Setiap dosa diakhirkan (adzabnya) oleh Allah Swt. sesuai kehendak-Nya sampai hari kiamat, kecuali durhaka kepada orang tua--Rasul Saw.
Suatu hari, seorang pemuda gagah mendatangi Rasul Saw., yang kala itu sedang duduk di beranda masjid Nabawi bersama para sahabatnya. Melihat kedatangan pemuda itu, Rasul pun menyambutnya dengan salam dan bercakap-cakap.
Tiba-tiba, sang pemuda melontarkan keinginannya, “Wahai Rasul, aku telah percaya dengan Islam. Aku juga menyatakan bahwa engkaulah utusan Allah. Bolehkah aku berjuang (jihad) di jalan Allah dan mengikuti jejakmu agar memperoleh pahala dari Tuhan?”
Mendengar penuturan itu, Rasul kemudian bertanya dengan santun, “Apakah salah seorang di antara kedua orang tuamu masih hidup?”
“Ya, kedua orang tuaku malah masih hidup,” jawab pemuda Yaman itu.
“Apakah kau sungguh-sungguh ingin mendapatkan pahala dari Allah?” tanya Rasul menanggapi.
“Tentu, wahai Rasul!” jawab pemuda seraya menerawang, bingung atas pertanyaan Rasul tersebut.
“Pulanglah pada kedua orang tuamu. Jihad seorang anak adalah berbakti pada kedua orang tuanya dengan baik,” jawab Rasul.
“Tapi, wahai Rasul, aku ingin mendapatkan pahala syurga, dan bukankah engkau saat ini sedang membutuhkan pasukan untuk menguatkan barisan Islam?” jawab pemuda menegaskan.
“Syurgamu ada pada baktimu terhadap kedua orang tuamu. Ridha orang tua tidak kurang nilainya bila dibandingkan dengan perjuanganmu di jalan Allah, pulanglah. Allah ridha saat orang tuamu ridha. Jihadmu ada pada kedua orang tuamu,” jelas Rasul.
-----
Konon, percakapan ini terjadi ketika Rasul berada dalam fase perpindahan awal hijrah dari Mekah ke Madinah (Yatsrib kala itu). Meski kehadiran pasukan Rasul disambut baik oleh masyarakat Madinah, namun bukan berarti beliau tidak menemukan kesulitan. Rongrongan silih berganti dari berbagai golongan yang tidak sependapat dengan Rasul.
Dan, pada suatu ketika terjadilah peristiwa dimana umat Muslim berada dalam posisi tertekan. Pemuda itu pun kemudian mendatangi Rasul.
Bayangkan, betapa mulia posisi orang tua di hadapan Allah. Ridha-Nya disejajarkan dengan ridha orang tua. Bahkan, Rasul menolak seorang pemuda gagah yang merengek meminta izin untuk mengikuti jihad dengan alasan pahala syurga—yang kala itu sedang dibutuhkan guna mempertahan Islam di Madinah. Lantas, bagaimana dengan (jihad) kita saat ini? Bukankah Rasul menolak jihad sang pemuda dan lebih memilih agar berbakti pada orang tua?