CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

17 Des 2014

Dakwah Akulturatif Walisongo, Sunan Kalijogo



Walisongo merupakan teladan pendakwah yang sangat sukses, kesembilan waliyullah yang makamnya selalu ramai oleh peziarah tersebut telah membuktikan bahwa metode dakwah yg digunakan beliau-beliau efektif dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Walisongo membawa Islam kepada masyarakat Jawa yang ketika itu mayoritas Hindu Budha dengan pendekatan Akulturasi. Pendekatan yang kemudian dilanjutkan oleh Ulama-ulama Nahdlatul Ulama’ (NU) hingga sekarang. Tidak lewat perebutan kekuasaan dan tidak melalui konflik. Karena jika dengan perebutan kekuasaan, nilai-nilai Islam akan sulit untuk membudaya di tanah jawa. Sedangkan jika dengan konflik, maka hal itu akan membuat konflik yang baru lagi.

Penyikapan terhadap budaya inilah yang menjadikan Ajaran Islam Ahlussunah wal Jamaah yang dibawa Walisongo terus meluas di saentero pulau Jawa dan Nusantara secara sejuk dan damai. Kenapa sekarang ada yang mulai mengedepankan kekerasan dan anarki. Ada pula yang membawa-bawa budaya asing (budaya Arab) untuk dipaksakan untuk mengganti budaya negeri ini. Padahal uchuwah Islamiyah, sama sekali bukan untuk mengkudeta budaya Nusantara dan "meng-Arab-kan" bangsa Indonesia di negerinya sendiri....

Akulturasi sendiri menurut Wikipedia adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Sedangkan menurut KBBI, Akulturasi ialah percampuran dua kebudayaan atau lebih yg saling bertemu dan saling mempengaruhi.

Dalam Sejarah Walisongo yang sering dijadikan bukti dakwah dengan pendekatan Akulturasi di antaranya yaitu Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga berupaya mengajarkan Islam sekaligus melestarikan budaya Jawa. Awalnya, metode syiar beliau dikritisi para wali yang lain. Namun, perlahan, cara dakwah ini diakui efektif. Sunan Kalijaga yang hidup pada pertengahan abad ke-16 Masehi memang berupaya keras menyerap budaya Jawa dalam dakwahnya. Dari sembilan wali, diperkirakan hanya beliau yang kerap tak memakai jubah atau sorban. ”Baju takwa” yang dipakai Sunan ini didesain sendiri dari baju surjan alias baju tradisional Jawa.

Sunan Kalijogo

Hingga kini, semangat akulturasi Sunan Kalijogo masih terus dikenang dan beberapa tradisi tinggalannya masih terus bertahan sampai kini. Sebut saja, tabuh beduk dan shalat malam setiap pukul 24.00. Tradisi itu mempertemukan budaya tirakat malam Jawa dan ibadah shalat malam (qiyamul lail) dalam Islam. Dalam salah satu syair tembang Lir-ilir ciptaan Sunan Kalijogo, misalnya, berbunyi: ”Cah angon-cah angon, penekno belimbing kuwi. Lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodot iro (anak gembala, panjatlah pohon belimbing itu. Meski licin, tetap panjatlah, untuk membasuh pakaianmu)”. Tembang itu memanfaatkan buah belimbing dengan lima sisi, sebagai simbol lima rukun Islam: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Lebih lanjut, tembang itu mengajarkan betapa sulitnya menunaikan semua rukun Islam.

Sunan Kudus pun mengikuti metode gurunya Sunan Kalijogo dalam berdakwah, yakni dengan dakwah akulturatif. Banyak hal yang dilakukan oleh Sunan Kudus sebagai siasat menarik perhatian masyarakat Kudus yang saat itu mayoritas memeluk agama Hindu, di antaranya larangan penyembelihan sapi, karena sapi merupakan hewan yang dikeramatkan oleh pemeluk agama Hindu dan budha. Selain itu juga dengan pendekatan akulturasi dari aspek seni bangunan, yakni arsitektur masjid dan Menara Kudus yang sarat akan kebudayaan Hindu.

Menara Kudus merupakan salah satu wujud dakwah akulturatif yang dilakukan oleh Sunan Kudus. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kebijaksanaan serta toleransi antar agama yang ditanamkan oleh para waliyullah dan bukti bahwa proses Islamisasi tanah Jawa bukanlah dengan jalan kekerasan namun justru kelembutan yang ditawarkan sehingga Islam bisa menjadi agama mayoritas yang berkembang di Indonesia sampai dengan saat ini. Hal ini juga seharusnya menyadarkan kita bahwa untuk menyebarkan ajaran Islam bukan sikap radikal yang ditampakkan sehingga menghilang substansi ajaran Islam yang bersifat Rahmatan Lil Alamiin. Cara-cara kekerasan seperti yang dianut oleh Al Qaidah, Boko Haram (Nigeria), ISIS (Irak-Suriah) dan kelompok garis keras lainnya. Mereka ini justru merusak nama Islam. Disinyalir mereka ini sebetulnya adalah kelompok-kelompok anarki, kelompok preman atau pemberontak yang memanfaatkan Islam untuk mendongkrak popularitas gerakan mereka.

Menara Kudus dan Masjid Al-Aqsa

Akulturasi religi sangat kental terlihat pada Sunan Kalijogo dan Sunan Kudus dalam melakukan dakwah Islam secara bijaksana (hikmah). Hasil dakwahnya sangat luar biasa. Penduduk setempat yang dahulunya pemeluk taat ajaran Hindu-Buddha, beralih memeluk ajaran tauhid (Islam) secara damai. Kunci sukses walisongo terletak pada kemampuannya melakukan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang sudah punya budaya mapan.

Islamisasi masyarakat tanah Jawa dan Nusantara diwarnai dengan pencampuran warisan budaya Hindu-Buddha dengan nilai-nilai Islam. Di samping melestarikan tradisi-tradisi, Sunan Kalijogo dan Sunan Kudus juga memelihara simbol-simbol budaya lama. Tujuannya agar nilai-nilai Islam dapat diterima masyarakat tanpa menimbulkan gejolak sosial dan tanpa friksi yang berarti.

Hal ini yang menyebabkan terwujudnya bentuk baru tanpa menentang kaidah–kaidah yang sudah ada sebelumnya, sehingga rangkuman kaidah–kaidah tersebut dapat berfungsi lebih baik bagi masyarakat yang menganut agama Islam. Akulturasi dalam Dakwah Islam di Tanah Jawa diperkenalkan oleh waliyullah sebagai orang yang dianggap dekat dengan Tuhan (Allah) dan diyakini memiliki berbagai kelebihan. Karena itulah para wali sangat dihormati dan disegani karena selain bertugas mengajarkan agama Islam, beliau juga masih menghormati kebudayaan lokal yang sudah berkembang pesat sebelum masuknya agama Islam.

Dengan demikian, jelaslah perjalanan sejarah rekonsiliasi antara islam sebagai agama dan budaya lokal yang melingkupinya serta adanya landasan hukum legitimatif dari syara’ berupa ‘urf (adat istiadat) dan maslahah (kemaslahatan). Maka untuk strategi Dakwah Islam di Indonesia yang multi-etnis dan multi budaya, pendekatan Akulturasi tanpa meninggalkan nilai-nilai spirit Al-Qur’an adalah cara yang paling baik. Islamisasi bukanlah harus Arabisasi, karena islam adalah agama yang menyeluruh dalam budaya, sikap dan mentalitas.

Gerakan akulturatif dalam berdakwah dengan menggunakan unsur-unsur lokal dapat mendorong efektifitas serta percepatan proses dakwah dan transformasi nilai-nilai dan ajaran Islam. Maka dari itu, dituntut pula peran kreatif seorang Da’i dalam menghadirkan budaya alternatif setempat secara inovatif sebagai solusi terhadap penyikapan budaya yang bertentangan dengan ajaran agama Islam agar tidak terjebak ke dalam kejumudan dan sinkretisme sesat.

Dengan metode dakwah akulturatif yang toleran terhadap budaya masyarakat setempat, maka Nilai-Nilai Islam sebagai agama yang Rohmatal lil ‘Alamin bisa semakin membumi di bangsa dan negara multikultural ini. Bukan tidak mungkin dengan massifnya realisasi konsep dakwah ini telah menjadikan Indonesia Mercusuar Dunia dalam hal teladan beragama dalam keragaman.

> Jangan biarkan para oknum anarki (yang mengaku pemuka agama) merusak tatanan negeri ini. Jangan biarkan gaya ISIS, Boko Haram atau Al Qaeda diterapkan di negeri yang bhineka tunggal ikan yang cinta damai ini... 
> Contohlah Wali Songo, contohlah Sunan Kalijogo...
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: