Apakah ia sudah tepat berguru kepada Yusuf? Kalau sudah tepat, mengapa Yusuf termasuk orang yang tertolak, bahkan ditolak oleh bumi?
Suatu ketika, salah seorang murid Yusuf, Ibrahim al Khawwas dalam mimpinya, mendengar suara tak dikenal, “Pergilah, dan katakan pada Yusuf, ‘Engkau adalah orang yang tertolak.’”
Bagi seorang murid, kata-kata ini terdengar begitu menyakitkan di telinga. Bukan hanya karena Yusuf merupkan guru dalam pengembaraan spiritualnya, tapi juga karena sosok Yusuf yang amat sangat dihormati hampir seluruh masyarakat di zamannya.
Karenanya, bagi Ibrahim, akan lebih mudah untuk menahan himpitan gunung yang jatuh di atas kepalanya daripada harus mengatakan apa yang ada dalam mimpinya.
Belum juga hilang gelisah dalam batinnya, Ibrahim kembali memimpikan hal yang sama di malam berikutnya. Sebuah suara yang tak dikenalnya kembali menggaung di telinga. “Katakan padanya, “Engkau adalah orang yang tertolak!”
Ia pun terbelalak seraya bergegas menuju masjid. Membersihkan diri, dan kemudian duduk dzikir, untuk meminimalisir ketakutannya.
Namun, untuk ke sekian kalinya, mimpi itu kembali hadir. Bahkan, kali ini tampak lebih keras dan bernada mengancam, “Katakan padanya, ‘Engkaulah yang tertolak’. Jika pesan ini tidak kau sampaikan, maka engkau tidak akan sanggup bangkit dari tempat tidurmu ini!”
Ibrahim segera terbangun dengan kesedihan yang dalam. Hal yang serupa ia lakukan juga, pergi ke masjid dan dzikir.
Kali ini, ia melihat sang guru rupanya sedang duduk dzikir. Ibrahim yang sedari beberapa waktu digelisahkan mimpi, akhirnya memilih duduk agak jauh dari Yusuf.
Sayangnya, sang guru yang kala itu sedang dzikir justru menghampirinya, sembari berkata, “Muridku, apakah engkau hafal satu saja ayat Al Qur’an?” tanyanya.
“Ya,” jawab Ibrahim singkat. Lalu, ia pun membacakannya satu ayat yang mampu ia ingat.
Mendengar lantunan Ibrahim, Yusuf tampak sangat bahagia. Ia pun kemudian bangkit dan mematung sejenak. Berusaha menutupi air matanya yang mengalir begitu deras dari hadapan muridnya.
“Sejak dini hari sampai saat ini,” kata Yusuf, “Aku mendengarkan berbagai bacaan ayat Al Qur’an dari para muridku. Namun, tak satu pun bacaan mereka mampu mengalirkan satu tetes air mata pun. Kini, melalui satu ayat, suatu keadaan telah mewujud—air mata telah mengalir deras dari kedua mataku. Manusia benar, bahwa aku adalah orang yang tertolak bumi. Seseorang yang dapat begitu terhanyut dalam sebuah syair puisi lagu, sementara Al Qur’an tidak berpengaruh padanya—ia sungguh orang yang tertolak.”
Mendengar penjelasan sang guru, Ibrahim semakin bingung dan mulai ragu dengan gurunya itu. Apakah ia sudah tepat berguru kepada Yusuf? Kalau sudah tepat, mengapa Yusuf termasuk orang yang tertolak, bahkan ditolak oleh bumi?
Sembari berjalan menyusuri padang pasir yang luas, Ibrahim bertemu dengan Khidir as. Khidir berkata, “Yusuf telah mendapat hadiah dari Allah. Ia tertolak bumi, karena tempatnya memang bukan di bumi, tapi di surga. Di kala semua orang di sekelilingnya sanggup merintih, sedih, terhanyut, bahkan menangis karena syair puisi, namun Yusuf menangis karena ayat Tuhannya. Bukankah itu lebih baik daripada terhanyut karena syair manusia?
------
Fariduddin Aththar berkisah tentang Abu Ya’qub Yusuf ibn al Husain ar Radardhi. Ia merupakan salah seorang sufi berasal dari Rayy.
Yusuf berkelana ke beberapa wilayah Timur Tengah untuk menuntut ilmu, dan sempat bertemu Dzun Nun Al Misri di Mesir, dan kemudian belajar di bawah bimbingannya.
Ia kembali ke Rayy untuk berkhotbah dan meninggal pada 304 H/ 916 M di sana.