika Syaikh Syarif berhasil Raja berjanji akan masuk islam dan mewajibkan seluruh rakyatnya memeluk islam, kalau tidak mau masuk islam akan diusir.

Syaikh Syarif bersedia menerima permintaan Raja. Syaikh Syarif minta agar Raja menyiapkan pakaian yang bagus untuk dipakaikan ke istrinya. Kemudian Syaikh Syarif minta diantarkan ke tempat istri raja ditenggelamkan. Jenazah istri raja yang mulai membusuk diangkat keluar. Syaikh Syarif berkata kepada istri raja, احي باذن الله  (hiduplah dengan izin Allah), kemudian bau busuk dari tubuh istri raja menghilang dan pelan-pelan dia bergerak.

Untuk kedua kalinya Syaikh Syarif berkata احي باذن الله  (hiduplah dengan izin Allah), tubuh istri raja mulai utuh dan kembali seperti semula dan tampak bergerak. Ketiga kalinya Syaikh Syarif berkata احي باذن الله  (hiduplah dengan izin Allah), istri raja itu bangun, hidup lagi. Sambil membelakangi istri raja, Syaikh Syarif minta agar istri raja segera dipakaikan pakaian. Itulah sebabnya Syaikh Syarif Hidayatullah mendapat gelar Al-Imam Yahya.

Oleh karena itu, jangan sekali-kali kita mengukur kiai. Yang penting kita cinta kiai, ulama, auliya. Mencintai beliau-beliau secara utuh. Wallahu A’lam



Penulis        : Syukron Ma’mun
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: