Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga
Allah meridhoi mereka semua), dijuluki dengan julukan Abal Hasan atau
Abal Husain. Beliau juga dijuluki dengan As-Sajjad (orang yang ahli
sujud).
Al-Imam Ali Zainal Abidin adalah seorang yang ahli ibadah dan panutan penghambaan dan ketaatan
kepada Allah. Beliau meninggalkan segala sesuatu kecuali Tuhannya dan berpaling
dari yang selain-Nya, serta yang selalu menghadap-Nya. Hati dan anggota tubuhnya
diliputi ketenangan karena ketinggian makrifahnya kepada Allah, rasa hormatnya
dan rasa takutnya kepada-Nya. Itulah sifat-sifat beliau, Al-Imam Ali Zainal
Abidin.
Beliau dilahirkan di kota Madinah pada tahun 33 H, atau dalam riwayat lain
ada yang mengatakan 38 H. Beliau adalah termasuk generasi tabi’in. Beliau juga
seorang imam agung. Beliau banyak meriwayatkan hadits dari ayahnya (Al-Imam
Husain), pamannya Al-Imam Hasan, Jabir, Ibnu Abbas, Al-Musawwir bin Makhromah,
Abu Hurairah, Shofiyyah, Aisyah, Ummu Kultsum, serta para ummahatul mukminin/isteri-isteri
Nabi SAW (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau, Al-Imam Ali Zainal Abidin,
mewarisi sifat-sifat ayahnya (semoga Allah meridhoi keduanya) di didalam ilmu,
zuhud dan ibadah, serta mengumpulkan keagungan sifatnya pada dirinya di dalam
setiap sesuatu.
Berkata Yahya Al-Anshari, “Dia (Al-Imam Ali) adalah paling mulianya Bani
Hasyim yang pernah saya lihat.” Berkata Zuhri, “Saya tidak pernah menjumpai di
kota Madinah orang yang lebih mulia dari beliau.” Hammad berkata, “Beliau adalah
paling mulianya Bani Hasyim yang saya jumpai terakhir di kota Madinah.” Abubakar
bin Abi Syaibah berkata, “Sanad yang paling dapat dipercaya adalah yang berasal
dari Az-Zuhri dari Ali dari Al-Husain dari ayahnya dari Ali bin Abi Thalib.”
Kelahiran beliau dan Az-Zuhri terjadi pada hari yang sama. Sebelum
kelahirannya, Nabi SAW sudah menyebutkannya. Beliau shalat 1000 rakaat setiap
hari dan malamnya. Beliau jika berwudhu, pucat wajahnya. Ketika ditanya kenapa
demikian, beliau menjawab, “Tahukah engkau kepada siapa aku akan menghadap?.”
Beliau tidak suka seseorang membantunya untuk mengucurkan air ketika berwudhu.
Beliau tidak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik dalam keadaan di rumah
ataupun bepergian. Beliau memuji Abubakar, Umar dan Utsman (semoga Allah
meridhoi mereka semua). Ketika berhaji dan terdengar kalimat, “Labbaikallah…,”
beliau pingsan.
Suatu saat ketika Al-Imam Ali Zainal Abidin baru saja keluar dari masjid, seorang laki-laki
menemuinya dan mencacinya dengan sedemikian kerasnya. Spontan orang-orang di
sekitarnya, baik budak-budak dan tuan-tuannya, bersegera ingin menghakimi orang
tersebut, akan tetapi beliau mencegahnya. Beliau hanya berkata, “Tunggulah
sebentar orang laki-laki ini.” Sesudah itu beliau menghampirinya dan berkata
kepadanya, “Apa yang engkau tidak ketahui dari diriku lebih banyak lagi. Apakah
engkau butuh sesuatu sehingga saya dapat membantumu?.” Orang laki-laki itu
merasa malu. Beliau lalu memberinya 1000 dirham. Maka berkata laki-laki itu, “Saya
bersaksi bahwa engkau adalah benar-benar cucu Rasulullah.”
Al-Imam Ali Zainal Abidin berkata, “Kami ini ahlul bait, jika sudah memberi, pantang untuk
menginginkan balasannya.” Beliau sempat hidup bersama kakeknya, Al-Imam Ali bin
Abi Thalib, selama 2 tahun, bersama pamannya, Al-Imam Hasan, 10 tahun, dan
bersama ayahnya, Al-Imam Husain, 11 tahun (semoga Allah meridhoi mereka semua).
Al-Imam Ali Zainal Abidin setiap malamnya memanggul sendiri sekarung makanan diatas punggungnya
dan menyedekahkan kepada para fakir miskin di kota Madinah. Beliau berkata, “Sesungguhnya
sedekah yang sembunyi-sembunyi itu dapat memadamkan murka Tuhan.” Muhammad bin
Ishaq berkata, “Sebagian dari orang-orang Madinah, mereka hidup tanpa mengetahui
dari mana asalnya penghidupan mereka. Pada saat Ali bin Al-Husain wafat, mereka
tak lagi mendapatkan penghidupan itu.”
Al-Imam Ali Zainal Abidin jika meminjamkan uang, tak pernah meminta kembali uangnya. Beliau
jika meminjamkan pakaian, tak pernah meminta kembali pakaiannya. Beliau jika
sudah berjanji, tak mau makan dan minum, sampai beliau dapat memenuhi janjinya.
Ketika beliau berhaji atau berperang mengendarai tunggangannya, beliau tak
pernah memukul tunggangannya itu. Manaqib dan keutamaan-keutamaan beliau tak
dapat dihitung, selalu dikenal dan dikenang, hanya saja kami meringkasnya disini.
Al-Imam Ali Zainal Abidin wafat di kota Madinah pada tanggal 18 Muharrom 94 H, dan
disemayamkan di pekuburan Baqi’, dekat makam dari pamannya, Al-Imam Hasan, yang
disemayamkan di qubah Al-Abbas. Beliau wafat dengan meninggalkan 11 orang putra
dan 4 orang putri. Adapun warisan yang ditinggalkannya kepada mereka adalah ilmu,
kezuhudan dan ibadah.