CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

7 Des 2013

Allah SWT itu dimana??



 Anda juga pasti pernah (atau sering?) bertanya seperti ini. Anda gelisah, gundah, bahkan pusing setengah mati mencari Tuhan. Orangtua, ustadz, dan lingkungan mewajibkan anda untuk menyembah Allah, tapi anda sendiri masih mikirin tempat sebenarnya berada.

Pertanyaan seperti ini sih memang sulit, bahkan hampir tidak bisa terjawab. Baik pertanyaan maupun jawabannya, pasti menggunakan pikiran. Sedangkan pikiran tidak akan bisa menjangkau keagungan Allah. Mata dan telinga tidak akan bisa melihat dan mendengar-Nya. Allah terlalu agung untuk dilihat oleh mata kecil kita, juga oleh telinga kita yang lemah.

Tapi Allah ada dan hanya Dia-lah satu-satunya Yang Ada.

Anda yang lahir ketika matahari sedang bersinar, dan selama hidup tidak pernah melihat matahari terbenam, tidak akan tahu apa itu malam, kan? Tetapi, bahkan anda tidak akan tahu apa itu siang. Jadi anda yang dari lahir hanya merasakan siang hari, malah tidak akan tahu siang itu sendiri seperti apa. Nah, lho. Terus, kalau begitu, apakah berarti siang itu tidak ada? Justru anda hidup sepanjang siang dan malah tidak pernah merasakan malam. Siang ada. Tapi, kenapa bisa tidak tahu apa itu siang? Ya, itu jawabnya karena siang tidak ada tandingannya. Sesuatu yang tidak ada tandingannya itu ada, tapi keberadaannya terasa seolah-olah tidak ada. Allah pun seperti itu, Dia ada, tapi karena Keagungan Allah tidak ada tandingannya, Allah seolah-olah tidak ada.

Sudahlah, bingungnya nggak usah keterusan dulu. Lebih baik baca dulu yang berikut ini.

Nabi Ibrahim A.S tumbuh dan berkembang di tengah-tengah para penyembah berhala. Dia ingin bertemu Tuhan yang sejati. Ibrahim melihat bintang-bintang yang bersinar, lalu kepada bintang dia berkata, “Kamu adalah Tuhanku.”

Akan tetapi, saat bulan purnama tiba, Ibrahim ragu sama bintang sebab ternyata bulan jauh lebih besar dan lebih bercahaya dibandingkan bintang-bintang di langit. Ibrahim melihat bulan itu dan berkata, “Engkaulah Tuhanku semata.”
Besoknya matahari terbit, bulan dan bintang pun tenggelam oleh cahaya terangnya. Ibrahim berkata
kepada matahari, “Engkau adalah Tuhanku semata.” Kemudian malam tiba, matahari pun tenggelam.

Ujung-ujungnya, Ibrahim pun tersadar, “Tuhanku adalah Dia yang mendatangkan benda-benda itu dan membawa mereka kembali. Tuhanku adalah Dia yang ada di balik semua perubahan itu.”

Inilah cara Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Beliau adalah contoh pencari tauhid sejati. Kalau orang sesuci Nabi Ibrahim saja sempat gelisah mencari Allah, apalagi kita.

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman, kalau ada seseorang bingung dan menanyakan tentang-Nya, jawabannya adalah, “Fa inni qarib...,” yang artinya, “Katakanlah kepada yang bingung wahai Muhammad, bahwa Aku (Allah) sesungguhnya sangat dekat. (Qs Al-Baqarah:186)”

Ada cara lain mencari Allah, yang sepertinya ini juga jadi penawar kebingungan kita. Suatu hari, seseorang bertanya kepada seorang syaikh, bagaimana caraanya agar sampai kepada Allah.

“Cara menuju Allah,” jawab syaikh, “adalah sebanyak makhluk. Tetapi, yang paling cepat dan gampang adalah melayani orang lain, tidak mengganggu orang lain, dan membahagiakan orang lain.”

Daripada bingung, kita temui saja Allah dengan cara yang disarankan sang syaikh tadi. Kita bisa “memegang” tangan Allah ketika kita memegang tangan fakir miskin. Kita bisa merasakan hadirnya Allah saat kita berbagi dengan sesama. Kita bisa membuat Allah ridha dengan membuat orang lain ridha dengan kita. Kita juga bisa “membahagiakan” Allah dengan cara membahagiakan tetangga, saudara, dan teman-teman kita.

Para guru sufi mengajarkan kita agar tidak berlarut-larut memikirkan Allah. Sebab mereka tahu kalau Allah tidak terjangkau pikiran. Layaknya anda memakan gula, untuk apa juga anda menceritakan apa itu manis kalau anda memang sudah mengunyah gula itu. Sebaliknya, menceritakan sedetail mungkin tentang manis atau menjelaskan banyak hal tentang rasa gula, tetap tidak akan terasa kalau anda tidak menyicipinya. Iya, kan?

Salah satu syair Rumi, "Tuhan tidak akan engkau temui di tempat ibadah, tapi di mulut para Fakir"

Bertemu Allah juga tidak harus lewat kata-kata. Karena Allah akan menemukan anda yang rajin ibadah, baik ibadah buat anda sendiri maupin ibadah sosial. Jadi, kalau anda masih menanyakan tempat Allah, temuka Dia di dalam shalat anda, temukan Dia di tengah-tengah sahabat-sahabat yang anda bahagiakan, dan temukan Dia di tengah-tengah fakir miskin yang anda santuni.

Abu Yazid pernah berkata, “Pada awalnya, aku salah dalam melakukan empat perkara. Aku berusaha mengingat Allah, mengetahui-Nya, mencintai, dan mencari-Nya. Saat di akhir perjalanan, aku melihat bahwa Allah lebih dulu mengingatku sebelum aku mengingat-Nya, pengetahuan-Nya tentang aku mendahului pengetahuanku tentang-Nya, cinta-Nya kepadaku sudah lebih dulu terwujud sebelum cintaku kepada-Nya, dan Dia sudah lama mencariku sebelum aku mencari-Nya.”

Sekarang kita simak kisah lain. Saat jalan-jalan, Nabi Musa mendengar seorang gembala yang sedang berdo’a kepada Allah. Gembala itu juga menawarkan diri untuk menyisir rambut Allah, menyuci jubah, dan mencium tangan-Nya. Nabi Musa memarahi si gembala itu karena ulahnya. “Mungkin si gembala itu gila”, pikir Nabi Musa.

Lalu, malam itu Allah berfirman kepada Nabi Musa, “Kamu telah mengusir hamba-Ku dari ibadahnya. Dalam kesungguhannya, caranya yang tanpa neko-neko, si gembala itu jauh lebih dekat kepadaku daripada orang-orang berilmu yang hanya pandai bicara.” Nah, tuh!

Mikirin boleh. Bertanya tentang Allah juga boleh. Tapi..., stop! Pikiran tidak akan bisa menjawab semuanya. Yang jelas, carilah Allah lewat cara lain. Tidak usah neko-neko!

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku Nyari Identitas Diri Karangan M. Ikhsan Hal. 94-99 dengan perubahan 
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: