Ia salah seorang pakar hadis di Indonesia. Ada yang menjulukinya sebagai Imam Bukhari abad ke-20
Julukan sebagai “Imam Bukhari Abad XX” agaknya memang pantas disandang KH. Mahfudz At-Tirmisi, ulama besar dari Termas, Pacitan, Jawa Timur. Bukan dalam kapasitasnya sebagai Perawi, melainkan dalam hal ilmu hadits. Ia juga tercatat sebagai salah seorang ulama yang melakukan modernisasi pesantren di tanah air. Hampir semua pengasuh pesantren di Jawa berguru kepadanya.
KH Mahfudz dilahirkan di Termas, Pacitan, Jawa Timur, pada 12 Jumadilawal 1258 H / 1868 M. Ayahnya Kyai Abdullah, berada di Mekah ketika Mahfudz lahir. Itu sebabnya, di waktu kecil ia dibimbing oleh sang ibu dan pamannya dalam kehidupan yang sangat relegius. Kecerdasannya sudah terlihat sejak dini, terbukti ia berhasil menghafal Al-Qur’an sebelum menginjak usia dewasa.
Ketika berusia enam tahun, ia dijemput ayahnya untuk di bawa ke Mekah. Di kota suci ini ia diperkenalkan dengan beberapa kitab penting, terutama mengenai akhlak, fikih, dan mantiq (logika), seperti Syarh al-Ghayah li ibn Qasim al-Ghazi. Al-Manhaj al-Qawim, Fath al-Mu’in, dan sebagainya. Keakrabannya dengan sang ayah menimbulkan kekaguman tersendiri bagi Mahfudz. Ia menjuluki ayahnya sebgai Murabbi wa Ruhi (pendidikku dan jiwaku).
Ketika menginjak usia dewasa, ia pulang kampung un tuk berguru kepada seorang ulama besar dari Semarang, yaitu Kyai Muhammad Shaleh bin Umas As-Samarani yang lebih dikenal sebagai Kyai Shaleh Darat, karena berasal dari kampung Darat (wafat 1903). Kepada Kyai Shaleh Darat ia belajar beberapa kitab tafsir, fikih, tasawuf, astronomi, seperti tafsir Jalalain, Syarh al-Syarqawi ala al-Hikam, Wasilah al-Thalab, Syarh al-Mardini.
Belakangan sekitar 1880an, ia kembali belajar di Mekah dan Madinah. Bahkan kemudian meneruskan studinya ke Kairo, Mesir. Di beberapa pesantren luar negeri itu, ia antara lain berguru pada Syekh Muhammad al-Musyawi, belajar Qir’ah Al-Qur’an dan menekuni kitab Syarh al-Allamah ibnu Qasim ala Syatibiyah. Kemudian ia belajar kepada ulama besar lainnya yaitu Syekh Umar bin Barakat As-Syami.
Di sini ia belajar kitab Syarh Syudzur adz-Dzahab. Guru-gurunya yang lain, Syekh Musthafa bin Muhammad bin Sulaiman Al-Afifi, Sayyid Muhammad bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi. Sementar kepada Syekh Muhammad Said bin Muhammad Babasil Al-Hadrami, Mufti besar Mekah, ia mempelajari beberapa kitab hadis seperti Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidi, Sunan An-Nasa’i.
Masih banyak guru yang ia datangi, seperti Sayyid Ahmad Az-Zawawi, Syekh Muhammad As-Syarbani Ad-Dimyati, Sayyid Muhammad Amin bin Ahmad Ridwan Al-Madani, Sayyid Abubakar bin Muhammad Shata. Pengaruh ulama yang terakhir ini sangat mendalam pada diri Mahfudz, sampai-sampai ia menjuluki gurunya itu Syaikhuna al-Ajal wa Qutwatuna al-Akmal (guruku yag terhormat dan teladan yang sempurna). Begitu dekat ia dengan Sayyid Abubakar, sehingga diangkat sebagai anggota keluarganya. Ia juga mendapatkan beberapa Ijazah (izin untuk mengajar ilmu) dari Syekh Abubakar.
Sebagai salah seorang ulama besar dan pakar hadis yang terkemuka, karya-karyanya menjadi rujukan sebagian besar kaum muslimin di seluruh dunia. Dalam buku Intelektual Pesantren: Perhelatan Tradisi dan Agama, Abdurrahman Mas’ud menulis, “Sejalan dengan sepesialisasi Mahfudz, adalah penting untuk menampilkan kembali tulisan Mahfudz mengenai guru-gurunya yang dipercaya untuk merujuk kepada Al-Bukhari sebagai ilustrasi.
Otoritas Mahfudz adalah mengajar dan menyampaikan Al-Jami ash Shahih, kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam Bukhari, dan juga memberikan Ijazah kepada santri yang dianggap cakap. Mahfudz mempelajari seluruh kumpulan hadis tersebut di hadapan guru utamanya, Abubakar bin Muhammad Shata. Mahfudz menyelesaikan tugas yang sama sebagaiman dia katakan, paling empat kali. Begitupun dengan gurunya, sehingga sanadnya sampai ke Imam Bukhari.”
Meski dikenal sebagai ulama yang sangat menguasai ilmu dan segala seluk beluk hadis, Mahfudz tak sepi dari kesalahan. Hal itu terjadi ketika menulis kitab tentang hadis dan naskahnya dikirim ke Indonesia. Suatu hari, Kyai Kholil dari Bangkalan, Madura, membacanya, dan menemukan beberapa kesalahan, lalu ia melakukan koreksi. Cara mengoreksi itu dilakukan dari jarak jauh tanpa surat menyurat, angsung pada naskahnya.
Namun hal itu tidak megurangi kepakarannya dalam ilmu agama. Ia menguasai 10 disiplin ilmu agama: fikih, ushul fikih, tauhid, tasawuf, sejarah hidup Rasulullah SAW, hadits, Musthalah Hadits (ilmu tentang hadits), ilmu waris, Tajwid Al-Qur’an, dan Akhlak. Kepakaran ini mendorong ulama masyhur asal Padang – yang lama bermukim di Mekah – yaitu Syekh Yasin Al-Padangi, menjulukinya, Allamah, Al-Muhaddis, Al-Musnid, Al-Faqih, As-Shuli, Al-Muqri, yang maksudnya kurang lebih, pakar dalam ilmu hadis, fikih dan sebagainya.
Berikut beberapa karya KH. Mahfudz yang berhasil dihimpun keturunannya: As-Siqayah Al-Madariyah fi Asma al-Kutub al-Fiqhiyah Asy-Syafi’iyah, Al-Minhaj al-Khairiyah fi Arba’in hadis min Ahadis Khair al-Bariyah, Al-Khal’ah al-Fikriyah bi Syarh Muqaddimah Bafadhal, Kifayah al-Mustafid fima alami asanid, Al-Fawaiad at-Tirmisiyah fi Asanid al-Qira’ah al-Asy’ariyah, Al-Budur al-Munir fi Qira’ah al-Imam Ibn Katsir, Tanwir Ash-Shadr fi Qira’at al-Imam Abi Amr, Insyirah al-Fuad fi Qir’ah al-Imam Hamzah, Yamim al-Manafi fi Qira’ah al-Imam Nafi, Is’af al-Mathali bi Syarh Budur Al-Lami Nazham Jami al-Jawami, Aniyah Ath-Thalabah bi Syarh Ath-Thayyibah fi al-Qira’at al-Asy’ariyah, Hasyiyah Takmilah al-Manhaj al-Qawim ila al-fara’id, Manhaj Dzawi an-Nazhar bi Syarah Madzmumah ilm al-Atsar, Nailu al-Ma’mul bi Hasyiyah Ghayah al-Washul fi ilm al-Ushul.
Sampai kini karya-karya tersebut masih dipelajari dan menjadi rujukan di berbagai pesantren. Dalam salah satu buku, kitab kuning, pengamat sufi dan pesantren asal Belanda, Martin Van Bruinissen, menulis, Mahfudz adalah figur yang paling terkenal dikalangan Kyai dewasa ini, dan salah seorang ulama Jawa yang sangat terdidik. Hal itu karena dia berada pada posisi yang prestisius, yakni sebagai guru yang sangat di hormati oleh beberapa ulama pendiri Nahdlatul Ulama.
Kepakarannya tidak hanya terbukti dari banyaknya karya tulis yang dihasilkannya, tapi juga dari ribuan murid yang tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa di antara mereka, kelak menjadi ulama besar, seperti, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah (Jombang, Jawa Timur), KH. Muhammad bin Baidlawi, KH Maksum bin Muhammad (Lasem Jawa Tengah), KH Muhammad Bakir bin Nur (Yogjakarta), KHR. Asnawi (Kudus Jawa Tengah). Dll.
Bahkan ada juga murid yang berasal dari manca negara, yang kelak menjadi ulama besar di negeri masing-masing, seperti Syekh Sa’dullah Al-Mainami (Mufti Bombay, India), Syekh Umar bin Hamdan (ulama ahli hadis, Mekah), Syekh Syihab Ahmad bin Abdullah (Syiria), Guru para pendiri Nahdlatul Ulama ini wafat pada 1338 H / 1919 M di Arab Saudi.