CintaNya kepadaku jauh lebih dulu ada, dibandingkan cintaku kepadaNya, dan Dia sudah menemukanku, sebelum aku mencariNya (Abu Yazid Al-Bustami qs)

16 Des 2013

Tuhan Itu Milik Siapa??



*dari tulisan Sufi Muda

Sejarah memberikan catatan kepada kita bahwa pertumpahan darah yang paling banyak terjadi di dunia disebabkan karena memperebutkan Tuhan, Agama dan Kebenaran. Keyakinan  kuat atau fanatisme terhadap agama satu sisi memberikan hal yang positif, membuat manusia mengikuti aturan sehingga dengan keteraturan itu menyebabkan hubungan manusia dengan manusia menjadi harmonis begitu juga hubungan manusia dengan alam. Di sisi lain, ketaatan dalam agama tanpa di iringi semangat toleransi dan pengetahuan yang mendalam terhadap agamanya dan agama lain akan memberikan ruang kebencian yang ketika dijadikan alat politik oleh sekompok orang akan menjadi racun berbahaya dalam masyarakat.

Pertumpahan darah, hilangnya jutaan nyawa dan harta benda yang timbul dari fanatisme agama hampir semua bermuara kepada politik baik permusuhan antara agama maupun permusuhan di dalam penganut agama yang sama. 3 Karya Karen Amstrong Holy War : The Crussade and Their Impact on Today’s world, The Battle for God : A history of Fundamentalism dan A History of God: The 4.000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam memberikan gambaran kepada kita bahwa pertumpahan darah bagi penganut agama sejarahnya setua sejarah manusia itu sendiri.

Mungkin di dunia ini hanya Karen Amstrong yang berani dan terpikir untuk menulis sejarah Tuhan, sosok yang Tak Tersentuh, sesuatu yang Tak Terfikirkan. Saya pertama sekali membaca buku A History of God tahun 2000, disaat saya sedang dimabuk Tasawuf dan yang membuat saya tertarik untuk membacanya karena judulnya yang menggoda. Buku Karen Amstrong tentang sejarah Nabi Muhammad juga sangat enak dibaca, berbeda dengan karya-karya sejenis yang sudah pernah di tulis.

Setiap pemeluk agama manapun meyakini bahwa Tuhan itu milik mereka dan manusia diluar agama mereka tidak mendapat tempat di sisi Tuhan. Satu sisi keyakinan itu diperlukan agar manusia semangat dalam beribadah namun disisi lain terkadang memberikan efek buruk bagi pemeluknya dengan memaksa orang-orang diluar agamanya untuk mengakui Tuhan yang disembahnya. Melakukan tindakan pemaksaan kepada orang diluar agamanya seolah-olah dia telah mendapat mandat langsung dari Tuhan merupakan efek dari yang saya sebutkan di atas.

Di dalam Islam sendiri, kemudian muncul kelompok-kelompok fanatik yang dari gaya mereka bertindak seolah-olah seluruh tindakannya sudah disetujui Tuhan. Membakar rumah ibadah agama lain, membunuh tokoh agama dan tindakan-tindakan tercela lain yang dibungkus dengan istilah keren berbau agama, yaitu Nahi Mungkar. Tindakan Lebay ini bukan hanya di dalam Islam, tapi juga dalam agama lain karena setiap agama mempunyai kelompok garis keras yang memahami agama dengan kaku. Jadi bukan karena agamanya tapi karena penganut agama tersebut yang memahami agama secara keliru.

Memaksakan agama yang kita yakini kepada orang yang berbeda agama bukan hanya tidak alamiah tapi juga bertentangan dengan konsep Tuhan yang universal dan Esa yang kita yakini. Disinilah letak rancu pemahaman kita terhadap Tuhan, satu sisi kita meyakini bahwa diseluruh jagad raya hanya ada satu Tuhan, tapi disisi lain kita memberika ruang seolah-olah ada Tuhan lain yang harus dimusnahkan agar orang-orang yang menyembah Tuhan lain tersebut tunduk kepada Tuhan kita.


Ketika manusia memperebutkan Tuhan, saling bermusuhan untuk mendapatkan kepemilikan yang mutlak terhadap Tuhan maka disaat itulah eksistensi Tuhan itu sendiri menjadi kabur bahkan hilang sama sekali. Ketika manusia memiliki keyakinan bahwa Tuhan bukan milik siapa-siapa tetapi Tuhan memiliki kita semua serta seluruh alam jagad raya, maka disaat itulah pula akan timbul kesadaran untuk saling menghargai, saling mengasihi antara semasa manusia.

Tuhan yang diyakini oleh Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan Agama lainnya adalah Tuhan yang sama karena tidak mungkin Tuhan itu banyak, tapi mereka dalam agama yang berbeda melihat Tuhan dalam kacamata yang berbeda pula. Kita harus memberikan ruang kepada saudara kita yang memaknai Tuhan sebagai “Merah” karena dia memakai kacamata merah, begitu juga kita harus memberikan ruang kepada saudara kita yang lain yang memaknai Tuhan sebagai “hijau”, “kuning” “biru” dan lain-lain sesuai kacamata yang di pakainya.

Fanatisme berlebihan dalam beragama sampai merasa seolah-olah Tuhan milik kelompok mereka disebabkan karena tipisnya pengetahuan terhadap agama karena semakin dalam dan luas pemahaman seseorang terhadap agama maka akan semakin timbul sikap toleransi dalam dirinya. Kekhawatiran akan dangkalnya akidah, copotnya iman, lenyapnya Tuhan dalam kehidupannya timbul karena dia belum sampai kepada Tuhan itu sendiri.

Ketika manusia telah benar-benar menemukan Tuhan, maka tidak ada sedikitpun keraguan dan kekhawatiran dalam dirinya tentang apapun termasuk khawatir akan hilangnya Tuhan dalam kehidupannya karena dia menyadari segala dan kekhawatiran suatu hanya bisa terjadi atas kehendak Tuhannya.

Junjungan kita Nabi Muhammad SAW membawa Islam Mulia ini sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin artinya dengan kehadiran manusia-manusia beragama diharapkan memberikan rahmat dan keberuntungan bagi siapapun, memberikan kedamaian bagi semua. Bagi orang yang telah menemukan Allah, telah mengisi cahaya Allah dalam hatinya, maka kemanapun dia melangkah, alam sekitar akan menyambutnya dengan penuh suka cita. Sebaliknya orang yang hanya membawa kitab suci ditangannya tanpa hadir cahaya Allah dalam hati tanpa sadar membawa kehancuran kepada Alam sekitarnya karena ketika cahaya Allah tidak besemayam dalam hati berarti setan bersemayam dalam dirinya yang membawa kemungkaran di muka bumi.
Menutup tulisan di sore Jum’at yang penuh berkah ini, menarik untuk disimak konsep toleransi dari Tasawuf yang merupakan Inti Sari Agama Islam dalam nasehat berikut :

Engkau tidak akan pernah menjadi sufi sebelum engkau bisa menjadi seperti awan, siapapun boleh bernaung dibawahnya, si kafir dan si iman,
Engkau tidak akan pernah menjadi sufi sebelum bisa menjadi seperti bumi, siapapun boleh berjalan di atasnya, si taat maupun si maksiat.

Semoga Tulisan ini bermanfaat hendaknya, Amin ya Rabbal ‘Alamin


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: