Anak-anak di Jawa Timur dan Jawa Tengah, terutama di pedesaan, sampai kini masih ada yang bermain jelungan, terutama ketika bulan sedang purnama. Jelungan atau Jitungan adalah sejenis permainan anak-anak, sejumlah anak dibagi dalam dua kelompok: kelompok pemburu dan kelompok yang diburu. Anak yang diburu, yang berhasil menyentuh sebatang pohon, berarti selamat dari pengejaran.
Permainan sederhana ini konon diciptakan oleh Sunan Giri, salah seorang dari walisongo, sembilan muballigh penyebar agama islam di tanah Jawa. Di balik permainan itu terselip makna yang dalam tentang ajaran tauhid dan tawakkal kepada Allah SWT untuk mencapai pegangan dalam Jelungan, yang bisa diartikan sebagai keselamatan dalam hidup, tidaklah mudah.
Pegangan itu adalah Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung. Jika belum memegang-Nya, berarti belum tawakkal dan bertauhid kepada-Nya, karena kita akan terus diburu oleh iblis. Selain Jelungan, Sunan Giri juga menciptakan permainan anak-anak seperti Cublak-cublak Suweng, Ilir-ilir, Kendi Gerit, dan sebagainya. Permainan-permainan ini biasanya diiringi nyanyian yang mendidik anak-anak mengenal sang pencipta dan agamanya.
Dalam ranah yang lebih luas, Sunan Giri dikenal sebagai muballig yang banyak mendidik sejumlah kader Dai penyebar agama islam, dari tanah Jawa sampai Maluku. Bukan hanya itu, ia juga dikenal sebagai negarawan. Tata pemerintahan kerajaan Demak dirancang oleh Sunan Giri. Ia adalah penasihat Raden Patah, Sultan pertama kerajaan islam Demak.
Sunan Giri yang nama kecilnya Raden Paku alias Muhammad Ainul Yaqin, pernah mengalami peristiwa besar saat ia baru saja lahir. Ayahnya adalah Syekh Wali Lanang, alias Maulana Salam, muballigh keturunan Maulana Ishak dari Samudra Pasai, Aceh. Wali Lanang diambil menantu oleh Prabu Blambangan, belakangan ia di usir dari Istana, karena dianggap lancang karena berani mengajak sang mertua yang masih memeluk agama Hindu untuk memeluk islam.
Menjelang saat kelahirannya pada tahun 1442 M, kerajaan Blambangan di Banyuwangi dilanda malapataka kelaparan dan wabah penyakit, sehingga sang Ibu Roro Sibodi melahirkannya dalam kepedihan, begitu lahir sang bayi dituding sebagai biang keladi malapetaka. Apa boleh buat, para pejabat kerajaan Blambangan pun segera melarung sang jabang bayi merah dengan menghanyutkan di selat Bali.
Bayi mungil itu di taruh di sebuah peti kecil lalu dihanyutkan di laut lepas. Tapi berkat pertolongan Allah SWT, peti yang terombang ambing itu sama sekali tidak terbalik atau tenggelam – sampai sebuah kapal niaga yang tengah berlayar ke Bali menabraknya. Anehnya, bukan peti itu yang terpental, tapi kapal besar itulah yang hampir karam, dan peti berisi bayi itu nangkring di atas kapal.
Semburat Cahaya
Ajaib kapal itu tidak bisa dikemudikan untuk melanjutkan perjalanan ke Bali, hingga akhirnya Nakhoda memutuskan kembali ke Gresik. Justru setelah haluan diputar kearah Gresik, kapal itu berjalan lancar dan berlayar lebih cepat. Padahal perjalanan ke arah Gresik berarti melawan arus laut. Sampai di Gresik, sang bayi diambil oleh Nyai Ageng Pinatih, saudagar kaya pemilik kapal yang kemudian mengasuhnya sebagai anak angkat, dan diberi nama Joko Samudro.
Setelah dewasa, Joko Samudro, berguru ke Ampel di Surabaya, kepada seorang kiai besar yang juga muballig, yang dikenal sebagai Sunan Ampel. Ketika itu usianya baru 11 tahun. Setelah dewasa, Joko Samudro mendapat nama baru: Sunan Giri. Ada seorang pemuda lain, yang ketika itu bersama Joko Samudro berguru di pesantren Sunan Ampel. Dibelakang hari dikenal sebagai Sunan Bonang.
Di pesantren inilah derajat kewalian Sunan Giri tampak disaksikan langsung oleh gurunya, Sunan Ampel. Suatu malam, menjelang subuh, Sunan Ampel yang tengah mengambil air wudlu menyaksikan semburat cahaya dari tempat tidur para santri. Ternyata cahaya itu memancar dari wajah Sunan Giri. Diam-diam Sunan Ampel mengikat ujung sarung Sunan Giri. Pagi harinya, dalam pengajian, tahulah Sunan Ampel bahwa santri yang bercahaya itu tiada lain adalah Joko Samudro.
Kebijaksanaan sebagai seorang yang alim juga sudah nampak saat ia masih muda. Dalam pelayaran niaga ke Kalimantan, barang dagangan Ibunya yang seharusnya dijual malah dibagi-bagikan kepada penduduk. Orang kepercayaan Nyai Pinatih, yang mendampingi Joko Samudro, tentu saja kaget. Raden, bukankah barang-barang ini seharusnya kita perdagangkan? Tanyanya heran. Joko Samudro menjawab enteng: ya, tapi saya belum melihat ibu berzakat. Saya membagikan barang ini sebagai zakat untuk membersihkan harta Ibu.
Sebaliknya Joko Samudro malah memerintahkan awak kapal mengisi sejumlah karung dengan batu dan pasir agar kapal bisa seimbang dengan beratnya muatan. Sesampainya di Gresik tentu saja Ibunya naik pitam. Tapi anehnya, sang Ibu tak menemukan batu dan pasir . karung-karung itu berubah menjadi barang dagangan yang ketika itu memang dicari di Kalimantan, seperti rotan dan rempah-rempah.
Perjalanan Joko Samudro sebagai Waliyullah sarat dengan kisah-kisah karamah. Dibelakang hari, nama besarnya sebagai Sunan Giri dan kedalaman ilmunya, mendorong Syekh Siti Jenar berguru kepadanya. Tapi permintaan itu ditolak, karena khawatir Siti Jenar akan menyalahgunakannya. Siti Jenar konon menyamar sebagai seekor burung gagak lalu masuk ke ruang pengajian Sunan Giri yang tengah mengajar santri-santrinya.
Tapi Siti Jenar masih saja gagal mengikuti pengajian karena diketahui oleh Sunan Giri. Siti Jenar lalu mengubah diri menjadi seekor cacing dan menyusup kedalam tanah tempat Sunan Giri duduk bersila. Begitulah yang terekam dalam “Walisongo”, buku berbahasa Jawa karangan R. Tanoyo, yang bercerita mengenai para wali di tanah Jawa.
Ketika kerajaan Majapahit mendekati keruntuhan, Prabu Girindrawardhana sempat terlibat konflik dengan Sunan Giri. Celakanya dua Senopatinya, Lembusuro dan Kebohardjo, gagal membunuh Sunan Giri ketika sang hendak mengambil air wudu` untuk shalat Isya`. Apa boleh buat, sang Prabu pun segera mengerahkan bala tentaranya ke Giri.
Tapi ketika pasukan Majapahit sampai di kaki bukit Giri, yang tidak terlalu jauh dari Kedaton Giri, sawah dan ladang disekitarnya berubah menjadi hutan lebat. Maka pasukan Majapahitpun terkurung selama berhari-hari tanpa bantuan logistik dari luar. Akibatnya banyak prajurit yang mati kelaparan. Itulah antara lain salah satu karomah Sunan Giri lewat doa-doanya.
Namun akhirnya Sunan Giri tidak sampai hati. Ia lalu kembali berdoa, dan tak lama kemudian mata air yang selama itu kering mendadak mengucur, sementara pepohinan pun berubah. Pasukan Majapahit pun seperti dibangkitkan semangatnya. Tapi mereka tetap saja bermaksud melanjutkan penyerbuan ke Kedaton Giri.
Dengan mata batinnya, Sunan Giri dapat mengetahui gerak gerik pasukan Majapahit, seketika ia melemparkan pena yang sedang ia gunakan untuk menulis. Tiba-tiba pena itu berubah menjadi keris yang melayang-layang menyerang pasukan tentara Majapahit. Keris itu kemudian diberi nama “Kala Munyeng”. Tak cukup dengan itu, Sunan Giri juga menyebarkan pasir yang berubah menjadi Lebah yang membuyarkan pasukan Majapahit.
Angsa dan Naga
Ada pula cerita lain. Pernah pada suatu waktu Sunan Giri ditantang oleh begawan Mintasemeru untuk main tebak-tebakan. Sebelum sampai di pesantren Sunan Giri, Brahmana yang sangat sakti itu mengubur dua ekor angsa di puncak sebuah bukit. Sesampainya di pesantren Giri, sang begawan bertanya apa yang dia kubur di bukit itu.
“Dua ekor naga”, jawab Sunan Giri mantap. Begawan Mintasmeru tersenyum menang, tapi setelah keduanya naik ke puncak bukit dan menggali, ternyata dari dalam lubang itu meluncur dua ekor naga yang langsung menyerang begawan Mintasemeru. Merasa tak berkutik, Mintasemeru pun bertobat lalu memeluk agama Islam.
Keluasan ilmu Sunan Giri diakui lewat gelar yang disandangnya: Sultan Abdul Faqih, sebagai salah seorang tokoh Walisongo, ia mempunyai sejumlah santri yang dibelakang hari berhasil menjadi kyai bahkan wali. Bahkan dua anaknya mencapai gelar Sunan Giri II dan Sunan Giri III. Riwayat dan prestasinya terekam dalam naskah bertahun 1621 dan dikutip oleh ilmuwan Belanda, B. Schrieke dalam Indonesian Sociological Studies (1955).
Dalam naskah itu ketokohan dan keluasan ilmu dan pengaruh Sunan Giri disederajatkan dengan posisi seorang Paus dalam agama Katolik. Maksudnya Sunan Giri diakui sebagai ulama besar, di mana kharisma, ilmu dan karamahnya sangat luas – sekalipun pada masanya juga hidup wali-wali yang lain. Pengakuan ini setidaknya menjadi gambaran nyata bagaimana tanah Jawa, yang waktu itu dijajah oleh bangsa Portugis, sangat menghormati Sunan Giri.
Sampai saat ini jejak Sunan Giri masih bisa kita temui di Gresik Jawa Timur berupa komplek makam yang selalu ramai diziarahi. Hampir setiap hari berduyun-duyun para peziarah memenuhi komplek makam sang wali. Mereka dengan sabar antri, sebab makam Sunan Giri berada dalam sebuah ruang berpintu kecil yang hanya mampu memuat sekitar 10 – 15 orang saja. Datang dari jauh berdesakan untuk bertemu dengan sang wali yang sangat besar jasanya dalam bertabligh menyampaikan agama Allah.